Praba berdiri menimbulkan kursi beroda yang didudukinya itu terdorong ke belakang. Rahangnya mengetat dan ekpresinya dingin luar biasa. Seseorang yang tengah berbicara di depan itu seketika berhenti.“Maaf, apa Bapak membutuhkan sesuatu?” sekretaris Praba mendekat untuk memastikan sesuatu.“Lanjutkan saja meetingnya!” Hanya itu yang dikatakan sebelum dia berlari keluar dari ruangan tersebut membuat semua orang yang ada di dalam sana terdiam tak bisa mengatakan apa pun.Praba memacu mobilnya dengan cepat berharap dia bisa segera sampai di rumah sakit tempat Sinar dirawat. Dalam hati dia bertanya, seberapa parah luka yang didapat Sinar? Apakah gadis itu baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan janin yang ada di dalam kandungannya?Praba sungguh tak bisa tenang sampai dia bisa melihat keadaan Sinar secara langsung. Mengutuk jarak yang ditempuh harus membutuhkan berjam-jam perjalanan. Tiba-tiba saja pikirannya memunculkan ide, akan lebih baik kalau Sinar tetap berada di kota sehingga akan mem
Bayinya baik-baik saja. Kandungannya juga tidak bermasalah. Itu ‘kan yang terpenting bagimu?” Praba mengatakan itu setelah berdiri di sisi lain ranjang yang ditempati Sinar. “Jadi, berhentilah marah-marah.”Praba lantas menatap Sinar sekali lagi, memastikan tidak ada luka yang serius yang didapatkan oleh perempuan itu. Praba juga sudah bertemu dengan dokter dan meminta penjelasan tentang kondisi Sinar yang sebenarnya.Melihat Praba begitu serius menatap Sinar, Talita lantas berdehem keras. Perempuan itu bersedekap di depan dada sebelum bersuara.“Bisa kita bicara, Mas? Berdua.”Praba yang tadinya menatap Sinar itu pada akhirnya mengalihkan tatapannya pada Talita. Lelaki itu mengangguk dan pergi ke luar ruangan. Hal itu membuat Sinar akhirnya bisa bernapas lega. Dikelilingi Praba dan Talita dalam waktu bersamaan, membuat Sinar merasa seperti dikurung dalam sebuah penjara. Menyesakkan.Sinar bahkan waspada dengan sikap Talita kalau-kalau dia akan kembali mendapatkan tamparan dari perempu
Praba membuktikan ucapannya. Lelaki itu memperlakukan Sinar seperti seorang tahanan rumahan. Dia tidak diizinkan oleh Praba pergi ke mana pun. Semua keinginannya hanya perlu dikatakan dan seseorang akan mendapatkan untuknya.Praba ternyata membawa Sinar dan Bibi ke penthouse yang pernah Sinar datangi malam itu. Dia pikir, Praba akan membawanya ke rumah Talita dan hidup satu atap dengan istri pertamanya. Namun, anggapan Sinar ternyata salah. Praba tetap menjauhkannya dengan Talita.Terhitung sudah hampir satu bulan dia tinggal di apartemen dan sejauh ini tidak ada huru-hara apa pun. Praba seolah benar-benar menjauhkan Sinar dari segala sesuatu yang akan menjadikannya beban pikiran.“Bapak mau saya kirimkan makan siang untuk Bapak siang nanti?”Sinar kini benar-benar menyadari jika Praba akan menginap di apartemen secara terjadwal. Seperti ada sebuah pembagian waktu antara dirinya dengan Talita. Setidaknya itulah yang Sinar simpulkan.“Kalau Bapak mau, biar nanti sopir yang mengirimkanny
‘Selamat beristirahat, Nak.’Tiga kata itu seolah mengusik ketenangan Sinar malam ini sampai dia tak bisa tidur. Tangan besar Praba nan hangat itu masih terasa di perutnya. Ini kali kedua Praba melakukan itu. Namun, saat itu ada Talita di depan mereka dan Praba melakukannya hanya untuk membuat istri pertamanya itu marah.Lalu bagaimana dengan sekarang? Tidak ada siapun kecuali mereka berdua, tetapi Praba melakukannya dan membuat hati Sinar berdesir tak karuan.Sinar tidak akan lupa bagaimana dulu Praba menolak rencana sewa rahim. Namun, sekarang justru Praba lah sangat peduli dengan bayi mereka. Hal itu berbanding terbalik dengan sikap Talita.“Papamu benar-benar menyayangimu, Sayang.” Sinar mengusap perutnya yang bulat. “Berjanjilah kalau kamu akan membuat orang tuamu bangga.”Malam ini Sinar mencoba untuk memaksa matanya untuk tidur atau dia akan terus memikirkan sikap Praba. Bagaimanapun, dia adalah seorang perempuan yang memiliki hati yang lembut. Dia takut terlena dan justru jatuh
Sekitar pukul sepuluh malam, mereka akhirnya memutuskan pulang. Seperti yang Praba katakan kepada Sinar, hari ini adalah hari Sinar. Ke mana pun gadis itu ingin pergi, maka Praba akan mengikuti dan mengantarnya.“Kamu yakin kuat jalan sampai ke mobil?” tanya Praba menatap Sinar dengan napas yang ikut memberat.Mereka sedang berjalan-jalan dan menikmati keindahan kota. Sinar juga menyempatkan membeli benang rajut untuk stoknya di rumah.“Kuat sih, Pak. Cuma jangan cepat-cepat. Perut saya agak berat dan saya rasa susah bergerak.”Sinar tidak berbohong. Perut Sinar yang besar membatasi pergerakannya. Namun, dia tak pernah sekalipun mengeluh. Dia juga bersyukur, bayinya tak merepotkan sama sekali kecuali di awal-awal kehamilannya dulu.Tanpa aba-aba, Praba menarik tubuh Sinar, lalu memberikan pelukan di bahunya. Lagi. Hal itu otomatis membuat Sinar harus berpacu dengan napas dan jantung yang bedebum keras.“Bapak nggak perlu pegangi saya. Saya bisa jalan sendiri. Nggak enak kalau dilihat o
“Bapak tidak perlu khawatir, Saya berjanji tidak akan menyebarkan apa pun tentang Sinar. Dan akan menutup rapat tentang itu.” Gina mengimbuhi. “Saya tidak akan mengkhianati persahabatan kami.”“Bagus kalau begitu.” Praba mengangguk dan memberikan kepercayaan kepada gadis yang baru saja dilihatnya tersebut.Kejujuran adalah hal yang terbaik. Sinar bersyukur ketika dia mengatakan kondisinya kepada Gina, gadis itu mempercayainya dan tidak menyalahkannya. Sebab itulah yang dibutuhkan oleh Sinar.Terkadang dia masih merasa semua yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan besar. Namun, ketika dia mengingat tentang Surya, maka yang dilakukan ini benar. Ini adalah cara satu-satunya yang harus dilakukan untuk adiknya.Kejadian malam itu tidak lagi menjadi pembahasan. Baik itu Praba maupun Sinar tidak ada yang menguliknya.Untuk beberapa minggu ini, baik kehidupan Praba maupun Sinar terasa damai. Tidak ada emosi apa pun yang membuat pertikaian. Namun, tidak dengan hari ini ketika Praba tengah be
Praba berdiri di balkon ruangannya. Mengeluarkan rokok dari tempatnya, lalu menyalakan ujungnya. Segera, kepulan asap itu menari di udara. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan tangan kanannya memegangi rokok dan menghisapnya terus menerus.Pikirannya terlalu berisik sampai dia tak tahu harus menanggapi yang mana dulu. Tarikan napasnya panjang. Masih sibuk menghisap rokoknya, tatapannya mengarah pada langit malam yang berbintang.Tapi, tidak ada bulan yang muncul.Praba mengeluarkan asap rokoknya dengan kasar ketika ingatannya mengarah pada Sinar yang selalu suka dengan bulan purnama. Tidak sekalipun gadis itu melewatkan menatap benda langit tersebut saat memancar dan menunjukkan keindahannya.Mood Praba sangat buruk ketika sampai di kantor keesokan harinya. Terlebih lagi, dia tidak bisa tidur semalaman. Hal itu berimbas pada suasana hatinya yang tidak terkontrol. Dia bahkan memarahi siapa pun yang membuat kesalahan meskipun hal terkecil sekalipun.“Hari ini selain
“Kamu bicara dengan saya?”Jantung Gina hampir melompat dari sarangnya ketika suara Praba tiba-tiba saja memenuhi ruangan. Wajah Gina bahkan tampak pucat pasi ketika dia menoleh dan mendapati Praba sudah menatapnya.“Bu-kan, Pak. Saya bicara dengan Sinar.” Suaranya bahkan bergetar ketika menjawab.Praba melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan tersebut dengan wajah sedingin salju. Akhir-akhir ini moodnya sangat buruk dan ada banyak hal yang membuatnya ingin marah. Celetukan seringan apa pun bisa memantik api kemarahan dalam tubuhnya.Gina tak lama berada di rumah Sinar karena waktu juga sudah malam. Gadis itu pamit tak lama setelah itu dan berjanji akan datang lagi dan menemani Sinar.Sinar kembali sibuk dengan pekerjaannya ketika Praba menuruni tangga.“Temanmu sudah pulang?” tanyanya.“Sudah.”Praba menarik sebuah topi rajut berwarna coklat yang ada di atas meja. Ada sebuah gambar teddy bear yang ditempel di sana. Topi itu kecil dan terlihat menggemaskan. Sinar terlihat benar-bena