akdir sudah menggariskan kehidupan setiap makluk yang hidup di dunia. Kematian adalah salah satu takdir yang tidak bisa dihindari. Tangis kesedihan tidak akan membawa kembali nyawa yang sudah pergi. Mengiklaskan adalah jalan satu-satunya cara agar tidak menyalahkan takdir.Hal itu yang sekarang dilakukan oleh Sinar. Dia harus kehilangan keluarga satu-satunya yang dimiliki karena kejahatan seseorang. Benci? Tentu saja, tetapi akal sehat harus tetap digunakan.Semua memang terlalu mendadak. Pengorbanan Sinar terasa tidak sebanding dengan kepergian Surya. Terbersit pertanyaan kenapa Tuhan harus mengambil adiknya secepat itu? Kenapa dia harus kehilangan orang yang paling dicintai? Namun, lagi-lagi itu adalah takdir.“Kenapa kamu harus pergi, Sur?” gumam Sinar menatap gundukan tanah yang masih basah. “Kakak sendirian sekarang. Seharusnya kamu bawa Kakak pergi bersamamu.”Tidak bisa dijabarkan bagaimana perasaan Sinar saat ini. Jika ada kata lebih buruk dari hancur, maka itulah yang pantas d
“Kamu udah bangun.”Orang pertama yang Sinar lihat saat dia baru saja keluar dari kamar adalah Praba. Lelaki itu memberikan tatapan tidak seperti biasanya. Apa? Lelaki itu mengasihaninya? Tidak! Sinar tidak perlu rasa kasihan dari siapa pun.“Kenapa Bapak belum pergi?” tanya Sinar dan pergi begitu saja.Di sofa ruang keluarga, Talita duduk diam dengan kepala menunduk. Sesekali dia menarik napasnya panjang seolah ada beban berat yang tengah dipikulnya. Tatapan Sinar semakin tajam ketika tiba-tiba saja Talita mendongak dan tatapan mereka bertemu.Sinar berjalan ke sofa. Duduk di sana dan tepat di depan Talita. Aura yang dikeluarkan adalah aura permusuhan yang kental. Sinar sudah tidak akan lagi menghormati perempuan itu. Talita sudah berbuat sadis di luar perjanjiannya.Praba menyusul dan duduk tepat di samping Sinar.“Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan kepada Ibu dan saya harap Ibu bisa menjawabnya dengan jujur.”Ada decisan yang keluar dari mulut Talita. “Sekarang kamu bertindak s
“Ke mana perginya hati nurani kalian!”Talita tidak bisa menahan buncahan kemarahan yang membludak di dalam hatinya. Perempuan itu tidak akan pernah merasa bersalah meskipun dia adalah biang dari segala masalah itu sendiri. Jika dulu dia tidak memaksakan kehendak untuk menikah dengan Praba, semua ini pasti tidak akan pernah terjadi.Praba juga tidak akan pernah memiliki dendam kepada Talita sampai menggunakan Sinar sebagai alat. Dia mungkin juga akan menikah dengan perempuan yang dicintai, dan tidak akan membuang waktunya selama tiga tahun untuk menjalani hubungan kosong dengan Talita.“Kenapa tidak Ibu tanyakan kepada diri Ibu sendiri? Ke mana perginya hati nurani Ibu sampai tega melibatkan Surya dan membuat Surya mati.”Bukan hanya Talita, Praba pun ikut andil. Itulah yang dikatakan oleh Sinar di dalam hatinya. Hanya saja, dia tak akan mengatakannya secara lugas. Nanti, dia juga akan membalas Praba. Hanya saja, biarlah dia sekarang berlindung di bawah kuasa Praba karena dia membutuhk
Praba melemparkan tubuhnya di kursi kerja miliknya dan menyandarkan punggungnya dengan sedikit kasar. Memijat pelipisnya dengan kuat merasakan denyutan nyeri kepalanya. Menghadapi masalah ini benar-benar membuatnya harus bersabar.Talita tidak akan berhenti sampai di sini, terlebih lagi Sinar. Dia mungkin sekarang tengah menyusun rencana untuk menjatuhkan Talita sampai titik terendah.Tentu, ini sedikit menguntungkannya karena Sinar berdiri di kubu yang sama dengannya. Namun, dia juga harus tetap waspada akan hal-hal yan akan dilakukan oleh Talita.“Dante!” Praba beranjak dari kursi berjalan ke luar ruangan dan berhenti di balkon. Dia tengah menghubungi asisten pribadinya untuk menjalankan tugas yang akan diberikan. “Pastikan tidak perlu menunggu lama.”Panggilan terputus dan Praba lagi-lagi harus menghisap nikotin untuk menenangkan pikirannya. Dia sudah mengambil keputusan untuk hubungannya dengan Talita. Hanya saja dia tidak akan menjatuhkan bom itu saat semuanya masih berantakan.Di
