Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
"Kenapa lama?" Baru saja Livia menginjakkan kaki di dalam rumah ia langsung disambut oleh pertanyaan tersebut yang berasal dari mulut Rajendra."Tadi apotiknya tutup jadi saya mencari apotik lain," jawab Livia menyampaikan alasannya.Rajendra mendengkus. Tidak percaya pada alasan istrinya begitu saja."Siapa yang mengantarmu pulang?" tanyanya lagi meski ia tahu persis siapa lelaki yang mengantar istrinya."Kamu mengintip saya?""Bukan mengintip tapi suara mobilnya yang berisik membuat tidur kekasihku jadi terganggu."Livia tersenyum getir. Rajendra terlalu berlebihan. Suara mobil Ryuga tidaklah keras."Kenapa nggak dijawab? Siapa yang mengantarmu pulang?" "Kamu pasti tahu siapa yang mengantar saya. Bukankah kamu melihatnya sendiri?" Mendengar kalimat Livia yang terkesan sedang melawannya membuat amarah Rajendra semakin menjadi."Hanya perempuan murahan yang mau diantar lelaki asing.""Lebih murahan mana saya atau kekasihmu yang nggak tahu malu itu?"Tangan Rajendra sontak naik ke u
"Livia! Bangun!" Sepasang mata Livia terbuka ketika ia mendengar suara keras suaminya. Tampak Rajendra sedang menatapnya dengan nyalang. Di dekat lelaki itu ada Utary yang sedang muntah.Livia mengusap matanya yang berat digayuti kantuk. Kemarin malam setelah dipaksa Rajendra Livia akhirnya tidur di kamar. Di sofa dinginnya seperti biasa. Livia baru bisa memejamkan matanya menjelang pukul tiga pagi. Itulah sebabnya kenapa ia masih merasa ngantuk."Bersiin itu terus buatin teh hangat untuk Utary," kata Rajendra memberi perintah.Livia menatap nanar pada lantai yang berserakan muntah Utary. Ia hanya bisa mengelus dada. Apa Utary tidak bisa muntah di kamar mandi?"Buruan! Tunggu apa lagi?!" bentak Rajendra melihat Livia diam termangu.Dengan matanya yang masih mengantuk Livia bangun dari sofa. Sambil bertumpu pada tongkatnya Livia terpincang seperti biasa. Namun akibat terburu-buru ia jatuh terpeleset."Aduh!" rintihnya sambil meringis kesakitan.Utary yang melihat pemandangan itu tert
Livia mengantar bubur untuk Utary. Tangan kanannya memegang tongkat sedangkan tangan kirinya membawa mangkuk. Ternyata Utary tidak ada di ruang makan. "Antar ke kamar, Utary ada di sana," kata Marina memberitahu.Livia membawa langkahnya ke kamar tamu. Ia pikir Utary sudah kembali ke sana. Nyatanya perempuan itu ada di kamar Livia dengan Rajendra.“Sorry ya, Liv, aku jadi merepotkan kamu.” Utary berujar lirih ketika Livia meletakkan nampan di atas nakas.“It’s okay, santai aja, Tar.” Meski pada awalnya Livia merasa berat melakukan ini semua, namun perempuan itu mencoba berdiri di sudut pandang lain. Anggap saja ia melakukannya untuk seorang teman agar hatinya bisa sedikit lebih ringan.“Sarapan dulu yuk, setelahnya baru minum obat,” ucap Rajendra sambil membantu Utary yang sedang berbaring agar duduk.Livia masih berada di sana menyaksikan Utary dengan gerakan gemulai duduk dengan punggung tersandar ke headboard. Sementara Rajendra mulai menyuapi kekasihnya itu.Suapan pertama baru s
"Ndra, kenapa nggak dijawab?" suara Livia mengagetkan Rajendra."Liv ..." Rajendra menatap Livia penuh arti. "Kamu pasti akan tahu ceritanya. Aku akan ceritakan semuanya tapi nggak sekarang. Dokter bilang kamu dilarang berpikir terlalu keras. Apalagi kamu sedang hamil.""Ayolah, Ndra. Aku hanya ingin tahu. Aku janji nggak akan berpikir terlalu keras. Aku hanya ingin tahu." Livia terus membujuk."Kalau nanti kepalamu sakit lagi, gimana, Liv?""Nggak akan. Aku janji," desak Livia lagi.Rajendra menatap Livia yang tampak begitu penasaran. Akhirnya ia memutuskan untuk bercerita sekadarnya mengenai dua wanita di masa lalunya."Lunetta lahir sebelum Randu, nama ibunya Sharon. Sharon sudah meninggal, Liv.""Kenapa?""Kanker otak."Livia terdiam memproses informasi itu. Ia mencoba mengingat tapi seperti sebelumnya ingatannya tetap kosong."Jadi Lunetta anak wanita yang bernama Sharon?" Rajendra mengangguk. "Iya. Dulu Sharon sangat menyayangi Lunetta, tapi Tuhan lebih dulu mengambilnya. Aku y
Orang-orang di rumah belum ada yang tahu kalau Livia sedang hamil. Rajendra belum ingin mengatakannya walau ia sudah tidak sabar mengetahui reaksi Gadis jika tahu dirinya akan memiliki adik. Yang dipikirkan Rajendra saat ini adalah siapa yang akan menjaga Livia di rumah selama ia berada di kantor? Tidak mungkin Tasia karena ia juga butuh perempuan itu untuk membantu pekerjaannya.Hari itu Livia terbangun dengan perasaan mual yang begitu kuat. Perutnya terasa tidak nyaman dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia buru-buru berlari ke kamar mandi dan menunduk di depan wastafel, mengeluarkan muntah yang tidak tertahankan.Rajendra yang baru saja selesai mandi mendengar suara dari kamar mandi dan segera menghampiri. "Livia!" panggilnya sambil mengetuk pintu.Livia tidak menjawab. Hanya terdengar suara napasnya yang berat.Rajendra langsung mendorong pintu yang ternyata tidak dikunci. Ia melihat Livia tengah bersandar di wastafel dengan wajah pucat.Rajendra yang khawatir segera mendekati dan m
"Kamu istirahat ya, jangan banyak pikiran dulu," kata Rajendra sambil membantu Livia berbaring ketika mereka tiba di rumah.Livia tidak berkata apa-apa tapi air mata terus menetes membasahi pipinya. Tangisan Livia membuat Rajendra jadi khawatir. Ia genggam tangan istrinya sementara tangannya yang lain menghapus air mata Livia. "Coba cerita sama aku apa yang bikin kamu nangis gini?" ujarnya lembut."Aku takut," lirih Livia."Takut apa?"Livia tidak bisa menjelaskannya. Yang ia tahu adalah bahwa ia bingung. Tidak ingat apa-apa tiba-tiba bisa hamil.Apa benar ia mencintai Rajendra? Apa benar mereka melakukannya?"Apa benar aku mencintai kamu, Ndra?"Pertanyaan itu mengguncang Rajendra. "Tentu saja, Sayang," jawabnya cepat. "Bukan hanya kamu yang mencintai aku tapi aku juga mencintai kamu. Kita berdua saling mencintai dan hubungan kita sangat kuat." Rajendra mencoba meyakinkan Livia. "Lagian kalau kita nggak saling cinta nggak mungkin ada Gadis." Ia tersenyum mengakhiri penjelasannya.Li
Rajendra membeku di tempatnya. Sedangkan tangan dokter masih terulur di udara untuk memberi selamat padanya.Erwin menyikut tangan Rajendra. "Ndra, dokter ngasih selamat tuh."Barulah Rajendra menyambut tangan dokter."Terima kasih, Dok, tapi bagaimana bisa istri saya hamil, Dok?"Dokter tersenyum geli mendengar pertanyaan Rajendra yang terdengar tidak masuk akal. "Tentu saja karena hubungan suami istri, Pak Rajendra".Rajendra masih tampak syok sementara Erwin justru terkekeh. "Masa kamu lupa cara kerja kehamilan?" godanya."Bukan begitu, Pi." Rajendra menghela napas panjang, berusaha memahami situasi ini dengan kondisi Livia sekarang dengan amnesianya. Dokter kemudian menerangkan. "Kehamilan ini mungkin terjadi sebelum ingatannya terganggu, Pak. Dan saya pikir itu juga bisa menjadi faktor tambahan kenapa dia mengalami stres dan pingsan. Perubahan hormon di awal kehamilan seringkali membuat kondisi emosional ibu menjadi lebih sensitif.Rajendra menatap Livia yang masih terbaring di
Rajendra bergegas menghampiri livia. Tubuhnya gemetar saat ia mengguncang bahu istrinya yang terkulai di lantai. Keringat dingin membasahi dahi Livia, tapi napasnya masih ada meskipun lemah."Liv, bangun! Livia, bangun!" suara Rajendra terdengar panik.Erwin yang mendengar teriakan putranya segera masuk ke kamar. Begitu melihat menantunya tergeletak ia ikut cemas."Livia kenapa, Ndra? Kenapa bisa begini?" Erwin jauh lebih khawatir."Aku nggak tahu, Pi. Tadi dia baik-baik aja. Aku ke toilet sebentar pas balik dia udah jatuh gini."Erwin berlutut di samping Livia. "Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang, Ndra."Tanpa berpikir panjang Rajendra mengangkat tubuh Livia ke dalam gendongannya.Di dalam mobil yang melaju kencang menuju Rumah Sakit Rajendra menggenggam tangan Livia erat-erat. Jari-jemarinya dingin, napasnya lemah dan wajahnya pucat, membuat Rajendra tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya."Bertahanlah, Liv," suaranya bergetar. "Jangan tinggalkan aku, Liv." Ia menatap wa
Rajendra meneguk salivanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Mungkin kamu cuma berhalusinasi, Liv. Bisa saja itu bayangan dari cerita yang pernah kamu dengar."Livia mengerutkan dahi, matanya meneliti ekspresi Rajendra. Livia yakin ia tidak sedang berhalusinasi. Ia yakin betul yang ia lihat itu benar-benar ada, hanya saja ia tidak tahu siapa orangnya. "Jadi nggak ada siapa pun di rumah ini yang pincang?" suaranya lebih pelan dan penuh selidik."Nggak ada," dengan cepat Rajendra menggeleng.Namun Livia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh di dadanya. Bayangan itu terasa nyata.Erwin yang dari tadi diam tiba-tiba berdeham pelan. "Ayo kita naik dulu, Liv. mungkin kalau kamu melihat kamarmu akan ada lebih banyak lagi hal yang bisa kamu ingat."Livia mengangguk meskipun pikirannya masih berkutat pada sosok pincang yang muncul dalam kepalanya.Mereka menaiki tangga. Langkah Livia terasa lebih berat dari sebelumnya. Ada perasaan asing namun juga familier saat tangannya menyentuh pegangan ka
Rajendra menggenggam setir dengan erat, ia mencoba mengatur napasnya. Livia menatapnya penuh tanda tanya, tentu saja tidak menyadari betapa dalam luka yang ia sentuh dengan pertanyaannya barusan."Kita pernah tinggal di beberapa tempat." Akhirnya Rajendra menjawab, terdengar begitu hati-hati. "Awalnya di rumah orang tuaku terus kita pindah ke rumah sendiri, tapi ada sesuatu yang terjadi dan kita harus kembali ke rumah Papi."Dahi Livia berkerut. "Sesuatu yang terjadi?" ulangnya. Matanya tidak lepas dari Rajendra.Rajendra menghela napas di dalam diam. Ia tahu cepat atau lambat Livia akan bertanya, namun ia tidak siap untuk mengenang kembali semua peristiwa pahit itu."Rumah kita dulu terbakar," jawab Rajendra lirih Livia sontak terkejut. "Gimana bisa?""Karena korsleting listrik. Setelah itu kita nggak punya pilihan selain pindah ke rumah Papi untuk sementara waktu. Tapi akhirnya kita bisa punya rumah baru lagi."Livia terdiam. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tapi ia juga bisa me
Pagi itu Rajendra turun lebih awal ke dapur. Sebelum keduluan Tasia ia ingin membuat kopinya sendiri. Saat ia membuka lemari untuk mengambil cangkir, sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan cangkir ke arahnya."Ini, Pak," kata Tasia dengan suara yang terdengar lembut.Rajendra menoleh dan menemukan Tasia berdiri sangat dekat dengannya."Kamu sudah bangun?" tanyanya sedikit terkejut.Tasia tersenyum kecil. "Saya memang selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Bapak tahu kan saya suka memastikan semuanya berjalan lancar di rumah ini? Apalagi Ibu Livia lagi sakit."Rajendra menerima cangkir dari Tasia dan mengucapkan terima kasih.Ketika ia hendak menuangkan kopi Tasia dengan sengaja menyentuh tangannya. "Oh maaf," kata Tasia dengan tawa kecil. "Saya terlalu dekat ya?"Rajendra mundur sedikit tapi Tasia tetap berdiri di tempatnya."Saya senang melihat Bapak mulai rileks. Saya harap Bapak tahu kalau saya selalu ada kalau Bapak butuh seseorang untuk berbicara," katanya dengan nada l
Malam itu setelah meminum obat, Livia keluar dari kamar. Anak-anak sedang mengerjakan PR dengan Tasia, sedangkan Rajendra entah ke mana.Livia berjalan dan bermaksud duduk di beranda. Setelah pintu ia buka ternyata ia melihat Rajendra sedang duduk sendiri. Livia bermaksud kembali ke dalam rumah tapi Rajendra sudah terlanjur melihatnya."Sayang!" kata pria itu. "Mau ke mana?"Livia menghentikan langkahnya sejenak. Ia Ragu harus melangkah ke dalam atau tetap bertahan di tempat. Tapi ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang terasa akrab dan hangat."Aku hanya ingin duduk sebentar di luar," jawab Livia pelan menghindari tetapan suaminya.Rajendra menggeser duduk. Ia memberi ruang di sebelahnya. "Duduk di sini Liv."Livia merasa ragu tapi kakinya justru melangkah mendekat. Hanya saja ia duduk di kursi yang lain, menjaga jarak dari Rajendra.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Hanya ada suara angin yang berembus lembut dan desiran dedaunan yang bergerak pelan. "Sudah mera