Share

Part 3. Prosedur Rumit

“Mas, ini adalah satu-satunya cara agar kita bisa punya anak.” Talita menarik tangan Praba kemudian digenggamnya. “Aku hanya ingin keluarga kita ….”  

“Lupakan!” Praba memutus ucapan Talita. “Saya tidak akan melakukannya.” 

Praba beranjak dari tempat duduknya, melepaskan genggaman tangan Talita dengan kasar sebelum dia pergi dari ruang tamu. Langkah kakinya tegap mengayun dengan pasti. Sinar hanya bisa terpaku di tempatnya dengan menahan napasnya. 

‘Jadi, Talita belum mendiskusikan ini kepada suaminya sebelumnya?’ tanya Sinar di dalam hati. 

Tentu hal wajar ketika suami Talita menolak ide tersebut. Sinar benar-benar merasa hidupnya jungkir balik hanya dalam beberapa jam saja. 

Talita beranjak dari sofa mengejar sang suami. Meninggalkan Sinar yang masih tenggelam dengan pikirannya sendiri. Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja muncul dengan membawa minuman dan menyuguhkannya di depan Sinar.

“Silakan minumannya, Mbak.” Sinar sempat kaget melihat keberadaan perempuan itu sebelum dia tersenyum dan berterima kasih. 

Ruangan itu hening dan hanya terdengar detik jam. Sinar dibuat bimbang dengan situasi yang memeluknya saat ini. Dia ingin sekali pergi dari rumah Talita, tetapi itu tak sopan tanpa berpamitan dengan sang tuan rumah. 

Jika dia tetap berada di sana, ia merasa tersiksa dengan segala ketidaknyamanan yang dirasakan. Sinar mencoba untuk tenang. Mengatur napasnya sebelum mengambil keputusan. Hampir sepuluh menit Sinar hanya diam menunggu Talita, tetapi perempuan itu tak kunjung kembali menemuinya. Rumah itu terasa begitu sepi dan Sinar memutuskan untuk beranjak. 

Sayangnya, suara pertengkaran dari dalam rumah itu tiba-tiba terdengar di telinganya. 

“Mas bilang apa? Sebuah ambisi? Aku melakukan ini demi keutuhan rumah tangga kita. Aku nggak mau ….” 

“Saya meninggalkanmu karena kita nggak punya anak. Itu kan yang kamu takutkan selama ini?” Praba memutus ucapan Talita dengan dingin. 

Sinar seketika merasakan tubuhnya bergetar. Dia kembali terduduk dengan kepala tertunduk lesu. 

“Kamu tidak perlu khawatir. Saya tidak akan meninggalkanmu. Saya akan tetap di sisimu tanpa, atau dengan anak dalam rumah tangga kita. Sudah puas?” Suara Praba kembali mengalun. 

Sinar yang mendengar perdebatan sepasang suami istri itu hanya bisa mematung di tempat duduknya. Wajahnya menegang dan degupan jantungnya menggila. Jika Sinar bisa menghilang detik itu juga, dia pasti akan melakukannya. Sinar tidak pernah menyangka akan terjebak dalam masalah rumah tangga orang lain seperti ini. 

Sinar tidak mendengar apa pun lagi setelah itu seolah ucapan Praba yang baru saja dimuntahkan itu membuat sebuah ketenangan di hati Talita. Lebih baik dia segera pergi dari rumah ini dan tidak lagi terlibat dengan orang kaya seperti mereka. 

Sinar kembali berdiri dan melongokkan kepalanya untuk mencari siapa pun untuk pamit. Namun, Talita ternyata yang muncul.  

“Sinar, kamu boleh pergi.” Wajah Talita masih tampak memerah karena luapan emosi yang baru saja dikeluarkan. “Saya akan menghubungimu nanti.” 

Sinar mengangguk cepat. Dia juga ingin segera pergi dari rumah tersebut. Bahkan jika dia bisa, Talita tak perlu lagi menghubunginya. Tentang pengobatan adiknya, Sinar tetap akan mengusahakannya. 

“Baik, Bu. Saya permisi sekarang.”

Sinar segera membalikkan badannya agar bisa segera keluar dari rumah besar tersebut. Namun, lagi-lagi, Talita memanggilnya membuat langkah Sinar terhenti. 

“Supir akan mengantarkanmu. Pastikan ponselmu tetap aktif agar saya mudah menghubungimu.” 

Sinar hanya mengangguk sebelum benar-benar keluar dari rumah tersebut. Sebuah mobil hitam sudah menunggunya di depan rumah dan dia segera dipersilakan masuk oleh seorang supir. Hanya karena mengurus ‘perjanjian’ tersebut, dia bahkan lupa dengan adiknya yang tadi ditinggalkan di rumah sakit. 

Beruntung, adiknya tiba di rumah dengan selamat, terlihat dari sebuah chat yang remaja itu kirimkan kepadanya. 

*** 

“Pak … Praba.” Sinar dibuat terkejut pagi ini ketika dia baru saja keluar dari rumahnya dan mendapati Praba berdiri di depan pagar rumahnya. 

Lelaki itu menatap ke arah rumah Sinar dengan wajah dinginnya dan kedua tangannya dijejalkan ke dalam saku celana. Sinar tidak bisa menebak untuk apa lelaki itu datang pagi-pagi sekali karena bahkan semalam saja mereka tidak saling berbicara kecuali ketika mereka berkenalan. 

“Saya perlu bicara sama kamu,” ucap Praba tanpa basa-basi tampak tidak ingin membuang waktunya terlalu lama.  

Sinar gugup, jantungnya berdetak tak karuan ketika dia bisa menatap dengan jelas lelaki itu secara langsung. Praba benar-benar sangat tampan. Tubuhnya tinggi dengan pembawaan yang tenang. Dia pasti pengusaha bertangan dingin. Begitu pikir Sinar. 

“Maaf, Pak. Kalau boleh saya tahu, apa yang ingin Bapak bicarakan kepada saya?” 

“Masuklah!” perintah Praba. 

“Maaf?” 

“Masuklah ke mobil. Kita bicara di dalam. Saya akan sekalian mengantarkanmu ke tempat kerja.” 

Sinar bergeming menatap mobil hitam mewah yang terparkir di depannya dalam keadaan mesin masih menyala. Meneguk ludahnya berkali-kali, tangannya terus meremas tali tas selempangnya. 

Meskipun ragu, Sinar akhirnya menuruti permintaan Praba. Duduk di kursi belakang dan tersenyum kecil kepada sopir yang berada di balik kemudi. Sopir yang sama yang mengantarkannya semalam. Mobil hitam itu lantas meluncur meninggalkan rumah Sinar. 

Duduk bersebelahan dengan Praba benar-benar membuat Sinar merasa dihakimi. Lelaki itu memang belum berbicara, tetapi dia merasakan ketenangan Praba seperti mengintimidasinya. 

“Tolak permintaan Talita untuk melakukan kekonyolan yang ditawarkan kepadamu.” Praba mulai bersuara setelah lima menit dalam keheningan. 

“Saya sudah sempat menolaknya, Pak,” jawab Sinar berterus terang. 

“Lalu pada akhirnya kamu menerimanya.” Praba menanggapi cepat. “Berapa uang yang ditawarkan?” 

Sinar tidak cepat menjawab. Tidakkah Talita menjelaskan kepada Praba tentang perjanjian tersebut? Apa yang akan Sinar terima dan apa yang akan Talita dapatkan dari kesepakatan itu? Seharusnya Talita mengatakan itu kepada Praba sehingga Praba tahu semuanya. Sinar merasa ada yang aneh dengan hubungan suami istri tersebut. 

Talita bahkan tidak mengatakan kepada Praba tentang rencana untuk menyewa rahim sampai suaminya itu terkejut saat mengetahuinya. 

“Berapapun itu, tolak.” Praba kembali bersuara dengan tegas ketika tak kunjung mendapatkan jawaban dari Sinar.   

Sinar menunduk memainkan jari-jarinya yang panjang. Sejujurnya, Sinar juga tidak bersedia melakukan cara ini untuk mendapatkan uang. Namun, dia memikirkan kesehatan adiknya. Semalam dia bahkan tidak bisa tidur karena memikirkan Surya. Dia sungguh takut kehilangan lelaki itu. 

Suasana di dalam mobil tersebut hening untuk beberapa saat ketika Sinar bersuara dengan sedikit bergetar. 

“Saya bersedia bekerja sama dengan Bu Talita karena kami saling membutuhkan, Pak. Tapi, kalau memang Bapak tidak setuju dengan itu, Bapak bicarakan langsung saja kepada Bu Talita.” 

Sinar sengaja tidak mengatakan kesulitan apa yang sedang dihadapinya. Bagi Sinar, kesulitannya tak perlu di share kepada orang yang tidak dikenalnya. Kecuali Talita yang memang sudah mengetahuinya sejak awal. 

“Saya sudah berbicara dengannya.” Praba menjawab dingin. “Dan dia kukuh akan melanjutkan ide gilanya. Itulah kenapa saya menemui kamu agar kamu bisa membantu saya menolak permintaannya.” 

Kali ini Praba menoleh kepada Sinar dan tatapan mereka bertemu. Hanya beberapa detik, tetapi jantung Sinar sudah tidak terkendali rasanya ketika menatap mata hitam milik Praba. Sinar memutus tatapannya lebih dulu. 

“Akan ada prosedur rumit yang akan kamu lakukan dan saya yakin, sebagai seorang perempuan kamu akan dirugikan.”

Sinar meneguk ludahnya susah payah ketika Praba mengatakan hal itu. Dia tak tahu prosedur seperti apa yang akan dilaluinya. Namun, Praba benar. Dia adalah seorang perempuan single. Dia belum pernah menikah. Jika laki-laki yang akan menikahinya nanti tahu jika dia pernah melahirkan, maka sudah pasti, laki-laki itu pasti tidak akan bersedia menerimanya. 

Akan tetapi, Sinar tiba-tiba penasaran dengan prosedur rumit yang Praba katakan. Bukankah dokter sudah menjelaskan panjang lebar tentang sewa rahim tersebut? Lalu prosedur apa yang perlu dilakukan?

Penasaran, Sinar lantas bertanya. “Kalau saya boleh tahu, prosedur seperti apa yang Bapak maksud?” 

“Pernikahan,” ucap Praba terus terang, “Kamu harus menikah sebelum sewa rahim dilakukan, hal itu menyangkut hukum.” 

***  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status