Lalu bagaimana dengan Bu Talita? Bapak sungguh-sungguh akan meninggalkannya? Lalu bagaimana dengan keluarga Bapak?”Ada banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepala Sinar. Tak hanya itu, dia juga merasakan sedikit ketakutan yang menelusup masuk ke dalam hatinya. Demi Tuhan, dulu dia pikir perjanjian itu akan berjalan dengan normal tanpa menimbulkan huru-hara tak penting seperti sekarang.Menghadapi satu Talita memang bukan perkara mudah, terlebih lagi kalau nanti dia harus berhadapan dengan orang tua Praba, semuanya hanya akan semakin rumit.Akal sehat Sinar seolah terkikis dan dia tak bisa berpikir jernih. Sekarang satu keinginannya sudah terwujud. Dia sudah menjadi ibu sah dari seorang Askara. Dia berhasil mengambil satu hal yang berharga dalam hidup Talita sebagai balasan atas apa yang dilakukan oleh perempuan itu.Sinar tentu saja bahagia. Lalu setelah ini apa? Konflik antara dirinya dengan Talita semakin menjadi. Dia yakin setelah Talita tahu Praba mengabulkan permintaan Sinar, m
“Saya lelaki, Sinar,” ucap Praba mencoba menjelaskan. “Tanpa cinta, saya bisa menjamah tubuh perempuan mana pun. Sayangnya saya bukan lelaki brengsek yang suka berganti pasangan hanya untuk nafsu dan melampiaskan pada tempat yang tidak seharusnya. Jadi, ada yang halal kenapa saya harus bermain dengan perempuan lain di luar sana dan menumpuk penyakit?”Praba berhenti sebentar. “Talita bahkan mampu memberikan obat perangsang ketika saya menolaknya,” imbuh Praba ketika dia mengingat kejadian beberapa malam yang lalu.Mendengar rentetan cerita yang diungkap Praba secara cuma-cuma di hadapannya, dia bisa menyimpulkan satu hal, Talita adalah perempuan yang mengerikan. Dia bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.Pantas saja kalau Praba begitu tidak menyukai Talita dan ingin melepaskan perempuan itu. Telebih lagi, karena Talita lah, Praba harus kehilangan perempuan yang dicintai. Baik Praba maupun Sinar adalah dua orang yang menjadi tumbal kekejamam Talita. Mereka
Tepat ketika Askara berpindah di pelukan Sinar, bayi itu hanya merengek sebentar sebelum dia kembali tenang. Sinar bahkan belum mengeluarkan ‘senjata’ terakhirnya yang bisa membuat Askara diam. Namun, bayi itu tampaknya memang lebih nyaman berada di pelukan Sinar dibandingkan di pelukan Talita.Terlalu menyakitkan untuk Talita ketika melihat adegan di depannya. Hanya dalam waktu sembilan bulan, Sinar sudah berhasil mengambil semuanya darinya. Dia bahkan sudah bersama dengan Praba hampir 4 tahun dan dia tidak berhasil membuat Praba mencintainya.Kesal tidak bisa dibendung, amarah tak bisa dicegah. Sinar, sudah membuat Talita tersingkir dari tempatnya.“Aku akan tinggal di sini untuk mendekatkan diri dengan Askara.” Sebuah keputusan diambil dengan cepat setelah berpikir beberapa saat. Tidak ada kekalahan dalam kamus Talita, sehingga dia harus mampu menyingkirkan Sinar dari hidupnya.Tidak ada yang menjawab, bahkan Sinar tampak tidak terkejut. Praba? Dia mengernyit menatap Talita, seolah
“Lancang sekali kamu!” teriak Talita. Wajahnya sudah merah padam dikuasai amarah.Jika sudah berani mengusik tentang hubungannya dengan Praba, itu artinya Sinar sudah paham tentang hubungan buruk yang terjadi dengan Talita dan juga suaminya. Sebanyak apa Sinar mengetahui tentang itu, itulah yang tidak Talita ketahui.“Jangan pernah ikut campur urusan saya dengan Mas Praba. Kamu hanya orang luar,” peringat Talita dengan rahang mengetat.“Saya tidak ikut campur. Kata-kata saya yang mana yang menyatakan kalau saya ikut campur dengan urusan Ibu? Saya hanya kasihan sama Ibu. Sekeras apa pun Ibu mencoba untuk menarik perhatian Bapak, bahkan tidak cukup mampu membuat Bapak mencintai Ibu.”Sinar diam setelah itu karena Praba sudah keluar dari kamar dan berjalan ke ruang makan. Duduk di ujung meja, sebelum menyeruput minuman pagi yang sudah disediakan. Tatapannya mengarah pada dua istrinya bergantian dan dia tahu baru saja ada sebuah perdebatan di antara keduanya.Talita begitu menunjukkan eks