Share

Istri Kedua yang Diinginkan
Istri Kedua yang Diinginkan
Penulis: Loyce

Part 1. Derita Sinar

“Penyakit adikmu sudah dalam tahap parah, Sinar. Akibat komplikasi, penanganan harus segera dilakukan terhadap organ tubuhnya sebelum kita bisa melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Perlu setidaknya 1 sampai 2 miliar untuk menuntaskan segalanya.”

Mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi adiknya, mata Sinar terbelalak lebar.

Semenjak kematian orang tuanya 7 tahun yang lalu, Sinar terbiasa hidup mandiri selagi merawat adik laki-laki satu-satunya, Surya. Dibantu dengan sejumlah peninggalan orang tua mereka, hidup Surya dan Sinar sangatlah cukup.

Namun, setelah Surya didiagnosis memiliki penyakit Thalasemia bawaan, lambat laun uang peninggalan itu habis dan Sinar bahkan harus bekerja paruh waktu sembari kuliah untuk bisa bertahan hidup.

Sekarang, dokter berkata penyakit adiknya semakin parah dan memerlukan setidaknya dua miliar untuk bisa ditangani? Sinar mau dapat dari mana uang sebanyak itu?

Dengan air mata tertahan dan dada yang sesak, Sinar langsung bertanya, “Apa … tidak ada keringanan, Dok?”

Dokter tersebut menggelengkan kepala. “Maaf, Sinar,” ucapnya, membuat Sinar menutup wajah dengan kedua tangan karena air mata yang langsung mengalir deras.

Tepat di saat Sinar mulai menangis, pintu mendadak dibuka oleh seseorang dari luar. “Arkana, aku … oh—” Melihat sang dokter memiliki tamu, wanita tersebut tampak terkejut. Dia mendapati dokter itu menggelengkan kepala dan langsung mengangguk. “Aku tunggu di luar.”

Setelah pintu kembali tertutup, Arkana—sang dokter—menatap Sinar dengan iba. Selaku dokter yang sedari awal menangani adik wanita tersebut, dia sudah tahu jelas mengenai kehidupan malang dua saudara tersebut. Alhasil, hatinya pun tak elak merasa sesak dan kasihan melihat kesulitan yang dihadapi Sinar.

“Sinar, kamu pikirkan baik-baik terlebih dahulu untuk langkah selanjutnya. Kalau memang masih kesulitan terkait uang, maka kita mulai dari yang paling sederhana, yaitu penanganan organ dalamnya,” jelas Arkana dengan lembut.

Namun, hal itu tidak mampu menghentikan tangisan Sinar. Lagi pula, pun dimulai dari penanganan organ, paling tidak perlu uang puluhan hingga ratusan juta sebagai biaya.

Tidak tahu harus bagaimana, Sinar pun berujung meminta waktu berpikir dan pergi meninggalkan ruangan dokter. Dia tidak ingin mengganggu dokter Arkana yang pastinya sangat sibuk.

Melangkah gontai keluar ruangan dokter, Sinar mencapai kursi taman rumah sakit. Di sana, dia menangis sejadi-jadinya memikirkan nasib sang adik yang begitu malang.

“Maafkan Kakak, Surya ... Kakakmu ini memang tidak berguna.” Air mata masih deras menuruni wajah Sinar.

Surya adalah satu-satunya adik Sinar dan sanak saudara terakhir yang wanita itu miliki di dunia ini. Tentunya, Sinar tidak ingin kehilangan pemuda tersebut.

Namun, apa daya dirinya tidak memiliki uang untuk membiayai pengobatan adiknya itu?

Tepat di saat kesedihan menggelungnya, ponsel Sinar berdering. Gadis itu cepat-cepat mengeluarkan benda pipih tersebut dan melihat siapa yang meneleponnya.

Ternyata, itu adalah sang adik.

Cepat-cepat, Sinar langsung menghapus air matanya dan menenangkan diri. Dia tidak ingin Surya tahu kalau dirinya baru saja menangis.

“Halo?”

“Kak, aku sudah selesai terapi.”

Mendengar suara tenang Surya, satu tetes air mata Sinar kembali mengalir. Adiknya yang malang itu terdengar begitu kuat, bahkan setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit yang membuatnya menderita.

“Oke, kamu tunggu, ya. Kakak segera ke sana,” ucap Sinar.

Sebelum Sinar sempat mematikan panggilan, tiba-tiba dia mendengar Surya berkata, “Kakak habis menangis?”

Pertanyaan itu membuat Sinar membeku. Dari mana adiknya tahu? Apa suaranya separau itu?

“Enak saja. Memangnya Kakak umur berapa masih sembarangan menangis? Kamu kali,” balas Sinar, memaksakan senyuman untuk terlukis di bibirnya.

Selama sesaat, telepon di sisi lain hening. Kemudian, Sinar mendengar Surya kembali angkat bicara, “Kakak, sepertinya kelelahan, Kakak perlu istirahat. Jangan memaksakan diri.” Pemuda itu melanjutkan, “Kalau Surya hidup hanya sebagai beban untuk Kakak, maka Surya lebih baik ma—”

“Surya!” bentak Sinar, menghentikan ucapan sang adik. Dia tidak peduli berapa banyak orang yang menatapnya aneh karena berteriak sekencang itu. “Kamu jangan bicara sembarangan. Kakak nggak menangis. Kakak baik-baik saja. Sudah, kamu tunggu saja di sana. Kakak jemput sekarang.”

Tanpa menunggu balasan Surya, Sinar langsung mematikan telepon tersebut. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menarik napas dalam untuk sedikit mendinginkan pikiran.

“Aku harus apa sekarang …?” gumam Sinar. Pikiran gadis itu mulai meliar. “Haruskah aku jual ginjal saja?”

Tepat di saat ini, sebuah suara berucap, “Tidak perlu.”

Sinar terkejut dan langsung mengangkat pandangan. Dia melihat sosok wanita berpakaian elegan yang berdiri di hadapan sembari tersenyum lembut kepada dirinya.

Walau samar, tapi Sinar ingat bahwa itu adalah wanita yang sempat berniat masuk ke ruangan Dokter Arkana saat dia masih ada di sana beberapa waktu lalu.

Alis Sinar tertaut, tampak bingung dengan maksud ucapan wanita itu. “Maaf, Anda … bicara dengan saya?” tanyanya ragu.

Perlahan, wajah wanita itu berubah serius dan dia berkata, “Saya bisa membantumu menanggung seluruh biaya pengobatan adikmu.”

Seketika, mata Sinar membola. “Apa?” Dia menelan ludah. Tidak ada hal di dunia yang gratis, jadi … Sinar langsung bertanya, “Apa syaratnya?”

“Sebelumnya, mari kita berkenalan lebih dulu.” Perempuan itu mengulurkan tangannya. “Talita.”

Sinar mengangguk dan menyambutnya. “Sinar.” Dia kembali bertanya, “Jadi, apa yang Ibu perlukan dari saya sehingga bersedia menawarkan biaya sebesar itu?”

Talita menarik ujung bibirnya membentuk sebuah seringai. Kemudian, dia berkata, “Pinjamkan rahimmu kepada saya.”

“Maaf?” Kening Sinar berkerut dalam. “Maksud Ibu apa?”

“Saya menginginkan seorang anak, tapi tidak mampu hamil. Jadi, saya ingin kamu hamil dan melahirkan anak untuk saya.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status