"Ibu mau makan dan minum obat tapi ada syaratnya," ucap ibu, dan perasaanku mulai tidak enak."Apa, Bu?" tanya Mas Pamuji dengan sabar."Ibu mau kamu ceraiin Sekar!" ucap ibu.Aku dan Mas Pamuji terdiam seketika, kami saling pandang, sementara Nurma tersenyum sinis ke arahku."Ibu ... jangan aneh-aneh," ucap Mas Pamuji."Ibu serius, semua terserah kamu mau pilih ibu atau wanita itu!" ucap ibu lagi dengan tegas.Kedua alis Mas Pamuji bertaut, aku pun sama, kelakuan ibu semakin tidak masuk akal."Ibu ini yang melahirkan kamu, sudah seharusnya kamu berbakti dan nurut sama ibu, tapi wanita itu orang lain.""Gara-gara dia kamu udah nggak takut lagi jadi anak durhaka, kamu terus ngelawan sama ibu.""Keputusan ibu udah bulat, kalau kamu masih mau sama dia, nggak usah peduli lagi sama ibu," ucap ibu penuh ancaman klasik."Ibu memang ngelahirin aku, tapi Sekar juga udah ngelahirin anak-anakku.""Aku milih kalian berdua, aku akan adil, Bu. Selama ini aku sudah banyak dzolim ke Sekar dan anak-an
"Tentang Bapak, tentang perlakuan Ibu yang amoral, apa aku boleh tahu?" tanyaku mencoba memberanikan diri untuk tahu.Mas Pamuji menunduk, membuang napas untuk mengosongkan dadanya yang berat."Nggak mau juga nggak papa, Mas. Tapi kalo Mas butuh temen cerita, jangan sungkan, ya. Aku baru tahu ternyata Mas banyak mendem masalah sendiri," ucapku mencoba membuat Mas Pamuji nyaman."Bapakku seorang pekerja kasar, dia ikut proyek jalan tol yang terkadang harus berpindah-pindah pulau," ucap Mas Pamuji mulai bercerita, diiringi deru suara bus dan klakson kendaraan yang saling melaju."Sebenernya uang yang bapak kirim waktu itu lebih dari cukup untuk kehidupan kami, tapi gaya hidup ibuku membuat semua terasa kurang dan kurang.""Ada aja barang yang ibu ambil dengan cara kredit, hingga lama kelamaan penghasilan Bapak nggak cukup untuk bayar semua tagihan-tagihan Ibu, sementara barang yang nggak berguna banyak teronggok di rumah.""Bukan satu dua orang yang udah negur Ibu waktu itu, tapi ... Ib
"Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran."Ibu pengen ketemu, katanya mau minta maaf, mintanya sekarang tapi aku bilang besok aja jadi sekalian pulang," cerita Mas Pamuji singkat.Minta maaf? Mudah-mudahan ibu sadar."Ibu udah boleh pulang?" tanyaku."Udah," jawab mas Pamuji singkat."Oh ... sukurlah kalo begitu.""Biaya rumah sakitnya gimana, Mas? Apa SPP Bagas nggak usah dibayar dulu?" tanyaku lagi."Kamu nggak usah khawatir Sekar, mulai sekarang aku nggak akan mengorbankan kehidupan kalian lagi, sementara kita bayar dulu pakai uang kemarin ya, tapi SPP Bagas kamu bayar dulu, nanti biar kuitansinya aku masukin ke perusahaan biar di rembesin," jawab Mas Pamuji."Jadi maksudnya nanti uangnya diganti gitu?""Iya," jawab Mas Pamuji."Kenapa dulu waktu Bagas sakit enggak begitu sistemnya?""Ini kebijakan baru, Sekar. Hasil dari rapat serikat pekerja sama managemen setahun lalu.""Alhamdulillah, seenggaknya kita punya jaminan kesehatan.""Iya, tapi semoga kita sehat-sehat terus."Aku senang mend
Suara air di kamar mandi berhenti. Kurasakan langkah seseorang di belakangku, tapi aneh dia tidak menyapaku. Kuberjalan ke ruang depan untuk menitipkan pesan perihal pecel yang kubawa. Namun Rima dan Nurma masih pulas tertidur di depan tivi."Hah? Jadi yang tadi, siapa?" gumamku.Kutengok ke dalam kamar ibu, dan ibu pun masih tertidur. Mungkin aku salah lihat. Aku bergegas pulang karena aku pun harus menyiapkan sarapan untuk Mas Pamuji dan anak-anak. Kutinggalkan pesan di secarik kertas kemudian kuletakan di meja makan.Sesampainya di rumah Mas Pamuji sedang bermain dengan Bagas dan juga Tika, mereka berebut perhatian ayahnya untuk bermain mainan baru masing-masing. Mas Pamuji terlihat kewalahan tapi wajahnya terlihat sangat bahagia.Aku yakin Mas Pamuji tidak sengaja memanjakan ibu, dia hanya tahu kalau ibu minta pasti ibu sedang butuh, tanpa tahu kebutuhan apa yang diinginkan ibu.Hari ini setelah Bagas pulang sekolah aku mengajak mereka pergi ke rumah ibu. Tadi Nurma menelponku beb
"Hah? Mobil?"Mobil?"Doain aku Sekar biar semuanya berjalan lancar, kalo nggak ada masalah proses verifikasinya sebulan," ucap Mas Pamuji lagi.Aku belum tahu harus memberikan respon yang seperti apa, karena berita yang Mas Pamuji bawa begitu mengejutkan."Akhirnya, aku bisa bahagiain kalian," ucap Mas Pamuji penuh syukur."Hah?""Aku pengen banget bikin kalian bahagia setelah selama ini kamu dan anak-anak udah banyak menahan diri, ternyata Allah kabulin, kerjaanku juga lancar semua yang biasanya ruwet sekarang gampang," lanjut Mas Pamuji."Karena Mas udah nyenengin anak-anak, mereka kan masih polos jadi mungkin doanya gampang diterima, Mas.""Kamu juga Sekar, kalo pengen apa-apa dan uangnya ada, jangan ditahan, beli aja, aku pengen nebus semua kesalahanku selama ini sama kamu," ucap Mas Pamuji, ada penyesalan memang di nada suaranya."Iya, Mas.""Dulu aku pernah mikir kalo aku nyenengin ibu, rezeki kita akan ngalir deras, tapi nggak tahu kenapa, rasanya hidup makin sulit aja, padaha
"Hem ...."Tubuh ibu kembali melunglai dan limbung di lantai, dengan dibuat-buat tentunya. Namun kali ini ketiga anaknya diam, tidak ada yang bergerak untuk menangkap tubuh ibu apalagi membantunya berdiri.Aku tahu karakter Nurma, dia pasti sangat marah dengan ibunya. Semantara Rima hanya bisa memandang penuh kecewa."Kenapa, Bu?" tanya Nurma lagi dengan nada kesal."Maafin ibu, ibu terpaksa!" ucap ibu lirih, kepalanya tertunduk pasrah.Mas Pamuji akhirnya tergerak dan membantu ibu untuk bangun, dan mendudukan ibu kembali di kasur. Tentu saja ibu bukan tidak mampu bangun sendiri, tapi dia sedang menahan malu.Ibu menangis, oke, drama selanjutnya.Nurma dan Rima yang selalu tegas membela ibunya kini hanya diam, Nurma melipat kedua tangan di dadanya. Tatapan matanya, ah ... susah dijelaskan, yang pasti dia jengkel."Udah, Bu, nggak usah nangis, coba jelasin sama kita alasannya apa," ucap Rima mencoba menyudahi drama ibu yang ambigu."Semua ini karena dia!" ucap ibu."Karena Sekar!" tega
"Aku lelah bersikap baik tapi selalu diinjak-injak, nggak pernah dihargai!" ucapku di ambang kesabaran, marah, kecewa, kesal, muak, berampur jadi satu membuat sabarku benar-benar habis."Aku muak, Mas, aku juga manusia, punya batas rasa, sekarang Mas pilih kami atau Ibu!" ucapku tanpa berpikir panjang.Aku tidak berharap Mas Pamuji memilih kami, aku hanya ... ingin lega dengan mengatakan apa yang selama ini ingin kukatakan pada ibu.Semua tingkah ibu yang rendah telah membakar sumbu emosiku dan membawaku ke pikiran yang pendek.Aku langsung membalik badan dan ingin berlari sejauh mungkin dari mereka, pergi secepat mungkin dari tempat ini. Aku takut lepas kendali dan tangan-tangan ini bisa melayang tanpa ampun, memberikan hukuman untuk ibu."Sekar!"Kurasakan tangan Mas Pamuji menjegalku, memegang lenganku dengan erat, matanya menatap tidak percaya padaku.Benar, aku lelah!Lelah diperlakukan tidak adil, lelah mendengar hal-hal yang buruk, lelah menyaksikan kekonyolan sifat dan watak y
"Mbak Sekar!" terdengar seseorang memanggilku.Mbak Murni, mamanya Raka, melambaikan tangan dan tersenyum menghampiri. Aku masih duduk di atas sepeda motor bersama Tika, sementara Bagas sudah masuk ke kelas."Nebeng dong pulangnya," ucapnya."Ayo, Mbak!" Rumah kami memang searah.Mbak Murni naik ke belakangku dan kulajukan sepeda motorku perlahan."Makasih lho Mbak Sekar," ucap Mbak Murni."Sama-sama, Mbak, nanti biar Raka bareng aku aja, jadi Mbak Murni nggak repot jemput Raka," usulku, selama ini Mbak Murni sudah baik sama Bagas, sampai Bagas pun betah kalau bermain di rumahnya."Oh, nggak ngerepotin, sih?""Enggak, Mbak," ucapku sambil tetap fokus berkendara.Sejak Mas Pamuji memiliki mobil inventaris, aku menggunakan sepeda motor legendaris milik kami untuk mengantar jemput Bagas sekolah."Mbak Sekar ini enak ya, punya mertua baik kaya bu Susi," ucap Mbak Murni."Hah?" Aku heran dengan ucapan Mbak Murni, tanpa kuceritakan citra ibu sudah kurang baik di mata masyarakat, baru kali i
"Aku di-PHK, Kar," tuturnya."Hah? Di-PHK? Jangan bercanda, Mas," tegurku.Mas Pamuji tidak menjawab, dia melewatiku begitu saja dan merebahkan tubuhnya di sofa. Aku penasaran, tapi aku harus menata hatiku jika kabar ini bukan candaan dari Mas Pamuji.Kubuatkan secangkir teh dulu untuk Mas Pamuji seraya berpikir, dalam rangka apa perusahaan mengurangi karyawannya? Atau jangan-jangan Mas Pamuji membuat kesalahan?"Minum dulu, Mas," ucapku sambil meletakan secangkir teh itu di meja.Mas Pamuji bangkit dengan lesu kemudian menyeruput teh yang kubuat. Matanya tidak berani melihat ke arahku."Mas? Beneran di-PHK?" tanyaku coba memberanikan diri.Mas Pamuji hanya mengangguk pelan."Kenapa, Mas? Alasannya apa?" tanyaku tidak terima."Ada Manager yang nggak suka sama serikat pekerja, jadi ... dia memanipulasi data, membuat masalah seolah-olah anggota serikat yang buat," jelas Mas Pamuji."Jadi?""Ya jadi beberapa pengurus serikat disalahkan atas kerugian perusahaan karena masalah fiktif itu,
"Tika ketabrak mobil, sekarang di rumah sakit! Kita kocar kacir nyariin kamu dari tadi!"Ibu berteriak, bukan suara keras ibu yang membuat kesadaranku berhamburan, tapi kabar yang ibu sampaikan membuatku panik.Aku diam, aku nge-blank. Aku berusaha mencerna kabar yang ibu bawa. Aku tidak peduli lagi pada kesengajaan ibu memakiku di depan umum."Heh! Sekar! Malah bengong anak di rumah sakit kamu malah diem nggak cepet tanggap!""Begini nih, mantu durhaka, sibuk nilai kekurangan mertuanya tapi lupa sama kewajiban sendiri!" maki ibu lagi.Sakit!Tapi kalimatnya berhasil membuat pikiranku yang syok kembali bekerja normal."Ditabrak dimana, Bu? Kok bisa? Mereka udah pulang tadi?" tanyaku bingung."Harusnya ibu yang nanya! Kamu itu ibu mereka bukan?!" hardik ibu."Rumah sakit mana, Bu?" tanyaku panik."Rumah sakit Permata keluarga, udah susul sana! Dari tadi dicariin juga!" teriak ibu kasar. Suaranya keras menggema kemana-mana, semua orang mendengar.Aku pantas menerimanya. Aku teledor. Sei
Hari ini rumah ibu sudah penuh dengan persiapan, hanya Nurma yang antusias dan penuh semangat. Aku akui, di usianya yang mendekati senja ibu masih terlihat cantik.Ya pastilah, dulu gaji Mas Pamuji banyak meresap ke kulitnya dari pada ke perut anak-anakku. Nurma sibuk merias ibu, entah apa yang mereka berdua bincangkan dengan semangat.Mas Pamuji enggan hadir dengan memilih lembur, sementara Rima tidak diijinkan pergi oleh suaminya. Pakde dan Bude Rum turut hadir sebagai yang dituakan, sementara Bulek Tri dan keluarganya tidak hadir, kabarnya mereka tidak akur."Eh, jangan dimakan, belum mulai udah mau ngabis-ngabisin aja anakmu!" tegur Nurma padaku ketika Bagas dan Tika mengambil kue di nampan, padahal jelas-jelas itu sisa dari kue yang sudah tertata rapi di piring."Mamah ... Bagas cuma ngambil satu," rengek Bagas padaku sementara Tika tetap memakan kue di tangannya tanpa peduli pada teguran Nurma."Makan aja, Gas, kalau kurang ambil lagi masih banyak kok," ucapku pada Bagas."Hih,
"Arum ... pulang duluan aja, ibu masih ada urusan," ucap Bude pada Mbak Arum yang menunggu di teras, nampaknya dia tidak tertarik sama sekali dengan drama keluarga kami."Tapi udah malem, Bu! Dan Ibu belum bener-bener sembuh," tolak Mbak Arum sedikit protektif pada ibunya."Sebentar aja, nanti pulangnya biar dianter Pamuji," ucap Bude bersikeras. Mbak Arum mengikuti arahan Bude Rum dengan berat hati, dia naik dan memutar sepeda motornya."Maafin aku ya Mbak Arum, tadi aku bingung ... panik, jadi aku telpon Bude, dan terpaksa harus ngerepotin Bude lagi," bisikku pada Mbak Arum sebelum dia pergi, jujur aku merasa bersalah dan tidak enak hati."Nggak papa, Kar. Tolong dijaga aja jangan kebanyakan pikiran budenya," ucap Mbak Arum sebelum memacu motornya menjauh."Bude mau ngomong sama kalian."Akhirnya kami pulang ke rumah setelah Pak Wandi diusir oleh Bude Rum. Sesampainya di rumah kusuguhkan teh hangat karena di rumah ibu, Bude tidak minum apa pun, sementara perdebatan tadi telah mengur
Mas Pamuji berhenti dan melangkahkan kakinya dengan cepat hendak masuk ke sana."Mas?" Percuma panggilanku tidak dihiraukan.Aku lari sebisaku, akhirnya tangan Mas Pamuji berhasil kuraih dan kupegang erat."Mas!" seruku lagi sambil menarik lengannya, aku mulai panik."Ada anak-anak!" sentakku keras.Mas Pamuji tersadar, dia menatapku ragu, antara menegur ibunya atau melindungi kepolosan anak-anaknya."Aku nggak mau anak-anakku terkena pengaruh buruk!" seruku lagi.Aku juga tidak mau berurusan lagi dengan ibu. Aku tidak ingin Mas Pamuji terluka. Aku tidak ingin anak-anakku melihat sejarah buruk neneknya, apa jadinya bila peristiwa ini terekam sampai mereka dewasa dan mengerti betapa bobroknya semua ini?Aku ingin bahagia!Tanpa ibu!Apa bisa?!Kutatap mata Mas Pamuji penuh arti."Apa kita bisa pura-pura nggak tahu aja, Mas?" ucapku dengan bergetar."Aku capek!" ungkapku.Aku lelah dengan cobaan ini, semua sisi hidupku seperti dihajar oleh ibu tanpa ampun. Ekonomi, mental, kesehatan, ka
Sesampainya di depan rumah ibu, terlihat pintu sedikit terbuka, tampak sebuah sepeda motor besar terparkir di depannya, sepasang sandal lelaki juga bertengger manis di teras ibu.Jangan-jangan!Dengan jantung berdegup kencang kuberanikan diri mendekat dan membuka pintu agar semakin melebar."Assalamualaikum, Bu!" seruku.Ibu dan Pak Wandi kompak menengok ke arahku, mereka terkejut begitu pun aku. Pasangan kakek dan nenek yang tidak halal, sedang duduk saling menyuapi makanan dengan mesra. Aku geli melihatnya."Ada apa, Kar?" tanya ibu kasar.Dia tetap bersikap wajar seolah apa yang sedang mereka lakukan adalah hal biasa.Ibu meletakan garpu bekas mangga kembali ke piring dan berjalan ke arahku dengan raut wajah, bangga? Ya ampun."Ada apa? Ditanya malah plenga-plengo begitu!" ucap ibu membuyarkan pikiranku.Kutarik lengan ibu ke teras menghindari tatapan Pak Wandi yang nakal. Aku jijik."Jadi gosip itu bener, Bu?" tanyaku sedikit berbisik."Gosip? Gosip apa?" tanya ibu berlagak."I-ib
"Sekalinya murahan tetaplah murahan si Susi itu! Wanita gatal! Kamu pun anak hasil dia melo*te!" teriak Bu Lasmi lagi."Bu! Cukup!" bentakku."Tapi bener, Kar! Si Susi emang murahan," seru Bu Lasmi lagi."Kalau Bu Lasmi pikir memaki ibu di depan kami bisa bikin Bu Lasmi puas, Bu Lasmi salah! Apa bedanya Bu Lasmi sama ibu mertuaku?" Aku tidak terima dia mengungkit masa lalu ibu tentang kelahiran Mas Pamuji.Bu Lasmi menunduk dan kembali tergugu, aku prihatin pada sakit hatinya, aku paham dia hancur. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Bu Lasmi menghancurkan Mas Pamuji. Reflek kupeluk Bu Lasmi yang mulai melunglai lemas, membiarkannya kembali menangis meluapkan sakit hatinya.Mas Pamuji duduk terdiam, sesekali dia melirik ke arah kami."Tidur aja, Mas. Biar aku nemenin Bu Lasmi dulu," usulku pada Mas Pamuji, aku takut akan lebih banyak kalimat menyakitkan keluar dari bibir Bu Lasmi.Dengan berat Mas Pamuji meninggalkan kami berdua, memberikan ruang yang lebih luas agar Bu Lasmi bisa mel
"Tapi ... mantannya Mas Pamuji cantik, kan?!" seru Nurma padaku."Cantik sih, tapi dia cantik dan sukses buat balas dendam! Apa kamu nggak sadar?!" ucapku marah.Nurma terlihat semakin kesal padaku, ibu pun sama tapi sepertinya dia mencoba menahannya."Sudah, Kar, ayo kita pulang!" ajak Mas Pamuji.Aku menuruti ajakan Mas Pamuji, meladeni Nurma bisa-bisa membuatku ikut kehilangan akal sehat. Terlihat Nurma kembali sibuk mengagumi uang di depannya sementara ibu menatap tidak rela."Kamu kenapa diem aja, Kar?" tanya Mas Pamuji setibanya di rumah."Aku kesel, Mas! Mala emang cantik, kan?" tanyaku memojokkan Mas Pamuji."Eh, enggak ... cantikan kamu Sekar," jawab Mas Pamuji tergagap, sepertinya Mas Pamuji tahu pertanyaan seperti ini akan salah apapun jawabannya."Mas ... jangan bohong, siapapun juga tahu kalo Mala itu cantik, aku mah apa atuh, bedak aja barengan sama Tika sama Bagas, lipstik harga 15 ribu belinya bisa dua tahun sekali, sabun mu--""Hust, sudahlah, Kar, nanti kalo kita pun
"Coba dulu Mbak Mala jadi iparku!" ucap Nurma.Seketika darahku mendidih, Nurma benar-benar menguji kesabaranku. Mungkin saja saat ini wajahku semerah tomat."Heh, nggak boleh gitu kamu, Nur!" tegur ibu pada Nurma.Aku terkejut, jelas sangat terkejut.Apa ibu sedang membelaku? Nampaknya ibu benar-benar mengibarkan bendera putih sekarang."Bercanda, Bu!" kilah Nurma."Pamali ngomong gitu, Nur, lagian kalo aku dulu jadi sama masmu, mungkin aku nggak di titik ini sekarang," ucap Mala sambil tersenyum."Jadi Mbak Mala ini mantannya Mas Pamuji?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Bisa dibilang begitu, Mbak Sekar, tapi dulu kami nggak direstui," jawab Mala tanpa ragu.Aku melirik pada Mas Pamuji dan ibu."Tapi jangan salah paham, aku nggak maksud apa-apa, aku emang pengen beli sesuatu buat si mbokku, kebetulan liat postingannya Nurma jadi aku beli," lanjut Mala, dan aku meragukannya."Oh ... kenapa nggak direstui?" tanyaku penasaran, susah sekali menyembunyikan rasa cemburu, apalagi Mala sangat