Malam itu, Elara masih terjaga di kamarnya.
Setelah kejadian di meja makan dan di dapur, pikirannya dipenuhi dengan berbagai emosi. Lelah, marah, sedih, dan perasaan tidak berdaya bercampur menjadi satu. Lalu, ketukan terdengar di pintu. “Nyonya Elara.” Elara menoleh. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan sikap ragu. “Tuan Damian meminta Anda ke kamarnya sekarang.” Jantung Elara berdegup lebih cepat. Damian… memanggilnya? Untuk apa? Hingga saat ini, pria itu hampir tidak pernah mengundangnya ke kamar. Mereka tidur terpisah, dan Damian selalu bersikap dingin padanya. Tapi sekarang? Ada harapan kecil yang tumbuh dalam hatinya. Mungkin… mungkin malam ini akan berbeda. Mungkin akhirnya Damian akan melihatnya sebagai istrinya. Dengan tangan gemetar, Elara memilih gaun malam yang lembut dan elegan. Ia menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan sedikit lipstik tipis agar wajahnya tidak terlihat pucat. Ia ingin terlihat pantas di mata suaminya. Ia ingin Damian melihatnya, bukan sebagai seseorang yang tidak berharga, tapi sebagai seorang istri. Dengan hati berdebar, ia berjalan ke kamar Damian. Pelayan yang tadi hanya menundukkan kepala dalam diam. Lalu, ia tiba di depan pintu itu. Menarik napas dalam-dalam, ia mengangkat tangannya dan mengetuk sebelum perlahan membuka pintu. Namun, saat pintu terbuka… Dunia Elara seketika runtuh. Di atas ranjang, Alicia berada di atas tubuh Damian. Gaun tidurnya sedikit terbuka, dan tubuhnya menempel erat pada pria itu. Damian tampak terkejut. Matanya membelalak saat melihat Elara berdiri di ambang pintu. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Alicia sudah lebih dulu bersuara. “Oh?” Suara Alicia terdengar santai, bahkan ada sedikit nada mengejek. “Ada apa ke kamar Damian, Nyonya Elara?” Elara membeku di tempat. Lidahnya kelu. Dadanya terasa sesak, dan jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir menyakitkan. Tatapannya beralih dari Damian ke Alicia, lalu kembali ke pria itu. Damian masih terdiam, ekspresi terkejutnya belum hilang. Tapi… dia tidak mengatakan apa pun. Elara menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus ia lakukan? Alicia tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. “Kalau tidak ada hal penting, aku rasa kau bisa kembali ke kamarmu, Nyonya Elara.” Elara merasakan tubuhnya gemetar. Kakinya terasa lemas. Tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya di depan Alicia. Tanpa suara, ia melangkah mundur, menutup pintu dengan perlahan. Lalu, ia berjalan pergi. Tidak ada air mata yang jatuh. Tidak ada kata-kata yang terucap. Tapi di dalam hatinya, sesuatu telah patah. ** Pagi itu, Elara terbangun dengan perasaan berat. Tidur tidak membawa ketenangan baginya, hanya memperpanjang rasa sakit yang terus menumpuk di hatinya. Saat ia berjalan keluar kamar dan turun ke ruang makan, suara ceria Alicia terdengar memenuhi ruangan. "Aku ingin sarapan yang lebih enak dari biasanya," perintah Alicia kepada para pelayan. "Siapkan roti panggang yang renyah, telur setengah matang, dan jus jeruk segar. Oh, dan tambahkan sedikit madu di atasnya, aku suka yang manis." Para pelayan tampak ragu-ragu, melirik satu sama lain. Mereka tahu bahwa meskipun Alicia sering bertindak seolah rumah ini miliknya, Elara tetaplah nyonya rumah yang sah. Elara berhenti di ambang pintu ruang makan, matanya bertemu dengan Alicia yang kini tersenyum licik ke arahnya. "Ah, kau sudah bangun, Elara," kata Alicia dengan nada santai. "Kenapa diam saja? Kau dengar kan, aku ingin sarapan. Sebagai nyonya rumah, sebaiknya kau sendiri yang memasaknya untukku." Elara menegang. Matanya menatap tajam ke arah Alicia, lalu ia membuka mulutnya