Setelah kepergian Rima, kami bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Kami bergegas menyelesaikan urusan rumah dan kembali ke rumah kami yang baru secepatnya.Sedikit ada rasa yang mengganjal ketika kuturuti keinginan Mas Pamuji yang tidak mau mampir ke rumah ibu. Sejujurnya aku senang, hanya saja aku takut salah. Ya sudah, toh itu ibu Mas Pamuji, dan yang tidak mau datang anaknya sendiri, aku tidak ikut campur.Seminggu kemudian, ponselku dan Mas Pamuji terus berdering. Panggilan dari ibu dan juga Nurma, keduanya menanyakan keberadaan Rima. Sesuai perjanjian kami diam dan pura-pura tidak tahu. Keluarga Irfan berkali-kali datang ke rumah ibu, mereka masih menganggap ibu dan Nurma yang menyembunyikan Rima.Karena jarak kami jauh, sehingga memudahkanku dan Mas Pamuji untuk berbohong, kami akhirnya sibuk dan lupa pada masalah Rima meski ibu dan Nurma masih sering menghubungi kami dan menceritakan betapa kacaunya keadaan mereka.Ibu ... andai saja ibu tahu kepedihan Rima, pasti ibu akan berpi
"Jangan-jangan ibu diguna-guna?" ucap Nurma menduga-duga.Mas Pamuji yang sedang kalut pun tersulut dengan praduga dari Nurma, padahal benda-benda di tangannya lebih mirip benda yang telah lama dirawat, mungkin saja benda itu milik ibu."Mas ... itu bukan benda buat guna-guna perasaan deh," ucapku berusaha mengoyahkan prasangka buruk Mas Pamuji pada siapapun."Kita coba aja, Kar, tanya ke Mbah Sanusi," tutur Mas Pamuji.Kami semua pergi ke rumah Mbah Sanusi, seseorang yang dituakan di kampung Mas Pamuji. Aku tidak tahu kalau Mbah Sanusi ternyata bisa mengetahui hal-hal gaib semacam ini.Mobil terparkir di halaman sebuah rumah yang sederhana, meskipun begitu suasana hangat dan sejuk menyatu menjadi satu di hunian yang nyaman. Terlihat sekali kalau Mbah Sanusi orang yang taat.Kami bertiga dipersilahkan masuk. Sambil menyesap rokok lintingannya Mbah Sanusi menanyai maksud kedatangan kami."Mbah udah denger tentang Susi, Ji," ucap Mbah Sanusi."Iya, Mbah guru, kalau kata dokter ibu depre
"Jangan kekanakan begitu! Masalah sepele aja minta cerai," cebik Mas Pamuji.Entah bagian mana yang dia anggap sebagai masalah sepele?"Aku udah nggak tahan, lebih baik aku mundur aja dari kehidupan kamu, Mas. Dari masalah ini, dari keributan yang nggak pernah ada ujungnya," ucapku serius.Mas Pamuji hanya memandangku, keterlaluan sekali jika dia masih menganggap penderitaanku sebagai hal yang sepele."Aku nggak mungkin meminta kamu memilih aku atau ibumu, 'kan Mas?" ucapku lagi.Kubalas tatapan Mas Pamuji dengan dalam, aku ingin sekali saja suamiku ini melihat bahwa aku benar-benar sudah tidak sanggup.Bulir bening mulai menetes dari ujung netraku, keputusan yang berat tapi aku memang buntu tidak tahu harus bagaimana mengakhiri semua ini. Jalan yang terlintas hanya berpisah, mengikhlaskan semua yang menjadi rezeki anak-anakku untuk dinikmati ibu mertuaku.Selama delapan tahun pernikahan, rumah tanggaku sudah mengalami dua fase perekonomian. Pertama, fase dimana Mas Pamuji menanggung
"Ibu minta uang, Ji, mau arisan.""Kan kemarin udah dikasih, Bu," jawab Mas Pamuji."Itu buat kebutuhan yang lain, sekarang ibu mau arisan," ucap ibu ngotot."Arisan apa lagi sih, Bu?" tanya Mas Pamuji.Aku sengaja menutup telinga, sakit hatiku mendengar setiap rengekan ibu yang menurutku keterlaluan. Ibu memaksa Mas Pamuji memberi lebih dan lebih untuk memenuhi gaya hidupnya, ibu selalu panasan jika ada tetangga yang punya sesuatu lebih darinya. Kalau yang ibu minta untuk kebutuhan primer atau untuk sesuatu yang penting hatiku tidak akan sesakit ini.Mas Pamuji masuk ke kamar dan meraih sebuah benda pipih berwarna coklat, sudah kuduga dia tidak bisa menolak permintaan ibu. Kulemparkan pandangan ke tembok, kecewa kembali kurasakan melihat sikap suamiku.Uang yang dipakai ibu untuk bergaya adalah uang yang akan kugunakan untuk membayar SPP Bagas yang sudah menunggak 3 bulan. Mas Pamuji menjanjikan akan membayarnya bulan depan, bulan depan, dan bulan depan. Sepertinya bulan ini aku haru
