Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah.
"Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan. Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah. Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung. Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ramah. MC mengangkat sebuah kotak berukuran sedang, memperlihatkannya pada semua orang. "Saya sudah memasukkan nama para Tuan dan Nyonya ke dalam kotak ini. Saya harap semua bisa sportif nantinya," lanjutnya sambil tersenyum. Alicia menoleh ke Damian, wajahnya penuh harapan. "Aku harap aku bisa berpasangan denganmu. Kudengar mereka akan mengadakan permainan escape room," gumamnya dengan antusias. Damian tersenyum kecil. "Ya, aku juga," katanya, meski pikirannya justru melayang ke arah lain. Pandangannya tertuju pada Laurent yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu terlihat begitu dekat dengan Adrian, berbicara dalam jarak yang terlalu intim. Sesekali Laurent tersenyum pada pria itu, seolah menikmati percakapan mereka. Ada sesuatu dalam pemandangan itu yang membuat dada Damian terasa sesak, meski ia sendiri enggan mengakui perasaannya. "Tuan Damian Everstone?" Suaranya MC membuyarkan lamunan Damian. Ia mengerjapkan mata sebelum akhirnya berdiri, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya. Langkahnya mantap saat ia maju ke depan, merapikan jasnya dengan gerakan refleks. Alicia yang masih duduk menatapnya dengan harapan, menanti nama yang akan dipasangkan dengan Damian. Namun, saat MC menyebutkan pasangan Damian, jantung Alicia serasa mencelos. "Nyonya Laurent Forst?" Seketika, ruangan yang dipenuhi para tamu mendadak senyap. Semua kepala menoleh ke arah Laurent, wanita yang malam itu berhasil mencuri perhatian dengan kecantikannya yang nyaris sempurna. Laurent berdiri dengan anggun, gaun satin yang membalut tubuhnya semakin mempertegas lekukannya yang menggoda. Tatapan banyak orang tertuju padanya, mengagumi, beberapa bahkan iri. Alicia menggigit bibirnya, menahan kekecewaan yang mendesak dadanya. Namun, yang membuatnya semakin kesal adalah tatapan Damian. Bukannya menunjukkan keterkejutan atau ketidaknyamanan, pria itu justru menatap Laurent dengan cara yang berbeda—dengan cara yang seharusnya tak ia lakukan di hadapan Alicia. Mata Damian terpaku pada wajah cantik Laurent, memperhatikan setiap detailnya seolah ia baru pertama kali melihat wanita itu. Lekuk tubuhnya, senyum tipisnya, cara ia melangkah dengan penuh percaya diri. Ada sesuatu dalam tatapan Damian yang membuat Alicia ingin beranjak dari tempat duduknya tapi ia masih berusaha menahannya. Masih menatap lurus ke depan, Damian mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya merendah saat berbisik ke arah Laurent. "Calon suamimu tidak cemburu, kan, jika kau bersamaku nanti?" Ada nada menggoda dalam suaranya, namun sorot matanya penuh ketertarikan yang terselubung. Laurent tersenyum tipis, anggun dan tenang, seolah pertanyaan itu tidak berarti apa-apa baginya. "Tentu tidak. Dia tahu jika ini hanya permainan," jawabnya, suaranya lembut, tapi penuh keyakinan. Damian menoleh, menatap wanita di sampingnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sesuatu tentang Laurent yang berbeda dari wanita lain—sesuatu yang membuatnya sulit untuk digoda seperti biasanya. Laurent terlalu tenang, terlalu percaya diri, seolah sudah mengantisipasi segalanya. Sesaat kemudian, Laurent melirik ke arah Adrian. Senyumnya tetap sama, seolah apa pun yang terjadi malam ini sudah ada dalam rencana yang telah ia susun dengan matang. Ketika MC selesai mengumumkan pasangan lain, Damian dan Laurent akhirnya diarahkan ke tempat permainan berlangsung. Langkah mereka beriringan memasuki ruangan yang telah disiapkan untuk escape room. "Baiklah, tugas Tuan dan Nyonya hanya memecahkan teka-teki di dalam ruangan," kata MC dengan penuh semangat. Di luar, layar besar menampilkan gambar mereka berdua saat memasuki ruangan tersebut. Alicia menatap layar itu dengan gusar. Ia menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari Damian yang, sejak tadi, terus mencuri pandang ke arah Laurent. "Awas saja kalau kalian melakukan hal aneh," geramnya, nyaris tak sadar bahwa dirinya berbisik. Di sisinya, Adrian tampak santai. Pria itu bahkan tidak menunjukkan sedikit pun kecemburuan, seolah apa yang terjadi di dalam ruangan itu tidak berarti apa-apa baginya. ** Di dalam ruangan, Damian dan Laurent berdiri di depan sebuah lukisan besar yang tampaknya merupakan bagian dari teka-teki yang harus mereka selesaikan. Sebuah puzzle tergantung di dinding, potongan-potongannya berantakan, menunggu untuk disusun kembali. Damian mengamatinya sejenak, mencoba menebak pola gambar yang tersembunyi di dalamnya. Namun sebelum ia sempat bergerak, tangan Laurent sudah lebih dulu bergerak dengan cekatan, menyusun kepingan satu per satu dengan presisi yang mengesankan. Damian menyandarkan satu tangan ke dinding, memperhatikannya dengan sudut bibir sedikit terangkat. "Kau sangat pintar rupanya, Nona Laurent?" Nada suaranya terdengar lebih seperti pernyataan ketimbang pertanyaan. Laurent tersenyum tipis, tapi tidak menoleh ke arahnya. "Saya anggap itu sebagai pujian," katanya ringan. Satu kepingan terakhir dipasang, dan terdengar suara mekanisme bergerak. Dengan sendirinya, pintu di hadapan mereka mulai terbuka. Namun, sesuatu tampaknya menghambatnya—pintunya tersendat, tidak terbuka sepenuhnya. Laurent menghela napas kecil, lalu mendorong pintu dengan kedua tangannya. Damian melangkah maju, ikut mendorongnya agar terbuka lebih lebar. Namun tanpa sengaja, tangannya bertemu dengan tangan Laurent, menindih punggung tangannya yang halus. Sejenak, waktu seakan melambat. Di luar, Alicia menyaksikan semuanya dari layar. Matanya melebar, napasnya tertahan di tenggorokan. Tangannya mengepal, merasakan gemuruh dalam dadanya semakin berkobar. Di dalam ruangan, Damian menoleh ke arah Laurent. Wanita itu tetap tenang, sama sekali tidak goyah meski tangannya disentuh olehnya. Namun ada sesuatu dalam cara Laurent menatap pintu yang masih separuh terbuka itu. Sesuatu yang tidak disadari Damian—sesuatu yang seharusnya membuatnya waspada.Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Laurent berdiri di tengah hiruk-pikuk proyek apartemen, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan yang masih setengah jadi. Ia mengenakan helm proyek dan rompi pelindung, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Suara mesin bor dan palu beradu logam menggema di sekelilingnya, tetapi pikirannya tetap fokus.Rooney, sang arsitek utama, berjalan di sampingnya, sesekali mengangguk ketika Laurent menunjukkan beberapa bagian bangunan yang perlu perhatian lebih."Saya ingin material di bagian lobi lebih eksklusif, Rooney. Kita harus memastikan ini sesuai dengan konsep awal." Suaranya tegas namun tetap anggun."Tentu, Nona Laurent. Saya akan berdiskusi lagi dengan tim desain."Laurent mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke struktur balkon. "Dan railing di area penthouse ini? Saya ingin desain yang lebih ramping, tapi tetap kokoh.""Saya akan mengajukan beberapa opsi besok pagi," jawab Rooney sambil mencatat.Namun, sebelum diskusi mereka selesai, sebuah suara mengalihkan p
Damian menunggu di kamar rumah sakit, sesekali melirik jam di dinding. Waktu terasa berjalan lambat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Laurent dibawa masuk. Tidak ada luka serius, hanya beberapa goresan di wajahnya—lebih karena syok daripada cedera berat.Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Damian bersandar di kursinya, tangannya bertaut di pangkuan, matanya terus menatap ke arah pintu yang masih tertutup.Tiba-tiba, pintu kamar didorong dari luar. Adrian masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh kecemasan. Napasnya sedikit memburu, seolah ia baru saja berlari. Tepat pada saat itu, Laurent membuka matanya."Kau tak apa-apa?" suara Adrian penuh kegelisahan, seakan dunia di sekitarnya tak lagi ada. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Damian di ruangan yang sama.Laurent mencoba untuk duduk, tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangguk pelan, mengatur napasnya.Dengan lembut, Adrian mengusap pipinya, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang begitu berharga. Ada kelembu
