Praba berdiri di balkon ruangannya. Mengeluarkan rokok dari tempatnya, lalu menyalakan ujungnya. Segera, kepulan asap itu menari di udara. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan tangan kanannya memegangi rokok dan menghisapnya terus menerus.Pikirannya terlalu berisik sampai dia tak tahu harus menanggapi yang mana dulu. Tarikan napasnya panjang. Masih sibuk menghisap rokoknya, tatapannya mengarah pada langit malam yang berbintang.Tapi, tidak ada bulan yang muncul.Praba mengeluarkan asap rokoknya dengan kasar ketika ingatannya mengarah pada Sinar yang selalu suka dengan bulan purnama. Tidak sekalipun gadis itu melewatkan menatap benda langit tersebut saat memancar dan menunjukkan keindahannya.Mood Praba sangat buruk ketika sampai di kantor keesokan harinya. Terlebih lagi, dia tidak bisa tidur semalaman. Hal itu berimbas pada suasana hatinya yang tidak terkontrol. Dia bahkan memarahi siapa pun yang membuat kesalahan meskipun hal terkecil sekalipun.“Hari ini selain
“Kamu bicara dengan saya?”Jantung Gina hampir melompat dari sarangnya ketika suara Praba tiba-tiba saja memenuhi ruangan. Wajah Gina bahkan tampak pucat pasi ketika dia menoleh dan mendapati Praba sudah menatapnya.“Bu-kan, Pak. Saya bicara dengan Sinar.” Suaranya bahkan bergetar ketika menjawab.Praba melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan tersebut dengan wajah sedingin salju. Akhir-akhir ini moodnya sangat buruk dan ada banyak hal yang membuatnya ingin marah. Celetukan seringan apa pun bisa memantik api kemarahan dalam tubuhnya.Gina tak lama berada di rumah Sinar karena waktu juga sudah malam. Gadis itu pamit tak lama setelah itu dan berjanji akan datang lagi dan menemani Sinar.Sinar kembali sibuk dengan pekerjaannya ketika Praba menuruni tangga.“Temanmu sudah pulang?” tanyanya.“Sudah.”Praba menarik sebuah topi rajut berwarna coklat yang ada di atas meja. Ada sebuah gambar teddy bear yang ditempel di sana. Topi itu kecil dan terlihat menggemaskan. Sinar terlihat benar-bena
“Tidak. Biarkan saja dia istirahat.”Talita merasa belum perlu menggunakan Surya untuk sekarang. Nanti setelah dia benar-benar gagal menemukan Sinar, barulah opsi tersebut akan digunakan. Dan dia yang akan menentukan bagaimana nasib lelaki itu. Karena hidup dan mati Surya ada di tanganya.Talita pada akhirnya mencoba untuk mencarinya sendiri. Tampaknya orang-orang itu tengah berkonspirasi. Bahkan Bibi yang diutus menjaga Sinar pun tidak bisa dihubungi. Sinar pun sama. Jadi, Praba tampaknya memang sudah merencanakan ini.“Ke mana mereka!” gumam Talita pada keheningan. Merasa jengah dengan suaminya yang menyembunyikan Sinar tanpa bisa ditemukan.Membuktikan ucapan orang-orangnya, Talita akhirnya mencoba mengikuti sang suami. Dia datang ke kantor Praba dan berdiam diri di dalam mobil untuk menunggu Praba keluar. Ada seringai muncul di bibirnya ketika lelaki itu terlihat oleh matanya.Menit berlalu dan Talita masih bisa membuntuti mobil Praba, tetapi setelah itu, ada dua mobil yang tiba-ti
Talita memberikan obat perangsang dalam minuman Praba. Dia ingin mendapatkan apa yang dia inginkan setelah suaminya itu terus menolaknya. Dia adalah istri Praba, dia sah melakukan itu ketika suaminya tidak bisa diajak kerja sama.Talita menyadari jika Praba semakin jauh darinya. Praba sudah asyik dengan dunianya sendiri. Dia pasti mendapatkan pelayanan yang luar biasa dari seorang Sinar. Jadi, dia tak mau kalah.“Aku pikir hidupku baik-baik saja meskipun Mas nggak pernah mencintaiku.” Talita mengelus wajah Praba yang sedang tertidur. Permainan panas mereka membuat Talita semakin jatuh cinta kepada sang suami.Sayangnya, hatinya harus tercubit ketika Praba memanggil nama Sinar. Lelaki itu menganggap Talita adalah Sinar dan itu mengoyak habis harga dirinya.“Sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan.” Telunjuknya kini mengarah pada dada Praba yang tidak tertutupi selimut.Mencuri kecupan di bibir Praba, Talita menyeringai. “Kamu boleh menyembunyikan perempuan itu dariku. Lakukan kewaj
“Apa nama yang kamu usulkan?” tanya Praba lagi karena Sinar tak kunjung bersuara. “Barangkali saya bisa mempertimbangkannya.”Sinar menyebutkan satu nama. “Nama itu memiliki arti sinar atau cahaya. Saya tahu saya tidak berhak. Saya hanya berharap ada sesuatu dalam diri saya yang tersemat di dalam kehidupan anak ini.” Sinar mengelus perutnya dengan lembut.Nama yang diusulkan itu terdengar gagah. Praba bisa melihat ketulusan yang diberikan Sinar oleh putranya.“Saya yakin Bapak sangat menyayangi bayi ini. Saya pun sama.” Sinar mengeluarkan senyum kecil, netranya mengarah lurus pada Praba dengan terang-terangan. “Kalau suatu hari nanti tanpa sengaja kita bertemu dan Bapak bersamanya, tolong izinkan saya untuk menyapanya.”Praba tidak menjawab, tetapi ada sebuah palu besar yang terasa menggedor hatinya. Gadis itu bersikap seolah dia akan pergi besok.Entah kenapa hanya memikirkan tidak adanya perempuan itu di hidupnya membuat Praba resah. Tidak bisa melihat Sinar ada di dapur saat pagi ha
Mbak Sinar, Mas Surya dilarikan ke rumah sakit. Dia pingsan dan jantungnya berdenyut lemah. Sekarang dia sedang berada di UGD dan tengah ditangani.”Lutut Sinar seakan tidak bisa diajak berdiri ketika mendapatkan kabar buruk itu dari Bibi. Dunianya seakan hancur dalam hitungan detik. Apa yang membuat Surya tiba-tiba drop? Yang dia tahu, pengobatan berjalan lancar dan organ dalam tubuhnya hampir normal.Masih dengan tubuh yang bergetar, Sinar mengambil sweeter di lemari, lalu keluar dari kamar dengan wajah panik.“Sinar? Kamu kenapa?” Praba yang mendapati Sinar pucat pasi itu segera bertanya. Lelaki itu segera menangkpat tubuh Sinar yang sedikit limbung.Yang ada di dalam pikiran Praba adalah Sinar tengah mengalami kram lagi di perutnya. Dia mencoba untuk menuntut Sinar kembali masuk ke kamar, tetapi Sinar menahannya. Sinar medongak menatap Praba sebelum menjelaskan.“Saya harus pergi ke rumah sakit, Pak. Surya masuk UGD.” Ada riak keterkejutan yang tampak di wajah Praba setelah itu da
"Ketubannya sudah pecah. Ibu Sinar akan segera melahirkan.”Informasi itu membuat Praba terdiam seketika. Tak cuma Praba, Sinar pun merasakan keterkejutan yang sama. Dokter bilang HPL-nya masih dua minggu lagi. Lalu bagaimana mungkin bayinya akan lahir sekarang?Dokter menjelaskan jika itu terjadi karena beban pikiran yang tiba-tiba memberat di otak Sinar. Praba tidak terlalu memusingkan apa pun penjelasan dari dokter. Lantas dia hanya meminta agar dokter memberikan penanganan terbaik untuk Sinar.Seperti yang sudah direcanakan sejak awal, Sinar akan melahirkan dengan operasi caesar. Sebagai seorang suami, Praba ikut masuk ke dalam ruang operasi dan menemani perjuangan istri keduanya tersebut melahirkan.Melihat betapa kesakitannya Sinar, Praba membulatkan kepalan tangannya. Seandainya kejadian ini tidak terjadi, apa Sinar tetap akan kesakitan seperti sekarang. Praba dalam hati bersumpah jika dia tidak akan membuat ini mudah.Talita! Geramnya dalam hati.Operasi itu berjalan dengan lan
“Menyembunyikan?” ulang Sinar tidak mengerti. “Maksud Ibu menyembuyikan?”Pertanyaan itu belum terjawab, tetapi tiba-tiba pintu kamar terbuak dan suster yang ditugaskan untuk menemani Surya saat di rumah itu datang. Tampak terengah seolah dia baru saja diburu waktu.“Maaf, Mbak Sinar. Surya sudah siuman.”“Sudah siuman?” tanya Sinar terkejut. “Tolong bawa saya ke sana, Sus.” Suster itu menganguk dan segera mengambil kursi roda untuk Sinar.Dengan susah payah dia bergerak untuk turun dari ranjang, tetapi tanpa diduga-duga, Praba mengangkat tubuh Sinar dan mendudukkannya di kursi roda. Suster tersebut mendorong kursi roda Sinar dan membawa gadis itu ke ruangan di mana Surya berada.Jantungnya berdetak tak karuan. Rasa penasaran yang memuncak terkait kedatangan Talita ke rumahnya menjadi fokus utama Sinar selain kesembuhan Surya. Suster itu pun membawa Sinar di samping ranjang Surya sebelum dia keluar dan memberikan waktu kepada kakak beradik itu untuk bicara. Surya sekarang sudah berad
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k