Keesokan paginya kami sarapan dengan masing-masing satu telur mata sapi, biasanya satu telur dibagi dua untuk Bagas dan Tika, atau kutambah dengan tepung biar jadi besar dan cukup untuk kami berempat. Aku ingin sedikit menghibur diri perihal telur dan beras kemarin.
Ditemani secangkir kopi lengkap dengan gula untuk Mas Pamuji yang hendak berangkat kerja, serta segelas teh manis, tentunya untukku. Apa ini sudah bisa disebut hidup layak? Aku sangat senang dan mulai bersemangat kembali untuk meneruskan hidup sebagai istri Mas Pamuji. Suara derap kaki terdengar mendekati pintu depan rumah kami, benar saja suara ketukan mengikutinya kemudian. Aku bergegas membuka pintu, penasaran siapa yang bertamu sepagi ini dan mengetuk tanpa salam. "Ibu?" Ibu berdiri di depan pintu dengan kepayahan membawa dua kardus dan sebuah kantong plastik besar. "Apa ini, Bu?" "Ibu mau balikin barang-barang yang ibu beli pake uang Pamuji," jawab ibu dengan nafas sedikit ngos-ngosan. "Tapi kenapa, Bu? Buat apa?" tanyaku semakin heran. "Pokoknya ibu kembalikan! Kenapa-kenapanya kamu introspeksi sendiri, jangan sok polos kamu, Sekar." "Ibu tahu sifat kamu yang sebenarnya. Silahkan kuasai anak ibu, ibu jamin kehidupan kalian nggak akan tenang!" jawab ibu dengan ketus dan kasar, nadanya pun tinggi. "Astaghfirullohaladzim," pekikku dengan terkejut. Drama apa lagi yang ibu lakonkan? "Ada apa ini? Kenapa, Bu?" ucap Mas Pamuji yang keluar mendengar teriakan ibu. "Ambil semua yang ibu pernah minta dari kamu, Ji!" ucap ibu masih dengan nada yang tidak rendah. "Jangan sampai kalian kelaparan gara-gara ibu," lanjutnya. "Istighfar, Bu. Aku yakin Ibu ngerti maksudku dan Sekar, tapi kenapa Ibu bersikap berlebihan seperti ini?" tanya Mas Pamuji, dia maju lebih dekat dan berdiri di depanku, gestur tubuhnya menandakan dia sedang melindungiku. "Berlebihan kamu bilang?!" protes ibu. "Ibu juga punya perasaan, Ji. Apa yang kalian lakukan seperti penghinaan bagi ibu, seolah-olah aku ibu yang jahat, yang mementingkan diri ibu sendiri." "Begitu kan Sekar, penilaianmu pada ibu?" Ibu menatapku sinis. "Baru segini aja kalian sudah perhitungan, padahal ibu baru minta sedikit, tapi kalian sudah kelabakan." Ucapan ibu semakin merembet kemana-mana. "Makan semua Sekar, jangan sampai kamu dan anak-anakmu kelaparan!" lanjut ibu meluapkan amarah yang menurutku tidak jelas akar dan ujungnya. Sikapnya seperti remaja yang ngambek karena tidak dituruti, aku mengurut dada menyaksikan tingkah ibu yang semakin absurd dan susah kumengerti. Definisi seorang ibu seperti tidak ada di diri beliau. Mas Pamuji mengepalkan tangan, dia menahan marah. Ibu mulai berjongkok dan mengeluarkan isi dari kardus yang dia bawa. Baju, sepatu, gamis, dan masih banyak barang-barang lainnya yang bahkan aku tak tahu namanya. Ibu melemparkan apapun yang berhasil dia raih dari dalam kardus ke arahku. Beruntung Mas Pamuji berhasil meraih tangan ibu dan menahannya. "Berhenti, Bu!" Aku yang terlalu kuper, ditambah ibuku yang terlampau jauh bergaul. Hampir saja lupa, ibu mertuaku bahkan memakai behel gigi berwarna tosca, rambutnya sedada bercat merah, dan diluruskan. Bila pergi jauh beliau memakai jilbab, dan kalau cuma sekitaran sini beliau bergaya bak ABG. Aku jauh terbanting bila dibandingkan dengan nenek dari anak-anakku itu. Ibu juga sering membagikan foto-foto yang, maaf ... centil, di sosmed miliknya. Hampir setiap hal ibu tulis sebagai status, aku yang jarang memiliki paket data saja sampai paham isi update-an ibu. Ibu juga memiliki sebuah motor matic, yang setiap bulan dana servicenya hampir seperti jatah bulanan dapurku yang kempis. Motornya selalu di modif seperti anak motor, ganti ban-lah, pelek-lah, jok-lah, sepion-lah, sampai-sampai hampir tidak ada lagi bagian yang ori di motor itu. Aku heran, ibu mertuaku bergaul dengan siapa sebenarnya? Sementara motor yang digunakan Mas Pamuji pergi kerja adalah motor bekas yang kubelikan dari hasil pencairan BP*S ketenagakerjaan milikku, ketika motor milik Mas Pamuji hilang hampir 5 tahun lalu. Aku mendengkus nelangsa dan tersenyum kecut mendapati kenyataan yang lucu seperti ini. Aku mengelus dada bukan untuk meminta hatiku bersabar, tapi aku sedang mengasihani diriku yang kuper dan juga menertawakan diriku sendiri. Aku hanya berdoa, jangan sampai sifat seperti itu ada yang menurun pada anak-anakku. "Ayo pulang, Bu. Aku antar sekalian berangkat kerja!" ucap Mas Pamuji sambil menarik tangan ibu untuk mengikutinya menuju motor kami yang butut. "Nggak usah, nanti bensinnya dihitung juga sama Sekar!" Ibu menarik tangannya dari pegangan Mas Pamuji dengan kasar. Aku memuji kesabaran dan kemampuan Mas Pamuji untuk menahan amarah. Andai ibuku masih hidup, aku pasti bisa berlindung pada doa-doanya yang baik untuk kami, dari doa-doa yang buruk dari ibu mertuaku. Aku yakin Alloh tahu apa yang ada di hati kami, tidak sedikit pun terbesit keinginan untuk menjadi durhaka. Aku pun ikut bahagia ketika ibu sedang memuji dan mengelu-elukan Mas Pamuji saat Mas Pamuji membuatnya senang, dan hatiku nelangsa melihat ibu dengan entengnya mengucapkan sesuatu yang buruk atas mas Pamuji ketika keinginannya tidak terpenuhi seperti ini. Andai mampu, aku pasti lebih memilih untuk menyenangkan ibu dan memberikan apapun yang beliau minta. Namun bagaimana mungkin kami bisa menyuguhkan langit ketika kaki kami tidak menyentuh bumi? Ibu pergi, mendahului Mas Pamuji. Hari yang dimulai dengan indah tiba-tiba hancur, membuat semangat yang tadinya menggebu menjadi layu. Ibu bisakah kami berbakti dengan cara yang lain? Kuhampiri Mas Pamuji dan memberinya senyum. Kuraih tangannya dan menciumnya dengan takdzim. "Maaf Sekar, sepertinya keadaan malah memburuk," sesal Mas Pamuji. "Bukan salahmu, Mas. Sudahlah kita banyak-banyak berdoa aja buat ibu," ucapku berusaha menenangkan Mas Pamuji. "Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalin aku, Sekar," ucap Mas Pamuji lirih. "Aku takut kamu kembali berpikir untuk berpisah," lanjutnya. "Insha Alloh enggak, Mas. Bagiku yang terpenting adalah sikap Mas padaku dan anak-anak, hari ini Mas sudah menunjukan sikap yang membuat aku yakin untuk bertahan, Mas." "Iya, Sekar. Sabar, ya, suatu saat pasti ibu berubah." Aku mengangguk saja, meski dalam hatiku ada seratus persen ragu. Mas Pamuji pun berangkat, aku berbalik dan melihat Bagas dan Tika sedang memegang-megang barang-barang yang ibu bawa. Mereka penasaran dan bertanya ini itu. Kujawab pertanyaan receh mereka sembari membereskan barang-barang ibu. "Ya Alloh lindungi Mas Pamuji dan keluarga kecil kami dari doa-doa yang buruk, dan jadikanlah anak-anakku keturunan yang sholih dan sholihah, aamiin," gumamku lirih. Aku berniat untuk menemui Bude Rum setelah mengantar Bagas sekolah nanti, meski aku tidak bisa memastikan seberapa berpihaknya beliau padaku, tapi aku harus bertanya apa saja yang sudah beliau katakan pada ibu mertuaku. . . . . .Setelah Bagas masuk ke kelas, kuajak Tika ke rumah Bude Rum. Kutenteng sebungkus kue serabi hangat yang kubeli di jalan menuju ke sekolah Bagas tadi.Sesekali kugendong Tika agar kita lebih cepat sampai, karena nanti aku harus kembali menjemput Bagas pulang sekolah.Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai, halaman yang luas ditanami pohon mangga dan rambutan membuat suasana menjadi asri dan teduh. Juga berbagai bunga yang mempercantik suasana.Di garasi terparkir mobil keluaran lama, meski Bude dan Pakde orang berada namun mereka tidak serta merta hidup boros. Mereka akan merawat barang yang mereka punya dan baru akan membeli lagi ketika barang tersebut sudah tidak bisa digunakan.Bude memiliki dua orang putra dan satu orang putri, namun sayang putra pertamanya sudah meninggal saat remaja karena sebuah kecelakaan.Bude Rum dulunya seorang bidan, beliau berhenti ketika pakde sukses dengan bisnisnya dan fokus mengurus keluarga. Sebenarnya keluarga Bude Rum, ibu mertuaku, dan L
"Dimana kamu, Sekar? Aku harus bikin perhitungan sama kamu!" teriak Nurma dari seberang sana tanpa peduli salamku."Di sekolah Bagas," jawabku singkat."Aku tunggu kamu di rumah Ibu, aku mau ngomong penting!" ucapnya lagi kasar."Aku sibuk Nur, aku belum nyuci sama beres-beres rumah," tolakku."Oh kamu takut ya ketemu Ibu?" tebaknya salah."Sejak kapan Ibu jadi menakutkan?" tanyaku sekenanya."Oh, berani kamu ya, Sekar!""Sudahlah Nur, aku bilang cucianku banyak di rumah, aku sibuk, aku nyuci sambil jongkok kucek-kucek di kamar mandi, nggak kaya kamu atau Ibu yang tinggal muterin mesin cuci, jadi nggak bisa ditinggal-tinggal."Tanpa menunggu jawaban kutekan tombol matikan, malas sekali meladeni Nurma. Sudah kuduga Ibu akan mengadu pada anak-anak perempuannya. Walau umurku dan Nurma sama tapi aku adalah istri kakaknya, seharusnya dia memanggilku mbak, tapi dia selalu bersikap seenaknya.Nurma dan Rima bersikap hampir sama dengan ibu mertuaku, mungkin itu yang dinamakan buah jatuh tidak
Aku ingat seminggu setelah menikah Mas Pamuji memboyongku ke rumahnya, rumah ibu mertuaku. Saat itu Nurma terus saja mencari masalah hingga kami sering bertengkar, dan dulu ibu mertuaku masih baik, atau mungkin tepatnya masih pura-pura baik. Karena pada akhirnya aku memergoki mereka sedang menggunjingku.Mas Pamuji yang kasian padaku akhirnya nekat mengambil pinjaman ke bank untuk membeli rumah. Kebetulan ada rumah yang sedang di jual tidak jauh dari rumah ibu.Keputusan Mas Pamuji waktu itu ditentang oleh ibunya mengingat selama ini Mas Pamuji yang menanggung kebutuhan rumah ini. Ibu terus menggunjingku karena masalah rumah, tapi sepertinya beliau belum berani berterus terang mengucapkan kalimat-kalimat sadisnya di depanku.Awal-awal kami memiliki cicilan bank ibu masih menuntut jatahnya, lama kelamaan Mas Pamuji berterus terang kalau dia tidak bisa lagi memberi pada ibu.Sejak saat itu ibu yang selalu bersikap manis pada Mas Pamuji mulai berkata kasar dan mengucap kata durhaka denga