"Tentu saja aku bekerja," jawab Damian singkat. Suaranya terdengar biasa saja, datar tanpa celah untuk dipertanyakan.Tanpa menunggu reaksi dari Alicia, ia melangkah pergi, membuka pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak mereka, lalu menghilang di dalamnya.Alicia tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Damian yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu.Ia menghela napas panjang, dadanya naik turun, menahan perasaan yang mendidih di dalamnya.Suaminya berbohong.Alicia tahu itu.Damian tidak akan pernah mengaku bahwa dia tadi bertemu dengan Laurent.Perlahan, ia berbalik, menatap kosong ke arah pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. Cahaya lampu koridor menerangi wajahnya yang penuh kecurigaan, bibirnya mengerucut dalam kemarahan yang semakin pekat."Damian…" bisiknya, nyaris tanpa suara. "Kau mulai berbohong padaku."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengatupkan rahang, pikirannya mulai berputar, mencari cara.Tidak.Ia tidak akan me
Adrian tengah sibuk berbicara dengan beberapa investor di sudut ruangan, membahas prospek kerja sama bisnis. Sementara itu, Laurent duduk sendiri di meja bundar dekat bar, menyesap sampanye dengan elegan.Tatapannya menyapu ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Lelang ini bukan sekadar transaksi biasa. Ini adalah langkah awal dari balas dendamnya. Rumah itu harus kembali padanya. Keluarga Damian tidak boleh memilikinya.Saat Laurent masih tenggelam dalam pikirannya, suara tajam menyelusup di antara denting gelas dan percakapan pelan para tamu."Berani sekali kau datang ke sini," ujar seseorang dengan nada mengejek.Laurent mendongak. Di hadapannya berdiri Alicia, mengenakan gaun merah tua yang mencolok. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir wanita itu, seolah-olah kehadiran Laurent di tempat ini adalah kesalahan besar."Kenapa tidak berani?" Laurent menjawab dengan suara pelan, namun tajam. "Apakah ada orang jahat di sini sampai aku harus takut?"Tatapan Alicia men
"Jelaskan apa? Bahwa kau selingkuh?" suara Damian menggema di ruangan, dingin dan tajam seperti belati. Tatapannya menusuk, menuntut jawaban yang bisa meredam amarahnya.Alicia menelan ludah, tubuhnya menegang. "Itu bukan seperti yang kau pikirkan!" katanya cepat, mencoba mempertahankan ketenangan meski napasnya mulai memburu.Damian menggeleng, ekspresi wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat menampar Laurent masih ada? Aku harus membereskannya, dan sekarang kau membuat masalah lagi?" nada suaranya meninggi, frustrasi yang sejak tadi ia tekan akhirnya meledak."Aku hanya bertemu dengan pria itu! Tak ada yang spesial, Damian. Aku hanya membahas masalah bisnis."Damian mendengus sinis. "Kau pikir aku percaya?"Alicia mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh keyakinan. "Aku bersumpah, Damian! Aku dijebak! Kau harus percaya bahwa Elara sudah kembali dan sedang memanipulasi semuanya!"Namun, Damian hanya menghela napas panjang, kasar, p
Alicia melangkah perlahan di jalan setapak pemakaman yang mulai diselimuti kabut tipis. Angin bertiup lembut, mengusap helaian rambutnya yang tergerai di bahu. Tangannya merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan dengan cepat menekan nomor suaminya.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Damian yang dalam dan malas menanggapi."Damian... Wanita itu masih hidup," ujar Alicia, suaranya datar tapi penuh keyakinan.Terdengar tarikan napas dari seberang telepon. "Dari mana kau tahu?" tanya Damian, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.Alicia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok, menatap lurus ke depan dengan ekspresi serius. "Aku baru saja ke makam ayahnya. Ada bunga yang masih segar di sana. Siapa lagi yang akan meninggalkannya kalau bukan dia?"Sejenak, Damian terdiam. Lalu, dengan suara yang lebih tajam, ia berkata, "Alicia, jangan mulai lagi."Namun, Alicia tidak peduli. Ia menyalakan mesin mobil dan tersenyum tipis. "Bagaimana kalau kita
Malam itu, Alicia berbaring di tempat tidur dengan gelisah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, pikirannya terus berputar pada kejadian di lelang siang tadi.Bagaimana mungkin keluarga Damian, yang selama ini selalu menjadi pusat perhatian, bisa kalah? Dan bukan oleh sembarang lawan, melainkan oleh L Group, perusahaan yang diyakini ada kaitannya dengan Laurent. Kebetulan seperti ini terasa terlalu aneh, terlalu disengaja.Alicia menghela napas. Semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat firasat buruk menyelimutinya. Terlebih lagi, akhir-akhir ini, kehidupannya seakan selalu diusik oleh bayang-bayang Laurent.Damian baru saja keluar dari kamar mandi, handuk masih melingkar di lehernya. Ia memperhatikan istrinya yang tampak tenggelam dalam pikirannya, wajahnya tegang, nyaris terganggu."Kau masih memikirkan lelang tadi siang?" tanyanya santai, sambil berjalan ke lemari dan mengambil piyama.Alicia mengangguk pelan."Damian," panggilnya tiba-tiba, suaranya datar nam
Adrian tengah sibuk berbicara dengan beberapa investor di sudut ruangan, membahas prospek kerja sama bisnis. Sementara itu, Laurent duduk sendiri di meja bundar dekat bar, menyesap sampanye dengan elegan.Tatapannya menyapu ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Lelang ini bukan sekadar transaksi biasa. Ini adalah langkah awal dari balas dendamnya. Rumah itu harus kembali padanya. Keluarga Damian tidak boleh memilikinya.Saat Laurent masih tenggelam dalam pikirannya, suara tajam menyelusup di antara denting gelas dan percakapan pelan para tamu."Berani sekali kau datang ke sini," ujar seseorang dengan nada mengejek.Laurent mendongak. Di hadapannya berdiri Alicia, mengenakan gaun merah tua yang mencolok. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir wanita itu, seolah-olah kehadiran Laurent di tempat ini adalah kesalahan besar."Kenapa tidak berani?" Laurent menjawab dengan suara pelan, namun tajam. "Apakah ada orang jahat di sini sampai aku harus takut?"Tatapan Alicia men
"Tentu saja aku bekerja," jawab Damian singkat. Suaranya terdengar biasa saja, datar tanpa celah untuk dipertanyakan.Tanpa menunggu reaksi dari Alicia, ia melangkah pergi, membuka pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak mereka, lalu menghilang di dalamnya.Alicia tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Damian yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu.Ia menghela napas panjang, dadanya naik turun, menahan perasaan yang mendidih di dalamnya.Suaminya berbohong.Alicia tahu itu.Damian tidak akan pernah mengaku bahwa dia tadi bertemu dengan Laurent.Perlahan, ia berbalik, menatap kosong ke arah pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. Cahaya lampu koridor menerangi wajahnya yang penuh kecurigaan, bibirnya mengerucut dalam kemarahan yang semakin pekat."Damian…" bisiknya, nyaris tanpa suara. "Kau mulai berbohong padaku."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengatupkan rahang, pikirannya mulai berputar, mencari cara.Tidak.Ia tidak akan me
Damian menunggu di kamar rumah sakit, sesekali melirik jam di dinding. Waktu terasa berjalan lambat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Laurent dibawa masuk. Tidak ada luka serius, hanya beberapa goresan di wajahnya—lebih karena syok daripada cedera berat.Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Damian bersandar di kursinya, tangannya bertaut di pangkuan, matanya terus menatap ke arah pintu yang masih tertutup.Tiba-tiba, pintu kamar didorong dari luar. Adrian masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh kecemasan. Napasnya sedikit memburu, seolah ia baru saja berlari. Tepat pada saat itu, Laurent membuka matanya."Kau tak apa-apa?" suara Adrian penuh kegelisahan, seakan dunia di sekitarnya tak lagi ada. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Damian di ruangan yang sama.Laurent mencoba untuk duduk, tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangguk pelan, mengatur napasnya.Dengan lembut, Adrian mengusap pipinya, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang begitu berharga. Ada kelembu
Laurent berdiri di tengah hiruk-pikuk proyek apartemen, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan yang masih setengah jadi. Ia mengenakan helm proyek dan rompi pelindung, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Suara mesin bor dan palu beradu logam menggema di sekelilingnya, tetapi pikirannya tetap fokus.Rooney, sang arsitek utama, berjalan di sampingnya, sesekali mengangguk ketika Laurent menunjukkan beberapa bagian bangunan yang perlu perhatian lebih."Saya ingin material di bagian lobi lebih eksklusif, Rooney. Kita harus memastikan ini sesuai dengan konsep awal." Suaranya tegas namun tetap anggun."Tentu, Nona Laurent. Saya akan berdiskusi lagi dengan tim desain."Laurent mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke struktur balkon. "Dan railing di area penthouse ini? Saya ingin desain yang lebih ramping, tapi tetap kokoh.""Saya akan mengajukan beberapa opsi besok pagi," jawab Rooney sambil mencatat.Namun, sebelum diskusi mereka selesai, sebuah suara mengalihkan p
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia