"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya.
"Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu. "Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi. "Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia. "Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu. Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan. Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu. "Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi instruksi. "Baik, Bu," jawab anak itu patuh. Livia memberi senyum tipis. Hazel adalah anak yang baik. Dia juga cepat beradaptasi dengan Livia. Tepat di saat Livia masuk ke kamarnya ketika itulah ia mendengar ponsel Rajendra berbunyi. Sekilas Livia melihat nama Utary terpampang di sana. Lelaki itu langsung menjawab. "Halo." "Ndra, tolong datang ke sini. Perut aku sakit banget," rintih Utary di seberang sana. "Kamu udah periksa ke dokter?" "Udah, Ndra. Tadi aku ke dokter. Tapi nggak tahu kenapa sakit lagi. Ini pasti akibat kena troli waktu itu." Dengan refleks Rajendra memindahkan matanya ke arah Livia. Dipandangnya perempuan tersebut dengan sorot tajam. Livia menghindar dengan cara memandang ke arah lain. Ia selalu tidak bisa untuk membalas tatapan Rajendra. Tatapan tajam bagai pisau yang seakan membelah tubuhnya menjadi dua. Satu kali pun Livia tidak pernah menemukan Rajendra menatapnya dengan biasa, alih-alih hangat. "Rajendra, kamu masih di sana?" suara Utary kembali membelai gendang telinga Rajendra. "Ya." "Aku nggak bisa sendiri. Tolong ke sini ya, Ndra. Aku takut terjadi sesuatu pada anak kita." Seketika jantung Rajendra menghentak dengan cepat ketika mendengar kata 'anak kita' disebut. Mendadak perasaan gundah mengisi hatinya. Ia benar-benar khawatir. "Tary, Tary, kamu tenang dulu. Oke? Jangan panik, aku akan segera ke sana," putus Rajendra tanpa pikir panjang. "Jangan lama-lama ya, Ndraaa ..." Utary masih merengek seperti tadi. "Iya." Rajendra menyimpan ponsel ke dalam saku celananya setelah selesai menelepon. Disambarnya kunci mobil lalu bersiap pergi. "Kamu mau ke mana?" Livia menanyakannya tepat ketika langkah Rajendra tiba di ambang pintu kamar. Rajendra membuang napasnya berat. Kesal menatap Livia. "Parut Utary sakit, dan itu karena kamu. Puas?" Rajendra tidak memberi waktu pada Livia untuk membalas perkataannya. Lelaki itu keburu menarik langkah panjang. Livia hanya bisa mengelus dada seperti yang sudah-sudah. Setelah les berakhir dan Ryuga menjemput Hazel, Rajendra masih belum pulang. Sampai larut malam Livia menunggu tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan kembali. Livia menatap layar ponselnya yang berwallpaper foto pernikahan dirinya dan Rajendra. Livia tidak pernah mengganti wallpaper itu karena momen pernikahan tersebut begitu berarti baginya. Pada awalnya Livia memang tidak menaruh perasaan apa pun pada Rajendra. Namun, seiring waktu yang berganti perasaannya mulai tumbuh pada laki-laki itu. Livia sangat mencintai Rajendra meskipun yang dimiliki lelaki itu hanyalah kebencian untuknya. *** Rajendra masih berada di apartemen Utary. Perempuan itu bergelung manja dalam pelukannya. Sejak Rajendra datang berjam-jam yang lalu Utary tidak mau lepas dari laki-laki itu barang sebentar. "Gimana? Masih sakit?" tanya Rajendra. "Masih. Ini semua gara-gara perempuan pincang itu!" ketus Utary penuh kebencian yang ditujukannya terhadap Livia. Rajendra hanya diam, tetapi tangannya tak henti membelai kepala dan punggung Utary bergantian. "Jangan cuma diam dong, Ndra! Lakukan sesuatu," kesal Utary melihat sikap yang ditunjukkan kekasihnya. "Aku udah marahi dan kasih dia peringatan." "Kalau hanya itu dia nggak akan kapok. Kamu harus ceraikan dia secepatnya." "Pasti. Aku akan ceraikan dia tapi nggak sekarang. Tunggu kakinya sembuh dulu. Aku udah pernah bilang hal ini sebelumnya kan? Karena jika aku ceraikan dia sekarang aku bisa dipenjara." Utary berdecak. "Jadi kapan kakinya akan sembuh?" tuntut perempuan itu tidak sabar. "Aku juga nggak tahu. Tapi kurasa nggak bakal lama lagi. Apalagi dia rutin menjalani pengobatan." Kata-kata yang diucapkan Rajendra sedikit menghibur hati Utary. Ia percaya dalam waktu dekat ini Livia akan sembuh. Jadi ia bisa memiliki Rajendra seutuhnya untuk dirinya sendiri. Utary sudah tidak sabar menunggu waktu itu tiba. Saat keduanya sedang cuddling tiba-tiba saja handphone Rajendra berbunyi menginterupsi kemesraan keduanya. Rajendra menghela napas lantaran merasa terganggu. Namun ia tetap mengambil benda itu. Saat melihat nama yang tertera di sana decakan kesal meluncur dari mulutnya. "Dari siapa, Ndra?" tanya Utary menyadari raut jengkel kekasihnya. "Livia." Wajah Utary ikut berubah jengkel, begitu pun dengan perasaannya. Mau apa Livia menelepon tengah malam begini? "Ngapain sih dia? Ganggu orang aja!" Utary merebut ponsel tersebut dari tangan Rajendra. Ketika terdengar nada dering sekali lagi, digesernya tanda answer untuk menjawab panggilan tersebut. "Halo!" sapanya ketus dan keras. Livia yang menelepon di seberang sana terdiam selama beberapa detik. Terkejut karena yang menjawab panggilan di handphone Rajendra bukanlah lelaki itu melainkan perempuan. Ia tidak familier dengan suara yang ia dengar, tapi Livia bisa menebak siapa perempuan tersebut. "Utary?" "Ya, ini aku. Mau apa?!" Utary masih seketus sebelumnya. "Kenapa kamu yang memegang handphone Rajendra? Dia mana? Tolong kasih handphone ini ke dia. Saya mau bicara dengan suami saya." "Dia sudah tidur di pelukanku. Jangan pernah menelepon dan mengganggu kami lagi. Paham?" Klik! Sambungan diputus secara sepihak sebelum Livia sempat berbicara dengan Rajendra. "Ganggu aja!" Utary mendumel sendiri. Ia bermaksud untuk menon-aktifkan handphone Rajendra, tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Utary mengambil foto wefie dengan beberapa kali pose. Di antaranya adalah pose ia memeluk Rajendra, mencium lelaki itu dan pose Rajendra memeluk serta menciumnya. Setelahnya Utary mengirim foto-foto laknat itu ke nomor Livia. Utary tersenyum puas. Ia bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati Livia setelah melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain. "Tar, aku pulang sekarang ya?" Rajendra berucap sewaktu Utary memejamkan mata dalam pelukannya. Mendengar hal itu Utary kembali membuka mata. "Kamu tega ninggalin aku? Aku hanya sendiri di sini. Aku juga lagi hamil anak kamu," ucap perempuan itu dengan raut sedih. "Besok kita bisa ketemu lagi, Tar. Aku janji akan usahain biar kita bisa ketemu setiap hari." "Kamu selalu bilang begitu, tapi nggak ada realisasinya. Tiap aku tanya kamu selalu bilang sibuk kerja padahal sibuk sama perempuan pincang itu." "Udah ah, nggak usah bawa-bawa dia. Gini aja, malam ini aku nginap di sini tapi jangan marah lagi ya." Bersama ucapannya Rajendra mengecup lembut kening Utary yang membuat perempuan itu tersenyum bahagia. "Andai setiap hari kita bisa sama-sama aku pasti akan jadi perempuan paling bahagia di dunia ini." Utary mulai berandai-andai dalam pelukan Rajendra. "Memangnya sekarang kamu nggak bahagia?" uji Rajendra. "Bahagia, tapi belum lengkap. Hidupku baru akan sempurna kalau kita menikah. Aku harap dia segera sembuh agar kamu bisa menceraikan dia." Rajendra terdiam tanpa mampu mengatakan apa pun. "Ndra, kamu nggak kasihan sama aku tinggal sendiri di sini? Gimana kalau misalnya perut aku sakit lagi terus aku pingsan atau jatuh? Kita bisa kehilangan anak." "Ssst, udah, Tar, jangan bicara yang enggak-enggak," larang Rajendra. Ia tidak ingin mendengar kemungkinan terburuk itu. "Makanya, Ndra, aku harus ada yang menemani. Menurutmu gimana kalau kita tinggal bersama? Maksudku aku juga tinggal di rumahmu, jadi ada yang menjagaku dan kita bisa bertemu setiap hari. Kamu mau kan, Ndra? Please, mau ya ..." Utary kembali merengek agar Rajendra mengabulkan keinginannya. ***Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang."Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai.Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?""Saya memang nggak tahu, Ndra.""Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!"Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan."Kembalikan!" Kata bernada perin