"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya.
"Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu. "Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi. "Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia. "Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu. Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan. Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu. "Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi instruksi. "Baik, Bu," jawab anak itu patuh. Livia memberi senyum tipis. Hazel adalah anak yang baik. Dia juga cepat beradaptasi dengan Livia. Tepat di saat Livia masuk ke kamarnya ketika itulah ia mendengar ponsel Rajendra berbunyi. Sekilas Livia melihat nama Utary terpampang di sana. Lelaki itu langsung menjawab. "Halo." "Ndra, tolong datang ke sini. Perut aku sakit banget," rintih Utary di seberang sana. "Kamu udah periksa ke dokter?" "Udah, Ndra. Tadi aku ke dokter. Tapi nggak tahu kenapa sakit lagi. Ini pasti akibat kena troli waktu itu." Dengan refleks Rajendra memindahkan matanya ke arah Livia. Dipandangnya perempuan tersebut dengan sorot tajam. Livia menghindar dengan cara memandang ke arah lain. Ia selalu tidak bisa untuk membalas tatapan Rajendra. Tatapan tajam bagai pisau yang seakan membelah tubuhnya menjadi dua. Satu kali pun Livia tidak pernah menemukan Rajendra menatapnya dengan biasa, alih-alih hangat. "Rajendra, kamu masih di sana?" suara Utary kembali membelai gendang telinga Rajendra. "Ya." "Aku nggak bisa sendiri. Tolong ke sini ya, Ndra. Aku takut terjadi sesuatu pada anak kita." Seketika jantung Rajendra menghentak dengan cepat ketika mendengar kata 'anak kita' disebut. Mendadak perasaan gundah mengisi hatinya. Ia benar-benar khawatir. "Tary, Tary, kamu tenang dulu. Oke? Jangan panik, aku akan segera ke sana," putus Rajendra tanpa pikir panjang. "Jangan lama-lama ya, Ndraaa ..." Utary masih merengek seperti tadi. "Iya." Rajendra menyimpan ponsel ke dalam saku celananya setelah selesai menelepon. Disambarnya kunci mobil lalu bersiap pergi. "Kamu mau ke mana?" Livia menanyakannya tepat ketika langkah Rajendra tiba di ambang pintu kamar. Rajendra membuang napasnya berat. Kesal menatap Livia. "Parut Utary sakit, dan itu karena kamu. Puas?" Rajendra tidak memberi waktu pada Livia untuk membalas perkataannya. Lelaki itu keburu menarik langkah panjang. Livia hanya bisa mengelus dada seperti yang sudah-sudah. Setelah les berakhir dan Ryuga menjemput Hazel, Rajendra masih belum pulang. Sampai larut malam Livia menunggu tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan kembali. Livia menatap layar ponselnya yang berwallpaper foto pernikahan dirinya dan Rajendra. Livia tidak pernah mengganti wallpaper itu karena momen pernikahan tersebut begitu berarti baginya. Pada awalnya Livia memang tidak menaruh perasaan apa pun pada Rajendra. Namun, seiring waktu yang berganti perasaannya mulai tumbuh pada laki-laki itu. Livia sangat mencintai Rajendra meskipun yang dimiliki lelaki itu hanyalah kebencian untuknya. *** Rajendra masih berada di apartemen Utary. Perempuan itu bergelung manja dalam pelukannya. Sejak Rajendra datang berjam-jam yang lalu Utary tidak mau lepas dari laki-laki itu barang sebentar. "Gimana? Masih sakit?" tanya Rajendra. "Masih. Ini semua gara-gara perempuan pincang itu!" ketus Utary penuh kebencian yang ditujukannya terhadap Livia. Rajendra hanya diam, tetapi tangannya tak henti membelai kepala dan punggung Utary bergantian. "Jangan cuma diam dong, Ndra! Lakukan sesuatu," kesal Utary melihat sikap yang ditunjukkan kekasihnya. "Aku udah marahi dan kasih dia peringatan." "Kalau hanya itu dia nggak akan kapok. Kamu harus ceraikan dia secepatnya." "Pasti. Aku akan ceraikan dia tapi nggak sekarang. Tunggu kakinya sembuh dulu. Aku udah pernah bilang hal ini sebelumnya kan? Karena jika aku ceraikan dia sekarang aku bisa dipenjara." Utary berdecak. "Jadi kapan kakinya akan sembuh?" tuntut perempuan itu tidak sabar. "Aku juga nggak tahu. Tapi kurasa nggak bakal lama lagi. Apalagi dia rutin menjalani pengobatan." Kata-kata yang diucapkan Rajendra sedikit menghibur hati Utary. Ia percaya dalam waktu dekat ini Livia akan sembuh. Jadi ia bisa memiliki Rajendra seutuhnya untuk dirinya sendiri. Utary sudah tidak sabar menunggu waktu itu tiba. Saat keduanya sedang cuddling tiba-tiba saja handphone Rajendra berbunyi menginterupsi kemesraan keduanya. Rajendra menghela napas lantaran merasa terganggu. Namun ia tetap mengambil benda itu. Saat melihat nama yang tertera di sana decakan kesal meluncur dari mulutnya. "Dari siapa, Ndra?" tanya Utary menyadari raut jengkel kekasihnya. "Livia." Wajah Utary ikut berubah jengkel, begitu pun dengan perasaannya. Mau apa Livia menelepon tengah malam begini? "Ngapain sih dia? Ganggu orang aja!" Utary merebut ponsel tersebut dari tangan Rajendra. Ketika terdengar nada dering sekali lagi, digesernya tanda answer untuk menjawab panggilan tersebut. "Halo!" sapanya ketus dan keras. Livia yang menelepon di seberang sana terdiam selama beberapa detik. Terkejut karena yang menjawab panggilan di handphone Rajendra bukanlah lelaki itu melainkan perempuan. Ia tidak familier dengan suara yang ia dengar, tapi Livia bisa menebak siapa perempuan tersebut. "Utary?" "Ya, ini aku. Mau apa?!" Utary masih seketus sebelumnya. "Kenapa kamu yang memegang handphone Rajendra? Dia mana? Tolong kasih handphone ini ke dia. Saya mau bicara dengan suami saya." "Dia sudah tidur di pelukanku. Jangan pernah menelepon dan mengganggu kami lagi. Paham?" Klik! Sambungan diputus secara sepihak sebelum Livia sempat berbicara dengan Rajendra. "Ganggu aja!" Utary mendumel sendiri. Ia bermaksud untuk menon-aktifkan handphone Rajendra, tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Utary mengambil foto wefie dengan beberapa kali pose. Di antaranya adalah pose ia memeluk Rajendra, mencium lelaki itu dan pose Rajendra memeluk serta menciumnya. Setelahnya Utary mengirim foto-foto laknat itu ke nomor Livia. Utary tersenyum puas. Ia bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati Livia setelah melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain. "Tar, aku pulang sekarang ya?" Rajendra berucap sewaktu Utary memejamkan mata dalam pelukannya. Mendengar hal itu Utary kembali membuka mata. "Kamu tega ninggalin aku? Aku hanya sendiri di sini. Aku juga lagi hamil anak kamu," ucap perempuan itu dengan raut sedih. "Besok kita bisa ketemu lagi, Tar. Aku janji akan usahain biar kita bisa ketemu setiap hari." "Kamu selalu bilang begitu, tapi nggak ada realisasinya. Tiap aku tanya kamu selalu bilang sibuk kerja padahal sibuk sama perempuan pincang itu." "Udah ah, nggak usah bawa-bawa dia. Gini aja, malam ini aku nginap di sini tapi jangan marah lagi ya." Bersama ucapannya Rajendra mengecup lembut kening Utary yang membuat perempuan itu tersenyum bahagia. "Andai setiap hari kita bisa sama-sama aku pasti akan jadi perempuan paling bahagia di dunia ini." Utary mulai berandai-andai dalam pelukan Rajendra. "Memangnya sekarang kamu nggak bahagia?" uji Rajendra. "Bahagia, tapi belum lengkap. Hidupku baru akan sempurna kalau kita menikah. Aku harap dia segera sembuh agar kamu bisa menceraikan dia." Rajendra terdiam tanpa mampu mengatakan apa pun. "Ndra, kamu nggak kasihan sama aku tinggal sendiri di sini? Gimana kalau misalnya perut aku sakit lagi terus aku pingsan atau jatuh? Kita bisa kehilangan anak." "Ssst, udah, Tar, jangan bicara yang enggak-enggak," larang Rajendra. Ia tidak ingin mendengar kemungkinan terburuk itu. "Makanya, Ndra, aku harus ada yang menemani. Menurutmu gimana kalau kita tinggal bersama? Maksudku aku juga tinggal di rumahmu, jadi ada yang menjagaku dan kita bisa bertemu setiap hari. Kamu mau kan, Ndra? Please, mau ya ..." Utary kembali merengek agar Rajendra mengabulkan keinginannya. ***Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
"Kenapa lama?" Baru saja Livia menginjakkan kaki di dalam rumah ia langsung disambut oleh pertanyaan tersebut yang berasal dari mulut Rajendra."Tadi apotiknya tutup jadi saya mencari apotik lain," jawab Livia menyampaikan alasannya.Rajendra mendengkus. Tidak percaya pada alasan istrinya begitu saja."Siapa yang mengantarmu pulang?" tanyanya lagi meski ia tahu persis siapa lelaki yang mengantar istrinya."Kamu mengintip saya?""Bukan mengintip tapi suara mobilnya yang berisik membuat tidur kekasihku jadi terganggu."Livia tersenyum getir. Rajendra terlalu berlebihan. Suara mobil Ryuga tidaklah keras."Kenapa nggak dijawab? Siapa yang mengantarmu pulang?" "Kamu pasti tahu siapa yang mengantar saya. Bukankah kamu melihatnya sendiri?" Mendengar kalimat Livia yang terkesan sedang melawannya membuat amarah Rajendra semakin menjadi."Hanya perempuan murahan yang mau diantar lelaki asing.""Lebih murahan mana saya atau kekasihmu yang nggak tahu malu itu?"Tangan Rajendra sontak naik ke u
"Livia! Bangun!" Sepasang mata Livia terbuka ketika ia mendengar suara keras suaminya. Tampak Rajendra sedang menatapnya dengan nyalang. Di dekat lelaki itu ada Utary yang sedang muntah.Livia mengusap matanya yang berat digayuti kantuk. Kemarin malam setelah dipaksa Rajendra Livia akhirnya tidur di kamar. Di sofa dinginnya seperti biasa. Livia baru bisa memejamkan matanya menjelang pukul tiga pagi. Itulah sebabnya kenapa ia masih merasa ngantuk."Bersiin itu terus buatin teh hangat untuk Utary," kata Rajendra memberi perintah.Livia menatap nanar pada lantai yang berserakan muntah Utary. Ia hanya bisa mengelus dada. Apa Utary tidak bisa muntah di kamar mandi?"Buruan! Tunggu apa lagi?!" bentak Rajendra melihat Livia diam termangu.Dengan matanya yang masih mengantuk Livia bangun dari sofa. Sambil bertumpu pada tongkatnya Livia terpincang seperti biasa. Namun akibat terburu-buru ia jatuh terpeleset."Aduh!" rintihnya sambil meringis kesakitan.Utary yang melihat pemandangan itu tert
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.
Rajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men
'Ya Tuhan, ngomong apa gue barusan? Ngapain juga gue minta tes DNA. Randu itu anak gue. Astaga, Randu, maafin Papa, Nak.' Rajendra berteriak di dalam hatinya sambil berdiri di koridor rumah sakit.Rajendra tidak tahu apa yang tadi menguasai pikirannya sehingga ia bisa mengatakan hal itu pada dokter. Mungkin lantaran tadi kepalanya begitu digerogoti oleh banyak pikiran sehingga ia bicara sembarangan.Bagaimana mungkin ia meragukan Randu sebagai anaknya di saat dia sedang sakit?Tanpa membuang waktu Rajendra segera mencari dokter tadi. Beruntung ia menemukannya."Dokter!"Pria bersnelli putih berambut cepak menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang."Maaf, saya mengganggu, Dok. Tes DNA-nya nggak usah. Dibatalkan saja, Dok. Tadi saya hanya terlalu panik.""Baik, Pak." Dokter menjawab dengan singkat lalu pergi.Rajendra menghela napasnya kemudian kembali ke tempat perawatan Randu. Utary masih di sana, menemani anak mereka. Begitu melihat Rajendra, Utary memasang tampang masam
Di tempat yang lain Livia sedang merajut. Kali ini ia membuat topi bayi. Topi itu baru setengah jadi namun sudah terlihat indah dan menggemaskan berkat perpaduan warnanya. Livia memang sangat berbakat dalam hal merajut dan piawai memadumadankan warna.Dentingan dari ponselnya membuat Livia mengalihkan sejenak perhatiannya ke arah benda itu yang ia letakkan di atas meja. Ia meraihnya. Ia tahu itu dari Langit. Karena hanya Langit satu-satunya yang tahu SIM card baru Livia."Liv, aku lagi sama Rajendra, ngopi di dekat kantor."Itu isi chat dari Langit.Livia pandangi layar ponselnya dengan cukup lama. Pesan yang disampaikan Langit bagai membawa angin dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum. Nama Rajendra masih memiliki efek yang kuat padanya walaupun ia telah mencoba keras melupakan lelaki itu.Diletakkannya kembali ponsel ke atas meja dan melanjutkan rajutannya. Tapi entah mengapa tangannya terasa gemetar.Kenapa Langit mengabarkan padanya? Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan ters
Rajendra baru saja masuk ke dalam coffee shop di lingkungan kantornya ketika mendengar ponselnya lagi-lagi berbunyi. Dengan kesal ia merogoh saku celananya. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat nama Jihan tertera di layar. Jangan-jangan mertuanya itu ingin memberitahu pada Rajendra mengenai Livia. Jangan-jangan Livia ada di sana. Dan masih banyak lagi jangan-jangan yang bersarang di kepalanya."Halo, Tante.""Halo juga, Ndra. Kamu lagi sibuk?""Nggak juga, Tante. Tumben Tante menelepon?" Degup jantung Rajendra mengencang. Mungkinkah sebentar lagi ia akan mendengar Jihan mengatakan 'Ndra, Livia ada di sini'?"Kebetulan kalau begitu. Berarti Tante nggak mengganggu. Tante mau tanya, kenapa biaya pengobatan Tante bulan ini belum dikirim?"Rajendra mengepalkan sebelah tangannya yang bebas. Ia mencoba menahan kekesalan yang yang menggumpal di dalam dadanya. Rajendra sudah teramat lelah dengan semuanya, ditambah lagi panggilan dari Jihan yang hanya menagih uang membuatnya tidak mampu m
Hari-hari yang dilalui Rajendra terasa hampa. Hampir setiap hari ia datang ke rumah. Namun rumah itu tetap kosong. Tidak ada Livia di sana. Kejadian yang terjadi pada kehidupan pribadinya sampai terbawa ke dunia kerja. Rajendra jadi sering marah pada para pegawainya.Rajendra duduk di kursi kerjanya dengan raut kusut. Kertas-kertas berserakan di mejanya tatapi tidak ada satu pun yang dipedulikannya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari Livia yang sudah pergi meninggalkan rumah. Seharusnya saat ini Rajendra bahagia lantaran Livia, istrinya yang cacat dan membuatnya malu sudah pergi. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak bisa membuang perempuan itu jauh-jauh dari pikirannya meski sudah dua minggu berlalu. Ke mana pun ia memandang hanya wajah Livia yang terlihat.Sikap Rajendra berubah dengan dratis. Ia mudah marah pada siapa pun termasuk karena hal-hal sepele. Para pegawainya mulai sering membicarakan Rajendra di belakangnya. Membahas sikap dan perilaku atasan mereka yang semakin tidak ter