"Maafkan aku, Sekar!" ucap Mas Pamuji sesenggukan.
"Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu ataupun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!" 'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku. Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada Mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan. "Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak." Kulepas pelukan Mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar? "Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya Mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya. "Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku. "Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi. "Mas bebas menemui mereka nantinya, kita akan bersikap seolah semua baik-baik aja," jawabku mantap. "Sekar ...," rintihnya memelas padaku. "Ini juga berat untukku, Mas. Aku berusaha bersikap baik dengan nggak menggaduhkan masalah ini, aku bisa saja marah-marah dan menuntut semua di depan ibu, tapi apa itu akan membuat ibu berubah? Aku rasa enggak, aku pendam dan terus memendam semua, Mas! Berusaha mencari jalan terbaik dan sedamai mungkin." "Kenapa kamu begitu yakin akan bisa membahagiakan mereka Sekar? Kamu mau kerja apa?" tanya mas Pamuji. "Apa saja, Mas. Aku yakin karena Alloh akan memindah rezeki Bagas dan Tika yang semula datang lewat tangan Mas ke tanganku," jawabku dengan yakin. Sebenarnya aku mendapatkan tawaran pekerjaan dari Puji di sebuah pabrik garmen di dekat rumah Mas Anjar. Puji adalah sahabatku dari kecil, aku telah banyak berkeluh kesah padanya sehingga dia membantuku mencari pekerjaan untuk menyelesaikan masalahku. Mas Pamuji diam tanpa bisa mendebat argumenku. Dia terlihat berpikir untuk bisa menahanku disini. "Jadi, Mas mau nganterin kami atau enggak? Hari semakin sore nanti kita kehabisan bus." Dengusan napas Mas Pamuji terdengar berat, kemudian dia berdiri dan meraih pintu lemari. "Aku antar," ucapnya singkat. "Mas ...," panggilku pada Mas Pamuji dan berhasil membuatnya berhenti membuka setengah pintu lemari. "Talak aku sebelum aku pergi." "Sekar!" pekik Mas Pamuji dan membuatku sedikit terkejut. "Pikirkan lagi, aku memang membebaskan kamu pergi sekarang, tapi tidak untuk buru-buru ke arah sana!" Bila tadi Mas Pamuji terlihat sedih, sekarang dia terlihat marah. "Dua tahun bukan waktu yang buru-buru, setiap hari aku semakin tercekik dengan gaya hidup ibumu yang tinggi, Mas harus segera menalakku agar putus ikatan kita di depan Alloh," ucapku sedih. "Aku ingin mengambil rezekiku sendiri dan juga rezeki anak-anak dari tanganmu, Mas! Jika ikatan kita putus Alloh akan kembalikan jalan rezeki itu ke tanganku. Aku ingin hidup layak dengan anak-anak, aku mohon, Mas, andai Mas bisa pahami betapa menderitanya aku selama ini," lanjutku berusaha meyakinkan Mas Pamuji. "Rezeki, maut, jodoh itu sudah diatur, Sekar!" ucap Mas Pamuji. "Memang, Mas. Mungkin juga jodoh kita cuma sampai sini." Mas Pamuji kembali mendengus kasar, dia berbalik dan meneruskan aktifitasnya. "Tunggu aku di luar!" perintah Mas Pamuji tanpa memperdulikan permintaanku. Aku pun segera keluar karena suara Bagas dan Tika mulai gaduh, mereka tidak sabar untuk pergi. Kesempatan untuk naik bus dan berjalan-jalan adalah hal yang langka bagi mereka, tentu saja mereka kegirangan saat kubilang akan pergi ke rumah pakdenya. Kami menunggu di teras, dengan sebuah tas kecil dan dua kardus berisi pakaian kami. Sementara hanya ini yang bisa kubawa. Bagas dan Tika berceloteh riang sambil menunggu ayahnya. Cukup lama sampai akhirnya Mas Pamuji keluar, Bagas dan Tika menghambur ke arahnya dan menarik tangannya untuk bergegas. Mereka hanya tahu kita akan naik bus, tanpa mereka tahu bahwa inilah titik dimana hidup mereka akan berubah. Di saat kami sudah siap untuk pergi tiba-tiba Bude Rum datang, mungkin beliau hanya lewat namun melihat kami bersiap pergi beliau menghampiri kami. "Mau kemana, Kar?" tanya Bude Rum. "Bagas sama Tika mau ke rumah Pakde Anjar, Mbahde Rum," jawab Bagas. "Kata mama kita akan nginep lama makanya mama bawa baju banyak," terang Bagas melihat bude Rum keheranan dengan bawaan kami. "Oh iya, ada acara apa?" Bude melirikku dan Mas Pamuji. "Mama mau kerja biar bisa beliin Bagas mobil remot," jawab Bagas lagi, anakku terlalu jujur dan polos. "Ada apa, Sekar?" tanya Bude curiga. "Kenapa, Ji?" Kini giliran Mas Pamuji. "Kenapa Sekar harus kerja, bukannya gajimu sekarang lumayan, Ji?" "Maaf Bude, ada hal yang nggak bisa aku jelaskan," ucapku pada bude Rum. "Bagas sama Tika beli es cream dulu ya," ucap Bude Rum sambil mengulurkan selembar uang berwarna ungu pada Bagas. Bagas kegirangan, dia mengajak Tika untuk ke warung. Bude Rum sepertinya curiga, aku hanya tidak ingin ada yang ikut campur, bagaimanapun juga kelakuan ibu mertuaku adalah hal yang tidak pantas dan cukup memalukan. "Ayo ngobrol di dalam, barangkali kamu mau cerita sama bude, Sekar!" ajak Bude Rum mendahului langkah kami kembali ke rumah. Aku dan Mas Pamuji saling pandang sambil mengikuti langkah bude. Sebagai menantu aku masih berbaik hati untuk tidak mengumbar dan cenderung menutupi kejelekan mertuaku. Bukan karena ibu tapi karena menghormati dan menjaga perasaan Mas Pamuji, bila memang harus berpisah aku berharap bisa pisah secara baik-baik. Mas Pamuji kembali mengeluarkan kunci dari sakunya dan membuka pintu. Bude langsung duduk dengan nyaman, aku duduk di samping kanan dan Mas Pamuji duduk di samping kiri. "Kalian kenapa?" tanya Bude Rum. Aku dan Mas Pamuji saling diam, orang luar hanya tahu ibu sekarang sudah hidup lebih baik tanpa tahu apa yang harus kami alami demi memberikan semua permintaan ibu. Mungkin ini saatnya, Bude Rum harus tahu karena Bude bukanlah orang lain bagi kami, ibu mertuaku pun adalah adiknya. "Jadi nggak ada yang mau jawab?" tanya Bude Rum lagi. "Sekar mau pisah dari Mas Pamuji, Sekar nggak sanggup lagi melihat semua kelakuan ibu Mas Pamuji," ucapku lirih. "Astaghfirullohaladzim, masalahnya apa?" "Bagas dan Tika semakin sudah mulai besar, mulai butuh biaya yang enggak sedikit, tapi hampir semua gaji Mas Pamuji habis oleh ibu, jangankan untuk kebutuhan yang lain atau bahkan tabungan anak-anak, untuk makan aja kami sulit," tuturku. "Maaf bude, Sekar bukannya sedang menjelek-jelekan ibu, atau nggak ikhlas karena ibu menghabiskan semua gaji Mas Pamuji, tapi kami juga butuh, Bude." "Bude paham, Kar. Ibumu itu memang dari dulu seperti itu, demi dianggap mampu sering kali membeli barang secara kredit, pas tagihannya datang ya dia kelabakan, pasti datangnya ke bude. Bude bukannya perhitungan, tapi ... ibumu memang harus ditegur." "Sekarang dia menyusahkan anak dan menantunya, padahal bude bukan sekali dua kali menasehatinya, menolongnya dari rentenir," ucap Bude berkisah. Aku terkejut mendengar kenyataan lain tentang ibu mertuaku. "Apa kamu diam saja, Ji, nggak negur kelakuan ibumu?" "Mas Pamuji takut dianggap anak durhaka lagi Bude, dulu saat kami terbelit utang ibu sering mencela dan tidak segan-segan berucap bahwa kami durhaka," jawabku menyela. Mas Pamuji hanya diam dan mengiyakan ucapanku. "Berbakti memang nggak harus diukur dari harta, berilah ibumu semampunya saja, kasian Sekar dan anak-anakmu. Masalah ibumu menganggap kamu kurang berbakti pasrahkan aja sama Alloh, doakan dia agar hatinya melunak, agar dia berubah dan berhenti bergaul dengan orang-orang yang memaksanya harus terlihat kaya." "Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan. Apakah rumah tanggaku bisa selamat?"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan."Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang Bude Rum dengan bijaksana."Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap Mas Pamuji.Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari Mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.Dari raut wajah Bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan Bude."Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap Bude."Batas kekuatan Sekar sudah menipis Bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa."Kalau Mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu
"Ya Alloh!"Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya?Kenapa dia begitu tega?Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan Bude Rum.Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang
"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambut ibu sinis.Belum juga kami masuk ibu sudah mencecar kami. Ibu kembali terang-terangan bersikap kasar seperti dulu, biasanya ibu akan bersikap baik jika ada Mas Pamuji dan bersikap sinis bila Mas Pamuji tidak ada."Aku mau bicara sama Ibu," ucap Mas Pamuji, nada bicaranya masih terkontrol nampaknya nada sambutan ibu barusan tidak menjadi masalah bagi Mas Pamuji."Sekar pasti mengadu yang jelek tentang ibu, pasti dia ngelarang-ngelarang kamu ngasih uang ke ibu, ya sudah mulai sekarang jangan kasih-kasih uang ke ibu, biar istrimu tahu rasa nanti, karena mengambil yang bukan haknya, makanlah semua harta anakku sampai kau puas," ucap ibu, kedua tangannya terlipat di depan dada.Hatiku memanas mendengar setiap kalimat-kalimatnya, ingin sekali kukembalikan semua kata-kata itu padanya."Bu, Sekar nggak kaya gitu, memang kami hidup kekurangan selama ini, semua karena aku ingin membahagiakan Ibu, membayar 5 tahun sebelumnya dimana aku nggak mam
Keesokan paginya kami sarapan dengan masing-masing satu telur mata sapi, biasanya satu telur dibagi dua untuk Bagas dan Tika, atau kutambah dengan tepung biar jadi besar dan cukup untuk kami berempat. Aku ingin sedikit menghibur diri perihal telur dan beras kemarin.Ditemani secangkir kopi lengkap dengan gula untuk Mas Pamuji yang hendak berangkat kerja, serta segelas teh manis, tentunya untukku.Apa ini sudah bisa disebut hidup layak?Aku sangat senang dan mulai bersemangat kembali untuk meneruskan hidup sebagai istri Mas Pamuji.Suara derap kaki terdengar mendekati pintu depan rumah kami, benar saja suara ketukan mengikutinya kemudian. Aku bergegas membuka pintu, penasaran siapa yang bertamu sepagi ini dan mengetuk tanpa salam."Ibu?"Ibu berdiri di depan pintu dengan kepayahan membawa dua kardus dan sebuah kantong plastik besar."Apa ini, Bu?""Ibu mau balikin barang-barang yang ibu beli pake uang Pamuji," jawab ibu dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Tapi kenapa, Bu? Buat apa?" tan
Setelah Bagas masuk ke kelas, kuajak Tika ke rumah Bude Rum. Kutenteng sebungkus kue serabi hangat yang kubeli di jalan menuju ke sekolah Bagas tadi.Sesekali kugendong Tika agar kita lebih cepat sampai, karena nanti aku harus kembali menjemput Bagas pulang sekolah.Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai, halaman yang luas ditanami pohon mangga dan rambutan membuat suasana menjadi asri dan teduh. Juga berbagai bunga yang mempercantik suasana.Di garasi terparkir mobil keluaran lama, meski Bude dan Pakde orang berada namun mereka tidak serta merta hidup boros. Mereka akan merawat barang yang mereka punya dan baru akan membeli lagi ketika barang tersebut sudah tidak bisa digunakan.Bude memiliki dua orang putra dan satu orang putri, namun sayang putra pertamanya sudah meninggal saat remaja karena sebuah kecelakaan.Bude Rum dulunya seorang bidan, beliau berhenti ketika pakde sukses dengan bisnisnya dan fokus mengurus keluarga. Sebenarnya keluarga Bude Rum, ibu mertuaku, dan L
"Dimana kamu, Sekar? Aku harus bikin perhitungan sama kamu!" teriak Nurma dari seberang sana tanpa peduli salamku."Di sekolah Bagas," jawabku singkat."Aku tunggu kamu di rumah Ibu, aku mau ngomong penting!" ucapnya lagi kasar."Aku sibuk Nur, aku belum nyuci sama beres-beres rumah," tolakku."Oh kamu takut ya ketemu Ibu?" tebaknya salah."Sejak kapan Ibu jadi menakutkan?" tanyaku sekenanya."Oh, berani kamu ya, Sekar!""Sudahlah Nur, aku bilang cucianku banyak di rumah, aku sibuk, aku nyuci sambil jongkok kucek-kucek di kamar mandi, nggak kaya kamu atau Ibu yang tinggal muterin mesin cuci, jadi nggak bisa ditinggal-tinggal."Tanpa menunggu jawaban kutekan tombol matikan, malas sekali meladeni Nurma. Sudah kuduga Ibu akan mengadu pada anak-anak perempuannya. Walau umurku dan Nurma sama tapi aku adalah istri kakaknya, seharusnya dia memanggilku mbak, tapi dia selalu bersikap seenaknya.Nurma dan Rima bersikap hampir sama dengan ibu mertuaku, mungkin itu yang dinamakan buah jatuh tidak
Aku ingat seminggu setelah menikah Mas Pamuji memboyongku ke rumahnya, rumah ibu mertuaku. Saat itu Nurma terus saja mencari masalah hingga kami sering bertengkar, dan dulu ibu mertuaku masih baik, atau mungkin tepatnya masih pura-pura baik. Karena pada akhirnya aku memergoki mereka sedang menggunjingku.Mas Pamuji yang kasian padaku akhirnya nekat mengambil pinjaman ke bank untuk membeli rumah. Kebetulan ada rumah yang sedang di jual tidak jauh dari rumah ibu.Keputusan Mas Pamuji waktu itu ditentang oleh ibunya mengingat selama ini Mas Pamuji yang menanggung kebutuhan rumah ini. Ibu terus menggunjingku karena masalah rumah, tapi sepertinya beliau belum berani berterus terang mengucapkan kalimat-kalimat sadisnya di depanku.Awal-awal kami memiliki cicilan bank ibu masih menuntut jatahnya, lama kelamaan Mas Pamuji berterus terang kalau dia tidak bisa lagi memberi pada ibu.Sejak saat itu ibu yang selalu bersikap manis pada Mas Pamuji mulai berkata kasar dan mengucap kata durhaka denga
Baru kali ini aku diam saja ketika Nurma membentakku, keadaan membuatku menahan diri untuk tidak membalas. Mobil melaju meninggalkanku bersama kerumunan tetangga yang berkumpul dan ingin tahu.Mereka bertanya, aku saja tidak tahu, lebih baik aku pulang. Mas Pamuji pergi tanpa membawa ponsel atau pun dompetnya.Aku pun menemani Bagas dan Tika tidur dengan hati yang resah. Aku mengkhawatirkan Mas Pamuji yang baru pulang kerja dan belum sempat makan.Malam pun berlalu, saat subuh Bude Rum menelpon mengabariku tentang keadaan ibu. Ibu mengalami gejala stroke, kaki kanannya mati rasa sampai ke pinggang. Ibu dirawat di rumah sakit kota, dan Bude Rum mengajakku untuk kesana.Aku lemas dan tertunduk lesu, baru saja rumah tanggaku akan bahagia, tapi cobaan baru datang menyapa.Ibu sehat saja, gaji Mas Pamuji lebih banyak kesana, apa lagi nanti jika ibu stroke. Pembagian gaji yang Mas Pamuji katakan semalam sepertinya akan kembali gagal.Aku sedih ibu sakit, tapi aku merasa lebih sedih karena b
"Tapi ... mantannya Mas Pamuji cantik, kan?!" seru Nurma padaku."Cantik sih, tapi dia cantik dan sukses buat balas dendam! Apa kamu nggak sadar?!" ucapku marah.Nurma terlihat semakin kesal padaku, ibu pun sama tapi sepertinya dia mencoba menahannya."Sudah, Kar, ayo kita pulang!" ajak Mas Pamuji.Aku menuruti ajakan Mas Pamuji, meladeni Nurma bisa-bisa membuatku ikut kehilangan akal sehat. Terlihat Nurma kembali sibuk mengagumi uang di depannya sementara ibu menatap tidak rela."Kamu kenapa diem aja, Kar?" tanya Mas Pamuji setibanya di rumah."Aku kesel, Mas! Mala emang cantik, kan?" tanyaku memojokkan Mas Pamuji."Eh, enggak ... cantikan kamu Sekar," jawab Mas Pamuji tergagap, sepertinya Mas Pamuji tahu pertanyaan seperti ini akan salah apapun jawabannya."Mas ... jangan bohong, siapapun juga tahu kalo Mala itu cantik, aku mah apa atuh, bedak aja barengan sama Tika sama Bagas, lipstik harga 15 ribu belinya bisa dua tahun sekali, sabun mu--""Hust, sudahlah, Kar, nanti kalo kita pun
"Coba dulu Mbak Mala jadi iparku!" ucap Nurma.Seketika darahku mendidih, Nurma benar-benar menguji kesabaranku. Mungkin saja saat ini wajahku semerah tomat."Heh, nggak boleh gitu kamu, Nur!" tegur ibu pada Nurma.Aku terkejut, jelas sangat terkejut.Apa ibu sedang membelaku? Nampaknya ibu benar-benar mengibarkan bendera putih sekarang."Bercanda, Bu!" kilah Nurma."Pamali ngomong gitu, Nur, lagian kalo aku dulu jadi sama masmu, mungkin aku nggak di titik ini sekarang," ucap Mala sambil tersenyum."Jadi Mbak Mala ini mantannya Mas Pamuji?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Bisa dibilang begitu, Mbak Sekar, tapi dulu kami nggak direstui," jawab Mala tanpa ragu.Aku melirik pada Mas Pamuji dan ibu."Tapi jangan salah paham, aku nggak maksud apa-apa, aku emang pengen beli sesuatu buat si mbokku, kebetulan liat postingannya Nurma jadi aku beli," lanjut Mala, dan aku meragukannya."Oh ... kenapa nggak direstui?" tanyaku penasaran, susah sekali menyembunyikan rasa cemburu, apalagi Mala sangat
Pada akhirnya ibu setuju menjual ruko warisan dari mbah kakung dan mbah putri, alias orang tua ibu mertuaku. Sayangnya tidak mudah menjual properti dengan cepat, semua yang menawar memberikan harga yang tidak wajar.Jika ruko itu terjual pun uang yang Nurma butuhkan masih kurang, semua teman-temannya tidak ada yang peduli. Terakhir ibu dan Nurma mendatangi Bude Rum dan Bulek Tri, ibu menawarkan ruko tapi keduanya menolak, akhirnya keduanya kompak menyumbang masing-masing 25 juta."Assalamualaikum." Terdengar suara Mas Pamuji pulang kerja."Waalaikumsalam," jawabku seraya membukakan pintu untuknya.Mas Pamuji kembali menggunakan motor legend kami untuk berangkat kerja."Kenapa kok Mas lesu?" tanyaku melihat gestur suamiku."Aku punya kabar buruk, Kar! Maafin aku!" jawab amas Pamuji menunduk, dia meletakan bobot tubuhnya di sofa."Ada apa, Mas?" tanyaku antusias, batinku menerka-nerka cobaan apa lagi yang menghampiri kami."Aku dimutasi, gara-gara mobil kemarin aku dianggap nggak bisa m
Masalah yang kami hadapi cukup pelik, hingga akhirnya mereka pulang dan hanya meninggalkan Dani di penjara, untuk sementara Nurma dan Rima tetap tinggal di rumah ibu.Mas Pamuji mendapat surat peringatan dari perusahaan karena masalah ini, untung saja biaya kerusakan mobil ditanggung oleh asuransi. Namun tetap saja aku was-was karena mobil ini sudah pernah membunuh orang, aku takut sial.Belakangan diketahui bahwa Nurma dan Dani memang bertamasya, bukannya kondangan seperti yang mereka katakan. Mereka menabrak sebuah warung kecil dipinggir jalan ketika jalanan menurun dan Dani gagal mengendalikan mobilnya. Gadis yang meninggal sedang menunggu dagangan orang tuanya di warung tersebut.Semua terbongkar karena keluarga Dani datang dan semua terkejut atas musibah itu, tidak ada yang sedang hajatan di antara mereka. Nurma tidak bisa lagi mengelak.Kini semua sedang mengusahakan kebebasan Dani dengan meminta damai pada keluarga korban. Terakhir korban meminta uang duka 500 juta untuk berda
"Nurma sama Dani kecelakaan, katanya nelpon ke hape Ibu sama Rima nggak diangkat dari tadi, sekarang di rumah sakit," jawab Mas Pamuji panik."Innalilahi!" seru semua hampir berbarengan."Dimana?" tanya ibu panik."Keadaannya gimana?" tanyaku, padahal aku khawatir pada mobil yang dipakai Nurma."Ehm, kita harus ke sana, tapi naik apa? Minimal 2 jam dari sini," ucap Mas Pamuji.Kami kompak melirik ke arah Irfan, dia datang kemari membawa mobil. Irfan yang tahu arah pikiran kami mendengkus kesal, disaat musawarah tentangnya dan Rima belum menemukan jalan keluar justru Nurma memberikan masalah baru."Pake mobilku, tapi nggak bisa ikut semua, mobilku kecil!" ucap Irfan setengah hati, tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain.Akhirnya diputuskan bahwa yang berangkat Mas Pamuji, Irfan, dan juga ibu. Tentu saja aku tidak bisa karena harus menjaga Bagas dan juga Tika. Sementara Rima masih belum mau banyak berinteraksi dengan Irfan sehingga lebih memilih tinggal."Rim ... Irfan kok kaya
"Sepeda Bagas bagaimana, Mas?" tanyaku."Kita beli pake motor?" usul Mas Pamuji ragu."Ishk!"Kutinggalkan Mas Pamuji yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kemarin udah terlanjur bilang iya sama Nurma kan?" ucap Mas Pamuji sambil mendekatiku yang kesal."Iya, sih," gumamku pelan, kembali kuhela napas.Aku pikir sikap Nurma yang arogan mengisyaratkan kalau dia tidak jadi meminjam mobil hari ini. Ternyata dia tetap memakainya meskipun sudah membuat keributan kemarin.Ternyata gengsinya tidak setinggi gaya bicaranya. Apalagi kata-kata suaminya tentang kepemilikan mobil itu, semakin membuatku geram."Lihat, Mas! Nurma yang serumah sama ibu, juga nggak simpati-simpati amat sama masalah Rima, ketelen aja tuh dia jalan-jalan sama keluarganya," ucapku pada Mas Pamuji."Itu kan kondangan, Kar, mungkin nggak enak sama keluarga Dani," jawab Mas Pamuji."Aku nggak yakin Dani punya sodara di kota itu, tempat wisata mah ada, pemandian air panas, mungkin aja Nurma ke sana, alesannya kon
"Apa?!" pekik ibu.Ibu berlari pulang di susul Nurma di belakangnya, aku yang penasaran pun ikut berlari.Ibu mendekap Rima yang menangis, Nurma duduk di sampingnya dan mengusap lembut punggung Rima. Kuberanikan diri mendekat, aku juga ingin tahu apa yang menimpanya.Tampak sebuah tas besar di sisi lain kursi, nampaknya milik Rima. Ada Dani dan Adeva juga, suami dan anak Nurma, ternyata mereka juga ada di sini."Aku nggak mau pulang ke sana lagi, Bu, aku nggak mau!" raung Rima dalam tangisnya."Iya ... iya," sahut ibu."Tapi Rafa gimana? Ibu harus ambil Rafa dari keluarga mas Irfan!" raung Rima lagi."Sudah kamu tenang dulu, Rim, kalo udah tenang baru bisa nyari solusi," ucap Nurma.Cukup lama akhirnya sampai Rima tenang, aku berinisiatif membuatkan teh manis untuknya. Sependek ini aku hanya tahu Rima pergi dari rumahnya karena suaminya ketahuan berselingkuh. Awalnya Rima akan membawa Rafa, anaknya, tapi dihalangi oleh ibu mertuanya.Ibu tampak kalut dengan masalah rumah tangga anakn
Kudekatkan mulutku ke telinga Ibu, kubisikan kalimat yang sudah kutahan-tahan."Mulai sekarang aku akan ngelindungin Mas Pamuji dari orang yang suka manfaatin dia, terutama dari orang yang udah mencoba membunuh Mas Pamuji sebelum dia lahir!"Mata ibu membelalak, dan aku puas.Sikap ibu yang terlihat sangat terkejut dan panik, menunjukan bahwa dia benar-benar pernah melakukan usaha aborsi itu. Rasa kecewaku semakin memuncak. Sebutan ibu hampir tidak pantas disandangnya.Nurma terlihat bingung menyaksikan ekspresi ibunya yang terkejut. Dadaku naik turun menahan emosi, keberanian yang kukumpulkan untuk melawan mereka sudah mulai berbaur dengan amarah."K-kamu?" ucap ibu tergagap."Iya, aku tahu semua!" tegasku."Ada apa, Bu?" tanya Nurma panik, dia yang datang dengan percaya diri sekarang terintimidasi."Dari mana kamu tahu?" tanya ibu sedikit berbisik, berusaha agar Nurma tidak tahu."Udah waktunya aja rahasia Ibu kebongkar," jawabku sengaja membuat ibu bingung."Jangan sok tahu kamu!"
"Mau kondangan kemana Nur?" tanya Mas Pamuji."Ke luar kota Mas, sodaranya Mas Dani hajatan," jawab Nurma."Nggak usah dikasih, Mas! Giliran kita ada mobil tiba-tiba suaminya punya sodara di luar kota yang hajatan, gitu?" bisikku di telinga Mas Pamuji."Besok aku lembur, Nur, mobilnya kepake," tutur Mas Pamuji."Mas pake motor aja, dulu juga Mas pake motor terus," rajuk Nurma."Wong lemburnya juga keluar kota, kunjungan industri, mau ngeliat vendor baru," ucap Mas Pamuji."Dulu kerjaan Mas cuma di pabrik, sekarang kan harus sering ke luar kota, banyak mobilitasnya, makanya dikasih inventaris mobil, kalo enggak ya nggak dikasih sama kantor," lanjut Mas Pamuji menjelaskan.Nurma terlihat kesal, aku tidak peduli benar atau tidak alasan lemburnya Mas Pamuji, aku merasa puas. Kemana mereka saat kami susah?Saat kami punya mereka datang bagaikan lalat. Aku tidak akan membiarkan suamiku mengemis kasih sayang lagi pada mereka."Ya udah aku pinjemnya hari minggu aja," pinta Nurma pantang menye