Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal.
Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan. Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya. "Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?" Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian. Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bicara… seperti aku pernah mendengarnya sebelumnya," gumamnya, hampir untuk dirinya sendiri. Laurent tetap tersenyum, tapi sorot matanya tajam. "Benarkah?" tanyanya, memiringkan kepalanya sedikit, seolah menikmati kebingungan Damian. Damian mengerutkan kening. Itu tidak mungkin. Mantan istrinya—Elara—tidak mungkin berdiri di hadapannya seperti ini. Elara adalah wanita lemah dan wajahnya juga buruk, seseorang yang dia tinggalkan tanpa menoleh ke belakang. Seseorang yang... tidak ada hubungannya dengan Laurent Forst yang luar biasa ini. Tapi mengapa suara itu... intonasi itu... terasa begitu familiar? Damian menegakkan bahunya, menepis pikirannya sendiri. Mungkin hanya kebetulan. Atau mungkin Laurent Forst hanya memiliki cara bicara yang mengingatkannya pada seseorang dari masa lalunya. Ya. Pasti hanya itu. Sementara itu, Laurent menyesap sampanyenya dengan santai, menikmati setiap detik permainan ini. Dia bisa melihat pertanyaan di mata Damian. ** "Aku ke toilet sebentar," bisik Laurent pada Adrian, yang tengah berbincang dengan beberapa pengusaha di ruangan itu. Adrian menoleh, lalu mengangguk kecil sebelum jemarinya sekilas menggenggam tangan Laurent—singkat, tapi cukup untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dalam. Laurent membalas sentuhan itu dengan senyum samar sebelum berbalik pergi. Damian yang sejak tadi berusaha mengalihkan perhatiannya dari wanita itu tiba-tiba merasa dorongan aneh dalam dirinya. Dia ingin mengikuti Laurent. "Mau ke mana?" Sebuah suara menghentikannya. Alicia, istrinya, menatapnya dengan mata menyelidik, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum lembut, menjaga martabatnya di tengah acara yang penuh dengan kalangan elite. "Aku mau ke toilet," jawab Damian singkat. Alicia tetap tersenyum, tetapi saat melihat suaminya berjalan ke arah yang sama dengan Laurent, dadanya mulai terasa sesak. Ada sesuatu yang aneh. Di lorong toilet… Laurent baru saja akan kembali ketika sebuah suara menghentikannya. "Laurent?" Dia menoleh. Damian berdiri di sana, sorot matanya penuh rasa ingin tahu yang belum sepenuhnya bisa ia mengerti. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Laurent mengangkat alisnya, lalu tersenyum seolah pertanyaan itu tidak berarti apa-apa baginya. "Entahlah… Tapi selama ini aku berada di luar negeri. Jadi, kurasa kecil kemungkinan kita pernah bertemu." "Benarkah?" Damian tampak berpikir. Namun, hatinya berkata lain. Suara itu. Intonasi itu. Cara bicara Laurent… mirip sekali dengan seseorang. Perasaan gelisah merayapi pikirannya. Mustahil. "Siapa lelaki yang bersamamu malam ini?" tanya Damian, mengalihkan pikirannya sendiri. Laurent menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum, tenang dan penuh percaya diri. "Calon suamiku." Damian membeku sesaat, lalu tersenyum miring, seolah mengukur kebenaran di balik kata-kata itu. Namun sebelum dia sempat membalas, suara langkah terdengar mendekat. Laurent menggeser pandangannya, mendapati seorang wanita berdiri tak jauh dari mereka. Senyum Laurent semakin dalam. "Oh… dan siapa wanita yang bersamamu malam ini?" tanyanya dengan nada polos yang jelas dimaksudkan untuk menusuk. Damian mendongak, tatapannya tetap terpaku pada Laurent saat ia menjawab dengan nada santai, "Hanya seseorang yang mengikutiku." Ada jeda singkat, seolah udara di antara mereka tiba-tiba menjadi lebih dingin. Laurent menatapnya sejenak, lalu sudut bibirnya melengkung dalam senyum tipis. "Oh? Kukira istrimu." Di kejauhan, Alicia berdiri diam, hatinya mencelos mendengar jawaban suaminya. "Tapi dia benar-benar suka mengikutimu," kata Laurent. Wajah Damian menegang, ketika dia menoleh ke belakang, ia melihat wajah Alicia sudah memerah karena menekan amarahnya.Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah."Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan.Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah.Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung.Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ra
Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Laurent berdiri di tengah hiruk-pikuk proyek apartemen, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan yang masih setengah jadi. Ia mengenakan helm proyek dan rompi pelindung, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Suara mesin bor dan palu beradu logam menggema di sekelilingnya, tetapi pikirannya tetap fokus.Rooney, sang arsitek utama, berjalan di sampingnya, sesekali mengangguk ketika Laurent menunjukkan beberapa bagian bangunan yang perlu perhatian lebih."Saya ingin material di bagian lobi lebih eksklusif, Rooney. Kita harus memastikan ini sesuai dengan konsep awal." Suaranya tegas namun tetap anggun."Tentu, Nona Laurent. Saya akan berdiskusi lagi dengan tim desain."Laurent mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke struktur balkon. "Dan railing di area penthouse ini? Saya ingin desain yang lebih ramping, tapi tetap kokoh.""Saya akan mengajukan beberapa opsi besok pagi," jawab Rooney sambil mencatat.Namun, sebelum diskusi mereka selesai, sebuah suara mengalihkan p
Damian menunggu di kamar rumah sakit, sesekali melirik jam di dinding. Waktu terasa berjalan lambat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Laurent dibawa masuk. Tidak ada luka serius, hanya beberapa goresan di wajahnya—lebih karena syok daripada cedera berat.Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Damian bersandar di kursinya, tangannya bertaut di pangkuan, matanya terus menatap ke arah pintu yang masih tertutup.Tiba-tiba, pintu kamar didorong dari luar. Adrian masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh kecemasan. Napasnya sedikit memburu, seolah ia baru saja berlari. Tepat pada saat itu, Laurent membuka matanya."Kau tak apa-apa?" suara Adrian penuh kegelisahan, seakan dunia di sekitarnya tak lagi ada. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Damian di ruangan yang sama.Laurent mencoba untuk duduk, tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangguk pelan, mengatur napasnya.Dengan lembut, Adrian mengusap pipinya, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang begitu berharga. Ada kelembu
"Tentu saja aku bekerja," jawab Damian singkat. Suaranya terdengar biasa saja, datar tanpa celah untuk dipertanyakan.Tanpa menunggu reaksi dari Alicia, ia melangkah pergi, membuka pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak mereka, lalu menghilang di dalamnya.Alicia tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Damian yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu.Ia menghela napas panjang, dadanya naik turun, menahan perasaan yang mendidih di dalamnya.Suaminya berbohong.Alicia tahu itu.Damian tidak akan pernah mengaku bahwa dia tadi bertemu dengan Laurent.Perlahan, ia berbalik, menatap kosong ke arah pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. Cahaya lampu koridor menerangi wajahnya yang penuh kecurigaan, bibirnya mengerucut dalam kemarahan yang semakin pekat."Damian…" bisiknya, nyaris tanpa suara. "Kau mulai berbohong padaku."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengatupkan rahang, pikirannya mulai berputar, mencari cara.Tidak.Ia tidak akan me
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis