Elara menikah dengan Damian demi menyelamatkan keluarganya yang berutang besar. Sebagai pria arogan dan pewaris kaya, Damian setuju menikah bukan karena cinta, tapi karena Elara cantik dan berkelas. Namun, sebuah kecelakaan tragis menghancurkan wajah Elara—dan bersamaan dengan itu, menghancurkan pernikahannya. Damian, yang dulu tak peduli, kini memandangnya dengan jijik. Penghinaan, perselingkuhan, dan penderitaan menjadi bagian dari hidup Elara, hingga akhirnya, Damian menceraikannya dan mengusirnya tanpa belas kasihan. Dua tahun berlalu. Semua orang mengira Elara sudah mati… tapi kini dia kembali. Dengan wajah baru, hati yang lebih keras, dan kekuatan yang lebih besar. Sebagai Laurent Forst, wanita sukses yang menguasai dunia bisnis, dia datang bukan untuk meminta cinta—tapi untuk menghancurkan pria yang pernah menghancurkannya.
View MoreSatu minggu kemudian...“Nyonya, pengasuh baru untuk Tuan Muda Dante sudah datang,” ucap kepala pelayan sambil berdiri tegak di ambang pintu ruang kerja Laurent.Laurent yang sedang menandatangani beberapa dokumen menutup mapnya perlahan. Ia tidak langsung menoleh, hanya berkata dengan nada datar, “Suruh dia masuk.”Beberapa saat kemudian, langkah pelan terdengar menyusuri karpet mahal yang meredam suara. Seorang wanita muda melangkah masuk. Pakaian yang ia kenakan rapi namun sederhana—blus putih, rok selutut, dan sepatu datar. Rambutnya disanggul ringkas, dan ia mengenakan kacamata bulat tipis yang memberi kesan kalem dan profesional.Kyle berdiri dengan kedua tangan meremas jemarinya sendiri, tampak gugup namun berusaha tenang. Ia menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk hormat. “Selamat pagi, Nyonya Forst,” ucapnya pelan.Laurent menatapnya beberapa detik tanpa ekspresi. Tatapannya tajam, menilai dari ujung kepala hingga kaki, seakan berusaha membaca lebih dari sekadar penampila
Everstone Mansion — Kamar Pribadi Nyonya EverstoneHujan mulai turun perlahan, membasahi jendela kaca setinggi langit-langit di rumah megah yang berdiri angkuh di kawasan elit. Udara malam merembes masuk melalui celah tirai beludru anggur yang ditarik separuh, menebarkan hawa lembap dan dingin yang menempel di marmer lantai dan perabot tua penuh sejarah.Di dalam kamar tidur yang luas dan elegan itu, waktu seolah berhenti. Lampu gantung kristal menggantung bisu di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut yang temaram. Aroma samar kayu tua dan mawar kering menyelubungi udara.Nyonya Everstone berdiri diam di depan meja rias antik bergaya Eropa, kedua matanya menatap bayangan dirinya sendiri di cermin besar yang telah menyimpan ribuan rahasia. Rambut peraknya disanggul rapi, tanpa satu helaian pun keluar dari tempatnya, tapi wajahnya... Wajah itu menyiratkan badai yang mengamuk diam-diam. Raut matanya tajam, penuh perhitungan, namun tak bisa menyembunyikan ketegangan yang me
Lantai 45 — Ruang Rapat DM PropertiesLangit tampak kelabu pagi itu. Awan menggantung berat di langit, seolah tahu hari ini adalah hari yang menentukan arah masa depan dua kerajaan bisnis.Lift terbuka perlahan, dan Laurent Forst melangkah keluar dengan anggun. Sepatunya yang berhak tipis menyentuh marmer putih yang mengilap tanpa suara. Di belakangnya, asistennya—seorang pria muda dengan setelan abu-abu arang dan wajah dingin seperti es Swiss—mengikuti dengan langkah tegap.Laurent mengenakan setelan celana hitam elegan dengan blus sutra krem. Rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting mutiara menggantung lembut di telinganya. Aroma mawar dan cedar samar mengikuti tiap langkahnya.Di ujung lorong kaca, pintu ruang rapat terbuka otomatis. Di dalam, meja panjang berbentuk oval dari kayu eboni mengisi ruangan. Di sisi kanan, para direksi DM Properties telah duduk. Kursi utama—biasanya ditempati oleh Damian Everstone—kini kosong.Laurent berhenti sejenak, menatap kursi kosong itu.
Rumah Adrian Vaughn – Malam HariAngin malam meniup lembut tirai tipis yang menggantung di jendela tinggi rumah keluarga Vaughn. Aroma lavender samar tercium dari lilin aromaterapi yang menyala di sudut ruangan. Di dalam ruang baca yang hangat oleh nyala perapian, Laurent Forst duduk dalam diam. Tangannya memegang gelas kristal berisi anggur merah tua, matanya menatap kosong ke arah api yang menari-nari tenang di balik kaca.Pintu diketuk perlahan. Seorang pria berpakaian serba hitam masuk dan membungkuk sopan, lalu berbisik, "Nyonya, kami baru saja menerima kabar. Damian Everstone… telah resmi dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Hillside hari ini."Laurent tidak bereaksi seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menyesap anggurnya seakan sedang menikmati rasa kemenangan yang lama ia nantikan.“Dia menjadi gila…” gumamnya perlahan, suaranya dalam dan datar, seperti bisikan angin malam yang dingin. “Itu balasan yang setimpal. Karena bertahun-tahun lalu... mereka telah membuat ibuku kehi
Keesokan Harinya – Rumah Sakit Umum PusatLorong rumah sakit itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk, berpadu dengan suara sepatu para perawat yang berlalu-lalang. Di kamar bernomor 417, tubuh Damian Everstone terbaring dengan infus di kedua tangannya, oksigen terpasang di hidung, dan perban putih membalut kedua pergelangan tangannya—bekas percobaan bunuh diri yang gagal diselamatkan detik terakhir oleh penjaga tahanan.Nyonya Catherine Everstone berdiri di sisi ranjang, mematung dalam mantel bulunya yang masih belum sempat dilepas. Wajahnya nyaris tak berwarna. Tangannya menggenggam tas kulit mahal yang kini terasa begitu asing di pelukannya.Dokter berdiri tak jauh dari sana, membaca grafik detak jantung dengan ekspresi penuh pertimbangan.“Kami memberinya penenang ringan,” ucap dokter itu akhirnya. “Tapi… ada hal lain yang perlu Anda ketahui, Nyonya Everstone.”Wanita itu menoleh perlahan, seolah suaranya jauh sekali.“Hal lain?”Dokter mengangguk. “Tadi pag
Tiga Hari KemudianLangit di kota itu diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam itu berhenti di depan markas kepolisian pusat. Sorotan kamera wartawan dari berbagai media sudah menunggu sejak pagi, mengabadikan satu per satu momen yang mereka sebut sebagai “skandal berdarah keluarga Everstone.”Damian Everstone, dalam balutan kemeja putih kusut dan wajah tak bercukur, digiring masuk oleh dua petugas berseragam. Mata tajamnya masih menyimpan kebencian yang membara, namun tubuhnya tak lagi gagah. Di ruang interogasi, ia duduk sendirian. Tangan diborgol. Wajahnya menoleh ke kaca satu arah, tahu betul bahwa ia sedang diamati.Di balik kaca itu, dua polisi berdiskusi pelan. Bukti sudah cukup kuat. Saksi sudah ada. Rekaman kamera vila dan pengakuan Laurent membuat semuanya menjadi terang.Nama Damian Everstone kini tercantum sebagai tersangka utama dalam kasus penculikan dengan kekerasan. Warisan nama keluarga besar itu, yang selama puluhan tahun tak pernah tercoreng, kini tercabik dala
Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat dari desa nelayan kecil di pesisir selatan. Laut bergulung pelan, sementara aroma garam dan rumput laut masih menggantung di udara. Di kejauhan, derap langkah sepatu kulit membelah keheningan.Damian berjalan cepat di antara rumah-rumah kayu tua, diapit oleh dua anak buahnya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras saat ia menyisir setiap sudut desa dengan pandangan tajam. Penduduk lokal menghindar, menunduk dalam diam.Dan saat itulah matanya menangkap bayangan seorang wanita—berlari dari balik pohon zaitun tua.“Kejar dia,” perintah Damian, suaranya datar, namun menusuk. Dua pria langsung bergerak.Laurent nyaris berhasil menyelinap ke jalan kecil menuju bukit, namun satu langkah terlambat. Tangan kekar menarik lengannya kasar, membuat tubuhnya terhentak.“Lepaskan!” jeritnya, namun sia-sia.Damian berjalan mendekat, menatap wanita itu dengan sorot mata gelap. “Kukira kau lebih pintar dari ini, Laurent.”Ia menarik Laurent menuju pelabuhan pribadi
