"Jangan kekanakan begitu! Masalah sepele aja minta cerai," cebik Mas Pamuji.
Entah bagian mana yang dia anggap sebagai masalah sepele? "Aku udah nggak tahan, lebih baik aku mundur aja dari kehidupan kamu, Mas. Dari masalah ini, dari keributan yang nggak pernah ada ujungnya," ucapku serius. Mas Pamuji hanya memandangku, keterlaluan sekali jika dia masih menganggap penderitaanku sebagai hal yang sepele. "Aku nggak mungkin meminta kamu memilih aku atau ibumu, 'kan Mas?" ucapku lagi. Kubalas tatapan Mas Pamuji dengan dalam, aku ingin sekali saja suamiku ini melihat bahwa aku benar-benar sudah tidak sanggup. Bulir bening mulai menetes dari ujung netraku, keputusan yang berat tapi aku memang buntu tidak tahu harus bagaimana mengakhiri semua ini. Jalan yang terlintas hanya berpisah, mengikhlaskan semua yang menjadi rezeki anak-anakku untuk dinikmati ibu mertuaku. Selama delapan tahun pernikahan, rumah tanggaku sudah mengalami dua fase perekonomian. Pertama, fase dimana Mas Pamuji menanggung utang puluhan juta yang berbunga hingga hampir mendekati angka 100 juta. Tahun yang berat kami lewati tanpa bantuan siapapun, kami hidup sesederhana mungkin, demi membayar cicilan yang besar setiap bulannya. Saat itu kami merasa bahagia, keluarga kecil kami hangat meski sering tidak dianggap oleh keluarga besar suamiku, karena kami miskin. Kami menjauhi mereka demi menjaga kesehatan mental dan kami berjanji suatu saat kami pasti akan menjadi sesuatu. Jujur saja hatiku sedih, ketika untuk makan saja kami harus sangat berhemat sementara ibu mertuaku hidup dengan gaya yang tinggi. Entah sengaja atau hanya perasaanku, beliau seolah memamerkan kehidupannya yang terkesan dipaksa terlihat kaya, untuk mengejek kami. Sering kali kutemukan Mas Pamuji sedang menangis, dia pernah berujar bahwasannya dia malu padaku, malu karena ibu yang seharusnya mendoakan kami justru dengan terang-terangan menari di atas kemiskinan rumah tangga anaknya. Pernah suatu ketika, kami kemalingan sepeda motor, Mas Pamuji sangat sedih karena itu kendaraan kami satu-satunya, tapi Mas Pamuji kecewa tatkala ibunya justru pamer di sosmed miliknya, berselfi-selfi ria di atas motor baru milik mbaknya--Bude Mas Pamuji. Iya, ibu mertuaku memang gaul, aku yang muda pun kalah gaya dengannya. "Sabar Sekar," ucap Mas Pamuji. "Aku tertekan, Mas! Kamu adalah anak lelaki yang sampai kapan pun akan tetap jadi milik ibumu, berbakti saja kamu, Mas. Lepaskan aku dan anak-anak, kalau memang anak-anakku bernasib baik, Alloh akan memberikan mereka rezeki lewat tanganku, biarlah gajimu menjadi milik ibumu sepenuhnya. Aku akan kerja untuk Bagas dan Tika," tuturku dengan sesenggukan. "Berpikirlah jernih, Sekar!" "Mas, aku lelah!" tegasku. "Makanan yang setiap hari kumakan rasanya berhenti ditenggorokan setiap ibumu mengungkit nafkah yang kamu kasih, gara-gara menantu dan cucunya harus makan jatah ibumu untuk beli sepatu senam harus terpending hingga bulan depan," ucapku sendu. "Ketika kita harus berhemat, ibumu justru hidup dengan gaya yang terlampau tinggi, setiap diperingatkan dia berdalih sedang menikmati masa tuanya, menikmati jerih payahnya telah membesarkan kamu." "Lebih baik aku yang mundur, Mas! Biarkan rezekiku dan rezeki anak-anak datang dari tanganku sendiri, biar nggak ada lagi nasi yang tersangkut di tenggorokanku, biar ibumu bisa leluasa menikmati gajimu." Mas Pamuji terdiam mendengar semua tumpahan amarahku. Aku lelah. Ketika Mas Pamuji berhasil menyelesaikan utangnya, kehidupan kami berangsur-angsur membaik. Di