Ibu mertuaku tidak pernah puas dengan jatah bulanan yang suamiku berikan. Dia menganggap anak lelaki harus berbakti untuk membayar penderitaannya di masa muda dengan membahagiakannya. Aku lelah, tapi meninggalkan suamiku di bawah manipulasi ibunya pun aku tak tega. Lihat saja, akan kubuat suamiku sadar kalau berbakti tidak harus dengan tumpukan materi!
Lihat lebih banyak"Nurma sama Dani kecelakaan, katanya nelpon ke hape Ibu sama Rima nggak diangkat dari tadi, sekarang di rumah sakit," jawab Mas Pamuji panik."Innalilahi!" seru semua hampir berbarengan."Dimana?" tanya ibu panik."Keadaannya gimana?" tanyaku, padahal aku khawatir pada mobil yang dipakai Nurma."Ehm, kita harus ke sana, tapi naik apa? Minimal 2 jam dari sini," ucap Mas Pamuji.Kami kompak melirik ke arah Irfan, dia datang kemari membawa mobil. Irfan yang tahu arah pikiran kami mendengkus kesal, disaat musawarah tentangnya dan Rima belum menemukan jalan keluar justru Nurma memberikan masalah baru."Pake mobilku, tapi nggak bisa ikut semua, mobilku kecil!" ucap Irfan setengah hati, tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain.Akhirnya diputuskan bahwa yang berangkat Mas Pamuji, Irfan, dan juga ibu. Tentu saja aku tidak bisa karena harus menjaga Bagas dan juga Tika. Sementara Rima masih belum mau banyak berinteraksi dengan Irfan sehingga lebih memilih tinggal."Rim ... Irfan kok kaya
"Sepeda Bagas bagaimana, Mas?" tanyaku."Kita beli pake motor?" usul Mas Pamuji ragu."Ishk!"Kutinggalkan Mas Pamuji yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kemarin udah terlanjur bilang iya sama Nurma kan?" ucap Mas Pamuji sambil mendekatiku yang kesal."Iya, sih," gumamku pelan, kembali kuhela napas.Aku pikir sikap Nurma yang arogan mengisyaratkan kalau dia tidak jadi meminjam mobil hari ini. Ternyata dia tetap memakainya meskipun sudah membuat keributan kemarin.Ternyata gengsinya tidak setinggi gaya bicaranya. Apalagi kata-kata suaminya tentang kepemilikan mobil itu, semakin membuatku geram."Lihat, Mas! Nurma yang serumah sama ibu, juga nggak simpati-simpati amat sama masalah Rima, ketelen aja tuh dia jalan-jalan sama keluarganya," ucapku pada Mas Pamuji."Itu kan kondangan, Kar, mungkin nggak enak sama keluarga Dani," jawab Mas Pamuji."Aku nggak yakin Dani punya sodara di kota itu, tempat wisata mah ada, pemandian air panas, mungkin aja Nurma ke sana, alesannya kon
"Apa?!" pekik ibu.Ibu berlari pulang di susul Nurma di belakangnya, aku yang penasaran pun ikut berlari.Ibu mendekap Rima yang menangis, Nurma duduk di sampingnya dan mengusap lembut punggung Rima. Kuberanikan diri mendekat, aku juga ingin tahu apa yang menimpanya.Tampak sebuah tas besar di sisi lain kursi, nampaknya milik Rima. Ada Dani dan Adeva juga, suami dan anak Nurma, ternyata mereka juga ada di sini."Aku nggak mau pulang ke sana lagi, Bu, aku nggak mau!" raung Rima dalam tangisnya."Iya ... iya," sahut ibu."Tapi Rafa gimana? Ibu harus ambil Rafa dari keluarga mas Irfan!" raung Rima lagi."Sudah kamu tenang dulu, Rim, kalo udah tenang baru bisa nyari solusi," ucap Nurma.Cukup lama akhirnya sampai Rima tenang, aku berinisiatif membuatkan teh manis untuknya. Sependek ini aku hanya tahu Rima pergi dari rumahnya karena suaminya ketahuan berselingkuh. Awalnya Rima akan membawa Rafa, anaknya, tapi dihalangi oleh ibu mertuanya.Ibu tampak kalut dengan masalah rumah tangga anakn
Kudekatkan mulutku ke telinga Ibu, kubisikan kalimat yang sudah kutahan-tahan."Mulai sekarang aku akan ngelindungin Mas Pamuji dari orang yang suka manfaatin dia, terutama dari orang yang udah mencoba membunuh Mas Pamuji sebelum dia lahir!"Mata ibu membelalak, dan aku puas.Sikap ibu yang terlihat sangat terkejut dan panik, menunjukan bahwa dia benar-benar pernah melakukan usaha aborsi itu. Rasa kecewaku semakin memuncak. Sebutan ibu hampir tidak pantas disandangnya.Nurma terlihat bingung menyaksikan ekspresi ibunya yang terkejut. Dadaku naik turun menahan emosi, keberanian yang kukumpulkan untuk melawan mereka sudah mulai berbaur dengan amarah."K-kamu?" ucap ibu tergagap."Iya, aku tahu semua!" tegasku."Ada apa, Bu?" tanya Nurma panik, dia yang datang dengan percaya diri sekarang terintimidasi."Dari mana kamu tahu?" tanya ibu sedikit berbisik, berusaha agar Nurma tidak tahu."Udah waktunya aja rahasia Ibu kebongkar," jawabku sengaja membuat ibu bingung."Jangan sok tahu kamu!"
