"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya.
"Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu. "Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi. "Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia. "Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu. Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan. Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu. "Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi instruksi. "Baik, Bu," jawab anak itu patuh. Livia memberi senyum tipis. Hazel adalah anak yang baik. Dia juga cepat beradaptasi dengan Livia. Tepat di saat Livia masuk ke kamarnya ketika itulah ia mendengar ponsel Rajendra berbunyi. Sekilas Livia melihat nama Utary terpampang di sana. Lelaki itu langsung menjawab. "Halo." "Ndra, tolong datang ke sini. Perut aku sakit banget," rintih Utary di seberang sana. "Kamu udah periksa ke dokter?" "Udah, Ndra. Tadi aku ke dokter. Tapi nggak tahu kenapa sakit lagi. Ini pasti akibat kena troli waktu itu." Dengan refleks Rajendra memindahkan matanya ke arah Livia. Dipandangnya perempuan tersebut dengan sorot tajam. Livia menghindar dengan cara memandang ke arah lain. Ia selalu tidak bisa untuk membalas tatapan Rajendra. Tatapan tajam bagai pisau yang seakan membelah tubuhnya menjadi dua. Satu kali pun Livia tidak pernah menemukan Rajendra menatapnya dengan biasa, alih-alih hangat. "Rajendra, kamu masih di sana?" suara Utary kembali membelai gendang telinga Rajendra. "Ya." "Aku nggak bisa sendiri. Tolong ke sini ya, Ndra. Aku takut terjadi sesuatu pada anak kita." Seketika jantung Rajendra menghentak dengan cepat ketika mendengar kata 'anak kita' disebut. Mendadak perasaan gundah mengisi hatinya. Ia benar-benar khawatir. "Tary, Tary, kamu tenang dulu. Oke? Jangan panik, aku akan segera ke sana," putus Rajendra tanpa pikir panjang. "Jangan lama-lama ya, Ndraaa ..." Utary masih merengek seperti tadi. "Iya." Rajendra menyimpan ponsel ke dalam saku celananya setelah selesai menelepon. Disambarnya kunci mobil lalu bersiap pergi. "Kamu mau ke mana?" Livia menanyakannya tepat ketika langkah Rajendra tiba di ambang pintu kamar. Rajendra membuang napasnya berat. Kesal menatap Livia. "Parut Utary sakit, dan itu karena kamu. Puas?" Rajendra tidak memberi waktu pada Livia untuk membalas perkataannya. Lelaki itu keburu menarik langkah panjang. Livia hanya bisa mengelus dada seperti yang sudah-sudah. Setelah les berakhir dan Ryuga menjemput Hazel, Rajendra masih belum pulang. Sampai larut malam Livia menunggu tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan kembali. Livia menatap layar ponselnya yang berwallpaper foto pernikahan dirinya dan Rajendra. Livia tidak pernah mengganti wallpaper itu karena momen pernikahan tersebut begitu berarti baginya. Pada awalnya Livia memang tidak menaruh perasaan apa pun pada Rajendra. Namun, seiring waktu yang berganti perasaannya mulai tumbuh pada laki-laki itu. Livia sangat mencintai Rajendra meskipun yang dimiliki lelaki itu hanyalah kebencian untuknya. *** Rajendra masih berada di apartemen Utary. Perempuan itu bergelung manja dalam pelukannya. Sejak Rajendra datang berjam-jam yang lalu Utary tidak mau lepas dari laki-laki itu barang sebentar. "Gimana? Masih sakit?" tanya Rajendra. "Masih. Ini semua gara-gara perempuan pincang itu!" ketus Utary penuh kebencian yang ditujukannya terhadap Livia. Rajendra hanya diam, tetapi tangannya tak henti membelai kepala dan punggung Utary bergantian. "Jangan cuma diam dong, Ndra! Lakukan sesuatu," kesal Utary melihat sikap yang ditunjukkan kekasihnya. "Aku udah marahi dan kasih dia peringatan." "Kalau hanya itu dia nggak akan kapok. Kamu harus ceraikan dia secepatnya." "Pasti. Aku akan ceraikan dia tapi nggak sekarang. Tunggu kakinya sembuh dulu. Aku udah pernah bilang hal ini sebelumnya kan? Karena jika aku ceraikan dia sekarang aku bisa dipenjara." Utary berdecak. "Jadi kapan kakinya akan sembuh?" tuntut perempuan itu tidak sabar. "Aku juga nggak tahu. Tapi kurasa nggak bakal lama lagi. Apalagi dia rutin menjalani pengobatan." Kata-kata yang diucapkan Rajendra sedikit menghibur hati Utary. Ia percaya dalam waktu dekat ini Livia akan sembuh. Jadi ia bisa memiliki Rajendra seutuhnya untuk dirinya sendiri. Utary sudah tidak sabar menunggu waktu itu tiba. Saat keduanya sedang cuddling tiba-tiba saja handphone Rajendra berbunyi menginterupsi kemesraan keduanya. Rajendra menghela napas lantaran merasa terganggu. Namun ia tetap mengambil benda itu. Saat melihat nama yang tertera di sana decakan kesal meluncur dari mulutnya. "Dari siapa, Ndra?" tanya Utary menyadari raut jengkel kekasihnya. "Livia." Wajah Utary ikut berubah jengkel, begitu pun dengan perasaannya. Mau apa Livia menelepon tengah malam begini? "Ngapain sih dia? Ganggu orang aja!" Utary merebut ponsel tersebut dari tangan Rajendra. Ketika terdengar nada dering sekali lagi, digesernya tanda answer untuk menjawab panggilan tersebut. "Halo!" sapanya ketus dan keras. Livia yang menelepon di seberang sana terdiam selama beberapa detik. Terkejut karena yang menjawab panggilan di handphone Rajendra bukanlah lelaki itu melainkan perempuan. Ia tidak familier dengan suara yang ia dengar, tapi Livia bisa menebak siapa perempuan tersebut. "Utary?" "Ya, ini aku. Mau apa?!" Utary masih seketus sebelumnya. "Kenapa kamu yang memegang handphone Rajendra? Dia mana? Tolong kasih handphone ini ke dia. Saya mau bicara dengan suami saya." "Dia sudah tidur di pelukanku. Jangan pernah menelepon dan mengganggu kami lagi. Paham?" Klik! Sambungan diputus secara sepihak sebelum Livia sempat berbicara dengan Rajendra. "Ganggu aja!" Utary mendumel sendiri. Ia bermaksud untuk menon-aktifkan handphone Rajendra, tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Utary mengambil foto wefie dengan beberapa kali pose. Di antaranya adalah pose ia memeluk Rajendra, mencium lelaki itu dan pose Rajendra memeluk serta menciumnya. Setelahnya Utary mengirim foto-foto laknat itu ke nomor Livia. Utary tersenyum puas. Ia bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati Livia setelah melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain. "Tar, aku pulang sekarang ya?" Rajendra berucap sewaktu Utary memejamkan mata dalam pelukannya. Mendengar hal itu Utary kembali membuka mata. "Kamu tega ninggalin aku? Aku hanya sendiri di sini. Aku juga lagi hamil anak kamu," ucap perempuan itu dengan raut sedih. "Besok kita bisa ketemu lagi, Tar. Aku janji akan usahain biar kita bisa ketemu setiap hari." "Kamu selalu bilang begitu, tapi nggak ada realisasinya. Tiap aku tanya kamu selalu bilang sibuk kerja padahal sibuk sama perempuan pincang itu." "Udah ah, nggak usah bawa-bawa dia. Gini aja, malam ini aku nginap di sini tapi jangan marah lagi ya." Bersama ucapannya Rajendra mengecup lembut kening Utary yang membuat perempuan itu tersenyum bahagia. "Andai setiap hari kita bisa sama-sama aku pasti akan jadi perempuan paling bahagia di dunia ini." Utary mulai berandai-andai dalam pelukan Rajendra. "Memangnya sekarang kamu nggak bahagia?" uji Rajendra. "Bahagia, tapi belum lengkap. Hidupku baru akan sempurna kalau kita menikah. Aku harap dia segera sembuh agar kamu bisa menceraikan dia." Rajendra terdiam tanpa mampu mengatakan apa pun. "Ndra, kamu nggak kasihan sama aku tinggal sendiri di sini? Gimana kalau misalnya perut aku sakit lagi terus aku pingsan atau jatuh? Kita bisa kehilangan anak." "Ssst, udah, Tar, jangan bicara yang enggak-enggak," larang Rajendra. Ia tidak ingin mendengar kemungkinan terburuk itu. "Makanya, Ndra, aku harus ada yang menemani. Menurutmu gimana kalau kita tinggal bersama? Maksudku aku juga tinggal di rumahmu, jadi ada yang menjagaku dan kita bisa bertemu setiap hari. Kamu mau kan, Ndra? Please, mau ya ..." Utary kembali merengek agar Rajendra mengabulkan keinginannya. ***Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
"Kenapa lama?" Baru saja Livia menginjakkan kaki di dalam rumah ia langsung disambut oleh pertanyaan tersebut yang berasal dari mulut Rajendra."Tadi apotiknya tutup jadi saya mencari apotik lain," jawab Livia menyampaikan alasannya.Rajendra mendengkus. Tidak percaya pada alasan istrinya begitu saja."Siapa yang mengantarmu pulang?" tanyanya lagi meski ia tahu persis siapa lelaki yang mengantar istrinya."Kamu mengintip saya?""Bukan mengintip tapi suara mobilnya yang berisik membuat tidur kekasihku jadi terganggu."Livia tersenyum getir. Rajendra terlalu berlebihan. Suara mobil Ryuga tidaklah keras."Kenapa nggak dijawab? Siapa yang mengantarmu pulang?" "Kamu pasti tahu siapa yang mengantar saya. Bukankah kamu melihatnya sendiri?" Mendengar kalimat Livia yang terkesan sedang melawannya membuat amarah Rajendra semakin menjadi."Hanya perempuan murahan yang mau diantar lelaki asing.""Lebih murahan mana saya atau kekasihmu yang nggak tahu malu itu?"Tangan Rajendra sontak naik ke u
"Livia! Bangun!" Sepasang mata Livia terbuka ketika ia mendengar suara keras suaminya. Tampak Rajendra sedang menatapnya dengan nyalang. Di dekat lelaki itu ada Utary yang sedang muntah.Livia mengusap matanya yang berat digayuti kantuk. Kemarin malam setelah dipaksa Rajendra Livia akhirnya tidur di kamar. Di sofa dinginnya seperti biasa. Livia baru bisa memejamkan matanya menjelang pukul tiga pagi. Itulah sebabnya kenapa ia masih merasa ngantuk."Bersiin itu terus buatin teh hangat untuk Utary," kata Rajendra memberi perintah.Livia menatap nanar pada lantai yang berserakan muntah Utary. Ia hanya bisa mengelus dada. Apa Utary tidak bisa muntah di kamar mandi?"Buruan! Tunggu apa lagi?!" bentak Rajendra melihat Livia diam termangu.Dengan matanya yang masih mengantuk Livia bangun dari sofa. Sambil bertumpu pada tongkatnya Livia terpincang seperti biasa. Namun akibat terburu-buru ia jatuh terpeleset."Aduh!" rintihnya sambil meringis kesakitan.Utary yang melihat pemandangan itu tert
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de
Pagi hari saat Livia sedang bersiap-siap menyediakan sarapan ia mendengar tangisan Randu yang diiringi pekikan Utary."Ndraaa, bantuin aku dong! Randu nangis terus nih!"Tidak ada jawaban dari Rajendra karena pria itu juga sedang bersiap-siap di kamarnya untuk berangkat kerja."Rajendraaaa! Bantuin dong. Anak kamu nangis mulu nih!" Teriakan Utary menggema sekali lagi yang membuat Livia tidak tahan.Livia meninggalkan meja makan lalu meraih tongkatnya. Ia menuju kamar Utary.Livia menemukan Utary sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan si kecil Randu ia biarkan menangis di dalam box-nya."Tary, Randu kenapa?" tanya Livia baik-baik."Udah tahu nanya!" balas Utary sewot. "Lagian Rajendra yang aku panggil kenapa kamu yang ke sini?"Livia menahan napas sambil mencoba tetap bersabar menghadapi Utary meskipun kata-katanya terdengar kasar."Rajendra lagi siap-siap mau berangkat kerja. Mungkin sekarang baru selesai mandi."Kemudian Livia berjalan mendekat. Ia letakkan tongkatnya di samping tem
Utary telah kembali berada di rumah setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Rumah menjadi lebih hidup oleh tangisan dan rengekan Randu. Rajendra juga jadi rajin pulang lebih cepat dari kantor. Hal pertama yang ia lakukan setiap kali tiba di rumah adalah mencari Randu. Ia menggendong anak itu dan menciuminya dengan kasih sayang.Hanya saja Livia merasa miris melihat Randu yang masih bayi tidak menerima ASI dari ibunya. Utary beralasan air susunya tidak ada. Padahal yang sebenarnya terjadi ia malas menyusui, begadang tengah malam dan khawatir bentuk payudaranya akan rusak.Setiap malam ketika tangisan keras Randu membangunkan seisi rumah, Utary selalu mengabaikannya. Perempuan itu tetap tidur atau beralasan kondisinya masih belum pulih dan dia berdalih harus banyak beristirahat.Rajendralah yang nengambil alih tugas Utary. Saat randu terbangun tengah malam ia yang mengurus sang putra sementara Utary tidur nyenyak karena mengaku kelelahan mengurus Randu saat siang.Mulai dari menggendon
Livia Mellanie duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sangkit. Tongkatnya ia sandarkan ke samping. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk menatap lantai putih rumah sakit. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau namun seribu tanya terus berputar-putar di kepalanya.Untuk apa aku di sini? Apa aku akan tetap bertahan? Sementara Rajendra sudah memiliki kehidupan yang lengkap dan begitu bahagia. Apakah ini saatnya untuk mundur? Apa lebih baik ia kabur saja ke tempat yang jauh?Derap langkah kaki yang mendekat membuat Livia mengangkat kepala dan memandang ke arah tersebut. Rajendra muncul. Ia tidak sendiri. Ada bayi mungil terbungkus selimut biru di dalam dekapannya. Livia bisa melihat dengan jelas betapa rona kebahagiaan menghiasi wajah Rajendra.Rajendra semakin mendekat ke arah Livia."Liv, ini anakku," ucapnya pelan sambil menunjukkannya pada Livia.Livia mengulas senyum. Dipandanginya Rajendra dan bayi yang sedang digendongnya. Bay
Livia yang masih terjaga dan asyik menciumi Rajendra tersentak ketika mendengar ketukan dan suara lirih di pintu. Semula ia mengira itu hanya halusinasinya lantaran terlalu lelah. Namun suara itu terus terdengar. Buru-buru Livia menjauhkan mulutnya dari kening Rajendra. Livia berdiri lalu berjalan menuju pintu dengan bantuan tongkatnya. Ketika daun pintu terbuka ia dibuat termangu oleh pemandangan yang dilihatnya.Kekasih suaminya sedang terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil dan badannya basah oleh keringat. Sementara tangannya terus mengusap-usap perut."Tary!" seru Livia panik. "Kenapa begini?" Livia bersimpuh di dekat Utary mengamati keadaan wanita itu."Tolong ... aku, Liv. Perutku ... sakit ... banget ..." Utary merintih dengan suara putus-putus.Livia mencoba membantu Utary bangun namun ia juga tidak berdaya. Dengan segera ia kembali ke kamar untuk membangunkan Rajendra."Bangun, Ndra! Rajendra, bangun! Utary lagi kontraksi. Kayaknya dia bakal ngelahirin!" seru Livia panik. N
Livia dibuat termangu oleh permintaan Rajendra. Bibirnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Livia menatap wajah Rajendra yang tampak lelah dengan mata yang hampir terpejam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ditelannya kembali.Jauh di dalam hatinya ada amarah yang mendidih, tetapi juga rasa sayang yang masih bertahta."Baik." Akhirnya Livia menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar.Rajendra membalas dengan anggukan kepala, tidak menangkap perasaan apa pun yang terefleksi dari tatapan Livia. Ia segera menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Dalam sekejap lelaki itu terlelap.Keluar dari kamar, Livia menujukan langkahnya ke kamar Utary. Diketuknya pintu dengan perlahan."Ngapain sih, Ndra, pake ketuk pintu segala?" Suara Utary terdengar dari dalam. Livia memutar gagang pintu dan mendorongnya. Tatapan Utary seketika berubah penuh kecurigaan ketika tahu Livialah yang datang. Tadinya ia pikir Rajendra."Rajendra mana?" Utary bertanya dengan nad
Livia terdiam memandangi Utary yang tersenyum dengan penuh kemenangan. Perkataan wanita itu menggema di kepalanya tanpa mampu ia singkirkan.Di sisi pahanya sebelah tangan Livia yang bebas terkepal. Dadanya terlalu sesak. Dengan keberanian yang mulai terkumpul Livia mengangkat dagu, mempertemukan tatapannya dengan mata Utary."Utary ..." Suara Livia begitu tenang. "Saya nggak akan peduli apa pun yang kamu katakan. Tapi satu hal yang jelas saya adalah istri Rajendra satu-satunya yang sah baik dari segi agama ataupun negara. Apa pun yang terjadi, posisi itu nggak akan berubah."Hati Utary panas mendengarnya namun perempuan itu menutupi dengan tawa. Tawa sinis yang terkesan meremehkan. "Kamu itu cuma istri di atas kertas, Livia. Sadar nggak sih? Sedangkan di hati Rajendra kamu bukan siapa-siapa."Puncak kemarahan Livia sudah sampai ubun-ubun tapi ia tetap berusaha menahan diri. "Dan apa kamu tahu apa yang nggak berubah dari Rajendra?"Dahi Utary berkerut. Ia bingung tapi tertarik ingin t
Sore ini Livia sedikit bersantai. Ketiadaan Utary di di rumah tersebut benar-benar membuatnya bebas dan lega. Livia tidak peduli sekarang Utary ada di mana. Yang penting tidak lagi berada di rumah itu.Saat Livia sedang asyik menonton berita sore ia mendengar suara mobil Rajendra. Tumben Rajendra pulang sore, pikirnya.Livia bangkit dari tempat duduknya, bergegas meraih tongkat kemudian berjalan terpincang-pincang untuk menyambut Rajendra. Ketika pintu rumah ia buka alangkah kagetnya Livia. Rajendra tidak sendiri. Lelaki itu membukakan pintu penumpang bagian depan. Utary keluar dari sana dengan wajah ceria. Selanjutnya Rajendra mengeluarkan kantong belanjaan dan barang-barang dari mobilnya. Rupanya mereka baru pulang membeli peralatan dan perlengkapan bayi.Mengetahui Utary telah kembali dada Livia terasa sesak. Kelegaan yang sempat hadir lenyap begitu saja. Kebebasannya seakan kembali direnggut. Dan ia harus kembali berbagi Rajendra."Kenapa masih berdiri di sana? Bantuin!" perintah
Pagi ini Livia terbangun jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Kehangatan tubuh Rajendra yang mendekapnya sepanjang malam masih dirasakannya. Dan untuk pertama kalinya Livia tidak merasa sendirian di ruangan itu.Kedua bola mata Livia mengamati wajah suaminya yang masih tertidur. Wajah Rajendra lebih damai dari biasanya. Jantung Livia berdebar-debar tak karuan, berharap kehangatan ini bertahan lebih lama.Sejurus kemudian keinginan itu dipengaruhi oleh keraguan. Apakah semua ini hanya berlangsung sesaat saja? Atau Rajendra benar-benar mulai menerima dirinya apa adanya?Di saat Livia bergerak untuk bangun dari tempat tidur, tangan Rajendra mengeratkan dekapannya. Suara lelaki itu pun terdengar yang sepertinya masih separuh sadar."Jangan bangun dulu," ujarnya.Livia langsung termangu. Ia tidak pernah mendengar nada selembut itu keluar dari mulut Rajendra untuknya."Kenapa nggak boleh bangun?" Livia tidak mengerti.Rajendra mengubur wajahnya di rambut Livia lalu menggumam pelan, "