"Maafkan aku, Sekar!" ucap Mas Pamuji sesenggukan."Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu ataupun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!"'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku.Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada Mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan."Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak."Kulepas pelukan Mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar?"Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya Mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya."Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku."Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi."Mas bebas menemui mereka n
"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan."Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang Bude Rum dengan bijaksana."Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap Mas Pamuji.Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari Mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.Dari raut wajah Bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan Bude."Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap Bude."Batas kekuatan Sekar sudah menipis Bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa."Kalau Mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu
"Ya Alloh!"Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya?Kenapa dia begitu tega?Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan Bude Rum.Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang
"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambut ibu sinis.Belum juga kami masuk ibu sudah mencecar kami. Ibu kembali terang-terangan bersikap kasar seperti dulu, biasanya ibu akan bersikap baik jika ada Mas Pamuji dan bersikap sinis bila Mas Pamuji tidak ada."Aku mau bicara sama Ibu," ucap Mas Pamuji, nada bicaranya masih terkontrol nampaknya nada sambutan ibu barusan tidak menjadi masalah bagi Mas Pamuji."Sekar pasti mengadu yang jelek tentang ibu, pasti dia ngelarang-ngelarang kamu ngasih uang ke ibu, ya sudah mulai sekarang jangan kasih-kasih uang ke ibu, biar istrimu tahu rasa nanti, karena mengambil yang bukan haknya, makanlah semua harta anakku sampai kau puas," ucap ibu, kedua tangannya terlipat di depan dada.Hatiku memanas mendengar setiap kalimat-kalimatnya, ingin sekali kukembalikan semua kata-kata itu padanya."Bu, Sekar nggak kaya gitu, memang kami hidup kekurangan selama ini, semua karena aku ingin membahagiakan Ibu, membayar 5 tahun sebelumnya dimana aku nggak mam
"Jangan-jangan ibu diguna-guna?" ucap Nurma menduga-duga.Mas Pamuji yang sedang kalut pun tersulut dengan praduga dari Nurma, padahal benda-benda di tangannya lebih mirip benda yang telah lama dirawat, mungkin saja benda itu milik ibu."Mas ... itu bukan benda buat guna-guna perasaan deh," ucapku berusaha mengoyahkan prasangka buruk Mas Pamuji pada siapapun."Kita coba aja, Kar, tanya ke Mbah Sanusi," tutur Mas Pamuji.Kami semua pergi ke rumah Mbah Sanusi, seseorang yang dituakan di kampung Mas Pamuji. Aku tidak tahu kalau Mbah Sanusi ternyata bisa mengetahui hal-hal gaib semacam ini.Mobil terparkir di halaman sebuah rumah yang sederhana, meskipun begitu suasana hangat dan sejuk menyatu menjadi satu di hunian yang nyaman. Terlihat sekali kalau Mbah Sanusi orang yang taat.Kami bertiga dipersilahkan masuk. Sambil menyesap rokok lintingannya Mbah Sanusi menanyai maksud kedatangan kami."Mbah udah denger tentang Susi, Ji," ucap Mbah Sanusi."Iya, Mbah guru, kalau kata dokter ibu depre
Setelah kepergian Rima, kami bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Kami bergegas menyelesaikan urusan rumah dan kembali ke rumah kami yang baru secepatnya.Sedikit ada rasa yang mengganjal ketika kuturuti keinginan Mas Pamuji yang tidak mau mampir ke rumah ibu. Sejujurnya aku senang, hanya saja aku takut salah. Ya sudah, toh itu ibu Mas Pamuji, dan yang tidak mau datang anaknya sendiri, aku tidak ikut campur.Seminggu kemudian, ponselku dan Mas Pamuji terus berdering. Panggilan dari ibu dan juga Nurma, keduanya menanyakan keberadaan Rima. Sesuai perjanjian kami diam dan pura-pura tidak tahu. Keluarga Irfan berkali-kali datang ke rumah ibu, mereka masih menganggap ibu dan Nurma yang menyembunyikan Rima.Karena jarak kami jauh, sehingga memudahkanku dan Mas Pamuji untuk berbohong, kami akhirnya sibuk dan lupa pada masalah Rima meski ibu dan Nurma masih sering menghubungi kami dan menceritakan betapa kacaunya keadaan mereka.Ibu ... andai saja ibu tahu kepedihan Rima, pasti ibu akan berpi
Aku bergantian mandi dengan Mas Pamuji, setelahnya kami pergi makan di luar berdua saja."Mas ... kamu nggak mau mampir ke rumah Ibu?" tanyaku pada Mas Pamuji."Nggak usahlah," jawab Mas Pamuji apatis."Kita kelarin aja urusan kita di sini, terus kita pulang," lanjut Mas Pamuji.Aku senang mendengarnya, tidak munafik bukan?"Ehm, seenggaknya mampir ke tempat Bude," ucapku lagi."Iya, nanti mampir," jawab Mas Pamuji.Kami membeli martabak dan buah-buahan untuk Bude Rum. Kali ini kami juga membelikan jajanan untuk cucu Bude Rum di mini market."Assalamualaikum," sapaku. Terdengar jawaban dari dalam rumah besar milik Bude."Waalaikumsalam, eh kamu, Kar? Apa kabar?" jawab Mbak Arum menyalamiku."Baik Mbak.""Kamu keliatan ganteng sekarang, Ji," ucap Mbak Arum menyalami Mas Pamuji."Ganteng dari dulu perasaan," jawab Mas Pamuji sambil terkekeh."Pakde mana?" tanya Mas Pamuji."Di dalam, cari aja," ucap Mbak Arum, Mas Pamuji pun masuk ke dalam."Mana Bagas sama Tika?" tanya Mbak Arum."Ngga
"Harusnya kamu juga bersikap baik ke aku, atau ... jangan-jangan mereka juga udah ngebuang kamu sama Dani pas kalian susah begini?" tuturku menyindir, muka Nurma merah padam, dadanya naik turun tidak terima dengan ucapanku."Sekar!" seru Nurma."Jadi benar?" tanyaku mengulang.Tangan Nurma melayang ke wajahku dengan cepat, aku tidak punya waktu untuk menangkisnya, tapi aku masih sempat untuk menghindar."Nur!" bentak Mas Pamuji.Tangan Nurma hanya menabrak udara kosong. Tampaknya aku telah memasuki ranah sensitif pada diri Nurma. Ibu hanya bisa diam, sudah terlanjur malu."Kamu marah, Nur?""Enggak salah?""Kamu pun memperlakukan aku kaya gitu, enggak sadar atau emang sengaja?" tanyaku menahan kesal."Jangan ikut campur masalahku, Kar! Kalau nggak mau bantu ya sudah," seru Nurma, emosinya meninggi, dia benar-benar tersinggung."Bagus kalo gitu, kamu juga nggak usah ikut campur lagi, ngeliat saudara punya kok langsung panas, aku bisa baik kalau kamu baik, aku cuma menyesuaikan diri sam
"Rumahnya nggak usah dijual, kalo kamu mau pindah ke kampungnya Sekar yang di kaki gunung itu, ya pindah aja, kasian adekmu nggak punya rumah, kasih aja ke Nurma," ucap ibu.Inti kalimat yang sukses membuat mataku membelalak."Apa?!" seruku tidak percaya."Nggak bisa gitu dong, Bu," protes Mas Pamuji, penolakannya yang terlalu halus membuatku semakin kesal."Kasian sedikit lah sama aku, Mas, utang Mas Dani banyak, omongan tetangga semakin hari semakin nggak enak karena aku malah numpang di rumah ibu, aku juga sering berantem sama Mas Dani," lanjut Nurma mengiba."Ya nggak bisa, Nur, Mas udah cukup mbantu kamu dengan nggak minta pertanggung jawaban apapun ke kamu tentang mobil yang rusak, tentang skors yang harus Mas dapet dari perusahaan, tentang pemindahan bagian dan lainnya," jelas Mas Pamuji."Bahkan kejadian itu juga nambah alasan perusahaan buat ngeluarin Mas dari pekerjaan," lanjut Mas Pamuji."Sudahlah, Ji, itu udah berlalu, sesama saudara itu saling tolong menolong, siapa yang
Aku mencoba memaafkan ibu meski dia tidak pernah meminta maaf, bukan karena aku baik, tapi karena aku harus sehat secara mental.Meskipun begitu adegan pelemparan uang di rumah bude masih belum bisa kulupakan. Aku tidak mengingatnya, aku justru berusaha keras melupakannya, tapi sulit rasanya, hampir di setiap mataku terpejam adegan itu kembali terbayang.Merasa terhina, rendah, dan dilecehkan. Aku tidak terima tapi tidak bisa melawan. Aku hanya bisa membayangkan jika aku bisa memutar kembali waktu, akan kutepis tangan ibu, atau paling tidak aku akan membela diri.Secara tidak sadar ucapan dan doa buruk ibu yang terus berulang telah mendoktrinku. Terekam di alam bawah sadar, membuat semua ucapan ibu seolah menjadi nyata.Aku sangat takut, cemas, dan insecure. Namun perlahan kucoba menggapai kembali kesadaranku, berkali-kali kuucapkan, ini bukan karma!Ini berkah, ini jawaban dari doa-doaku, ini jalan keluar dari masalah yang sudah membuatku muak, akhirnya aku bisa menjauh dari ibu, bah
Hari itu juga kami pergi ke rumah Mas Anjar diantar oleh Pakde menggunakan mobilnya. Tentu saja aku sangat terbantu mengingat banyaknya barang bawaanku.Mentalku semakin lemah. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari ibu, dari makiannya, dari sumpah serapahnya, dari doa-doa buruk yang tidak pantas keluar dari mulutnya."Banyak-banyak beristighfar, mohon ampun, nggak akan rugi orang yang berbanyak-banyak meminta ampun pada Alloh. Mungkin ibu mertuamu salah, mungkin juga kalian salah dalam menegurnya. Nggak ada yang tahu. Hanya Alloh yang berhak menghakimi keadaan kalian."Nasehat Pakde akan selalu kuingat.*Kedatangan kami disambut hangat oleh Mas Anjar dan Mba Fatma, kakak iparku. Meskipun mereka sedikit heran melihat barang bawaan kami yang banyak, karena aku membawa semua baju dan mainan anak-anak, tapi mereka mengerti dan tidak terburu-buru banyak bertanya.Rumah yang Mas Anjar tempati adalah rumah masa kecil kami dulu, tempat dimana kenangan orang tuaku masih ada. Aku merasa nyaman d
"Aku di-PHK, Kar," tuturnya."Hah? Di-PHK? Jangan bercanda, Mas," tegurku.Mas Pamuji tidak menjawab, dia melewatiku begitu saja dan merebahkan tubuhnya di sofa. Aku penasaran, tapi aku harus menata hatiku jika kabar ini bukan candaan dari Mas Pamuji.Kubuatkan secangkir teh dulu untuk Mas Pamuji seraya berpikir, dalam rangka apa perusahaan mengurangi karyawannya? Atau jangan-jangan Mas Pamuji membuat kesalahan?"Minum dulu, Mas," ucapku sambil meletakan secangkir teh itu di meja.Mas Pamuji bangkit dengan lesu kemudian menyeruput teh yang kubuat. Matanya tidak berani melihat ke arahku."Mas? Beneran di-PHK?" tanyaku coba memberanikan diri.Mas Pamuji hanya mengangguk pelan."Kenapa, Mas? Alasannya apa?" tanyaku tidak terima."Ada Manager yang nggak suka sama serikat pekerja, jadi ... dia memanipulasi data, membuat masalah seolah-olah anggota serikat yang buat," jelas Mas Pamuji."Jadi?""Ya jadi beberapa pengurus serikat disalahkan atas kerugian perusahaan karena masalah fiktif itu,
"Tika ketabrak mobil, sekarang di rumah sakit! Kita kocar kacir nyariin kamu dari tadi!"Ibu berteriak, bukan suara keras ibu yang membuat kesadaranku berhamburan, tapi kabar yang ibu sampaikan membuatku panik.Aku diam, aku nge-blank. Aku berusaha mencerna kabar yang ibu bawa. Aku tidak peduli lagi pada kesengajaan ibu memakiku di depan umum."Heh! Sekar! Malah bengong anak di rumah sakit kamu malah diem nggak cepet tanggap!""Begini nih, mantu durhaka, sibuk nilai kekurangan mertuanya tapi lupa sama kewajiban sendiri!" maki ibu lagi.Sakit!Tapi kalimatnya berhasil membuat pikiranku yang syok kembali bekerja normal."Ditabrak dimana, Bu? Kok bisa? Mereka udah pulang tadi?" tanyaku bingung."Harusnya ibu yang nanya! Kamu itu ibu mereka bukan?!" hardik ibu."Rumah sakit mana, Bu?" tanyaku panik."Rumah sakit Permata keluarga, udah susul sana! Dari tadi dicariin juga!" teriak ibu kasar. Suaranya keras menggema kemana-mana, semua orang mendengar.Aku pantas menerimanya. Aku teledor. Sei