“Mas, ini adalah satu-satunya cara agar kita bisa punya anak.” Talita menarik tangan Praba kemudian digenggamnya. “Aku hanya ingin keluarga kita ….”
“Lupakan!” Praba memutus ucapan Talita. “Saya tidak akan melakukannya.”
Praba beranjak dari tempat duduknya, melepaskan genggaman tangan Talita dengan kasar sebelum dia pergi dari ruang tamu. Langkah kakinya tegap mengayun dengan pasti. Sinar hanya bisa terpaku di tempatnya dengan menahan napasnya.
‘Jadi, Talita belum mendiskusikan ini kepada suaminya sebelumnya?’ tanya Sinar di dalam hati.
Tentu hal wajar ketika suami Talita menolak ide tersebut. Sinar benar-benar merasa hidupnya jungkir balik hanya dalam beberapa jam saja.
Talita beranjak dari sofa mengejar sang suami. Meninggalkan Sinar yang masih tenggelam dengan pikirannya sendiri. Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja muncul dengan membawa minuman dan menyuguhkannya di depan Sinar.
“Silakan minumannya, Mbak.” Sinar sempat kaget melihat keberadaan perempuan itu sebelum dia tersenyum dan berterima kasih.
Ruangan itu hening dan hanya terdengar detik jam. Sinar dibuat bimbang dengan situasi yang memeluknya saat ini. Dia ingin sekali pergi dari rumah Talita, tetapi itu tak sopan tanpa berpamitan dengan sang tuan rumah.
Jika dia tetap berada di sana, ia merasa tersiksa dengan segala ketidaknyamanan yang dirasakan. Sinar mencoba untuk tenang. Mengatur napasnya sebelum mengambil keputusan. Hampir sepuluh menit Sinar hanya diam menunggu Talita, tetapi perempuan itu tak kunjung kembali menemuinya. Rumah itu terasa begitu sepi dan Sinar memutuskan untuk beranjak.
Sayangnya, suara pertengkaran dari dalam rumah itu tiba-tiba terdengar di telinganya.
“Mas bilang apa? Sebuah ambisi? Aku melakukan ini demi keutuhan rumah tangga kita. Aku nggak mau ….”
“Saya meninggalkanmu karena kita nggak punya anak. Itu kan yang kamu takutkan selama ini?” Praba memutus ucapan Talita dengan dingin.
Sinar seketika merasakan tubuhnya bergetar. Dia kembali terduduk dengan kepala tertunduk lesu.
“Kamu tidak perlu khawatir. Saya tidak akan meninggalkanmu. Saya akan tetap di sisimu tanpa, atau dengan anak dalam rumah tangga kita. Sudah puas?” Suara Praba kembali mengalun.
Sinar yang mendengar perdebatan sepasang suami istri itu hanya bisa mematung di tempat duduknya. Wajahnya menegang dan degupan jantungnya menggila. Jika Sinar bisa menghilang detik itu juga, dia pasti akan melakukannya. Sinar tidak pernah menyangka akan terjebak dalam masalah rumah tangga orang lain seperti ini.
Sinar tidak mendengar apa pun lagi setelah itu seolah ucapan Praba yang baru saja dimuntahkan itu membuat sebuah ketenangan di hati Talita. Lebih baik dia segera pergi dari rumah ini dan tidak lagi terlibat dengan orang kaya seperti mereka.
Sinar kembali berdiri dan melongokkan kepalanya untuk mencari siapa pun untuk pamit. Namun, Talita ternyata yang muncul.
“Sinar, kamu boleh pergi.” Wajah Talita masih tampak memerah karena luapan emosi yang baru saja dikeluarkan. “Saya akan menghubungimu nanti.”
Sinar mengangguk cepat. Dia juga ingin segera pergi dari rumah tersebut. Bahkan jika dia bisa, Talita tak perlu lagi menghubunginya. Tentang pengobatan adiknya, Sinar tetap akan mengusahakannya.
“Baik, Bu. Saya permisi sekarang.”
Sinar segera membalikkan badannya agar bisa segera keluar dari rumah besar tersebut. Namun, lagi-lagi, Talita memanggilnya membuat langkah Sinar terhenti.
“Supir akan mengantarkanmu. Pastikan ponselmu tetap aktif agar saya mudah menghubungimu.”
Sinar hanya mengangguk sebelum benar-benar keluar dari rumah tersebut. Sebuah mobil hitam sudah menunggunya di depan rumah dan dia segera dipersilakan masuk oleh seorang supir. Hanya karena mengurus ‘perjanjian’ tersebut, dia bahkan lupa dengan adiknya yang tadi ditinggalkan di rumah sakit.
Beruntung, adiknya tiba di rumah dengan selamat, terlihat dari sebuah chat yang remaja itu kirimkan kepadanya.
***
“Pak … Praba.” Sinar dibuat terkejut pagi ini ketika dia baru saja keluar dari rumahnya dan mendapati Praba berdiri di depan pagar rumahnya.
Lelaki itu menatap ke arah rumah Sinar dengan wajah dinginnya dan kedua tangannya dijejalkan ke dalam saku celana. Sinar tidak bisa menebak untuk apa lelaki itu datang pagi-pagi sekali karena bahkan semalam saja mereka tidak saling berbicara kecuali ketika mereka berkenalan.
“Saya perlu bicara sama kamu,” ucap Praba tanpa basa-basi tampak tidak ingin membuang waktunya terlalu lama.
Sinar gugup, jantungnya berdetak tak karuan ketika dia bisa menatap dengan jelas lelaki itu secara langsung. Praba benar-benar sangat tampan. Tubuhnya tinggi dengan pembawaan yang tenang. Dia pasti pengusaha bertangan dingin. Begitu pikir Sinar.
“Maaf, Pak. Kalau boleh saya tahu, apa yang ingin Bapak bicarakan kepada saya?”
“Masuklah!” perintah Praba.
“Maaf?”
“Masuklah ke mobil. Kita bicara di dalam. Saya akan sekalian mengantarkanmu ke tempat kerja.”
Sinar bergeming menatap mobil hitam mewah yang terparkir di depannya dalam keadaan mesin masih menyala. Meneguk ludahnya berkali-kali, tangannya terus meremas tali tas selempangnya.
Meskipun ragu, Sinar akhirnya menuruti permintaan Praba. Duduk di kursi belakang dan tersenyum kecil kepada sopir yang berada di balik kemudi. Sopir yang sama yang mengantarkannya semalam. Mobil hitam itu lantas meluncur meninggalkan rumah Sinar.
Duduk bersebelahan dengan Praba benar-benar membuat Sinar merasa dihakimi. Lelaki itu memang belum berbicara, tetapi dia merasakan ketenangan Praba seperti mengintimidasinya.
“Tolak permintaan Talita untuk melakukan kekonyolan yang ditawarkan kepadamu.” Praba mulai bersuara setelah lima menit dalam keheningan.
“Saya sudah sempat menolaknya, Pak,” jawab Sinar berterus terang.
“Lalu pada akhirnya kamu menerimanya.” Praba menanggapi cepat. “Berapa uang yang ditawarkan?”
Sinar tidak cepat menjawab. Tidakkah Talita menjelaskan kepada Praba tentang perjanjian tersebut? Apa yang akan Sinar terima dan apa yang akan Talita dapatkan dari kesepakatan itu? Seharusnya Talita mengatakan itu kepada Praba sehingga Praba tahu semuanya. Sinar merasa ada yang aneh dengan hubungan suami istri tersebut.
Talita bahkan tidak mengatakan kepada Praba tentang rencana untuk menyewa rahim sampai suaminya itu terkejut saat mengetahuinya.
“Berapapun itu, tolak.” Praba kembali bersuara dengan tegas ketika tak kunjung mendapatkan jawaban dari Sinar.
Sinar menunduk memainkan jari-jarinya yang panjang. Sejujurnya, Sinar juga tidak bersedia melakukan cara ini untuk mendapatkan uang. Namun, dia memikirkan kesehatan adiknya. Semalam dia bahkan tidak bisa tidur karena memikirkan Surya. Dia sungguh takut kehilangan lelaki itu.
Suasana di dalam mobil tersebut hening untuk beberapa saat ketika Sinar bersuara dengan sedikit bergetar.
“Saya bersedia bekerja sama dengan Bu Talita karena kami saling membutuhkan, Pak. Tapi, kalau memang Bapak tidak setuju dengan itu, Bapak bicarakan langsung saja kepada Bu Talita.”
Sinar sengaja tidak mengatakan kesulitan apa yang sedang dihadapinya. Bagi Sinar, kesulitannya tak perlu di share kepada orang yang tidak dikenalnya. Kecuali Talita yang memang sudah mengetahuinya sejak awal.
“Saya sudah berbicara dengannya.” Praba menjawab dingin. “Dan dia kukuh akan melanjutkan ide gilanya. Itulah kenapa saya menemui kamu agar kamu bisa membantu saya menolak permintaannya.”
Kali ini Praba menoleh kepada Sinar dan tatapan mereka bertemu. Hanya beberapa detik, tetapi jantung Sinar sudah tidak terkendali rasanya ketika menatap mata hitam milik Praba. Sinar memutus tatapannya lebih dulu.
“Akan ada prosedur rumit yang akan kamu lakukan dan saya yakin, sebagai seorang perempuan kamu akan dirugikan.”
Sinar meneguk ludahnya susah payah ketika Praba mengatakan hal itu. Dia tak tahu prosedur seperti apa yang akan dilaluinya. Namun, Praba benar. Dia adalah seorang perempuan single. Dia belum pernah menikah. Jika laki-laki yang akan menikahinya nanti tahu jika dia pernah melahirkan, maka sudah pasti, laki-laki itu pasti tidak akan bersedia menerimanya.
Akan tetapi, Sinar tiba-tiba penasaran dengan prosedur rumit yang Praba katakan. Bukankah dokter sudah menjelaskan panjang lebar tentang sewa rahim tersebut? Lalu prosedur apa yang perlu dilakukan?
Penasaran, Sinar lantas bertanya. “Kalau saya boleh tahu, prosedur seperti apa yang Bapak maksud?”
“Pernikahan,” ucap Praba terus terang, “Kamu harus menikah sebelum sewa rahim dilakukan, hal itu menyangkut hukum.”
***
“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya. “Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik. Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat. Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil. Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut. Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya. “Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman
“Kamu ini bicara apa sih, Mas?” Talita mencoba menahan garis wajahnya agar tidak terlihat terganggu. “Aku memberimu izin menikah hanya untuk formalitas. Jadi, mari kita kerja sama.”Sinar kali ini sepertinya sudah tidak bisa lagi mengelak. Ya, keputusan memang ada padanya. Dia bisa menolak dan mengurungkan semua ide gila dan dia terbebas. Lantas apakah akan cukup sampai di sana? Tentu saja tidak. Talita bisa saja memilih orang lain untuk menganggantikannya.Lalu dia? Sinar justru yang akan kelimpungan mencari uang untuk sang adik. Sinar memantapkan pilihan dan keputusannya. Apa pun yang terjadi kedepannya nanti, dia sudah siap. Ini adalah keputusan yang akan diambil.Praba berdiri. Menjejalkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kalian atur saja kapan saya bisa menikah dengan Sinar.” Kali ini lelaki itu menatap Sinar penuh arti. “Dan saya harap kalian tidak pernah menyesalinya.”Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja meninggalkan dua perempuan tersebut di sana. Tidak lagi meno
“Bu Talita bilang, Ibu tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Memasak juga tidak boleh.” Setelah semalaman Sinar hanya sanggup tertidur sebentar, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan memulai masak. Sebagai cook helper yang sudah lama digelutinya, memasak adalah salah satu keahlian Sinar. Sinar bahkan memiliki keinginan suatu saat nanti dia mampu memiliki bisnisnya sendiri berupa rumah makan kecil-kecilan. Namun, dia harus menunda segala keinginan itu dan memfokuskan dirinya pada kehidupannya yang tengah dihadapinya. “Bibi nggak perlu khawatir. Masak itu bukan pekerjaan yang sulit.” Sinar tersenyum kecil menatap Bibi. “Bibi di sini saja, dan Bibi bisa bantu saya.” “Tapi, Bu. Saya takut kalau Bu Talita tahu dan marah. Biar saya saja yang masak.” “Tolong buatkan saya kopi.” Suara berat milik Praba itu menghentikan perdebatan Sinar dan Bibi. Mereka menatap secara serentak ke arah yang sama di mana Praba berada. Lelaki itu tampak segar dengan rambut basahnya. Praba dudu
“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. “Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. “Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebu
“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar ya
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin