"Ibu minta uang, Ji, mau arisan."
"Kan kemarin udah dikasih, Bu," jawab Mas Pamuji. "Itu buat kebutuhan yang lain, sekarang ibu mau arisan," ucap ibu ngotot. "Arisan apa lagi sih, Bu?" tanya Mas Pamuji. Aku sengaja menutup telinga, sakit hatiku mendengar setiap rengekan ibu yang menurutku keterlaluan. Ibu memaksa Mas Pamuji memberi lebih dan lebih untuk memenuhi gaya hidupnya, ibu selalu panasan jika ada tetangga yang punya sesuatu lebih darinya. Kalau yang ibu minta untuk kebutuhan primer atau untuk sesuatu yang penting hatiku tidak akan sesakit ini. Mas Pamuji masuk ke kamar dan meraih sebuah benda pipih berwarna coklat, sudah kuduga dia tidak bisa menolak permintaan ibu. Kulemparkan pandangan ke tembok, kecewa kembali kurasakan melihat sikap suamiku. Uang yang dipakai ibu untuk bergaya adalah uang yang akan kugunakan untuk membayar SPP Bagas yang sudah menunggak 3 bulan. Mas Pamuji menjanjikan akan membayarnya bulan depan, bulan depan, dan bulan depan. Sepertinya bulan ini aku harus kembali menanggung malu dan meminta tenggang waktu pada guru Bagas. Tanpa mengucap sepatah kata pun padaku, Mas Pamuji keluar dan menyerahkan uang yang ibunya minta. Sayup-sayup terdengar ibu pamit dengan girang. Aku rindu cicilan, rindu sindiran ibu karena Mas Pamuji tidak pernah bisa memberinya uang, setidaknya aku tidak lagi mengorbankan kebutuhan primer anak-anakku untuk kebutuhan tersier ibu mertuaku. Mas Pamuji kembali ke kamar dengan wajah tertunduk, dia duduk dengan lesu tanpa berani menoleh ke arahku. "Maaf, Sekar!" ucapnya lirih. "Kita berpisah aja, Mas," pintaku lagi, mas Pamuji mendongak lemah mendengar kebulatan tekatku. "Kamu bisa kerja Sekar tanpa perlu berpisah," ucap mas Pamuji menolak permintaanku. "Mas ... kalau aku kerja sekarang bukannya kebutuhan Bagas dan Tika tercukupi, tapi ibumu yang akan semakin menjadi. Mentang-mentang aku kerja nanti akan makin banyak yang ibumu minta, aku yakin itu." Mas Pamuji kembali menunduk dan membuang napas dengan kasar. "Apa yang kamu kasih ke ibu tadi adalah yang SPP Bagas, Mas?" Mas Pamuji diam tanpa berani menjawab. "Dulu kami hidup serba kekurangan," ucap Mas Pamuji, "demi membesarkan aku, Nurma, dan Rima ibu banyak menahan keinginannya, karena bapak hanyalah seorang buruh bangunan. Jadi sekarang ibu sedang menuntaskan semua keinginan yang dulu dia pendam, Sekar," kisah Mas Pamuji. "Dan lagi, perbedaan nasib Ibu dengan Bude Rum dan Bulek Tri yang beruntung mendapat suami yang berada dan hidup enak, membuat Ibu merasa dunia nggak adil sama dia," lanjut mas Pamuji. "Jadi, maklumi tingkah ibuku," pungkas Mas Pamuji. "Sampai kapan, Mas? Sampai ibumu puas? Kapan puasnya? Boleh aja bergaya seperti itu jika mampu, permasalahannya kamu mengorbankan kami untuk gaya hidup ibumu, miris, Mas! Memalukan, di usianya seharusnya ibu banyak beribadah bukan sibuk mengejar kesenangan." Dadaku naik turun mengeluarkan semua unek-unek yang kupendam. "Dan ... pembelaanmu untuk semua sikap ibu yang boros, membuatku semakin yakin, jalan satu-satunya agar anak-anak bisa bahagia adalah pisah." Kutinggalkan Mas Pamuji di kamar, dua tahun rasanya sudah cukup bagiku untuk bersabar, tapi sebagai seorang ibu aku tidak akan membiarkan anak-anakku terus-terusan hidup susah. Aku masuk ke kamar anak-anak, mengambil sebuah kardus untuk mengemas baju-baju anakku. Bahkan baju-baju anakku adalah pemberian dari Bude Rum, bekas cucunya yang sudah kekecilan. Kalau tidak, mungkin anak-anaku tidak punya baju yang pantas. Air mataku menetes setiap menyentuh lembar demi lembar baju Bagas dan Tika, kasian sekali mereka. Baju, sepatu, mainan, dan masih banyak lagi barang yang mereka punya adalah bekas cucu Bude Rum. Bude Rum memang baik, kehidupan beliau juga baik, anak-anaknya sukses dan hidup enak. Tapi akan salah, bila ibu mertuaku menggunakan kehidupan Bude Rum sebagai tolak ukur kebahagianya, bukankah setiap orang memiliki nasib yang berbeda? Aku bergerak perlahan karena Tika sedang tidur siang, sementara Bagas sedang bermain di luar. Setelah selesai aku kembali ke kamar untuk mengemasi bajuku, baju yang tidak seberapa dan tentu saja sebagian adalah baju bekas pemberian Bude Rum atau Bulek Tri. Kardus, iya, hanya kardus, karena aku tidak punya tas besar. Aku bergerak cekatan, aku ingin segera pulang, menutup mata melihat hak-hak kami dinikmati ibu mertuaku. "Sekar ... jangan gegabah, apa kamu benar-benar harus pergi secepat ini?" tanya suamiku. "Aku sudah memikirkannya sejak lama, sejak Mas lebih banyak memberiku janji dan kepedihan sementara ibu hidup mewah tapi tidak berfaedah." "Ganti bajumu, Mas! Antar aku dan anak-anak ke rumah Mas Anjar, kita memulai baik-baik, dan karena penyebab kita berpisah bukan berasal dari diri kita pribadi, jadi aku harap hubungan kita tetap baik demi anak-anak." Kedua orang tuaku telah meninggal sejak lama, aku hanya punya seorang kakak. Butuh waktu kurang lebih 5 jam perjalanan menggunakan bus untuk sampai ke rumah Mas Anjar. Di sanalah aku berencana memulai kehidupan baru. Hanya dengkusan kesal Mas Pamuji yang kudengar, aku tidak peduli, bila dia tidak bisa tegas maka aku yang akan tegas. "Duduk dulu, Sekar! Obrolan kita belum selesai, masih ada jalan lain," ucapnya berusaha menghentikanku. "Jalan yang kaya gimana, Mas? Ada sekolah Bagas yang harus dibayar, ada beras yang tinggal segelas yang harus dibeli, ada kebutuhan dapur untuk kita makan sehari-hari yang mulai habis, sementara gajian Mas yang belum ada seminggu udah habis entah kemana." "Aku lelah, Mas!" teriakku mulai kehilangan kesabaran. "Sebentar lagi Bagas pulang, dan Tika juga bangun. Kalau Mas nggak mau nganterin, aku terpaksa pergi sendiri," ucapku tidak peduli. "Baiklah Sekar, aku ijinkan kamu pergi. Mungkin kamu butuh waktu menenangkan diri dan berpikir jer--" "Aku butuh dinafkahi, Mas! Secara layak ... aku sangat memaklumi ketika dulu Mas memang nggak punya, tapi nggak untuk sekarang!" Kuucapkan kalimat ini tepat di depan wajah mas Pamuji. Lelaki yang sudah kudampingi suka dukanya, cinta dan taat yang kujunjung tinggi perlahan luntur, karena kenyataan hidup bahwa anak-anakku tidak akan hidup layak hanya dengan cinta. Mata kami saling beradu, mataku yang penuh dengan amarah dan mata Mas Pamuji yang putus asa. Percayalah, tidak mudah bagiku untuk sampai pada keputusan ini. Terdengar suara anak sulungku pulang, tanganku reflek menyeka airmata dan mengontrol raut wajah agar terlihat baik-baik saja. Begitu juga dengan Mas Pamuji, kami selalu menghindari bertengkar di depan anak-anak. "Mama ... Bagas pulang! Assalamualaikum," teriak bocah 7 tahun itu lantang, sebentar lagi dia akan masuk SD, berbagai biaya sudah kuprediksi menunggu di depan sana. "Waalaikumsalam, Bagas habis main dimana?" sambutku. "Habis main di rumah Raka. Mah, Raka punya mobil remot baru, namanya mobil monster, mobilnya bagus bisa jumping bisa jalan di air juga dan enggak rusak pas kena air, Bagas mau, Mah, mobil kaya gitu," celotehnya panjang. "Ayah ... Bagas mau mobil-mobilan kaya Raka," pinta Bagas menghampiri ayahnya. Mas Pamuji terlihat sedih mendengar permintaan Bagas, anak laki-laki yang saat kelahirannya dulu, dia sambut dengan bahagia. "Sudah jangan ganggu ayah, ayo Bagas mandi kita akan ke rumah Pakde Anjar." Segera kuambil alih Bagas yang akan merengek pada mas Pamuji. "Tapi sekali aja, Mah, Bagas pengen punya mobil monster kaya Raka, nanti Bagas jaga baik-baik, Mah, Bagas nggak akan rusakin, Bagas janji," rengeknya padaku, kudengarkan semua permintaanya dengan pilu sambil tanganku cekatan membuka bajunya dan menyuruhnya mandi. "Iya, Gas, doakan mama punya rejeki yang baanyaak biar bisa beliin Bagas mobil remot kaya Raka, yah," jawabku mencoba menenangkan Bagas. "Ya Alloh ... beri ayah Bagas rejeki ya Alloh, eh salah, beri mama Bagas rejeki ya Alloh, Aamiin," ucapnya sambil tangan menengadah ke atas. "Aamiin ...," ucapku membarengi Bagas. "Kenapa rejeki mama bukan rejeki ayah? Biasanya Mama nyuruh Bagas doain ayah," tanya Bagas dengan lugu. "Karena mama juga mau kerja kaya ayah, biar Bagas punya mainan dan biar Bagas bisa makan chiken yang Bagas pengen, jadi Bagas harus banyak-banyak doain mama sekarang." Bocah itu akhirnya mandi, Bagas memang sedang dalam fase banyak bertanya. Aku bergerak ke kamar untuk membangunkan Tika, sementara mas Pamuji masih terdiam di tempatnya. Mungkin dia tersinggung dengan percakapanku tadi dengan Bagas, tapi mau bagaimana lagi, untuk makan saja kami kekurangan apalagi untuk membeli mainan. Dengan sedikit repot kami bertiga telah rapih. Kemudian kuhampiri mas Pamuji di kamar untuk bertanya kesanggupannya untuk mengantar. Mas Pamuji tengah duduk termenung di sisi ranjang, perlahan kudekati, keputusanku telah bulat, diantar ataupun tidak aku akan tetap membawa anak-anak pergi. Terlebih bayangan bahwa aku akan bisa membahagiakan anak-anak membuatku semakin ingin lepas dari Mas Pamuji dan ibunya. "Mas ... kami udah siap, Mas mau nganterin atau enggak?" tanyaku. Mas Pamuji tidak menjawab, perlahan kulihat pundaknya bergerak naik turun. Mas Pamuji menangis. Dengan kalut kudekati suamiku itu, kupegang pundaknya untuk memberinya kekuatan. Detik berikutnya Mas Pamuji memelukku erat dan semakin leluasa melepas tangisnya. Tiga kali kusaksikan Mas Pamuji menangis, pertama saat kelahiran Bagas, kedua saat kelahiran Tika, dan ketiga adalah saat ini. Kubiarkan Mas Pamuji melepas kesedihannya. Kutepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. Seperti memakan buah simalakama, hatiku sakit tidak tergambarkan. Benarkah keputusanku?"Maafkan aku, Sekar!" ucap Mas Pamuji sesenggukan."Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu ataupun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!"'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku.Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada Mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan."Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak."Kulepas pelukan Mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar?"Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya Mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya."Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku."Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi."Mas bebas menemui mereka n
"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan."Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang Bude Rum dengan bijaksana."Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap Mas Pamuji.Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari Mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.Dari raut wajah Bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan Bude."Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap Bude."Batas kekuatan Sekar sudah menipis Bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa."Kalau Mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu
"Ya Alloh!"Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya?Kenapa dia begitu tega?Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan Bude Rum.Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang
"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambut ibu sinis.Belum juga kami masuk ibu sudah mencecar kami. Ibu kembali terang-terangan bersikap kasar seperti dulu, biasanya ibu akan bersikap baik jika ada Mas Pamuji dan bersikap sinis bila Mas Pamuji tidak ada."Aku mau bicara sama Ibu," ucap Mas Pamuji, nada bicaranya masih terkontrol nampaknya nada sambutan ibu barusan tidak menjadi masalah bagi Mas Pamuji."Sekar pasti mengadu yang jelek tentang ibu, pasti dia ngelarang-ngelarang kamu ngasih uang ke ibu, ya sudah mulai sekarang jangan kasih-kasih uang ke ibu, biar istrimu tahu rasa nanti, karena mengambil yang bukan haknya, makanlah semua harta anakku sampai kau puas," ucap ibu, kedua tangannya terlipat di depan dada.Hatiku memanas mendengar setiap kalimat-kalimatnya, ingin sekali kukembalikan semua kata-kata itu padanya."Bu, Sekar nggak kaya gitu, memang kami hidup kekurangan selama ini, semua karena aku ingin membahagiakan Ibu, membayar 5 tahun sebelumnya dimana aku nggak mam
Keesokan paginya kami sarapan dengan masing-masing satu telur mata sapi, biasanya satu telur dibagi dua untuk Bagas dan Tika, atau kutambah dengan tepung biar jadi besar dan cukup untuk kami berempat. Aku ingin sedikit menghibur diri perihal telur dan beras kemarin.Ditemani secangkir kopi lengkap dengan gula untuk Mas Pamuji yang hendak berangkat kerja, serta segelas teh manis, tentunya untukku.Apa ini sudah bisa disebut hidup layak?Aku sangat senang dan mulai bersemangat kembali untuk meneruskan hidup sebagai istri Mas Pamuji.Suara derap kaki terdengar mendekati pintu depan rumah kami, benar saja suara ketukan mengikutinya kemudian. Aku bergegas membuka pintu, penasaran siapa yang bertamu sepagi ini dan mengetuk tanpa salam."Ibu?"Ibu berdiri di depan pintu dengan kepayahan membawa dua kardus dan sebuah kantong plastik besar."Apa ini, Bu?""Ibu mau balikin barang-barang yang ibu beli pake uang Pamuji," jawab ibu dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Tapi kenapa, Bu? Buat apa?" tan
Setelah Bagas masuk ke kelas, kuajak Tika ke rumah Bude Rum. Kutenteng sebungkus kue serabi hangat yang kubeli di jalan menuju ke sekolah Bagas tadi.Sesekali kugendong Tika agar kita lebih cepat sampai, karena nanti aku harus kembali menjemput Bagas pulang sekolah.Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai, halaman yang luas ditanami pohon mangga dan rambutan membuat suasana menjadi asri dan teduh. Juga berbagai bunga yang mempercantik suasana.Di garasi terparkir mobil keluaran lama, meski Bude dan Pakde orang berada namun mereka tidak serta merta hidup boros. Mereka akan merawat barang yang mereka punya dan baru akan membeli lagi ketika barang tersebut sudah tidak bisa digunakan.Bude memiliki dua orang putra dan satu orang putri, namun sayang putra pertamanya sudah meninggal saat remaja karena sebuah kecelakaan.Bude Rum dulunya seorang bidan, beliau berhenti ketika pakde sukses dengan bisnisnya dan fokus mengurus keluarga. Sebenarnya keluarga Bude Rum, ibu mertuaku, dan L
"Dimana kamu, Sekar? Aku harus bikin perhitungan sama kamu!" teriak Nurma dari seberang sana tanpa peduli salamku."Di sekolah Bagas," jawabku singkat."Aku tunggu kamu di rumah Ibu, aku mau ngomong penting!" ucapnya lagi kasar."Aku sibuk Nur, aku belum nyuci sama beres-beres rumah," tolakku."Oh kamu takut ya ketemu Ibu?" tebaknya salah."Sejak kapan Ibu jadi menakutkan?" tanyaku sekenanya."Oh, berani kamu ya, Sekar!""Sudahlah Nur, aku bilang cucianku banyak di rumah, aku sibuk, aku nyuci sambil jongkok kucek-kucek di kamar mandi, nggak kaya kamu atau Ibu yang tinggal muterin mesin cuci, jadi nggak bisa ditinggal-tinggal."Tanpa menunggu jawaban kutekan tombol matikan, malas sekali meladeni Nurma. Sudah kuduga Ibu akan mengadu pada anak-anak perempuannya. Walau umurku dan Nurma sama tapi aku adalah istri kakaknya, seharusnya dia memanggilku mbak, tapi dia selalu bersikap seenaknya.Nurma dan Rima bersikap hampir sama dengan ibu mertuaku, mungkin itu yang dinamakan buah jatuh tidak
Aku ingat seminggu setelah menikah Mas Pamuji memboyongku ke rumahnya, rumah ibu mertuaku. Saat itu Nurma terus saja mencari masalah hingga kami sering bertengkar, dan dulu ibu mertuaku masih baik, atau mungkin tepatnya masih pura-pura baik. Karena pada akhirnya aku memergoki mereka sedang menggunjingku.Mas Pamuji yang kasian padaku akhirnya nekat mengambil pinjaman ke bank untuk membeli rumah. Kebetulan ada rumah yang sedang di jual tidak jauh dari rumah ibu.Keputusan Mas Pamuji waktu itu ditentang oleh ibunya mengingat selama ini Mas Pamuji yang menanggung kebutuhan rumah ini. Ibu terus menggunjingku karena masalah rumah, tapi sepertinya beliau belum berani berterus terang mengucapkan kalimat-kalimat sadisnya di depanku.Awal-awal kami memiliki cicilan bank ibu masih menuntut jatahnya, lama kelamaan Mas Pamuji berterus terang kalau dia tidak bisa lagi memberi pada ibu.Sejak saat itu ibu yang selalu bersikap manis pada Mas Pamuji mulai berkata kasar dan mengucap kata durhaka denga
"Jangan-jangan ibu diguna-guna?" ucap Nurma menduga-duga.Mas Pamuji yang sedang kalut pun tersulut dengan praduga dari Nurma, padahal benda-benda di tangannya lebih mirip benda yang telah lama dirawat, mungkin saja benda itu milik ibu."Mas ... itu bukan benda buat guna-guna perasaan deh," ucapku berusaha mengoyahkan prasangka buruk Mas Pamuji pada siapapun."Kita coba aja, Kar, tanya ke Mbah Sanusi," tutur Mas Pamuji.Kami semua pergi ke rumah Mbah Sanusi, seseorang yang dituakan di kampung Mas Pamuji. Aku tidak tahu kalau Mbah Sanusi ternyata bisa mengetahui hal-hal gaib semacam ini.Mobil terparkir di halaman sebuah rumah yang sederhana, meskipun begitu suasana hangat dan sejuk menyatu menjadi satu di hunian yang nyaman. Terlihat sekali kalau Mbah Sanusi orang yang taat.Kami bertiga dipersilahkan masuk. Sambil menyesap rokok lintingannya Mbah Sanusi menanyai maksud kedatangan kami."Mbah udah denger tentang Susi, Ji," ucap Mbah Sanusi."Iya, Mbah guru, kalau kata dokter ibu depre
Setelah kepergian Rima, kami bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Kami bergegas menyelesaikan urusan rumah dan kembali ke rumah kami yang baru secepatnya.Sedikit ada rasa yang mengganjal ketika kuturuti keinginan Mas Pamuji yang tidak mau mampir ke rumah ibu. Sejujurnya aku senang, hanya saja aku takut salah. Ya sudah, toh itu ibu Mas Pamuji, dan yang tidak mau datang anaknya sendiri, aku tidak ikut campur.Seminggu kemudian, ponselku dan Mas Pamuji terus berdering. Panggilan dari ibu dan juga Nurma, keduanya menanyakan keberadaan Rima. Sesuai perjanjian kami diam dan pura-pura tidak tahu. Keluarga Irfan berkali-kali datang ke rumah ibu, mereka masih menganggap ibu dan Nurma yang menyembunyikan Rima.Karena jarak kami jauh, sehingga memudahkanku dan Mas Pamuji untuk berbohong, kami akhirnya sibuk dan lupa pada masalah Rima meski ibu dan Nurma masih sering menghubungi kami dan menceritakan betapa kacaunya keadaan mereka.Ibu ... andai saja ibu tahu kepedihan Rima, pasti ibu akan berpi
Aku bergantian mandi dengan Mas Pamuji, setelahnya kami pergi makan di luar berdua saja."Mas ... kamu nggak mau mampir ke rumah Ibu?" tanyaku pada Mas Pamuji."Nggak usahlah," jawab Mas Pamuji apatis."Kita kelarin aja urusan kita di sini, terus kita pulang," lanjut Mas Pamuji.Aku senang mendengarnya, tidak munafik bukan?"Ehm, seenggaknya mampir ke tempat Bude," ucapku lagi."Iya, nanti mampir," jawab Mas Pamuji.Kami membeli martabak dan buah-buahan untuk Bude Rum. Kali ini kami juga membelikan jajanan untuk cucu Bude Rum di mini market."Assalamualaikum," sapaku. Terdengar jawaban dari dalam rumah besar milik Bude."Waalaikumsalam, eh kamu, Kar? Apa kabar?" jawab Mbak Arum menyalamiku."Baik Mbak.""Kamu keliatan ganteng sekarang, Ji," ucap Mbak Arum menyalami Mas Pamuji."Ganteng dari dulu perasaan," jawab Mas Pamuji sambil terkekeh."Pakde mana?" tanya Mas Pamuji."Di dalam, cari aja," ucap Mbak Arum, Mas Pamuji pun masuk ke dalam."Mana Bagas sama Tika?" tanya Mbak Arum."Ngga
"Harusnya kamu juga bersikap baik ke aku, atau ... jangan-jangan mereka juga udah ngebuang kamu sama Dani pas kalian susah begini?" tuturku menyindir, muka Nurma merah padam, dadanya naik turun tidak terima dengan ucapanku."Sekar!" seru Nurma."Jadi benar?" tanyaku mengulang.Tangan Nurma melayang ke wajahku dengan cepat, aku tidak punya waktu untuk menangkisnya, tapi aku masih sempat untuk menghindar."Nur!" bentak Mas Pamuji.Tangan Nurma hanya menabrak udara kosong. Tampaknya aku telah memasuki ranah sensitif pada diri Nurma. Ibu hanya bisa diam, sudah terlanjur malu."Kamu marah, Nur?""Enggak salah?""Kamu pun memperlakukan aku kaya gitu, enggak sadar atau emang sengaja?" tanyaku menahan kesal."Jangan ikut campur masalahku, Kar! Kalau nggak mau bantu ya sudah," seru Nurma, emosinya meninggi, dia benar-benar tersinggung."Bagus kalo gitu, kamu juga nggak usah ikut campur lagi, ngeliat saudara punya kok langsung panas, aku bisa baik kalau kamu baik, aku cuma menyesuaikan diri sam
"Rumahnya nggak usah dijual, kalo kamu mau pindah ke kampungnya Sekar yang di kaki gunung itu, ya pindah aja, kasian adekmu nggak punya rumah, kasih aja ke Nurma," ucap ibu.Inti kalimat yang sukses membuat mataku membelalak."Apa?!" seruku tidak percaya."Nggak bisa gitu dong, Bu," protes Mas Pamuji, penolakannya yang terlalu halus membuatku semakin kesal."Kasian sedikit lah sama aku, Mas, utang Mas Dani banyak, omongan tetangga semakin hari semakin nggak enak karena aku malah numpang di rumah ibu, aku juga sering berantem sama Mas Dani," lanjut Nurma mengiba."Ya nggak bisa, Nur, Mas udah cukup mbantu kamu dengan nggak minta pertanggung jawaban apapun ke kamu tentang mobil yang rusak, tentang skors yang harus Mas dapet dari perusahaan, tentang pemindahan bagian dan lainnya," jelas Mas Pamuji."Bahkan kejadian itu juga nambah alasan perusahaan buat ngeluarin Mas dari pekerjaan," lanjut Mas Pamuji."Sudahlah, Ji, itu udah berlalu, sesama saudara itu saling tolong menolong, siapa yang
Aku mencoba memaafkan ibu meski dia tidak pernah meminta maaf, bukan karena aku baik, tapi karena aku harus sehat secara mental.Meskipun begitu adegan pelemparan uang di rumah bude masih belum bisa kulupakan. Aku tidak mengingatnya, aku justru berusaha keras melupakannya, tapi sulit rasanya, hampir di setiap mataku terpejam adegan itu kembali terbayang.Merasa terhina, rendah, dan dilecehkan. Aku tidak terima tapi tidak bisa melawan. Aku hanya bisa membayangkan jika aku bisa memutar kembali waktu, akan kutepis tangan ibu, atau paling tidak aku akan membela diri.Secara tidak sadar ucapan dan doa buruk ibu yang terus berulang telah mendoktrinku. Terekam di alam bawah sadar, membuat semua ucapan ibu seolah menjadi nyata.Aku sangat takut, cemas, dan insecure. Namun perlahan kucoba menggapai kembali kesadaranku, berkali-kali kuucapkan, ini bukan karma!Ini berkah, ini jawaban dari doa-doaku, ini jalan keluar dari masalah yang sudah membuatku muak, akhirnya aku bisa menjauh dari ibu, bah
Hari itu juga kami pergi ke rumah Mas Anjar diantar oleh Pakde menggunakan mobilnya. Tentu saja aku sangat terbantu mengingat banyaknya barang bawaanku.Mentalku semakin lemah. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari ibu, dari makiannya, dari sumpah serapahnya, dari doa-doa buruk yang tidak pantas keluar dari mulutnya."Banyak-banyak beristighfar, mohon ampun, nggak akan rugi orang yang berbanyak-banyak meminta ampun pada Alloh. Mungkin ibu mertuamu salah, mungkin juga kalian salah dalam menegurnya. Nggak ada yang tahu. Hanya Alloh yang berhak menghakimi keadaan kalian."Nasehat Pakde akan selalu kuingat.*Kedatangan kami disambut hangat oleh Mas Anjar dan Mba Fatma, kakak iparku. Meskipun mereka sedikit heran melihat barang bawaan kami yang banyak, karena aku membawa semua baju dan mainan anak-anak, tapi mereka mengerti dan tidak terburu-buru banyak bertanya.Rumah yang Mas Anjar tempati adalah rumah masa kecil kami dulu, tempat dimana kenangan orang tuaku masih ada. Aku merasa nyaman d
"Aku di-PHK, Kar," tuturnya."Hah? Di-PHK? Jangan bercanda, Mas," tegurku.Mas Pamuji tidak menjawab, dia melewatiku begitu saja dan merebahkan tubuhnya di sofa. Aku penasaran, tapi aku harus menata hatiku jika kabar ini bukan candaan dari Mas Pamuji.Kubuatkan secangkir teh dulu untuk Mas Pamuji seraya berpikir, dalam rangka apa perusahaan mengurangi karyawannya? Atau jangan-jangan Mas Pamuji membuat kesalahan?"Minum dulu, Mas," ucapku sambil meletakan secangkir teh itu di meja.Mas Pamuji bangkit dengan lesu kemudian menyeruput teh yang kubuat. Matanya tidak berani melihat ke arahku."Mas? Beneran di-PHK?" tanyaku coba memberanikan diri.Mas Pamuji hanya mengangguk pelan."Kenapa, Mas? Alasannya apa?" tanyaku tidak terima."Ada Manager yang nggak suka sama serikat pekerja, jadi ... dia memanipulasi data, membuat masalah seolah-olah anggota serikat yang buat," jelas Mas Pamuji."Jadi?""Ya jadi beberapa pengurus serikat disalahkan atas kerugian perusahaan karena masalah fiktif itu,
"Tika ketabrak mobil, sekarang di rumah sakit! Kita kocar kacir nyariin kamu dari tadi!"Ibu berteriak, bukan suara keras ibu yang membuat kesadaranku berhamburan, tapi kabar yang ibu sampaikan membuatku panik.Aku diam, aku nge-blank. Aku berusaha mencerna kabar yang ibu bawa. Aku tidak peduli lagi pada kesengajaan ibu memakiku di depan umum."Heh! Sekar! Malah bengong anak di rumah sakit kamu malah diem nggak cepet tanggap!""Begini nih, mantu durhaka, sibuk nilai kekurangan mertuanya tapi lupa sama kewajiban sendiri!" maki ibu lagi.Sakit!Tapi kalimatnya berhasil membuat pikiranku yang syok kembali bekerja normal."Ditabrak dimana, Bu? Kok bisa? Mereka udah pulang tadi?" tanyaku bingung."Harusnya ibu yang nanya! Kamu itu ibu mereka bukan?!" hardik ibu."Rumah sakit mana, Bu?" tanyaku panik."Rumah sakit Permata keluarga, udah susul sana! Dari tadi dicariin juga!" teriak ibu kasar. Suaranya keras menggema kemana-mana, semua orang mendengar.Aku pantas menerimanya. Aku teledor. Sei