dengan suara datar. "Memangnya aku pembantumu?" Alicia mengedipkan mata seakan terkejut, lalu tersenyum lebih lebar. "Oh, jangan seperti itu. Aku hanya meminta bantuan kecil saja." Sebelum Elara sempat menjawab, langkah kaki terdengar dari tangga. Damian turun dengan raut wajah lelah namun tetap memancarkan karisma seperti biasa. Ia berjalan menuju meja makan tanpa menoleh ke arah Elara sedikit pun. "Buatkan apa yang diinginkan Alicia," perintahnya santai sambil menuangkan kopi ke cangkirnya. "Dia sedang hamil anakku." Dunia Elara seakan runtuh saat itu juga. Jantungnya berdebar kencang, tangannya tiba-tiba dingin. Pandangannya beralih dari Damian ke Alicia, yang kini mengelus perutnya dengan ekspresi puas. "Ya, Damian benar," ujar Alicia manja. "Aku sedang mengandung anaknya, jadi aku butuh perhatian lebih. Dan kau, Elara… sebaiknya mulai belajar menerima kenyataan ini." Elara tidak bisa berkata-kata. Ia ingin menyangkal. Ia ingin menuduh Alicia berbohong. Tapi melihat cara Damian mengatakannya dengan begitu tenang, tanpa sedikit pun rasa bersalah, membuatnya tahu bahwa ini nyata. Damian telah mengkhianatinya. Dan sekarang, perempuan itu… perempuan yang merebut segalanya darinya… sedang mengandung anak suaminya. Elara berdiri diam di tempatnya, menatap Alicia yang dengan percaya diri mengumumkan kehamilannya. Ruangan terasa begitu sunyi, seolah semua mata menunggu reaksinya. Alih-alih menunjukkan kesedihan, Elara justru tersenyum tipis. Ia melipat tangannya di depan dada, lalu menatap Alicia dengan sinis. "Hamil?" Elara mengulangi dengan nada ringan. "Baguslah. Setidaknya kau bisa membuktikan bahwa kau lebih dari sekadar wanita simpanan." Damian mengernyit, jelas terkejut dengan reaksi Elara yang sama sekali tidak ia duga. Sementara itu, wajah Alicia berubah seketika—tidak menyangka bahwa Elara akan menanggapinya seperti ini. "Elara—" suara Damian terdengar sedikit tegang. Tapi Elara melanjutkan, "Tapi jangan harap aku akan melayani wanita yang merebut suamiku. Jika ingin sesuatu, mintalah langsung pada Damian." Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Elara berbalik dan berjalan keluar dari dapur. Langkahnya ringan, tapi dadanya bergemuruh hebat. Begitu tiba di ruang tamu, ia berhenti sejenak, matanya tertuju pada gantungan kunci di atas meja kecil dekat tangga. Tangannya terulur, menggenggam kunci mobilnya. Saat itu, suara langkah kaki terdengar dari belakang. "Elara, kau mau ke mana?!" Suara Damian menggema di ruangan, nadanya tajam dan penuh otoritas. Tapi Elara tidak menjawab. Ia hanya meliriknya sekilas sebelum kembali melangkah keluar. Damian tampak ingin mengejarnya, tapi Alicia segera menggenggam lengannya, membuat pria itu mengurungkan niatnya. Sementara itu, Elara sudah masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin dengan tangan yang sedikit gemetar. Saat mobil mulai melaju keluar dari halaman rumah Everstone, suara Damian masih terdengar dari kejauhan. "Elara!" Di dalam mobil... Elara teringat dengan waktu itu.. Aula besar rumah kakeknya terasa hangat dengan cahaya lampu kristal yang berkilauan. Para tamu berpakaian formal, tertawa, dan bersulang dalam suasana perayaan ulang tahun. Di salah satu sudut ruangan, seorang gadis berusia 17 tahun berdiri dengan anggun, memegang segelas jus jeruk di tangannya. Gaun putihnya membuatnya terlihat polos, tetapi matanya berbinar saat seorang pria muda mendekat. "Elara, bukan?" Suara itu rendah, dalam, dan terdengar akrab meski ini pertama kalinya mereka bertemu. Elara menoleh dan bertemu dengan tatapan Damian Everstone. Ia mengangguk pelan. "Ya." "Tidak menikmati pesta ulang tahun kakekmu?" tanyanya santai. Elara menggeleng. "Terlalu ramai." Damian terkekeh. "Aku juga. Aku lebih suka berbicara dengan seseorang daripada berpura-pura menikmati anggur mahal." Malam itu, Damian membuat Elara jatuh cinta. Tatapan hangatnya, senyum kecilnya yang khas, dan caranya berbicara seolah hanya ada mereka di ruangan itu… semuanya tertanam dalam ingatan Elara. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian, pria yang dulu begitu hangat kini menjadi seseorang yang dingin, jauh, dan lebih memilih wanita lain di sisinya. --- Elara mengusap air matanya yang mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya menggenggam kemudi erat. Saat itulah, dari arah depan, cahaya terang menyilaukan matanya. "Apa itu?!" Jantungnya berdegup kencang saat sebuah mobil melaju kencang ke arahnya dari arah berlawanan. "Astaga!" Elara membanting setir, tapi semuanya terjadi begitu cepat. BRAK! Dentuman keras memenuhi udara. Tubuhnya terlempar ke depan, kepalanya membentur kemudi, dan semuanya menjadi gelap. Suara api mulai terdengar, menjalar ke bagian depan mobil. Bau bensin yang menyengat memenuhi udara. Kesadarannya mulai menipis. "Apa ini akhir dari segalanya?"Satu tahun yang lalu…“Aku tidak sudi menikah dengan gadis itu! Dengan keluarga bangkrut itu!” suara Damian bergema di dalam ruang kerja keluarga Everstone. Rahangnya mengeras, sorot matanya penuh kemarahan.Duduk di seberangnya, wanita paruh baya dengan gaun elegan tetap tenang. Ibu Damian, sosok yang selalu berpikir logis dalam segala situasi, hanya menyesap tehnya tanpa terganggu oleh amarah putranya.“Lalu kau ingin bagaimana?” katanya dengan nada tenang namun tegas. “Keluarganya memiliki utang yang menumpuk, dan satu-satunya cara untuk menyelesaikan ini tanpa skandal adalah pernikahan. Lagi pula…” Dia menatap Damian dengan penuh perhitungan. “Gadis itu katanya memiliki peruntungan bagus setelah menikah. Jadi sebaiknya kita menerima perjodohan ini.”Damian menghela napas kasar. Peruntungan bagus? Omong kosong apa itu?Ia membuang pandangannya ke luar jendela sebelum akhirnya menoleh ke arah pintu ruangannya. Dulu, dia pernah menyukainya. Seorang gadis muda yang dulu hidup dengan
Saat ini...Elara membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah dunia baru saja kembali padanya setelah lama tenggelam dalam kegelapan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang berdenting pelan di sekitarnya.Seorang perawat berdiri di sisi ranjangnya, tampak terkejut begitu melihatnya sadar. Tanpa banyak bicara, perawat itu segera berbalik dan keluar dari ruangan, kemungkinan untuk memberi tahu dokter.Tak lama kemudian, seorang dokter masuk, wajahnya tenang tapi profesional, dengan clipboard di tangannya. Ia memeriksa Elara, memastikan kondisinya stabil sebelum akhirnya berbicara.“Kondisi Anda sudah cukup stabil sekarang,” katanya lembut, menatapnya dengan tatapan menenangkan.Elara menelan ludah, suaranya terasa serak ketika ia akhirnya bertanya, “Maaf… apa yang sebenarnya terjadi pada saya?”Dokter itu meletakkan clipboard-nya dan
Adrian tetap berdiri tegap di depan ranjang Elara, ekspresinya tenang, seolah tak terganggu oleh keterkejutan wanita itu.Tentu saja Elara tidak mengenalinya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, pada sebuah pesta megah yang diadakan kakeknya, perhatian Elara hanya tertuju pada satu orang—Damian. Saat itu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu terpesona hingga tak menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya, termasuk Adrian.Adrian mengingat semuanya. Betapa gadis itu tampak bersinar dalam gaun putihnya, betapa matanya berbinar saat menatap Damian. Tidak ada celah bagi Adrian untuk masuk ke dalam dunianya.Namun kini, keadaan berbalik. Setelah mengetahui bahwa Elara mengalami kecelakaan, koma selama tiga minggu, dan dikhianati oleh suaminya, Adrianlah yang datang menunggunya, menjenguknya, merawatnya dari kejauhan.Karena dia telah jatuh cinta pada Elara sejak lama.Elara menatap pria di hadapannya, kebingungan masih menguasai benaknya. "Maaf, saya
Elara menatap bayangannya di cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Wajah itu… bukan lagi wajah yang pernah dia banggakan. Luka bakar yang menggores pipinya tampak kasar di bawah pencahayaan lampu kristal vila Adrian. Seumur hidup, dia tak pernah merasa seburuk ini.Di belakangnya, Adrian bersandar pada meja marmer dengan tangan terlipat di dada, matanya menatapnya lekat. "Kau ingin wajah lamamu kembali atau lebih dari waktu itu?" tanyanya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi.Elara menggigit bibirnya, menahan gejolak yang meluap-luap di dadanya. "Ya, aku ingin wajahku kembali lebih dari yang dulu," jawabnya lirih, nyaris berbisik.Adrian tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, aku akan membawamu ke seseorang yang bisa membantu."~~~Keesokan harinya, Elara duduk di ruang konsultasi sebuah klinik eksklusif di pusat kota. Ruangan itu beraroma antiseptik, dengan dinding putih bersih yang terasa terlalu steril. Di seberangnya, seorang dokter bedah terkenal
Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal. Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan.Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya."Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?"Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian.Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bi
Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah."Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan.Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah.Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung.Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ra
Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Alicia tersentak."Kau… Kau salah dengar, Dianora," katanya cepat, menutup telepon dengan gugup. Jemarinya yang masih menggenggam ponsel terasa dingin, tetapi ia berusaha mempertahankan ekspresi tenang.Dianora melangkah masuk ke kamar tamu dengan santai, seolah-olah ia hanya sekadar berkunjung. Tanpa ragu, ia duduk di tepi ranjang, menyilangkan kakinya dengan anggun."Ada skandal buruk tentangmu akhir-akhir ini," ucapnya dengan nada ringan, tetapi ada ketajaman tersembunyi dalam suaranya. "Bahkan aku tahu kau punya hubungan yang tidak baik dengan Laurent."Alicia mengernyit. "Jangan salah paham," kekehnya canggung, mencoba meredam ketegangan.Dianora tersenyum kecil, senyuman yang sulit diterjemahkan apakah itu ketulusan atau peringatan."Kakak ipar," katanya santai, nada suaranya seperti seseorang yang sedang memberi nasihat penuh makna. "Jangan sampai kau membuat berita buruk di keluarga ini. Kau tahu, kalau kau bertindak seenaknya… aku juga bisa ikut terkena dampaknya."Tatapannya
Usai menjalankan rencananya, Laurent melajukan mobilnya menuju rumah sakit jiwa. Hujan tipis membasahi jalan, menambah kesan muram yang sudah menyelimuti hatinya. Ia ingin melihat ibunya—ingin memastikan sendiri bagaimana keadaannya saat ini.Begitu sampai di rumah sakit jiwa, Laurent turun dari mobil dengan langkah hati-hati. Gedung tua berlantai tiga itu berdiri suram di bawah langit kelabu, dengan pagar besi tinggi yang mengelilinginya. Bau khas desinfektan bercampur dengan aroma lembab menyambutnya begitu ia melewati pintu masuk.Dia mengenakan kacamata hitam, topi, dan masker, sengaja menutupi sebagian besar wajahnya. Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Beberapa pasien duduk di kursi roda atau berdiri di dekat jendela dengan tatapan kosong. Cahaya lampu neon yang redup membuat suasana semakin dingin.Laurent tiba di depan kamar ibunya. Dengan hati berdebar, ia membuka pintu perlahan.Di dalam, ibunya duduk di
Siang itu, bandara terasa sesak dan panas. Suasana hiruk-pikuk kedatangan internasional terlihat di mana-mana—para penumpang keluar dari pintu kedatangan dengan langkah cepat. Beberapa langsung disambut pelukan keluarga, sementara yang lain tampak sibuk mencari jemputan atau sekadar menyesuaikan diri dengan suhu yang jauh lebih terik dibandingkan kabin pesawat. Suara koper-koper beroda bergesekan dengan lantai marmer bercampur dengan pengumuman penerbangan yang terus berkumandang dari pengeras suara.Dianora melangkah keluar dari terminal, kacamata hitamnya bertengger di hidung, melindungi matanya dari sinar matahari yang terik. Rambut panjangnya tertiup angin saat dia menyesuaikan tali tas di bahunya. Ponsel dalam genggamannya menunjukkan pesan dari sopir yang memberitahu bahwa ia akan sedikit terlambat. Dengan enggan, Dianora berdiri di dekat pilar besar yang sedikit memberikan bayangan, menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa penat setelah perjalanan panjang dari luar nege
"Jelaskan apa? Bahwa kau selingkuh?" suara Damian menggema di ruangan, dingin dan tajam seperti belati. Tatapannya menusuk, menuntut jawaban yang bisa meredam amarahnya.Alicia menelan ludah, tubuhnya menegang. "Itu bukan seperti yang kau pikirkan!" katanya cepat, mencoba mempertahankan ketenangan meski napasnya mulai memburu.Damian menggeleng, ekspresi wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat menampar Laurent masih ada? Aku harus membereskannya, dan sekarang kau membuat masalah lagi?" nada suaranya meninggi, frustrasi yang sejak tadi ia tekan akhirnya meledak."Aku hanya bertemu dengan pria itu! Tak ada yang spesial, Damian. Aku hanya membahas masalah bisnis."Damian mendengus sinis. "Kau pikir aku percaya?"Alicia mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh keyakinan. "Aku bersumpah, Damian! Aku dijebak! Kau harus percaya bahwa Elara sudah kembali dan sedang memanipulasi semuanya!"Namun, Damian hanya menghela napas panjang, kasar, p
Alicia melangkah perlahan di jalan setapak pemakaman yang mulai diselimuti kabut tipis. Angin bertiup lembut, mengusap helaian rambutnya yang tergerai di bahu. Tangannya merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan dengan cepat menekan nomor suaminya.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Damian yang dalam dan malas menanggapi."Damian... Wanita itu masih hidup," ujar Alicia, suaranya datar tapi penuh keyakinan.Terdengar tarikan napas dari seberang telepon. "Dari mana kau tahu?" tanya Damian, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.Alicia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok, menatap lurus ke depan dengan ekspresi serius. "Aku baru saja ke makam ayahnya. Ada bunga yang masih segar di sana. Siapa lagi yang akan meninggalkannya kalau bukan dia?"Sejenak, Damian terdiam. Lalu, dengan suara yang lebih tajam, ia berkata, "Alicia, jangan mulai lagi."Namun, Alicia tidak peduli. Ia menyalakan mesin mobil dan tersenyum tipis. "Bagaimana kalau kita
Malam itu, Alicia berbaring di tempat tidur dengan gelisah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, pikirannya terus berputar pada kejadian di lelang siang tadi.Bagaimana mungkin keluarga Damian, yang selama ini selalu menjadi pusat perhatian, bisa kalah? Dan bukan oleh sembarang lawan, melainkan oleh L Group, perusahaan yang diyakini ada kaitannya dengan Laurent. Kebetulan seperti ini terasa terlalu aneh, terlalu disengaja.Alicia menghela napas. Semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat firasat buruk menyelimutinya. Terlebih lagi, akhir-akhir ini, kehidupannya seakan selalu diusik oleh bayang-bayang Laurent.Damian baru saja keluar dari kamar mandi, handuk masih melingkar di lehernya. Ia memperhatikan istrinya yang tampak tenggelam dalam pikirannya, wajahnya tegang, nyaris terganggu."Kau masih memikirkan lelang tadi siang?" tanyanya santai, sambil berjalan ke lemari dan mengambil piyama.Alicia mengangguk pelan."Damian," panggilnya tiba-tiba, suaranya datar nam
Adrian tengah sibuk berbicara dengan beberapa investor di sudut ruangan, membahas prospek kerja sama bisnis. Sementara itu, Laurent duduk sendiri di meja bundar dekat bar, menyesap sampanye dengan elegan.Tatapannya menyapu ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Lelang ini bukan sekadar transaksi biasa. Ini adalah langkah awal dari balas dendamnya. Rumah itu harus kembali padanya. Keluarga Damian tidak boleh memilikinya.Saat Laurent masih tenggelam dalam pikirannya, suara tajam menyelusup di antara denting gelas dan percakapan pelan para tamu."Berani sekali kau datang ke sini," ujar seseorang dengan nada mengejek.Laurent mendongak. Di hadapannya berdiri Alicia, mengenakan gaun merah tua yang mencolok. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir wanita itu, seolah-olah kehadiran Laurent di tempat ini adalah kesalahan besar."Kenapa tidak berani?" Laurent menjawab dengan suara pelan, namun tajam. "Apakah ada orang jahat di sini sampai aku harus takut?"Tatapan Alicia men
"Tentu saja aku bekerja," jawab Damian singkat. Suaranya terdengar biasa saja, datar tanpa celah untuk dipertanyakan.Tanpa menunggu reaksi dari Alicia, ia melangkah pergi, membuka pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak mereka, lalu menghilang di dalamnya.Alicia tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Damian yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu.Ia menghela napas panjang, dadanya naik turun, menahan perasaan yang mendidih di dalamnya.Suaminya berbohong.Alicia tahu itu.Damian tidak akan pernah mengaku bahwa dia tadi bertemu dengan Laurent.Perlahan, ia berbalik, menatap kosong ke arah pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. Cahaya lampu koridor menerangi wajahnya yang penuh kecurigaan, bibirnya mengerucut dalam kemarahan yang semakin pekat."Damian…" bisiknya, nyaris tanpa suara. "Kau mulai berbohong padaku."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengatupkan rahang, pikirannya mulai berputar, mencari cara.Tidak.Ia tidak akan me
Damian menunggu di kamar rumah sakit, sesekali melirik jam di dinding. Waktu terasa berjalan lambat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Laurent dibawa masuk. Tidak ada luka serius, hanya beberapa goresan di wajahnya—lebih karena syok daripada cedera berat.Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Damian bersandar di kursinya, tangannya bertaut di pangkuan, matanya terus menatap ke arah pintu yang masih tertutup.Tiba-tiba, pintu kamar didorong dari luar. Adrian masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh kecemasan. Napasnya sedikit memburu, seolah ia baru saja berlari. Tepat pada saat itu, Laurent membuka matanya."Kau tak apa-apa?" suara Adrian penuh kegelisahan, seakan dunia di sekitarnya tak lagi ada. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Damian di ruangan yang sama.Laurent mencoba untuk duduk, tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangguk pelan, mengatur napasnya.Dengan lembut, Adrian mengusap pipinya, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang begitu berharga. Ada kelembu