Ponsel Adrian bergetar di atas meja kayu kerjanya. Sekilas, ia menoleh dengan dahi berkerut, lalu segera meraih perangkat itu dan menekannya ke telinga."Adrian... Ini aku," suara seorang wanita terdengar lemah, namun penuh urgensi di ujung telepon."Elara?!" suara Adrian membuncah dalam keterkejutan, tubuhnya langsung tegak."Aku... aku diculik. Sekarang aku berada di dekat desa nelayan. Cepat ke sini... sebelum anak buah Damian menangkapku," suara Laurent terdengar lirih, napasnya pendek dan terputus-putus."Tunggu aku. Aku akan ke sana sekarang. Kau sembunyi—sebisa mungkin. Jangan keluar sampai aku datang!" ucap Adrian mantap, lalu menutup sambungan dengan tangan bergetar.---Di balik sebuah pohon besar yang tumbuh rimbun di pinggiran desa nelayan, Laurent meringkuk dalam diam. Hawa dingin pagi masih menyengat kulitnya yang lembap, namun ia tak bergerak. Suara jantungnya berdentum keras di telinganya.Adrian akan datang menjemputnya. Ia harus percaya itu.Dari arah jalan setapak,
Laurent membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan napasnya terasa berat seperti ada beban menekan dadanya. Rasa sesak itu membuatnya menggeliat lemah, tubuhnya kaku dan dingin. Namun yang pertama kali ia sadari—ia tidak lagi berada di kamar vila terkutuk itu. Bukan tempat itu."Dia sudah sadar!" seru salah satu nelayan, suaranya penuh kelegaan dan harapan. Lelaki itu berdiri di tepi ranjang, mengenakan jaket lusuh dan topi anyaman, mengisyaratkan kepada perawat di ruangan kecil dan sederhana itu.Laurent memutar kepalanya pelan, melihat sekeliling. Lampu neon berkelip pelan di langit-langit, aroma antiseptik bercampur dengan bau garam laut yang masih tertinggal di kulitnya. Dia berada di sebuah klinik kecil, entah di mana, tapi jelas bukan di pulau Damian."Selamatkan... saya..." gumamnya nyaris tak terdengar. Bibirnya kering dan pecah-pecah, suaranya patah.Namun tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan. Napasnya terputus, matanya kembali terpejam, dan kesadarannya meng
Malam itu, Elara masih terjaga di kamarnya.Setelah kejadian di meja makan dan di dapur, pikirannya dipenuhi dengan berbagai emosi. Lelah, marah, sedih, dan perasaan tidak berdaya bercampur menjadi satu.Lalu, ketukan terdengar di pintu.“Nyonya Elara.”Elara menoleh. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan sikap ragu.“Tuan Damian meminta Anda ke kamarnya sekarang.”Jantung Elara berdegup lebih cepat.Damian… memanggilnya?Untuk apa?Hingga saat ini, pria itu hampir tidak pernah mengundangnya ke kamar. Mereka tidur terpisah, dan Damian selalu bersikap dingin padanya.Tapi sekarang?Ada harapan kecil yang tumbuh dalam hatinya.Mungkin… mungkin malam ini akan berbeda.Mungkin akhirnya Damian akan melihatnya sebagai istrinya.Dengan tangan gemetar, Elara memilih gaun malam yang lembut dan elegan. Ia menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan sedikit lipstik tipis agar wajahnya tidak terlihat pucat.Ia ingin terlihat pantas di mata suaminya.Ia ingin Damian melihatnya, bukan sebag...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments