Share

Benarkah keputusanku?

Penulis: Betti Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-13 20:57:51

"Ibu minta uang, Ji, mau arisan."

"Kan kemarin udah dikasih, Bu," jawab Mas Pamuji.

"Itu buat kebutuhan yang lain, sekarang ibu mau arisan," ucap ibu ngotot.

"Arisan apa lagi sih, Bu?" tanya Mas Pamuji.

Aku sengaja menutup telinga, sakit hatiku mendengar setiap rengekan ibu yang menurutku keterlaluan. Ibu memaksa Mas Pamuji memberi lebih dan lebih untuk memenuhi gaya hidupnya, ibu selalu panasan jika ada tetangga yang punya sesuatu lebih darinya. Kalau yang ibu minta untuk kebutuhan primer atau untuk sesuatu yang penting hatiku tidak akan sesakit ini.

Mas Pamuji masuk ke kamar dan meraih sebuah benda pipih berwarna coklat, sudah kuduga dia tidak bisa menolak permintaan ibu. Kulemparkan pandangan ke tembok, kecewa kembali kurasakan melihat sikap suamiku.

Uang yang dipakai ibu untuk bergaya adalah uang yang akan kugunakan untuk membayar SPP Bagas yang sudah menunggak 3 bulan. Mas Pamuji menjanjikan akan membayarnya bulan depan, bulan depan, dan bulan depan. Sepertinya bulan ini aku harus kembali menanggung malu dan meminta tenggang waktu pada guru Bagas.

Tanpa mengucap sepatah kata pun padaku, Mas Pamuji keluar dan menyerahkan uang yang ibunya minta. Sayup-sayup terdengar ibu pamit dengan girang. Aku rindu cicilan, rindu sindiran ibu karena Mas Pamuji tidak pernah bisa memberinya uang, setidaknya aku tidak lagi mengorbankan kebutuhan primer anak-anakku untuk kebutuhan tersier ibu mertuaku.

Mas Pamuji kembali ke kamar dengan wajah tertunduk, dia duduk dengan lesu tanpa berani menoleh ke arahku.

"Maaf, Sekar!" ucapnya lirih.

"Kita berpisah aja, Mas," pintaku lagi, mas Pamuji mendongak lemah mendengar kebulatan tekatku.

"Kamu bisa kerja Sekar tanpa perlu berpisah," ucap mas Pamuji menolak permintaanku.

"Mas ... kalau aku kerja sekarang bukannya kebutuhan Bagas dan Tika tercukupi, tapi ibumu yang akan semakin menjadi. Mentang-mentang aku kerja nanti akan makin banyak yang ibumu minta, aku yakin itu."

Mas Pamuji kembali menunduk dan membuang napas dengan kasar.

"Apa yang kamu kasih ke ibu tadi adalah yang SPP Bagas, Mas?" Mas Pamuji diam tanpa berani menjawab.

"Dulu kami hidup serba kekurangan," ucap Mas Pamuji, "demi membesarkan aku, Nurma, dan Rima ibu banyak menahan keinginannya, karena bapak hanyalah seorang buruh bangunan. Jadi sekarang ibu sedang menuntaskan semua keinginan yang dulu dia pendam, Sekar," kisah Mas Pamuji.

"Dan lagi, perbedaan nasib Ibu dengan Bude Rum dan Bulek Tri yang beruntung mendapat suami yang berada dan hidup enak, membuat Ibu merasa dunia nggak adil sama dia," lanjut mas Pamuji.

"Jadi, maklumi tingkah ibuku," pungkas Mas Pamuji.

"Sampai kapan, Mas? Sampai ibumu puas? Kapan puasnya? Boleh aja bergaya seperti itu jika mampu, permasalahannya kamu mengorbankan kami untuk gaya hidup ibumu, miris, Mas! Memalukan, di usianya seharusnya ibu banyak beribadah bukan sibuk mengejar kesenangan." Dadaku naik turun mengeluarkan semua unek-unek yang kupendam.

"Dan ... pembelaanmu untuk semua sikap ibu yang boros, membuatku semakin yakin, jalan satu-satunya agar anak-anak bisa bahagia adalah pisah."

Kutinggalkan Mas Pamuji di kamar, dua tahun rasanya sudah cukup bagiku untuk bersabar, tapi sebagai seorang ibu aku tidak akan membiarkan anak-anakku terus-terusan hidup susah.

Aku masuk ke kamar anak-anak, mengambil sebuah kardus untuk mengemas baju-baju anakku. Bahkan baju-baju anakku adalah pemberian dari Bude Rum, bekas cucunya yang sudah kekecilan. Kalau tidak, mungkin anak-anaku tidak punya baju yang pantas.

Air mataku menetes setiap menyentuh lembar demi lembar baju Bagas dan Tika, kasian sekali mereka. Baju, sepatu, mainan, dan masih banyak lagi barang yang mereka punya adalah bekas cucu Bude Rum. Bude Rum memang baik, kehidupan beliau juga baik, anak-anaknya sukses dan hidup enak.

Tapi akan salah, bila ibu mertuaku menggunakan kehidupan Bude Rum sebagai tolak ukur kebahagianya, bukankah setiap orang memiliki nasib yang berbeda?

Aku bergerak perlahan karena Tika sedang tidur siang, sementara Bagas sedang bermain di luar. Setelah selesai aku kembali ke kamar untuk mengemasi bajuku, baju yang tidak seberapa dan tentu saja sebagian adalah baju bekas pemberian Bude Rum atau Bulek Tri.

Kardus, iya, hanya kardus, karena aku tidak punya tas besar. Aku bergerak cekatan, aku ingin segera pulang, menutup mata melihat hak-hak kami dinikmati ibu mertuaku.

"Sekar ... jangan gegabah, apa kamu benar-benar harus pergi secepat ini?" tanya suamiku.

"Aku sudah memikirkannya sejak lama, sejak Mas lebih banyak memberiku janji dan kepedihan sementara ibu hidup mewah tapi tidak berfaedah."

"Ganti bajumu, Mas! Antar aku dan anak-anak ke rumah Mas Anjar, kita memulai baik-baik, dan karena penyebab kita berpisah bukan berasal dari diri kita pribadi, jadi aku harap hubungan kita tetap baik demi anak-anak."

Kedua orang tuaku telah meninggal sejak lama, aku hanya punya seorang kakak. Butuh waktu kurang lebih 5 jam perjalanan menggunakan bus untuk sampai ke rumah Mas Anjar. Di sanalah aku berencana memulai kehidupan baru.

Hanya dengkusan kesal Mas Pamuji yang kudengar, aku tidak peduli, bila dia tidak bisa tegas maka aku yang akan tegas.

"Duduk dulu, Sekar! Obrolan kita belum selesai, masih ada jalan lain," ucapnya berusaha menghentikanku.

"Jalan yang kaya gimana, Mas? Ada sekolah Bagas yang harus dibayar, ada beras yang tinggal segelas yang harus dibeli, ada kebutuhan dapur untuk kita makan sehari-hari yang mulai habis, sementara gajian Mas yang belum ada seminggu udah habis entah kemana."

"Aku lelah, Mas!" teriakku mulai kehilangan kesabaran.

"Sebentar lagi Bagas pulang, dan Tika juga bangun. Kalau Mas nggak mau nganterin, aku terpaksa pergi sendiri," ucapku tidak peduli.

"Baiklah Sekar, aku ijinkan kamu pergi. Mungkin kamu butuh waktu menenangkan diri dan berpikir jer--"

"Aku butuh dinafkahi, Mas! Secara layak ... aku sangat memaklumi ketika dulu Mas memang nggak punya, tapi nggak untuk sekarang!" Kuucapkan kalimat ini tepat di depan wajah mas Pamuji.

Lelaki yang sudah kudampingi suka dukanya, cinta dan taat yang kujunjung tinggi perlahan luntur, karena kenyataan hidup bahwa anak-anakku tidak akan hidup layak hanya dengan cinta. Mata kami saling beradu, mataku yang penuh dengan amarah dan mata Mas Pamuji yang putus asa. Percayalah, tidak mudah bagiku untuk sampai pada keputusan ini.

Terdengar suara anak sulungku pulang, tanganku reflek menyeka airmata dan mengontrol raut wajah agar terlihat baik-baik saja. Begitu juga dengan Mas Pamuji, kami selalu menghindari bertengkar di depan anak-anak.

"Mama ... Bagas pulang! Assalamualaikum," teriak bocah 7 tahun itu lantang, sebentar lagi dia akan masuk SD, berbagai biaya sudah kuprediksi menunggu di depan sana.

"Waalaikumsalam, Bagas habis main dimana?" sambutku.

"Habis main di rumah Raka. Mah, Raka punya mobil remot baru, namanya mobil monster, mobilnya bagus bisa jumping bisa jalan di air juga dan enggak rusak pas kena air, Bagas mau, Mah, mobil kaya gitu," celotehnya panjang.

"Ayah ... Bagas mau mobil-mobilan kaya Raka," pinta Bagas menghampiri ayahnya.

Mas Pamuji terlihat sedih mendengar permintaan Bagas, anak laki-laki yang saat kelahirannya dulu, dia sambut dengan bahagia.

"Sudah jangan ganggu ayah, ayo Bagas mandi kita akan ke rumah Pakde Anjar." Segera kuambil alih Bagas yang akan merengek pada mas Pamuji.

"Tapi sekali aja, Mah, Bagas pengen punya mobil monster kaya Raka, nanti Bagas jaga baik-baik, Mah, Bagas nggak akan rusakin, Bagas janji," rengeknya padaku, kudengarkan semua permintaanya dengan pilu sambil tanganku cekatan membuka bajunya dan menyuruhnya mandi.

"Iya, Gas, doakan mama punya rejeki yang baanyaak biar bisa beliin Bagas mobil remot kaya Raka, yah," jawabku mencoba menenangkan Bagas.

"Ya Alloh ... beri ayah Bagas rejeki ya Alloh, eh salah, beri mama Bagas rejeki ya Alloh, Aamiin," ucapnya sambil tangan menengadah ke atas.

"Aamiin ...," ucapku membarengi Bagas.

"Kenapa rejeki mama bukan rejeki ayah? Biasanya Mama nyuruh Bagas doain ayah," tanya Bagas dengan lugu.

"Karena mama juga mau kerja kaya ayah, biar Bagas punya mainan dan biar Bagas bisa makan chiken yang Bagas pengen, jadi Bagas harus banyak-banyak doain mama sekarang."

Bocah itu akhirnya mandi, Bagas memang sedang dalam fase banyak bertanya. Aku bergerak ke kamar untuk membangunkan Tika, sementara mas Pamuji masih terdiam di tempatnya. Mungkin dia tersinggung dengan percakapanku tadi dengan Bagas, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan saja kami kekurangan apalagi untuk membeli mainan.

Dengan sedikit repot kami bertiga telah rapih. Kemudian kuhampiri mas Pamuji di kamar untuk bertanya kesanggupannya untuk mengantar. Mas Pamuji tengah duduk termenung di sisi ranjang, perlahan kudekati, keputusanku telah bulat, diantar ataupun tidak aku akan tetap membawa anak-anak pergi. Terlebih bayangan bahwa aku akan bisa membahagiakan anak-anak membuatku semakin ingin lepas dari Mas Pamuji dan ibunya.

"Mas ... kami udah siap, Mas mau nganterin atau enggak?" tanyaku.

Mas Pamuji tidak menjawab, perlahan kulihat pundaknya bergerak naik turun. Mas Pamuji menangis. Dengan kalut kudekati suamiku itu, kupegang pundaknya untuk memberinya kekuatan. Detik berikutnya Mas Pamuji memelukku erat dan semakin leluasa melepas tangisnya.

Tiga kali kusaksikan Mas Pamuji menangis, pertama saat kelahiran Bagas, kedua saat kelahiran Tika, dan ketiga adalah saat ini. Kubiarkan Mas Pamuji melepas kesedihannya. Kutepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. Seperti memakan buah simalakama, hatiku sakit tidak tergambarkan.

Benarkah keputusanku?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Apa Rumah Tanggaku Bisa Selamat?

    "Maafkan aku, Sekar!" ucap Mas Pamuji sesenggukan."Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu ataupun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!"'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku.Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada Mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan."Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak."Kulepas pelukan Mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar?"Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya Mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya."Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku."Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi."Mas bebas menemui mereka n

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Seliter Beras Dan Sebutir Telur

    "Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan."Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang Bude Rum dengan bijaksana."Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap Mas Pamuji.Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari Mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.Dari raut wajah Bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan Bude."Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap Bude."Batas kekuatan Sekar sudah menipis Bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa."Kalau Mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Suara Hati Mas Pamuji

    "Ya Alloh!"Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya?Kenapa dia begitu tega?Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan Bude Rum.Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Mendebat Ibu

    "Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambut ibu sinis.Belum juga kami masuk ibu sudah mencecar kami. Ibu kembali terang-terangan bersikap kasar seperti dulu, biasanya ibu akan bersikap baik jika ada Mas Pamuji dan bersikap sinis bila Mas Pamuji tidak ada."Aku mau bicara sama Ibu," ucap Mas Pamuji, nada bicaranya masih terkontrol nampaknya nada sambutan ibu barusan tidak menjadi masalah bagi Mas Pamuji."Sekar pasti mengadu yang jelek tentang ibu, pasti dia ngelarang-ngelarang kamu ngasih uang ke ibu, ya sudah mulai sekarang jangan kasih-kasih uang ke ibu, biar istrimu tahu rasa nanti, karena mengambil yang bukan haknya, makanlah semua harta anakku sampai kau puas," ucap ibu, kedua tangannya terlipat di depan dada.Hatiku memanas mendengar setiap kalimat-kalimatnya, ingin sekali kukembalikan semua kata-kata itu padanya."Bu, Sekar nggak kaya gitu, memang kami hidup kekurangan selama ini, semua karena aku ingin membahagiakan Ibu, membayar 5 tahun sebelumnya dimana aku nggak mam

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Kenyataan Yang Lucu

    Keesokan paginya kami sarapan dengan masing-masing satu telur mata sapi, biasanya satu telur dibagi dua untuk Bagas dan Tika, atau kutambah dengan tepung biar jadi besar dan cukup untuk kami berempat. Aku ingin sedikit menghibur diri perihal telur dan beras kemarin.Ditemani secangkir kopi lengkap dengan gula untuk Mas Pamuji yang hendak berangkat kerja, serta segelas teh manis, tentunya untukku.Apa ini sudah bisa disebut hidup layak?Aku sangat senang dan mulai bersemangat kembali untuk meneruskan hidup sebagai istri Mas Pamuji.Suara derap kaki terdengar mendekati pintu depan rumah kami, benar saja suara ketukan mengikutinya kemudian. Aku bergegas membuka pintu, penasaran siapa yang bertamu sepagi ini dan mengetuk tanpa salam."Ibu?"Ibu berdiri di depan pintu dengan kepayahan membawa dua kardus dan sebuah kantong plastik besar."Apa ini, Bu?""Ibu mau balikin barang-barang yang ibu beli pake uang Pamuji," jawab ibu dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Tapi kenapa, Bu? Buat apa?" tan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Nasehat Bude Rum

    Setelah Bagas masuk ke kelas, kuajak Tika ke rumah Bude Rum. Kutenteng sebungkus kue serabi hangat yang kubeli di jalan menuju ke sekolah Bagas tadi.Sesekali kugendong Tika agar kita lebih cepat sampai, karena nanti aku harus kembali menjemput Bagas pulang sekolah.Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai, halaman yang luas ditanami pohon mangga dan rambutan membuat suasana menjadi asri dan teduh. Juga berbagai bunga yang mempercantik suasana.Di garasi terparkir mobil keluaran lama, meski Bude dan Pakde orang berada namun mereka tidak serta merta hidup boros. Mereka akan merawat barang yang mereka punya dan baru akan membeli lagi ketika barang tersebut sudah tidak bisa digunakan.Bude memiliki dua orang putra dan satu orang putri, namun sayang putra pertamanya sudah meninggal saat remaja karena sebuah kecelakaan.Bude Rum dulunya seorang bidan, beliau berhenti ketika pakde sukses dengan bisnisnya dan fokus mengurus keluarga. Sebenarnya keluarga Bude Rum, ibu mertuaku, dan L

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Drama Ibu

    "Dimana kamu, Sekar? Aku harus bikin perhitungan sama kamu!" teriak Nurma dari seberang sana tanpa peduli salamku."Di sekolah Bagas," jawabku singkat."Aku tunggu kamu di rumah Ibu, aku mau ngomong penting!" ucapnya lagi kasar."Aku sibuk Nur, aku belum nyuci sama beres-beres rumah," tolakku."Oh kamu takut ya ketemu Ibu?" tebaknya salah."Sejak kapan Ibu jadi menakutkan?" tanyaku sekenanya."Oh, berani kamu ya, Sekar!""Sudahlah Nur, aku bilang cucianku banyak di rumah, aku sibuk, aku nyuci sambil jongkok kucek-kucek di kamar mandi, nggak kaya kamu atau Ibu yang tinggal muterin mesin cuci, jadi nggak bisa ditinggal-tinggal."Tanpa menunggu jawaban kutekan tombol matikan, malas sekali meladeni Nurma. Sudah kuduga Ibu akan mengadu pada anak-anak perempuannya. Walau umurku dan Nurma sama tapi aku adalah istri kakaknya, seharusnya dia memanggilku mbak, tapi dia selalu bersikap seenaknya.Nurma dan Rima bersikap hampir sama dengan ibu mertuaku, mungkin itu yang dinamakan buah jatuh tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27
  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Jatah Ibu Mertuaku

    Aku ingat seminggu setelah menikah Mas Pamuji memboyongku ke rumahnya, rumah ibu mertuaku. Saat itu Nurma terus saja mencari masalah hingga kami sering bertengkar, dan dulu ibu mertuaku masih baik, atau mungkin tepatnya masih pura-pura baik. Karena pada akhirnya aku memergoki mereka sedang menggunjingku.Mas Pamuji yang kasian padaku akhirnya nekat mengambil pinjaman ke bank untuk membeli rumah. Kebetulan ada rumah yang sedang di jual tidak jauh dari rumah ibu.Keputusan Mas Pamuji waktu itu ditentang oleh ibunya mengingat selama ini Mas Pamuji yang menanggung kebutuhan rumah ini. Ibu terus menggunjingku karena masalah rumah, tapi sepertinya beliau belum berani berterus terang mengucapkan kalimat-kalimat sadisnya di depanku.Awal-awal kami memiliki cicilan bank ibu masih menuntut jatahnya, lama kelamaan Mas Pamuji berterus terang kalau dia tidak bisa lagi memberi pada ibu.Sejak saat itu ibu yang selalu bersikap manis pada Mas Pamuji mulai berkata kasar dan mengucap kata durhaka denga

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27

Bab terbaru

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Anak Hasil Mel*nte 😭

    "Tapi ... mantannya Mas Pamuji cantik, kan?!" seru Nurma padaku."Cantik sih, tapi dia cantik dan sukses buat balas dendam! Apa kamu nggak sadar?!" ucapku marah.Nurma terlihat semakin kesal padaku, ibu pun sama tapi sepertinya dia mencoba menahannya."Sudah, Kar, ayo kita pulang!" ajak Mas Pamuji.Aku menuruti ajakan Mas Pamuji, meladeni Nurma bisa-bisa membuatku ikut kehilangan akal sehat. Terlihat Nurma kembali sibuk mengagumi uang di depannya sementara ibu menatap tidak rela."Kamu kenapa diem aja, Kar?" tanya Mas Pamuji setibanya di rumah."Aku kesel, Mas! Mala emang cantik, kan?" tanyaku memojokkan Mas Pamuji."Eh, enggak ... cantikan kamu Sekar," jawab Mas Pamuji tergagap, sepertinya Mas Pamuji tahu pertanyaan seperti ini akan salah apapun jawabannya."Mas ... jangan bohong, siapapun juga tahu kalo Mala itu cantik, aku mah apa atuh, bedak aja barengan sama Tika sama Bagas, lipstik harga 15 ribu belinya bisa dua tahun sekali, sabun mu--""Hust, sudahlah, Kar, nanti kalo kita pun

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Balas Dendam Mala

    "Coba dulu Mbak Mala jadi iparku!" ucap Nurma.Seketika darahku mendidih, Nurma benar-benar menguji kesabaranku. Mungkin saja saat ini wajahku semerah tomat."Heh, nggak boleh gitu kamu, Nur!" tegur ibu pada Nurma.Aku terkejut, jelas sangat terkejut.Apa ibu sedang membelaku? Nampaknya ibu benar-benar mengibarkan bendera putih sekarang."Bercanda, Bu!" kilah Nurma."Pamali ngomong gitu, Nur, lagian kalo aku dulu jadi sama masmu, mungkin aku nggak di titik ini sekarang," ucap Mala sambil tersenyum."Jadi Mbak Mala ini mantannya Mas Pamuji?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Bisa dibilang begitu, Mbak Sekar, tapi dulu kami nggak direstui," jawab Mala tanpa ragu.Aku melirik pada Mas Pamuji dan ibu."Tapi jangan salah paham, aku nggak maksud apa-apa, aku emang pengen beli sesuatu buat si mbokku, kebetulan liat postingannya Nurma jadi aku beli," lanjut Mala, dan aku meragukannya."Oh ... kenapa nggak direstui?" tanyaku penasaran, susah sekali menyembunyikan rasa cemburu, apalagi Mala sangat

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Pembeli Ruko Yang ....

    Pada akhirnya ibu setuju menjual ruko warisan dari mbah kakung dan mbah putri, alias orang tua ibu mertuaku. Sayangnya tidak mudah menjual properti dengan cepat, semua yang menawar memberikan harga yang tidak wajar.Jika ruko itu terjual pun uang yang Nurma butuhkan masih kurang, semua teman-temannya tidak ada yang peduli. Terakhir ibu dan Nurma mendatangi Bude Rum dan Bulek Tri, ibu menawarkan ruko tapi keduanya menolak, akhirnya keduanya kompak menyumbang masing-masing 25 juta."Assalamualaikum." Terdengar suara Mas Pamuji pulang kerja."Waalaikumsalam," jawabku seraya membukakan pintu untuknya.Mas Pamuji kembali menggunakan motor legend kami untuk berangkat kerja."Kenapa kok Mas lesu?" tanyaku melihat gestur suamiku."Aku punya kabar buruk, Kar! Maafin aku!" jawab amas Pamuji menunduk, dia meletakan bobot tubuhnya di sofa."Ada apa, Mas?" tanyaku antusias, batinku menerka-nerka cobaan apa lagi yang menghampiri kami."Aku dimutasi, gara-gara mobil kemarin aku dianggap nggak bisa m

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Mencari Uang Damai

    Masalah yang kami hadapi cukup pelik, hingga akhirnya mereka pulang dan hanya meninggalkan Dani di penjara, untuk sementara Nurma dan Rima tetap tinggal di rumah ibu.Mas Pamuji mendapat surat peringatan dari perusahaan karena masalah ini, untung saja biaya kerusakan mobil ditanggung oleh asuransi. Namun tetap saja aku was-was karena mobil ini sudah pernah membunuh orang, aku takut sial.Belakangan diketahui bahwa Nurma dan Dani memang bertamasya, bukannya kondangan seperti yang mereka katakan. Mereka menabrak sebuah warung kecil dipinggir jalan ketika jalanan menurun dan Dani gagal mengendalikan mobilnya. Gadis yang meninggal sedang menunggu dagangan orang tuanya di warung tersebut.Semua terbongkar karena keluarga Dani datang dan semua terkejut atas musibah itu, tidak ada yang sedang hajatan di antara mereka. Nurma tidak bisa lagi mengelak.Kini semua sedang mengusahakan kebebasan Dani dengan meminta damai pada keluarga korban. Terakhir korban meminta uang duka 500 juta untuk berda

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Menunggu Kabar

    "Nurma sama Dani kecelakaan, katanya nelpon ke hape Ibu sama Rima nggak diangkat dari tadi, sekarang di rumah sakit," jawab Mas Pamuji panik."Innalilahi!" seru semua hampir berbarengan."Dimana?" tanya ibu panik."Keadaannya gimana?" tanyaku, padahal aku khawatir pada mobil yang dipakai Nurma."Ehm, kita harus ke sana, tapi naik apa? Minimal 2 jam dari sini," ucap Mas Pamuji.Kami kompak melirik ke arah Irfan, dia datang kemari membawa mobil. Irfan yang tahu arah pikiran kami mendengkus kesal, disaat musawarah tentangnya dan Rima belum menemukan jalan keluar justru Nurma memberikan masalah baru."Pake mobilku, tapi nggak bisa ikut semua, mobilku kecil!" ucap Irfan setengah hati, tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain.Akhirnya diputuskan bahwa yang berangkat Mas Pamuji, Irfan, dan juga ibu. Tentu saja aku tidak bisa karena harus menjaga Bagas dan juga Tika. Sementara Rima masih belum mau banyak berinteraksi dengan Irfan sehingga lebih memilih tinggal."Rim ... Irfan kok kaya

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Bertubi-tubi

    "Sepeda Bagas bagaimana, Mas?" tanyaku."Kita beli pake motor?" usul Mas Pamuji ragu."Ishk!"Kutinggalkan Mas Pamuji yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kemarin udah terlanjur bilang iya sama Nurma kan?" ucap Mas Pamuji sambil mendekatiku yang kesal."Iya, sih," gumamku pelan, kembali kuhela napas.Aku pikir sikap Nurma yang arogan mengisyaratkan kalau dia tidak jadi meminjam mobil hari ini. Ternyata dia tetap memakainya meskipun sudah membuat keributan kemarin.Ternyata gengsinya tidak setinggi gaya bicaranya. Apalagi kata-kata suaminya tentang kepemilikan mobil itu, semakin membuatku geram."Lihat, Mas! Nurma yang serumah sama ibu, juga nggak simpati-simpati amat sama masalah Rima, ketelen aja tuh dia jalan-jalan sama keluarganya," ucapku pada Mas Pamuji."Itu kan kondangan, Kar, mungkin nggak enak sama keluarga Dani," jawab Mas Pamuji."Aku nggak yakin Dani punya sodara di kota itu, tempat wisata mah ada, pemandian air panas, mungkin aja Nurma ke sana, alesannya kon

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Karma

    "Apa?!" pekik ibu.Ibu berlari pulang di susul Nurma di belakangnya, aku yang penasaran pun ikut berlari.Ibu mendekap Rima yang menangis, Nurma duduk di sampingnya dan mengusap lembut punggung Rima. Kuberanikan diri mendekat, aku juga ingin tahu apa yang menimpanya.Tampak sebuah tas besar di sisi lain kursi, nampaknya milik Rima. Ada Dani dan Adeva juga, suami dan anak Nurma, ternyata mereka juga ada di sini."Aku nggak mau pulang ke sana lagi, Bu, aku nggak mau!" raung Rima dalam tangisnya."Iya ... iya," sahut ibu."Tapi Rafa gimana? Ibu harus ambil Rafa dari keluarga mas Irfan!" raung Rima lagi."Sudah kamu tenang dulu, Rim, kalo udah tenang baru bisa nyari solusi," ucap Nurma.Cukup lama akhirnya sampai Rima tenang, aku berinisiatif membuatkan teh manis untuknya. Sependek ini aku hanya tahu Rima pergi dari rumahnya karena suaminya ketahuan berselingkuh. Awalnya Rima akan membawa Rafa, anaknya, tapi dihalangi oleh ibu mertuanya.Ibu tampak kalut dengan masalah rumah tangga anakn

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Permintaan Maaf Dari Ibu

    Kudekatkan mulutku ke telinga Ibu, kubisikan kalimat yang sudah kutahan-tahan."Mulai sekarang aku akan ngelindungin Mas Pamuji dari orang yang suka manfaatin dia, terutama dari orang yang udah mencoba membunuh Mas Pamuji sebelum dia lahir!"Mata ibu membelalak, dan aku puas.Sikap ibu yang terlihat sangat terkejut dan panik, menunjukan bahwa dia benar-benar pernah melakukan usaha aborsi itu. Rasa kecewaku semakin memuncak. Sebutan ibu hampir tidak pantas disandangnya.Nurma terlihat bingung menyaksikan ekspresi ibunya yang terkejut. Dadaku naik turun menahan emosi, keberanian yang kukumpulkan untuk melawan mereka sudah mulai berbaur dengan amarah."K-kamu?" ucap ibu tergagap."Iya, aku tahu semua!" tegasku."Ada apa, Bu?" tanya Nurma panik, dia yang datang dengan percaya diri sekarang terintimidasi."Dari mana kamu tahu?" tanya ibu sedikit berbisik, berusaha agar Nurma tidak tahu."Udah waktunya aja rahasia Ibu kebongkar," jawabku sengaja membuat ibu bingung."Jangan sok tahu kamu!"

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Aku Akan Melindungi Suamiku

    "Mau kondangan kemana Nur?" tanya Mas Pamuji."Ke luar kota Mas, sodaranya Mas Dani hajatan," jawab Nurma."Nggak usah dikasih, Mas! Giliran kita ada mobil tiba-tiba suaminya punya sodara di luar kota yang hajatan, gitu?" bisikku di telinga Mas Pamuji."Besok aku lembur, Nur, mobilnya kepake," tutur Mas Pamuji."Mas pake motor aja, dulu juga Mas pake motor terus," rajuk Nurma."Wong lemburnya juga keluar kota, kunjungan industri, mau ngeliat vendor baru," ucap Mas Pamuji."Dulu kerjaan Mas cuma di pabrik, sekarang kan harus sering ke luar kota, banyak mobilitasnya, makanya dikasih inventaris mobil, kalo enggak ya nggak dikasih sama kantor," lanjut Mas Pamuji menjelaskan.Nurma terlihat kesal, aku tidak peduli benar atau tidak alasan lemburnya Mas Pamuji, aku merasa puas. Kemana mereka saat kami susah?Saat kami punya mereka datang bagaikan lalat. Aku tidak akan membiarkan suamiku mengemis kasih sayang lagi pada mereka."Ya udah aku pinjemnya hari minggu aja," pinta Nurma pantang menye

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status