tahun ke-6 pernikahan, kami bebas dari utang. Di saat itulah aku kembali hamil anak keduaku. Rezeki kami mengalir deras, Mas Pamuji pun naik jabatan dengan gaji yang menjanjikan. Semua saudara telah kembali menganggap kami sebagai bagian dari mereka. Mas Pamuji pun sudah bisa menyisihkan sebagian gaji untuk ibunya, setelah bertahun-tahun kami kenyang dengan sindiran karena tidak pernah memberikan jatah. Semua karena utang. Mas Pamuji terlihat bahagia, karena sejak saat itu dia kembali mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibunya. Miris memang, ketika bakti diukur dari materi. Tapi setidaknya suamiku tetap berusaha untuk berbakti sesuai standar yang ibunya terapkan. Lambat laun ibu mertuaku semakin meminta lebih dari yang Mas Pamuji berikan. Banyak barang yang ibu mertuaku beli hanya karena tetangga yang lain membeli, dengan berbagai alasan dia selalu berhasil memaksa Mas Pamuji menuruti semua keinginannya. Ah, aku cemburu? Entahlah. Hanya saja jalan pikiran ibu mertuaku tak pernah bisa kumengerti. Aku dan anak-anak terus mengalah padanya dengan bakti sebagai pembelaan. Rasanya sedih ketika anak-anakku lebih banyak menggigit jari, dan uang ayahnya lebih banyak berubah menjadi tanaman hias kekinian, seragam senam, atau barang-barang lainnya yang kurasa kurang bermanfaat. Mas Pamuji kembali diam, sepertinya dia paham bahwa ucapanku bukan sekedar ancaman. "Gajimu memang hasil kerja kerasmu, Mas. Tapi apa Mas tahu, Alloh menitipkan rezeki kami di dalamnya, bukan hanya rezeki ibumu, bisakah kamu adil membaginya sesuai kebutuhan? Mau sebesar apapun gajimu kalau untuk memenuhi gaya hidup Ibu pasti akan kurang." "Tapi pisah bukan jalan keluar, Sekar," jawab suamiku. Sebenarnya Mas Pamuji baik padaku, dia pun sepenuhnya sadar kalau ibunya sudah keterlaluan. Tapi dia tidak berdaya. Berkali-kali dia mencoba membesarkan hatiku untuk bersabar, disaat gaji suamiku besar justru kehidupan kami semakin memperihatinkan. "Mas, aku punya harga diri. Hatiku sakit setiap ibumu membahas nafkah yang nggak seberapa darimu, dia boleh memperlakukanku seperti ini, karena aku memang hanya orang lain, tapi Bagas dan Tika adalah cucunya, darah kalian sama, tapi perlakuan ibumu nggak mencerminkan bahwa dirinya seorang nenek." Dadaku sesak menahan emosi. Mas Pamuji menunduk, entah apa yang dia pikirkan, kedua tangannya menangkup menutupi wajahnya. "Maafkan ibuku, Sekar," ucapnya lirih. "Lepaskan kami, Mas." "Nggak ... nggak Sekar. Aku akan lebih tegas pada ibu sekarang, pikirkan Bagas dan Tika, lagi pula secara pribadi kita berdua nggak ada masalah apapun, alasanmu minta pisah benar-benar nggak masuk akal." Mas Pamuji benar, bahkan saat kehidupan membawa rumah tanggaku ke titik rendah kehidupan kami tetaplah hangat. Kami tetap saling menyayangi, saling menguatkan, dan saling mengingatkan untuk beribadah. Kami pun saling setia. Dan semua justru berubah saat kehidupan kami membaik, ketika ibu meminta ini itu, kami sering cekcok. "Aku memutuskan berpisah justru karena Bagas dan Tika, mereka akan dapat apa jika ibumu terus-terusan begini?" "Tapi ini nggak adil untukku, Sekar, " tolak Mas Pamuji. "Kamu bisa berbakti, Mas." "Tapi--" "Mas, ini bukan pertama kali Mas janji mau tegas sama ibu, tapi nyatanya Mas selalu takut dengan ancaman akan dianggap sebagai anak durhaka. Tapi memang benar, Mas harus mencari ridho seorang ibu 'kan?" Ibu mertuaku selalu mengancam dengan doa yang kurang baik bila Mas Pamuji tidak memenuhi keinginannya. Pada masa puber kedua beliau, keinginan-keinginannya melebihi seorang remaja. Mas Pamuji kewalahan, sehingga kami yang selalu menjadi korban. "Sekar ...," ucapnya pasrah, mengiyakan semua perkataanku tentang ibunya. "Maafkan aku, Mas!" Tubuhku limbung di pangkuan Mas Pamuji, kulepaskan semua tangis keputusasaanku. "Maafkan aku yang nggak bisa jadi istri yang baik, maafkan aku karena aku kurang sabar, maafkan aku yang kemampuannya terbatas, maafkan aku yang nggak bisa membantumu berbakti pada ibumu," ucapku sesenggukan. "Sekar ...." Kurasakan tangan Mas Pamuji mengusap rambutku, suami yang sudah kudampingi selama 8 tahun. "Kasiani aku, Mas. Aku nggak sanggup menyaksikan setiap tingkah laku ibu lagi, dan aku nggak mungkin memintamu memilih satu diantara kita, aku ikhlaskan semua," pintaku lagi. "Kamu udah nggak mencintai aku lagi, Sekar?" "Aku cinta, Mas. Karena itulah aku pergi, aku nggak mau Mas jadi anak yang durhaka." "Kamu nggak mengizinkan Mas menjadi suami dan ayah yang baik!" "Dengan berpisah anak-anak nggak akan tahu dilema yang dialami ayahnya, bagi mereka kamu tetap ayah yang baik, tapi kalau mereka tumbuh semakin besar, kemungkinan mereka akan bisa mengerti permasalahan ini, cukup aku yang tahu bagaimana setiap bulan kita harus mengalah." Mas Pamuji kembali diam. "Kamu mau kerja apa?" tanya Mas Pamuji lagi. "Apa saja! Asal halal dan--" "Assalamualaikum, Ji ...." Panjang umur sekali, kedatangan ibu mertuaku menyela diskusi kami. Aku segera mengusap air mata dan menyeka hidungku. "Ibu datang, cepat kamu temui, Mas!" Dengan berat Mas Pamuji beranjak dari duduknya. Langkahnya terdengar setengah hati. Ketukan pintu berhenti setelah Mas Pamuji membukanya. "Waalaikum--" "Ibu minta uang, Ji, mau arisan." Benar dugaanku, uang lagi, bahkan Mas Pamuji belum sempat menyelesaikan salamnya. . . . . ."Ibu minta uang, Ji, mau arisan.""Kan kemarin udah dikasih, Bu," jawab Mas Pamuji."Itu buat kebutuhan yang lain, sekarang ibu mau arisan," ucap ibu ngotot."Arisan apa lagi sih, Bu?" tanya Mas Pamuji.Aku sengaja menutup telinga, sakit hatiku mendengar setiap rengekan ibu yang menurutku keterlaluan. Ibu memaksa Mas Pamuji memberi lebih dan lebih untuk memenuhi gaya hidupnya, ibu selalu panasan jika ada tetangga yang punya sesuatu lebih darinya. Kalau yang ibu minta untuk kebutuhan primer atau untuk sesuatu yang penting hatiku tidak akan sesakit ini.Mas Pamuji masuk ke kamar dan meraih sebuah benda pipih berwarna coklat, sudah kuduga dia tidak bisa menolak permintaan ibu. Kulemparkan pandangan ke tembok, kecewa kembali kurasakan melihat sikap suamiku.Uang yang dipakai ibu untuk bergaya adalah uang yang akan kugunakan untuk membayar SPP Bagas yang sudah menunggak 3 bulan. Mas Pamuji menjanjikan akan membayarnya bulan depan, bulan depan, dan bulan depan. Sepertinya bulan ini aku haru
"Maafkan aku, Sekar!" ucap Mas Pamuji sesenggukan."Aku nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa jadi ayah yang baik, nggak bisa bahagiain kamu ataupun anak-anak, aku membuat kalian hidup susah, maaf Sekar!"'Sebenarnya kamu bisa, Mas, andai saja kamu adil dan nggak terlalu royal pada ibumu,' batinku.Tentu saja aku tidak bisa mengucapkannya pada Mas Pamuji, selain untuk menjaga perasaannya juga karena tidak ingin memperpanjang perdebatan."Sudahlah, Mas, kita harus sama-sama menerima kenyataan. Mas bisa menjadi anak yang baik bagi ibu, dan aku bisa membahagiakan anak-anak."Kulepas pelukan Mas Pamuji, entah kenapa aku tidak lagi menangis seperti tadi. Apakah ini tanda bahwa keputusanku sudah benar?"Apa kedua hal itu nggak bisa berjalan beriringan?" tanya Mas Pamuji, dia mulai menyeka airmatanya."Andai saja bisa, aku pasti bahagia, Mas!" jawabku."Tapi aku nggak bisa pisah dari kamu dan anak-anak, Sekar! Baru membayangkan aja udah berat," ucapnya lagi."Mas bebas menemui mereka n
"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan."Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang Bude Rum dengan bijaksana."Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap Mas Pamuji.Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari Mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.Dari raut wajah Bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan Bude."Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap Bude."Batas kekuatan Sekar sudah menipis Bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa."Kalau Mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu
"Ya Alloh!"Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya?Kenapa dia begitu tega?Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan Bude Rum.Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang
"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambut ibu sinis.Belum juga kami masuk ibu sudah mencecar kami. Ibu kembali terang-terangan bersikap kasar seperti dulu, biasanya ibu akan bersikap baik jika ada Mas Pamuji dan bersikap sinis bila Mas Pamuji tidak ada."Aku mau bicara sama Ibu," ucap Mas Pamuji, nada bicaranya masih terkontrol nampaknya nada sambutan ibu barusan tidak menjadi masalah bagi Mas Pamuji."Sekar pasti mengadu yang jelek tentang ibu, pasti dia ngelarang-ngelarang kamu ngasih uang ke ibu, ya sudah mulai sekarang jangan kasih-kasih uang ke ibu, biar istrimu tahu rasa nanti, karena mengambil yang bukan haknya, makanlah semua harta anakku sampai kau puas," ucap ibu, kedua tangannya terlipat di depan dada.Hatiku memanas mendengar setiap kalimat-kalimatnya, ingin sekali kukembalikan semua kata-kata itu padanya."Bu, Sekar nggak kaya gitu, memang kami hidup kekurangan selama ini, semua karena aku ingin membahagiakan Ibu, membayar 5 tahun sebelumnya dimana aku nggak mam
Keesokan paginya kami sarapan dengan masing-masing satu telur mata sapi, biasanya satu telur dibagi dua untuk Bagas dan Tika, atau kutambah dengan tepung biar jadi besar dan cukup untuk kami berempat. Aku ingin sedikit menghibur diri perihal telur dan beras kemarin.Ditemani secangkir kopi lengkap dengan gula untuk Mas Pamuji yang hendak berangkat kerja, serta segelas teh manis, tentunya untukku.Apa ini sudah bisa disebut hidup layak?Aku sangat senang dan mulai bersemangat kembali untuk meneruskan hidup sebagai istri Mas Pamuji.Suara derap kaki terdengar mendekati pintu depan rumah kami, benar saja suara ketukan mengikutinya kemudian. Aku bergegas membuka pintu, penasaran siapa yang bertamu sepagi ini dan mengetuk tanpa salam."Ibu?"Ibu berdiri di depan pintu dengan kepayahan membawa dua kardus dan sebuah kantong plastik besar."Apa ini, Bu?""Ibu mau balikin barang-barang yang ibu beli pake uang Pamuji," jawab ibu dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Tapi kenapa, Bu? Buat apa?" tan
Setelah Bagas masuk ke kelas, kuajak Tika ke rumah Bude Rum. Kutenteng sebungkus kue serabi hangat yang kubeli di jalan menuju ke sekolah Bagas tadi.Sesekali kugendong Tika agar kita lebih cepat sampai, karena nanti aku harus kembali menjemput Bagas pulang sekolah.Sebuah rumah besar bercat putih dengan dua lantai, halaman yang luas ditanami pohon mangga dan rambutan membuat suasana menjadi asri dan teduh. Juga berbagai bunga yang mempercantik suasana.Di garasi terparkir mobil keluaran lama, meski Bude dan Pakde orang berada namun mereka tidak serta merta hidup boros. Mereka akan merawat barang yang mereka punya dan baru akan membeli lagi ketika barang tersebut sudah tidak bisa digunakan.Bude memiliki dua orang putra dan satu orang putri, namun sayang putra pertamanya sudah meninggal saat remaja karena sebuah kecelakaan.Bude Rum dulunya seorang bidan, beliau berhenti ketika pakde sukses dengan bisnisnya dan fokus mengurus keluarga. Sebenarnya keluarga Bude Rum, ibu mertuaku, dan L
"Dimana kamu, Sekar? Aku harus bikin perhitungan sama kamu!" teriak Nurma dari seberang sana tanpa peduli salamku."Di sekolah Bagas," jawabku singkat."Aku tunggu kamu di rumah Ibu, aku mau ngomong penting!" ucapnya lagi kasar."Aku sibuk Nur, aku belum nyuci sama beres-beres rumah," tolakku."Oh kamu takut ya ketemu Ibu?" tebaknya salah."Sejak kapan Ibu jadi menakutkan?" tanyaku sekenanya."Oh, berani kamu ya, Sekar!""Sudahlah Nur, aku bilang cucianku banyak di rumah, aku sibuk, aku nyuci sambil jongkok kucek-kucek di kamar mandi, nggak kaya kamu atau Ibu yang tinggal muterin mesin cuci, jadi nggak bisa ditinggal-tinggal."Tanpa menunggu jawaban kutekan tombol matikan, malas sekali meladeni Nurma. Sudah kuduga Ibu akan mengadu pada anak-anak perempuannya. Walau umurku dan Nurma sama tapi aku adalah istri kakaknya, seharusnya dia memanggilku mbak, tapi dia selalu bersikap seenaknya.Nurma dan Rima bersikap hampir sama dengan ibu mertuaku, mungkin itu yang dinamakan buah jatuh tidak
"Tapi ... mantannya Mas Pamuji cantik, kan?!" seru Nurma padaku."Cantik sih, tapi dia cantik dan sukses buat balas dendam! Apa kamu nggak sadar?!" ucapku marah.Nurma terlihat semakin kesal padaku, ibu pun sama tapi sepertinya dia mencoba menahannya."Sudah, Kar, ayo kita pulang!" ajak Mas Pamuji.Aku menuruti ajakan Mas Pamuji, meladeni Nurma bisa-bisa membuatku ikut kehilangan akal sehat. Terlihat Nurma kembali sibuk mengagumi uang di depannya sementara ibu menatap tidak rela."Kamu kenapa diem aja, Kar?" tanya Mas Pamuji setibanya di rumah."Aku kesel, Mas! Mala emang cantik, kan?" tanyaku memojokkan Mas Pamuji."Eh, enggak ... cantikan kamu Sekar," jawab Mas Pamuji tergagap, sepertinya Mas Pamuji tahu pertanyaan seperti ini akan salah apapun jawabannya."Mas ... jangan bohong, siapapun juga tahu kalo Mala itu cantik, aku mah apa atuh, bedak aja barengan sama Tika sama Bagas, lipstik harga 15 ribu belinya bisa dua tahun sekali, sabun mu--""Hust, sudahlah, Kar, nanti kalo kita pun
"Coba dulu Mbak Mala jadi iparku!" ucap Nurma.Seketika darahku mendidih, Nurma benar-benar menguji kesabaranku. Mungkin saja saat ini wajahku semerah tomat."Heh, nggak boleh gitu kamu, Nur!" tegur ibu pada Nurma.Aku terkejut, jelas sangat terkejut.Apa ibu sedang membelaku? Nampaknya ibu benar-benar mengibarkan bendera putih sekarang."Bercanda, Bu!" kilah Nurma."Pamali ngomong gitu, Nur, lagian kalo aku dulu jadi sama masmu, mungkin aku nggak di titik ini sekarang," ucap Mala sambil tersenyum."Jadi Mbak Mala ini mantannya Mas Pamuji?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Bisa dibilang begitu, Mbak Sekar, tapi dulu kami nggak direstui," jawab Mala tanpa ragu.Aku melirik pada Mas Pamuji dan ibu."Tapi jangan salah paham, aku nggak maksud apa-apa, aku emang pengen beli sesuatu buat si mbokku, kebetulan liat postingannya Nurma jadi aku beli," lanjut Mala, dan aku meragukannya."Oh ... kenapa nggak direstui?" tanyaku penasaran, susah sekali menyembunyikan rasa cemburu, apalagi Mala sangat
Pada akhirnya ibu setuju menjual ruko warisan dari mbah kakung dan mbah putri, alias orang tua ibu mertuaku. Sayangnya tidak mudah menjual properti dengan cepat, semua yang menawar memberikan harga yang tidak wajar.Jika ruko itu terjual pun uang yang Nurma butuhkan masih kurang, semua teman-temannya tidak ada yang peduli. Terakhir ibu dan Nurma mendatangi Bude Rum dan Bulek Tri, ibu menawarkan ruko tapi keduanya menolak, akhirnya keduanya kompak menyumbang masing-masing 25 juta."Assalamualaikum." Terdengar suara Mas Pamuji pulang kerja."Waalaikumsalam," jawabku seraya membukakan pintu untuknya.Mas Pamuji kembali menggunakan motor legend kami untuk berangkat kerja."Kenapa kok Mas lesu?" tanyaku melihat gestur suamiku."Aku punya kabar buruk, Kar! Maafin aku!" jawab amas Pamuji menunduk, dia meletakan bobot tubuhnya di sofa."Ada apa, Mas?" tanyaku antusias, batinku menerka-nerka cobaan apa lagi yang menghampiri kami."Aku dimutasi, gara-gara mobil kemarin aku dianggap nggak bisa m
Masalah yang kami hadapi cukup pelik, hingga akhirnya mereka pulang dan hanya meninggalkan Dani di penjara, untuk sementara Nurma dan Rima tetap tinggal di rumah ibu.Mas Pamuji mendapat surat peringatan dari perusahaan karena masalah ini, untung saja biaya kerusakan mobil ditanggung oleh asuransi. Namun tetap saja aku was-was karena mobil ini sudah pernah membunuh orang, aku takut sial.Belakangan diketahui bahwa Nurma dan Dani memang bertamasya, bukannya kondangan seperti yang mereka katakan. Mereka menabrak sebuah warung kecil dipinggir jalan ketika jalanan menurun dan Dani gagal mengendalikan mobilnya. Gadis yang meninggal sedang menunggu dagangan orang tuanya di warung tersebut.Semua terbongkar karena keluarga Dani datang dan semua terkejut atas musibah itu, tidak ada yang sedang hajatan di antara mereka. Nurma tidak bisa lagi mengelak.Kini semua sedang mengusahakan kebebasan Dani dengan meminta damai pada keluarga korban. Terakhir korban meminta uang duka 500 juta untuk berda
"Nurma sama Dani kecelakaan, katanya nelpon ke hape Ibu sama Rima nggak diangkat dari tadi, sekarang di rumah sakit," jawab Mas Pamuji panik."Innalilahi!" seru semua hampir berbarengan."Dimana?" tanya ibu panik."Keadaannya gimana?" tanyaku, padahal aku khawatir pada mobil yang dipakai Nurma."Ehm, kita harus ke sana, tapi naik apa? Minimal 2 jam dari sini," ucap Mas Pamuji.Kami kompak melirik ke arah Irfan, dia datang kemari membawa mobil. Irfan yang tahu arah pikiran kami mendengkus kesal, disaat musawarah tentangnya dan Rima belum menemukan jalan keluar justru Nurma memberikan masalah baru."Pake mobilku, tapi nggak bisa ikut semua, mobilku kecil!" ucap Irfan setengah hati, tapi mau bagaimana lagi tidak ada pilihan lain.Akhirnya diputuskan bahwa yang berangkat Mas Pamuji, Irfan, dan juga ibu. Tentu saja aku tidak bisa karena harus menjaga Bagas dan juga Tika. Sementara Rima masih belum mau banyak berinteraksi dengan Irfan sehingga lebih memilih tinggal."Rim ... Irfan kok kaya
"Sepeda Bagas bagaimana, Mas?" tanyaku."Kita beli pake motor?" usul Mas Pamuji ragu."Ishk!"Kutinggalkan Mas Pamuji yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kemarin udah terlanjur bilang iya sama Nurma kan?" ucap Mas Pamuji sambil mendekatiku yang kesal."Iya, sih," gumamku pelan, kembali kuhela napas.Aku pikir sikap Nurma yang arogan mengisyaratkan kalau dia tidak jadi meminjam mobil hari ini. Ternyata dia tetap memakainya meskipun sudah membuat keributan kemarin.Ternyata gengsinya tidak setinggi gaya bicaranya. Apalagi kata-kata suaminya tentang kepemilikan mobil itu, semakin membuatku geram."Lihat, Mas! Nurma yang serumah sama ibu, juga nggak simpati-simpati amat sama masalah Rima, ketelen aja tuh dia jalan-jalan sama keluarganya," ucapku pada Mas Pamuji."Itu kan kondangan, Kar, mungkin nggak enak sama keluarga Dani," jawab Mas Pamuji."Aku nggak yakin Dani punya sodara di kota itu, tempat wisata mah ada, pemandian air panas, mungkin aja Nurma ke sana, alesannya kon
"Apa?!" pekik ibu.Ibu berlari pulang di susul Nurma di belakangnya, aku yang penasaran pun ikut berlari.Ibu mendekap Rima yang menangis, Nurma duduk di sampingnya dan mengusap lembut punggung Rima. Kuberanikan diri mendekat, aku juga ingin tahu apa yang menimpanya.Tampak sebuah tas besar di sisi lain kursi, nampaknya milik Rima. Ada Dani dan Adeva juga, suami dan anak Nurma, ternyata mereka juga ada di sini."Aku nggak mau pulang ke sana lagi, Bu, aku nggak mau!" raung Rima dalam tangisnya."Iya ... iya," sahut ibu."Tapi Rafa gimana? Ibu harus ambil Rafa dari keluarga mas Irfan!" raung Rima lagi."Sudah kamu tenang dulu, Rim, kalo udah tenang baru bisa nyari solusi," ucap Nurma.Cukup lama akhirnya sampai Rima tenang, aku berinisiatif membuatkan teh manis untuknya. Sependek ini aku hanya tahu Rima pergi dari rumahnya karena suaminya ketahuan berselingkuh. Awalnya Rima akan membawa Rafa, anaknya, tapi dihalangi oleh ibu mertuanya.Ibu tampak kalut dengan masalah rumah tangga anakn
Kudekatkan mulutku ke telinga Ibu, kubisikan kalimat yang sudah kutahan-tahan."Mulai sekarang aku akan ngelindungin Mas Pamuji dari orang yang suka manfaatin dia, terutama dari orang yang udah mencoba membunuh Mas Pamuji sebelum dia lahir!"Mata ibu membelalak, dan aku puas.Sikap ibu yang terlihat sangat terkejut dan panik, menunjukan bahwa dia benar-benar pernah melakukan usaha aborsi itu. Rasa kecewaku semakin memuncak. Sebutan ibu hampir tidak pantas disandangnya.Nurma terlihat bingung menyaksikan ekspresi ibunya yang terkejut. Dadaku naik turun menahan emosi, keberanian yang kukumpulkan untuk melawan mereka sudah mulai berbaur dengan amarah."K-kamu?" ucap ibu tergagap."Iya, aku tahu semua!" tegasku."Ada apa, Bu?" tanya Nurma panik, dia yang datang dengan percaya diri sekarang terintimidasi."Dari mana kamu tahu?" tanya ibu sedikit berbisik, berusaha agar Nurma tidak tahu."Udah waktunya aja rahasia Ibu kebongkar," jawabku sengaja membuat ibu bingung."Jangan sok tahu kamu!"
"Mau kondangan kemana Nur?" tanya Mas Pamuji."Ke luar kota Mas, sodaranya Mas Dani hajatan," jawab Nurma."Nggak usah dikasih, Mas! Giliran kita ada mobil tiba-tiba suaminya punya sodara di luar kota yang hajatan, gitu?" bisikku di telinga Mas Pamuji."Besok aku lembur, Nur, mobilnya kepake," tutur Mas Pamuji."Mas pake motor aja, dulu juga Mas pake motor terus," rajuk Nurma."Wong lemburnya juga keluar kota, kunjungan industri, mau ngeliat vendor baru," ucap Mas Pamuji."Dulu kerjaan Mas cuma di pabrik, sekarang kan harus sering ke luar kota, banyak mobilitasnya, makanya dikasih inventaris mobil, kalo enggak ya nggak dikasih sama kantor," lanjut Mas Pamuji menjelaskan.Nurma terlihat kesal, aku tidak peduli benar atau tidak alasan lemburnya Mas Pamuji, aku merasa puas. Kemana mereka saat kami susah?Saat kami punya mereka datang bagaikan lalat. Aku tidak akan membiarkan suamiku mengemis kasih sayang lagi pada mereka."Ya udah aku pinjemnya hari minggu aja," pinta Nurma pantang menye