"Mau kondangan kemana Nur?" tanya Mas Pamuji."Ke luar kota Mas, sodaranya Mas Dani hajatan," jawab Nurma."Nggak usah dikasih, Mas! Giliran kita ada mobil tiba-tiba suaminya punya sodara di luar kota yang hajatan, gitu?" bisikku di telinga Mas Pamuji."Besok aku lembur, Nur, mobilnya kepake," tutur Mas Pamuji."Mas pake motor aja, dulu juga Mas pake motor terus," rajuk Nurma."Wong lemburnya juga keluar kota, kunjungan industri, mau ngeliat vendor baru," ucap Mas Pamuji."Dulu kerjaan Mas cuma di pabrik, sekarang kan harus sering ke luar kota, banyak mobilitasnya, makanya dikasih inventaris mobil, kalo enggak ya nggak dikasih sama kantor," lanjut Mas Pamuji menjelaskan.Nurma terlihat kesal, aku tidak peduli benar atau tidak alasan lemburnya Mas Pamuji, aku merasa puas. Kemana mereka saat kami susah?Saat kami punya mereka datang bagaikan lalat. Aku tidak akan membiarkan suamiku mengemis kasih sayang lagi pada mereka."Ya udah aku pinjemnya hari minggu aja," pinta Nurma pantang menye
"Sekar, kalo cuma ibu yang bermasalah sama Susi, mungkin aja ibu yang bermasalah. Tapi Susi bermasalah sama banyak orang, artinya dia sendirilah masalah itu!" pungkas Bu Wandi seraya pergi meninggalkanku dalam kekalutan.Kasihan sekali Mas Pamuji, aku benar-benar syok mengetahui kenyataan ini. Terbesit dalam pikiranku untuk menjauhkan Mas Pamuji dari ibu.Apa aku berdosa?Aku seharusnya memahami, sakit batin yang Mas Pamuji derita. Dia hanya ingin dicintai, hanya ingin ada seseorang yang nyaman untuk tempatnya pulang. Naluri seorang anak pastilah menganggap seorang ibu adalah segalanya.Aku kembali menyesal mendiamkannya selama ini, mengurungnya dalam tembok dingin, padahal dia berharap aku adalah tempatnya berkasih sayang tanpa tapi.Dengan hati kalut kutinggalkan Bagas dan Tika di rumah, Bagas sudah cukup besar untuk bisa kuandalkan. Aku pergi ke rumah Bude Rum untuk mencari kebenaran. Hanya Bude Rum yang kupercaya."Kenapa, Kar? Kok wajahmu kayak orang linglung begitu?" tanya Bude
"Ibu bisa tetap puas dengan hobinya berhaha-hihi dan berdrama, dan aku tetap tenang merawat Bagas dan Tika tanpa terpengaruh sikap ibumu yang absurd, bukankah ini solusi terbaik?"Hubunganku dengan Mas Pamuji semakin hari semakin renggang, ada tembok dingin yang sengaja kubangun untuk melindungi diriku sendiri. Dari sifat dan watak ibu, dan juga dari ketidak tegasan Mas Pamuji bersikap.Meski sekarang kopi dan teh kami setiap pagi terasa manis, tapi hubungan kami justru menghambar. Mungkin sekarang perut kami lebih terjamin, karena tidak ada lagi beras segelas yang harus dimasak lembek, tapi tidak ada lagi cinta yang terhidang sebagai lauk makan.Mungkin anak-anak kami sudah tidak lagi bersedih karena tidak mampu membeli mainan yang mereka mau, tapi canda tawa kami hampir tidak hangat lagi. Mungkin taraf hidup kami telah jauh lebih baik, tapi ranjang kami sepi tidak ada lagi obrolan hangat menjelang tidur malam.Untunglah Bagas dan Tika masih leluasa tertawa, terkadang karena mereka-l
"Kalo ibu ikut, aku nggak usah pergi aja," ucapku.Ada lelah yang tidak bisa kujelaskan."Sekar ... aku pikir ibu nggak akan minta ikut, mau ngelarang juga nggak enak, maaf ...," ucapnya tertunduk lesu.Kubuang napas dengan kasar."Kar, kamu boleh benci ibuku sebanyak yang kamu mau, tapi jangan bermusuhan secara terang-terangan, bagaimana pun Bagas sama Tika ngeliat," ucap Mas Pamuji mencoba membuatku mengerti dengan nada yang lemas."Mas, kita udah bahas hal ini berkali-kali," ucapku sedikit berbisik agar Bagas dan Tika tidak mendengarnya."Iya, makanya aku minta maaf, bersabarlah Sekar, kali ini aja, aku mohon," ucap Mas Pamuji."Maaf Mas aku nggak bisa, kalimat 'yang waras ngalah' udah nggak berlaku lagi, coba kamu minta sekali aja ibumu yang ngalah biar kita tahu seberapa waras dia, karena kali ini aku yang mulai sakit mental karena kalian!" ucapku pelan tapi tegas."Jangan gitu, Kar. Besok-besok kita bisa pergi lagi tanpa ibu, aku janji akan lebih sering ngajak kalian pergi, biar
"Kamu kan mantunya!" ucap Bu Ida."Tapi--""Seenggaknya bayarin separuhnya dulu juga nggak papa, kami nggak mungkin nungguin di sini seharian, dan Bu Ida ini lagi butuh duit itu," bujuk Bu Fitri."Kenapa Bu-ibu ini nggak telpon ibu aja?" usulku, jelas aku keberatan mengeluarkan uang untuk menalanginya, pasti uangku tidak kembali."Udah, Mbak, tapi nggak diangkat, terus kami diblokir," jawab Bu Ida.Keterlaluan sekali ibu."Emangnya berapa arisan ibu?" tanyaku sekedar ingin tahu."Kami main dua jutaan sebulan, dan ini udah jalan ke-7, salahnya ibumu, dulu bikin kocokan nggak teliti akhirnya nama Bu Ida nggak ada di dalemnya, kalo ibumu teliti pasti nggak bakalan gini," jawab Bu Fitri."Halah, bukannya nggak teliti, Susi pasti sengaja curang," timpal Bu Ida, warna bibirnya yang merah membuat wajahnya semakin terlihat marah."Sebenernya aku ngerasa ada yang aneh dari bulan ke-3 tapi aku masih ragu, pas kemarin aku iseng minta kocokan dibuka semua, eh ternyata feelingku bener kalo namaku
"Jangan kekanakan begitu! Masalah sepele aja minta cerai," cebik Mas Pamuji.Entah bagian mana yang dia anggap sebagai masalah sepele?"Aku udah nggak tahan, lebih baik aku mundur aja dari kehidupan kamu, Mas. Dari masalah ini, dari keributan yang nggak pernah ada ujungnya," ucapku serius.Mas Pamuji hanya memandangku, keterlaluan sekali jika dia masih menganggap penderitaanku sebagai hal yang sepele."Aku nggak mungkin meminta kamu memilih aku atau ibumu, 'kan Mas?" ucapku lagi.Kubalas tatapan Mas Pamuji dengan dalam, aku ingin sekali saja suamiku ini melihat bahwa aku benar-benar sudah tidak sanggup.Bulir bening mulai menetes dari ujung netraku, keputusan yang berat tapi aku memang buntu tidak tahu harus bagaimana mengakhiri semua ini. Jalan yang terlintas hanya berpisah, mengikhlaskan semua yang menjadi rezeki anak-anakku untuk dinikmati ibu mertuaku.Selama delapan tahun pernikahan, rumah tanggaku sudah mengalami dua fase perekonomian. Pertama, fase dimana Mas Pamuji menanggung ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen