“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya.
“Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik.
Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat.
Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil.
Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut.
Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya.
“Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman Sinar yang bekerja di tempat yang sama dengannya. “Ada masalah?”
Gina tampaknya sudah memerhatikan Sinar sejak tadi sehingga dia tahu ada yang tidak beres dengan Sinar.
“Keadaan Surya semakin buruk, Gin.” Sinar menjawab dengan lugas. Gina sudah tahu bagaimana kondisi kehidupan Sinar sehingga Sinar tidak perlu menutupi apa pun darinya. “Dia sudah mengalami komplikasi.”
Gina segera mengelus punggung Sinar dengan lembut. “Kamu sabar, ya, Sin, aku tahu kamu pasti mampu melalui semua ini.”
Sinar hanya mengangguk seadanya. Dia sudah pernah menceritakan kepada Gina tentang kondisi Surya dan bagaimana nantinya setelah pada tahap akhir penyakitnya. Saat dia sekarang sudah menyatakan tentang komplikasi, Gina pastilah tahu jika Sinar sedang membutuhkan banyak uang.
“Apa yang bisa aku bantu buat kamu, Sin?” tanya Gina lagi, “kamu tahu kalau uang, aku nggak punya.”
Sinar juga paham tentang itu. Mereka sama-sama bukan orang kaya dan Gina juga menjadi tulang punggung keluarga. Selama ini mereka hanya berbagi cerita dan saling menguatkan jika salah satunya memiliki masalah.
“Menjadi teman berbagi cerita saja sudah cukup, Gin.” Sinar memaksakan senyumnya. “Aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk memertahankan Surya agar tetap hidup.”
Suara Sinar terdengar mengandung banyak luka. Pikirannya terlalu berisik dengan banyak hal seperti sebuah benang kusut yang tak bisa terurai.
Malam tiba ketika Sinar selesai bekerja. Ini sudah pukul sepuluh malam dan rasa lelah sudah menggelayut di tubuhnya. Sinar sebenarnya ingin sekali menyudahi bekerja di restoran dan bekerja normal di kantoran. Namun, gaji yang ditawarkan di restoran tersebut cukup tinggi sehingga dia enggan untuk pergi meskipun jam kerjanya sangat menyita waktu.
“Sinar!”
Sebuah suara diiringi dengan suara langkah kaki itu membuat Sinar menoleh ke sumber suara. Sinar tampak terkejut ketika melihat Talita berada di sana.
“Saya harap kamu tidak keberatan untuk ikut saya. Kita perlu bicara.”
Sinar bergeming di tempatnya. Keraguan itu semakin besar. Dia ingat betul apa yang dikatakan oleh Praba pagi tadi. Perjanjian yang akan disepakati oleh Sinar dan Talita itu nyatanya menyangkut hukum. Dia tak paham hukum seperti apa yang akan membelitnya, tetapi itu membuatnya takut.
“Sinar, kamu tidak mendengarkan saya?”
Sinar berkedip pelan mendengar suara Talita menembus gendang telinganya. Hal itu membuat Sinar memfokuskan tatapannya.
“Maaf, Bu.”
Wajah Talita tampak jengah sebelum menghembuskan napas panjang. “Ikut saya!” titahnya. Seolah Sinar adalah anak buahnya.
“Bisa kita bicara di sini saja, Bu?” Sinar tidak bergerak sama sekali. “Ini sudah malam dan saya harus segera pulang.”
Talita menatap Sinar lekat. “Hanya sebentar,” katanya tidak mau dibantah.
Sinar pada akhirnya mengalah dan mengikuti Talita. Mereka masuk ke dalam mobil dan Talita membawa Sinar ke sebuah restoran 24 jam. Saat sampai, Sinar dibuat terkejut oleh keberadaan Praba. Lelaki itu sama sekali tidak tersenyum dan masih memasang wajah dinginnya.
Setelah mereka duduk berhadapan dengan Talita duduk tepat di samping Praba, obrolan itu segera saja dimulai. Talita yang memulai lebih dulu.
“Sinar, menikahlah dengan Mas Praba dan kadunglah anak kami.” Tanpa basa-basi, Talita mengatakan keinginannya dengan gamblang.
Lidah Sinar kelu seketika. Ucapan Praba pagi tadi melayang di dalam pikirannya. Jadi, yang dimaksud lelaki itu dengan pernikahan adalah dia harus menikah dengan Praba? Untuk apa? bukankah dia hanya perlu menyewakan rahimnya dan masalah selesai?
“Tidak,” tolak Sinar setelah dia menemukan kembali kewarasannya, “kenapa saya harus menikah dengan suami Ibu?”
Wajah Sinar sudah memerah tanda jika hatinya dilingkupi oleh berbagai macam emosi. Terkejut, marah, dan lelah bercampur menjadi satu. Kenapa dia harus mendapatkan ‘jebakan’ semacam ini dan membuatnya merasa kesal.
Sinar menatap Talita dan Praba bergantian. Namun, mereka tampak memasang wajah datarnya seolah mereka tidak sedang dalam sebuah masalah. Atau memang Sinar di sini yang memiliki masalah?
“Karena kamu bersedia meminjamkan rahimmu kepada kami.” Talita menjawab dengan santai. “Dengarkan saya baik-baik Sinar. Pernikahan ini hanya untuk sebuah formalitas. Kamu menikah dengan suami saya, lalu kamu mengandung anak kami.”
Talita menatap Sinar lurus-lurus. “Di negeri kita ini, tidak dibenarkan untuk melakukan sewa rahim dan saya tidak ingin mendapatkan masalah.”
“Kalau memang hal itu tidak dibenarkan, maka kita urungkan saja perjanjian itu, Bu.” Sinar menyerah karena tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Toh kita baru membicarakannya dan tidak ada perjanjian di atas putih.”
“Dan kamu bersedia kehilangan adikmu lebih cepat?” Talita menekankan kalimatnya membuat Sinar tampak terdesak.
“Kalau begitu kenapa harus ada sebuah pernikahan?” Sinar bertanya lemah.
“Karena kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan pasangan istri yang sah.” Talita mengencangkan rahangnya karena merasa Sinar banyak bertanya. “Semua hal yang ada di negeri ini dilindungi oleh hukum dan kita tidak bisa seenaknya melakukan sesuatu, Sinar.”
Sejauh apa pun Sinar mencoba mencerna, tetapi dia sungguh tak paham. Kepalanya terasa berdenyut nyeri mendengar penjelasan Talita.
“Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan itu karena ada banyak penjelasan di dalam sana.” Talita bersuara lagi dan menekan Sinar. “Jadi, ambillah keputusanmu malam ini.”
Sinar merasa putus asa. Di satu sisi dia mengingat kesehatan adiknya yang mulai terkikis, tetapi di sisi lain dia tidak bisa menerima permintaan Talita yang baginya sangat tidak masuk akal. Sedangkan Praba yang pagi tadi memintanya untuk menolak permintaan Talita, sekarang dia hanya diam tak membantunya sama sekali.
“Saya bersedia menyewakan rahim saya tanpa pernikahan, Bu.” Sinar menjawab tegas. “Bu … saya ….”
“Kalau kamu begitu ingin kami menikah, seharusnya kamu harus mampu menanggung konsekuensinya.” Praba akhirnya bersuara. Entah karena dia merasa kasihan dengan Sinar atau dia ingin mengalah kepada istrinya.
“Konsekuensi?” Talita mengulangi ucapan Praba.
“Berbagi suami dengan Sinar,” jawab Praba dengan dingin, “apa kamu sanggup dengan itu?”
***
“Kamu ini bicara apa sih, Mas?” Talita mencoba menahan garis wajahnya agar tidak terlihat terganggu. “Aku memberimu izin menikah hanya untuk formalitas. Jadi, mari kita kerja sama.”Sinar kali ini sepertinya sudah tidak bisa lagi mengelak. Ya, keputusan memang ada padanya. Dia bisa menolak dan mengurungkan semua ide gila dan dia terbebas. Lantas apakah akan cukup sampai di sana? Tentu saja tidak. Talita bisa saja memilih orang lain untuk menganggantikannya.Lalu dia? Sinar justru yang akan kelimpungan mencari uang untuk sang adik. Sinar memantapkan pilihan dan keputusannya. Apa pun yang terjadi kedepannya nanti, dia sudah siap. Ini adalah keputusan yang akan diambil.Praba berdiri. Menjejalkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kalian atur saja kapan saya bisa menikah dengan Sinar.” Kali ini lelaki itu menatap Sinar penuh arti. “Dan saya harap kalian tidak pernah menyesalinya.”Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja meninggalkan dua perempuan tersebut di sana. Tidak lagi meno
“Bu Talita bilang, Ibu tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Memasak juga tidak boleh.” Setelah semalaman Sinar hanya sanggup tertidur sebentar, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan memulai masak. Sebagai cook helper yang sudah lama digelutinya, memasak adalah salah satu keahlian Sinar. Sinar bahkan memiliki keinginan suatu saat nanti dia mampu memiliki bisnisnya sendiri berupa rumah makan kecil-kecilan. Namun, dia harus menunda segala keinginan itu dan memfokuskan dirinya pada kehidupannya yang tengah dihadapinya. “Bibi nggak perlu khawatir. Masak itu bukan pekerjaan yang sulit.” Sinar tersenyum kecil menatap Bibi. “Bibi di sini saja, dan Bibi bisa bantu saya.” “Tapi, Bu. Saya takut kalau Bu Talita tahu dan marah. Biar saya saja yang masak.” “Tolong buatkan saya kopi.” Suara berat milik Praba itu menghentikan perdebatan Sinar dan Bibi. Mereka menatap secara serentak ke arah yang sama di mana Praba berada. Lelaki itu tampak segar dengan rambut basahnya. Praba dudu
“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. “Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. “Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebu
“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar ya
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin
[Kak, pihak rumah sakit mengatakan jika pengobatan untukku diberhentikan.]Pijar baru saja mau menyuapkan makan siang ke dalam mulutnya ketika Surya menelponnya. Hari ini adalah waktunya sang adik untuk melakukan terapi. Namun, kabar buruk itu justru didapatkan. Jantung Pijar tiba-tiba bertalu dengan kencang dan wajahnya tampak pucat. Matanya bergetar, pun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. “Surya, kamu sudah memastikannya lagi? Pengobatanmu sudah ditanggung dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi.” [Aku nggak bohong, Kak. Memang itulah yang terjadi.] Sinar kali ini tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang masih memegangi ponselnya itu terasa dingin luar biasa. Di dalam pikirannya, dia menduga jika Talita lah yang melakukannya. Jika tidak, maka semua ini tidak akan mungkin terjadi. Setelah Sinar pindah dari rumah, ini adalah kali kedua Surya berobat dengan uang Talita. Apa mungkin secepat itu Talita mengubah perjanjiannya? Apa semua ini karena kecemburuan Talit