Share

Part 4. Konsekuensi

“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya. 

“Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik. 

Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat. 

Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil. 

Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut. 

Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya. 

“Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman Sinar yang bekerja di tempat yang sama dengannya. “Ada masalah?” 

Gina tampaknya sudah memerhatikan Sinar sejak tadi sehingga dia tahu ada yang tidak beres dengan Sinar. 

“Keadaan Surya semakin buruk, Gin.” Sinar menjawab dengan lugas. Gina sudah tahu bagaimana kondisi kehidupan Sinar sehingga Sinar tidak perlu menutupi apa pun darinya. “Dia sudah mengalami komplikasi.” 

Gina segera mengelus punggung Sinar dengan lembut. “Kamu sabar, ya, Sin, aku tahu kamu pasti mampu melalui semua ini.” 

Sinar hanya mengangguk seadanya. Dia sudah pernah menceritakan kepada Gina tentang kondisi Surya dan bagaimana nantinya setelah pada tahap akhir penyakitnya. Saat dia sekarang sudah menyatakan tentang komplikasi, Gina pastilah tahu jika Sinar sedang membutuhkan banyak uang. 

“Apa yang bisa aku bantu buat kamu, Sin?” tanya Gina lagi, “kamu tahu kalau uang, aku nggak punya.” 

Sinar juga paham tentang itu. Mereka sama-sama bukan orang kaya dan Gina juga menjadi tulang punggung keluarga. Selama ini mereka hanya berbagi cerita dan saling menguatkan jika salah satunya memiliki masalah. 

“Menjadi teman berbagi cerita saja sudah cukup, Gin.” Sinar memaksakan senyumnya. “Aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk memertahankan Surya agar tetap hidup.” 

Suara Sinar terdengar mengandung banyak luka. Pikirannya terlalu berisik dengan banyak hal seperti sebuah benang kusut yang tak bisa terurai. 

Malam tiba ketika Sinar selesai bekerja. Ini sudah pukul sepuluh malam dan rasa lelah sudah menggelayut di tubuhnya. Sinar sebenarnya ingin sekali menyudahi bekerja di restoran dan bekerja normal di kantoran. Namun, gaji yang ditawarkan di restoran tersebut cukup tinggi sehingga dia enggan untuk pergi meskipun jam kerjanya sangat menyita waktu. 

“Sinar!” 

Sebuah suara diiringi dengan suara langkah kaki itu membuat Sinar menoleh ke sumber suara. Sinar tampak terkejut ketika melihat Talita berada di sana. 

“Saya harap kamu tidak keberatan untuk ikut saya. Kita perlu bicara.” 

Sinar bergeming di tempatnya. Keraguan itu semakin besar. Dia ingat betul apa yang dikatakan oleh Praba pagi tadi. Perjanjian yang akan disepakati oleh Sinar dan Talita itu nyatanya menyangkut hukum. Dia tak paham hukum seperti apa yang akan membelitnya, tetapi itu membuatnya takut.

“Sinar, kamu tidak mendengarkan saya?”  

Sinar berkedip pelan mendengar suara Talita menembus gendang telinganya. Hal itu membuat Sinar memfokuskan tatapannya. 

“Maaf, Bu.” 

Wajah Talita tampak jengah sebelum menghembuskan napas panjang. “Ikut saya!” titahnya. Seolah Sinar adalah anak buahnya. 

“Bisa kita bicara di sini saja, Bu?” Sinar tidak bergerak sama sekali. “Ini sudah malam dan saya harus segera pulang.” 

Talita menatap Sinar lekat. “Hanya sebentar,” katanya tidak mau dibantah. 

Sinar pada akhirnya mengalah dan mengikuti Talita. Mereka masuk ke dalam mobil dan Talita membawa Sinar ke sebuah restoran 24 jam. Saat sampai, Sinar dibuat terkejut oleh keberadaan Praba. Lelaki itu sama sekali tidak tersenyum dan masih memasang wajah dinginnya. 

Setelah mereka duduk berhadapan dengan Talita duduk tepat di samping Praba, obrolan itu segera saja dimulai. Talita yang memulai lebih dulu. 

“Sinar, menikahlah dengan Mas Praba dan kadunglah anak kami.” Tanpa basa-basi, Talita mengatakan keinginannya dengan gamblang. 

Lidah Sinar kelu seketika. Ucapan Praba pagi tadi melayang di dalam pikirannya. Jadi, yang dimaksud lelaki itu dengan pernikahan adalah dia harus menikah dengan Praba? Untuk apa? bukankah dia hanya perlu menyewakan rahimnya dan masalah selesai? 

“Tidak,” tolak Sinar setelah dia menemukan kembali kewarasannya, “kenapa saya harus menikah dengan suami Ibu?” 

Wajah Sinar sudah memerah tanda jika hatinya dilingkupi oleh berbagai macam emosi. Terkejut, marah, dan lelah bercampur menjadi satu. Kenapa dia harus mendapatkan ‘jebakan’ semacam ini dan membuatnya merasa kesal. 

Sinar menatap Talita dan Praba bergantian. Namun, mereka tampak memasang wajah datarnya seolah mereka tidak sedang dalam sebuah masalah. Atau memang Sinar di sini yang memiliki masalah? 

“Karena kamu bersedia meminjamkan rahimmu kepada kami.” Talita menjawab dengan santai. “Dengarkan saya baik-baik Sinar. Pernikahan ini hanya untuk sebuah formalitas. Kamu menikah dengan suami saya, lalu kamu mengandung anak kami.” 

Talita menatap Sinar lurus-lurus. “Di negeri kita ini, tidak dibenarkan untuk melakukan sewa rahim dan saya tidak ingin mendapatkan masalah.” 

“Kalau memang hal itu tidak dibenarkan, maka kita urungkan saja perjanjian itu, Bu.” Sinar menyerah karena tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Toh kita baru membicarakannya dan tidak ada perjanjian di atas putih.” 

“Dan kamu bersedia kehilangan adikmu lebih cepat?” Talita menekankan kalimatnya membuat Sinar tampak terdesak. 

“Kalau begitu kenapa harus ada sebuah pernikahan?” Sinar bertanya lemah. 

“Karena kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan pasangan istri yang sah.” Talita mengencangkan rahangnya karena merasa Sinar banyak bertanya. “Semua hal yang ada di negeri ini dilindungi oleh hukum dan kita tidak bisa seenaknya melakukan sesuatu, Sinar.” 

Sejauh apa pun Sinar mencoba mencerna, tetapi dia sungguh tak paham. Kepalanya terasa berdenyut nyeri mendengar penjelasan Talita. 

“Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan itu karena ada banyak penjelasan di dalam sana.” Talita bersuara lagi dan menekan Sinar. “Jadi, ambillah keputusanmu malam ini.” 

Sinar merasa putus asa. Di satu sisi dia mengingat kesehatan adiknya yang mulai terkikis, tetapi di sisi lain dia tidak bisa menerima permintaan Talita yang baginya sangat tidak masuk akal. Sedangkan Praba yang pagi tadi memintanya untuk menolak permintaan Talita, sekarang dia hanya diam tak membantunya sama sekali. 

“Saya bersedia menyewakan rahim saya tanpa pernikahan, Bu.” Sinar menjawab tegas. “Bu … saya ….” 

“Kalau kamu begitu ingin kami menikah, seharusnya kamu harus mampu menanggung konsekuensinya.” Praba akhirnya bersuara. Entah karena dia merasa kasihan dengan Sinar atau dia ingin mengalah kepada istrinya. 

“Konsekuensi?” Talita mengulangi ucapan Praba. 

“Berbagi suami dengan Sinar,” jawab Praba dengan dingin, “apa kamu sanggup dengan itu?” 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status