Baru kali ini aku diam saja ketika Nurma membentakku, keadaan membuatku menahan diri untuk tidak membalas. Mobil melaju meninggalkanku bersama kerumunan tetangga yang berkumpul dan ingin tahu.Mereka bertanya, aku saja tidak tahu, lebih baik aku pulang. Mas Pamuji pergi tanpa membawa ponsel atau pun dompetnya.Aku pun menemani Bagas dan Tika tidur dengan hati yang resah. Aku mengkhawatirkan Mas Pamuji yang baru pulang kerja dan belum sempat makan.Malam pun berlalu, saat subuh Bude Rum menelpon mengabariku tentang keadaan ibu. Ibu mengalami gejala stroke, kaki kanannya mati rasa sampai ke pinggang. Ibu dirawat di rumah sakit kota, dan Bude Rum mengajakku untuk kesana.Aku lemas dan tertunduk lesu, baru saja rumah tanggaku akan bahagia, tapi cobaan baru datang menyapa.Ibu sehat saja, gaji Mas Pamuji lebih banyak kesana, apa lagi nanti jika ibu stroke. Pembagian gaji yang Mas Pamuji katakan semalam sepertinya akan kembali gagal.Aku sedih ibu sakit, tapi aku merasa lebih sedih karena b
"Ibu mau makan dan minum obat tapi ada syaratnya," ucap ibu, dan perasaanku mulai tidak enak."Apa, Bu?" tanya Mas Pamuji dengan sabar."Ibu mau kamu ceraiin Sekar!" ucap ibu.Aku dan Mas Pamuji terdiam seketika, kami saling pandang, sementara Nurma tersenyum sinis ke arahku."Ibu ... jangan aneh-aneh," ucap Mas Pamuji."Ibu serius, semua terserah kamu mau pilih ibu atau wanita itu!" ucap ibu lagi dengan tegas.Kedua alis Mas Pamuji bertaut, aku pun sama, kelakuan ibu semakin tidak masuk akal."Ibu ini yang melahirkan kamu, sudah seharusnya kamu berbakti dan nurut sama ibu, tapi wanita itu orang lain.""Gara-gara dia kamu udah nggak takut lagi jadi anak durhaka, kamu terus ngelawan sama ibu.""Keputusan ibu udah bulat, kalau kamu masih mau sama dia, nggak usah peduli lagi sama ibu," ucap ibu penuh ancaman klasik."Ibu memang ngelahirin aku, tapi Sekar juga udah ngelahirin anak-anakku.""Aku milih kalian berdua, aku akan adil, Bu. Selama ini aku sudah banyak dzolim ke Sekar dan anak-an
"Tentang Bapak, tentang perlakuan Ibu yang amoral, apa aku boleh tahu?" tanyaku mencoba memberanikan diri untuk tahu.Mas Pamuji menunduk, membuang napas untuk mengosongkan dadanya yang berat."Nggak mau juga nggak papa, Mas. Tapi kalo Mas butuh temen cerita, jangan sungkan, ya. Aku baru tahu ternyata Mas banyak mendem masalah sendiri," ucapku mencoba membuat Mas Pamuji nyaman."Bapakku seorang pekerja kasar, dia ikut proyek jalan tol yang terkadang harus berpindah-pindah pulau," ucap Mas Pamuji mulai bercerita, diiringi deru suara bus dan klakson kendaraan yang saling melaju."Sebenernya uang yang bapak kirim waktu itu lebih dari cukup untuk kehidupan kami, tapi gaya hidup ibuku membuat semua terasa kurang dan kurang.""Ada aja barang yang ibu ambil dengan cara kredit, hingga lama kelamaan penghasilan Bapak nggak cukup untuk bayar semua tagihan-tagihan Ibu, sementara barang yang nggak berguna banyak teronggok di rumah.""Bukan satu dua orang yang udah negur Ibu waktu itu, tapi ... Ib
"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran."Ibu pengen ketemu, katanya mau minta maaf, mintanya sekarang tapi aku bilang besok aja jadi sekalian pulang," cerita Mas Pamuji singkat.Minta maaf? Mudah-mudahan ibu sadar."Ibu udah boleh pulang?" tanyaku."Udah," jawab mas Pamuji singkat."Oh ... sukurlah kalo begitu.""Biaya rumah sakitnya gimana, Mas? Apa SPP Bagas nggak usah dibayar dulu?" tanyaku lagi."Kamu nggak usah khawatir Sekar, mulai sekarang aku nggak akan mengorbankan kehidupan kalian lagi, sementara kita bayar dulu pakai uang kemarin ya, tapi SPP Bagas kamu bayar dulu, nanti biar kuitansinya aku masukin ke perusahaan biar di rembesin," jawab Mas Pamuji."Jadi maksudnya nanti uangnya diganti gitu?""Iya," jawab Mas Pamuji."Kenapa dulu waktu Bagas sakit enggak begitu sistemnya?""Ini kebijakan baru, Sekar. Hasil dari rapat serikat pekerja sama managemen setahun lalu.""Alhamdulillah, seenggaknya kita punya jaminan kesehatan.""Iya, tapi semoga kita sehat-sehat terus."Aku senang mend
Suara air di kamar mandi berhenti. Kurasakan langkah seseorang di belakangku, tapi aneh dia tidak menyapaku. Kuberjalan ke ruang depan untuk menitipkan pesan perihal pecel yang kubawa. Namun Rima dan Nurma masih pulas tertidur di depan tivi."Hah? Jadi yang tadi, siapa?" gumamku.Kutengok ke dalam kamar ibu, dan ibu pun masih tertidur. Mungkin aku salah lihat. Aku bergegas pulang karena aku pun harus menyiapkan sarapan untuk Mas Pamuji dan anak-anak. Kutinggalkan pesan di secarik kertas kemudian kuletakan di meja makan.Sesampainya di rumah Mas Pamuji sedang bermain dengan Bagas dan juga Tika, mereka berebut perhatian ayahnya untuk bermain mainan baru masing-masing. Mas Pamuji terlihat kewalahan tapi wajahnya terlihat sangat bahagia.Aku yakin Mas Pamuji tidak sengaja memanjakan ibu, dia hanya tahu kalau ibu minta pasti ibu sedang butuh, tanpa tahu kebutuhan apa yang diinginkan ibu.Hari ini setelah Bagas pulang sekolah aku mengajak mereka pergi ke rumah ibu. Tadi Nurma menelponku beb
"Tapi ... mantannya Mas Pamuji cantik, kan?!" seru Nurma padaku."Cantik sih, tapi dia cantik dan sukses buat balas dendam! Apa kamu nggak sadar?!" ucapku marah.Nurma terlihat semakin kesal padaku, ibu pun sama tapi sepertinya dia mencoba menahannya."Sudah, Kar, ayo kita pulang!" ajak Mas Pamuji.Aku menuruti ajakan Mas Pamuji, meladeni Nurma bisa-bisa membuatku ikut kehilangan akal sehat. Terlihat Nurma kembali sibuk mengagumi uang di depannya sementara ibu menatap tidak rela."Kamu kenapa diem aja, Kar?" tanya Mas Pamuji setibanya di rumah."Aku kesel, Mas! Mala emang cantik, kan?" tanyaku memojokkan Mas Pamuji."Eh, enggak ... cantikan kamu Sekar," jawab Mas Pamuji tergagap, sepertinya Mas Pamuji tahu pertanyaan seperti ini akan salah apapun jawabannya."Mas ... jangan bohong, siapapun juga tahu kalo Mala itu cantik, aku mah apa atuh, bedak aja barengan sama Tika sama Bagas, lipstik harga 15 ribu belinya bisa dua tahun sekali, sabun mu--""Hust, sudahlah, Kar, nanti kalo kita pun
"Coba dulu Mbak Mala jadi iparku!" ucap Nurma.Seketika darahku mendidih, Nurma benar-benar menguji kesabaranku. Mungkin saja saat ini wajahku semerah tomat."Heh, nggak boleh gitu kamu, Nur!" tegur ibu pada Nurma.Aku terkejut, jelas sangat terkejut.Apa ibu sedang membelaku? Nampaknya ibu benar-benar mengibarkan bendera putih sekarang."Bercanda, Bu!" kilah Nurma."Pamali ngomong gitu, Nur, lagian kalo aku dulu jadi sama masmu, mungkin aku nggak di titik ini sekarang," ucap Mala sambil tersenyum."Jadi Mbak Mala ini mantannya Mas Pamuji?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Bisa dibilang begitu, Mbak Sekar, tapi dulu kami nggak direstui," jawab Mala tanpa ragu.Aku melirik pada Mas Pamuji dan ibu."Tapi jangan salah paham, aku nggak maksud apa-apa, aku emang pengen beli sesuatu buat si mbokku, kebetulan liat postingannya Nurma jadi aku beli," lanjut Mala, dan aku meragukannya."Oh ... kenapa nggak direstui?" tanyaku penasaran, susah sekali menyembunyikan rasa cemburu, apalagi Mala sangat
Pada akhirnya ibu setuju menjual ruko warisan dari mbah kakung dan mbah putri, alias orang tua ibu mertuaku. Sayangnya tidak mudah menjual properti dengan cepat, semua yang menawar memberikan harga yang tidak wajar.Jika ruko itu terjual pun uang yang Nurma butuhkan masih kurang, semua teman-temannya tidak ada yang peduli. Terakhir ibu dan Nurma mendatangi Bude Rum dan Bulek Tri, ibu menawarkan ruko tapi keduanya menolak, akhirnya keduanya kompak menyumbang masing-masing 25 juta."Assalamualaikum." Terdengar suara Mas Pamuji pulang kerja."Waalaikumsalam," jawabku seraya membukakan pintu untuknya.Mas Pamuji kembali menggunakan motor legend kami untuk berangkat kerja."Kenapa kok Mas lesu?" tanyaku melihat gestur suamiku."Aku punya kabar buruk, Kar! Maafin aku!" jawab amas Pamuji menunduk, dia meletakan bobot tubuhnya di sofa."Ada apa, Mas?" tanyaku antusias, batinku menerka-nerka cobaan apa lagi yang menghampiri kami."Aku dimutasi, gara-gara mobil kemarin aku dianggap nggak bisa m
Masalah yang kami hadapi cukup pelik, hingga akhirnya mereka pulang dan hanya meninggalkan Dani di penjara, untuk sementara Nurma dan Rima tetap tinggal di rumah ibu.Mas Pamuji mendapat surat peringatan dari perusahaan karena masalah ini, untung saja biaya kerusakan mobil ditanggung oleh asuransi. Namun tetap saja aku was-was karena mobil ini sudah pernah membunuh orang, aku takut sial.Belakangan diketahui bahwa Nurma dan Dani memang bertamasya, bukannya kondangan seperti yang mereka katakan. Mereka menabrak sebuah warung kecil dipinggir jalan ketika jalanan menurun dan Dani gagal mengendalikan mobilnya. Gadis yang meninggal sedang menunggu dagangan orang tuanya di warung tersebut.Semua terbongkar karena keluarga Dani datang dan semua terkejut atas musibah itu, tidak ada yang sedang hajatan di antara mereka. Nurma tidak bisa lagi mengelak.Kini semua sedang mengusahakan kebebasan Dani dengan meminta damai pada keluarga korban. Terakhir korban meminta uang duka 500 juta untuk berda
"Nurma sama Dani kecelakaan, katanya nelpon ke hape Ibu sama Rima nggak diangkat dari tadi, sekarang di rumah sakit," jawab Mas Pamuji panik."Innalilahi!" seru semua hampir berbarengan."Dimana?" tanya ibu panik."Keadaannya gimana?" tanyaku, padahal aku khawatir pada mobil yang dipakai Nurma."Ehm, kita harus ke sana, tapi naik apa? Minimal 2 jam dari sini," ucap Mas Pamuji.Kami kompak melirik ke arah Irfan, dia datang kemari membawa mobil. Irfan yang tahu arah pikiran kami mendengkus kesal, disaat musawarah tentangnya dan Rima belum menemukan jalan keluar justru Nurma memberikan masalah baru."Pake mobilku, tapi nggak bisa ikut semua, mobilku kecil!" ucap Irfan setengah hati, tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain.Akhirnya diputuskan bahwa yang berangkat Mas Pamuji, Irfan, dan juga ibu. Tentu saja aku tidak bisa karena harus menjaga Bagas dan juga Tika. Sementara Rima masih belum mau banyak berinteraksi dengan Irfan sehingga lebih memilih tinggal."Rim ... Irfan kok kaya
"Sepeda Bagas bagaimana, Mas?" tanyaku."Kita beli pake motor?" usul Mas Pamuji ragu."Ishk!"Kutinggalkan Mas Pamuji yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kemarin udah terlanjur bilang iya sama Nurma kan?" ucap Mas Pamuji sambil mendekatiku yang kesal."Iya, sih," gumamku pelan, kembali kuhela napas.Aku pikir sikap Nurma yang arogan mengisyaratkan kalau dia tidak jadi meminjam mobil hari ini. Ternyata dia tetap memakainya meskipun sudah membuat keributan kemarin.Ternyata gengsinya tidak setinggi gaya bicaranya. Apalagi kata-kata suaminya tentang kepemilikan mobil itu, semakin membuatku geram."Lihat, Mas! Nurma yang serumah sama ibu, juga nggak simpati-simpati amat sama masalah Rima, ketelen aja tuh dia jalan-jalan sama keluarganya," ucapku pada Mas Pamuji."Itu kan kondangan, Kar, mungkin nggak enak sama keluarga Dani," jawab Mas Pamuji."Aku nggak yakin Dani punya sodara di kota itu, tempat wisata mah ada, pemandian air panas, mungkin aja Nurma ke sana, alesannya kon
"Apa?!" pekik ibu.Ibu berlari pulang di susul Nurma di belakangnya, aku yang penasaran pun ikut berlari.Ibu mendekap Rima yang menangis, Nurma duduk di sampingnya dan mengusap lembut punggung Rima. Kuberanikan diri mendekat, aku juga ingin tahu apa yang menimpanya.Tampak sebuah tas besar di sisi lain kursi, nampaknya milik Rima. Ada Dani dan Adeva juga, suami dan anak Nurma, ternyata mereka juga ada di sini."Aku nggak mau pulang ke sana lagi, Bu, aku nggak mau!" raung Rima dalam tangisnya."Iya ... iya," sahut ibu."Tapi Rafa gimana? Ibu harus ambil Rafa dari keluarga mas Irfan!" raung Rima lagi."Sudah kamu tenang dulu, Rim, kalo udah tenang baru bisa nyari solusi," ucap Nurma.Cukup lama akhirnya sampai Rima tenang, aku berinisiatif membuatkan teh manis untuknya. Sependek ini aku hanya tahu Rima pergi dari rumahnya karena suaminya ketahuan berselingkuh. Awalnya Rima akan membawa Rafa, anaknya, tapi dihalangi oleh ibu mertuanya.Ibu tampak kalut dengan masalah rumah tangga anakn
Kudekatkan mulutku ke telinga Ibu, kubisikan kalimat yang sudah kutahan-tahan."Mulai sekarang aku akan ngelindungin Mas Pamuji dari orang yang suka manfaatin dia, terutama dari orang yang udah mencoba membunuh Mas Pamuji sebelum dia lahir!"Mata ibu membelalak, dan aku puas.Sikap ibu yang terlihat sangat terkejut dan panik, menunjukan bahwa dia benar-benar pernah melakukan usaha aborsi itu. Rasa kecewaku semakin memuncak. Sebutan ibu hampir tidak pantas disandangnya.Nurma terlihat bingung menyaksikan ekspresi ibunya yang terkejut. Dadaku naik turun menahan emosi, keberanian yang kukumpulkan untuk melawan mereka sudah mulai berbaur dengan amarah."K-kamu?" ucap ibu tergagap."Iya, aku tahu semua!" tegasku."Ada apa, Bu?" tanya Nurma panik, dia yang datang dengan percaya diri sekarang terintimidasi."Dari mana kamu tahu?" tanya ibu sedikit berbisik, berusaha agar Nurma tidak tahu."Udah waktunya aja rahasia Ibu kebongkar," jawabku sengaja membuat ibu bingung."Jangan sok tahu kamu!"
"Mau kondangan kemana Nur?" tanya Mas Pamuji."Ke luar kota Mas, sodaranya Mas Dani hajatan," jawab Nurma."Nggak usah dikasih, Mas! Giliran kita ada mobil tiba-tiba suaminya punya sodara di luar kota yang hajatan, gitu?" bisikku di telinga Mas Pamuji."Besok aku lembur, Nur, mobilnya kepake," tutur Mas Pamuji."Mas pake motor aja, dulu juga Mas pake motor terus," rajuk Nurma."Wong lemburnya juga keluar kota, kunjungan industri, mau ngeliat vendor baru," ucap Mas Pamuji."Dulu kerjaan Mas cuma di pabrik, sekarang kan harus sering ke luar kota, banyak mobilitasnya, makanya dikasih inventaris mobil, kalo enggak ya nggak dikasih sama kantor," lanjut Mas Pamuji menjelaskan.Nurma terlihat kesal, aku tidak peduli benar atau tidak alasan lemburnya Mas Pamuji, aku merasa puas. Kemana mereka saat kami susah?Saat kami punya mereka datang bagaikan lalat. Aku tidak akan membiarkan suamiku mengemis kasih sayang lagi pada mereka."Ya udah aku pinjemnya hari minggu aja," pinta Nurma pantang menye