Satu tahun yang lalu…
“Aku tidak sudi menikah dengan gadis itu! Dengan keluarga bangkrut itu!” suara Damian bergema di dalam ruang kerja keluarga Everstone. Rahangnya mengeras, sorot matanya penuh kemarahan. Duduk di seberangnya, wanita paruh baya dengan gaun elegan tetap tenang. Ibu Damian, sosok yang selalu berpikir logis dalam segala situasi, hanya menyesap tehnya tanpa terganggu oleh amarah putranya. “Lalu kau ingin bagaimana?” katanya dengan nada tenang namun tegas. “Keluarganya memiliki utang yang menumpuk, dan satu-satunya cara untuk menyelesaikan ini tanpa skandal adalah pernikahan. Lagi pula…” Dia menatap Damian dengan penuh perhitungan. “Gadis itu katanya memiliki peruntungan bagus setelah menikah. Jadi sebaiknya kita menerima perjodohan ini.” Damian menghela napas kasar. Peruntungan bagus? Omong kosong apa itu? Ia membuang pandangannya ke luar jendela sebelum akhirnya menoleh ke arah pintu ruangannya. Dulu, dia pernah menyukainya. Seorang gadis muda yang dulu hidup dengan kemewahan, dengan senyum percaya diri yang selalu membuatnya terpikat. Tapi sekarang? Keluarganya telah bangkrut. Elara yang sekarang bukanlah gadis yang dulu dikenalnya. Pakaian sederhana membungkus tubuhnya, matanya tidak lagi berbinar seperti dulu, dan keanggunan yang dulu membedakannya kini seperti telah terkubur oleh keterpurukan. Elara terlihat lusuh dan… membosankan. “Damian!” suara ibunya memecah lamunannya. Damian mengepalkan tangan. “Baiklah, baiklah! Aku akan menikah dengannya,” katanya dengan nada dingin. “Tapi ingat, aku sudah memiliki Alicia. Jangan harap aku akan benar-benar menjalani pernikahan ini.” Ibunya tersenyum tipis, puas. “Tentu, ibu tahu. Kau tetap bisa bersama Alicia.” Setelah itu, mereka keluar dari ruang kerja menuju ruang tamu, di mana keluarga Elara menunggu. Damian melangkah masuk dengan ekspresi datar. Di matanya, keluarga itu tak lebih dari sekumpulan orang yang meminta belas kasihan. “Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya tanpa emosi. “Aku terima pernikahan ini.” Elara mengangkat wajahnya, senyum kecil terukir di bibirnya. Ia berpikir, mungkin ini tak akan seburuk yang dibayangkannya. Mungkin Damian masih seperti dulu—hangat, lembut, pria yang pernah ia kagumi. Sayangnya, ia tidak menyadari bahwa pria itu sudah lama berubah. Damian mengalihkan pandangan, enggan melihat ekspresi harapan di wajah Elara. Gadis itu benar-benar naif. Ia tidak tahu bahwa satu-satunya alasan pernikahan ini terjadi adalah karena omong kosong soal peruntungan. Elara berpikir Damian masih mencintainya? Betapa bodohnya. “Baiklah, kalau begitu, pernikahan akan diadakan minggu depan,” ujar ibu Damian dengan suara tegas. Ia melirik Elara dan orang tuanya dengan ekspresi penuh kemenangan, seolah-olah keluarga mereka sedang menerima belas kasihan. Elara menunduk sopan, tetapi di dalam hatinya, ia merasa bahagia. Pernikahan ini… mungkin adalah awal dari kebahagiaannya. Tapi bagi Damian? Ini adalah akhir dari kebebasannya. Saat mereka keluar dari ruangan, tangan Alicia langsung menggenggam lengan Damian dengan erat. Wanita itu mendekat, membiarkan aroma parfumnya menyelimuti udara di sekitar mereka. “Kau akan tetap memilihku, kan?” bisiknya manja. Damian tersenyum miring. “Tentu saja. Tidak ada yang berubah.” Sementara itu, di seberang ruangan, Elara berdiri diam. Ia melihat interaksi itu dengan mata yang mulai kehilangan sinarnya, namun tetap menolak percaya. Mungkin, cintanya akan cukup untuk mengubah segalanya. ** Beberapa hari kemudian.. Malam itu, di kamar pengantin yang megah, Elara duduk di tepi ranjang dengan gaun tidur sutra yang telah disiapkan oleh pelayan. Dia menunggu Damian. Pintu terbuka. Damian masuk dengan langkah santai, melepas dasinya dan melemparnya sembarangan ke sofa. “Elara,” suaranya terdengar datar. Elara tersentak, menoleh. “Ya?” Damian menatapnya dari atas ke bawah, lalu tertawa kecil. “Jangan berharap terlalu banyak dari pernikahan ini.” Elara mengernyit. “Maksudmu?” Pria itu berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan di tiang ranjang, menatapnya seolah dia hanyalah sesuatu yang tidak penting. “Kita hanya menikah karena keluargaku menginginkannya. Aku tidak butuh istri, apalagi istri yang hanya dijadikan alat oleh keluargaku untuk ‘membawa keberuntungan’.” Elara menegang. “Tapi aku akan berusaha menjadi istri yang baik—” Damian tertawa kecil, kali ini penuh ejekan. “Istri yang baik? Jangan naif, Elara.” Matanya semakin dingin. “Aku sudah punya wanita yang aku cintai. Kau hanya ada di sini karena keluargaku percaya bahwa kau bisa membawa keberuntungan bagi bisnis mereka. Setelah aku tidak membutuhkannya lagi, kau bisa pergi.” Elara merasa napasnya tercekat. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena cinta atau rasa malu, tapi karena rasa sakit. “Jadi… aku ini hanya alat?” suaranya bergetar. Damian tidak menjawab. Dia hanya menatapnya dengan tatapan datar, sebelum berbalik menuju pintu. “Kau tidur di sini. Aku akan tidur di tempat lain,” katanya dingin. “Jangan menggangguku.” Pintu tertutup, meninggalkan Elara sendirian di dalam kamar yang luas dan dingin. Tetesan air mata jatuh ke pipinya. Elara duduk di depan cermin besar di kamar pengantinnya. Gaun tidur sutra yang ia kenakan terasa dingin di kulitnya, seakan mencerminkan perasaan hatinya saat ini—dingin, kosong, dan penuh luka. Pernikahan ini tidak lebih dari sebuah kontrak. Itu sudah jelas sejak awal. Tapi tak disangka, Damian bahkan tak mau berpura-pura di hadapan orang lain. Ia bahkan meninggalkannya sendirian di malam pengantin. Elara menatap bayangannya sendiri. Matanya masih indah, tapi ada kesedihan di sana. Bibirnya bergetar saat mengingat kata-kata Damian tadi. "Jangan pernah berpikir aku akan mencintaimu." Tangannya mengepal. Dia bukan wanita lemah, dia tidak akan menangis. Tapi dada ini terasa sesak. Tiba-tiba, terdengar suara berisik dari luar. Elara beranjak, berjalan ke arah balkon kamar yang luas. Dari sana, ia bisa melihat halaman belakang rumah megah keluarga Damian. Cahaya temaram dari lampu taman menyinari sosok Damian… dan seorang wanita lain. Wanita itu mengenakan gaun hitam ketat, rambut panjangnya tergerai indah. Ia tertawa kecil, tangannya dengan manja menyentuh dada Damian. Damian tidak menolak. Sebaliknya, pria itu menarik pinggang wanita itu, membisikkan sesuatu di telinganya. Elara tidak bisa mendengar, tapi hatinya sudah cukup tahu. Suaminya sendiri tengah bermesraan dengan wanita lain di malam pernikahan mereka. Jari-jari Elara mencengkeram pagar balkon. Matanya mulai memanas. Mengapa ia masih berharap? Bukankah Damian sudah mengatakan semuanya? Tapi melihatnya sendiri… tetap saja menyakitkan. --- Keesokan paginya, Elara turun ke ruang makan. Kepala pelayan membungkuk hormat saat melihatnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Nyonya. Gelar itu terdengar menyakitkan, mengingatkan bahwa ia hanya istri di atas kertas. Elara tersenyum tipis. “Di mana Damian?” Sebelum kepala pelayan sempat menjawab, suara tawa terdengar dari tangga. Elara menoleh. Damian berjalan menuruni tangga dengan kemeja santai yang sedikit terbuka di bagian atas. Di belakangnya, wanita tadi malam, mengenakan kemeja Damian, berjalan dengan santai. Semua pelayan yang ada di ruangan itu menundukkan kepala, seakan sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Elara merasa tubuhnya membeku. Damian menyadari kehadirannya, lalu tersenyum sinis. “Oh? Kau masih di sini?” Jantung Elara mencelos. Masih di sini? Seolah ia hanya tamu yang tidak diinginkan. Damian berjalan mendekatinya, lalu berbisik, cukup pelan agar hanya mereka yang mendengar. “Kau bisa tinggal di rumah ini, tapi jangan ikut campur dalam urusanku.” Mata Elara membulat. “Aku istrimu.” Damian tertawa kecil, sebelum menatapnya dengan mata dingin. “Istri?” suaranya merendah. “Jangan terlalu percaya diri, Elara. Kau hanya alat pembayaran utang.” Seketika, hati Elara terasa seperti dirobek. Pelayan datang membawa sarapan, tapi selera makannya sudah hilang. Damian meraih cangkir kopinya dengan santai. “Kuharap kau bisa bersikap dewasa dan tidak membuat keributan. Kau tahu peranmu di sini, kan?” Elara tidak menjawab. Damian melirik wanita di belakangnya, lalu menyeringai. “Oh ya, kenalkan. Ini Alicia, wanita yang sebenarnya kucintai. Kau tak keberatan jika dia tinggal di sini juga, kan?”Saat ini...Elara membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah dunia baru saja kembali padanya setelah lama tenggelam dalam kegelapan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang berdenting pelan di sekitarnya.Seorang perawat berdiri di sisi ranjangnya, tampak terkejut begitu melihatnya sadar. Tanpa banyak bicara, perawat itu segera berbalik dan keluar dari ruangan, kemungkinan untuk memberi tahu dokter.Tak lama kemudian, seorang dokter masuk, wajahnya tenang tapi profesional, dengan clipboard di tangannya. Ia memeriksa Elara, memastikan kondisinya stabil sebelum akhirnya berbicara.“Kondisi Anda sudah cukup stabil sekarang,” katanya lembut, menatapnya dengan tatapan menenangkan.Elara menelan ludah, suaranya terasa serak ketika ia akhirnya bertanya, “Maaf… apa yang sebenarnya terjadi pada saya?”Dokter itu meletakkan clipboard-nya dan
Adrian tetap berdiri tegap di depan ranjang Elara, ekspresinya tenang, seolah tak terganggu oleh keterkejutan wanita itu.Tentu saja Elara tidak mengenalinya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, pada sebuah pesta megah yang diadakan kakeknya, perhatian Elara hanya tertuju pada satu orang—Damian. Saat itu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu terpesona hingga tak menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya, termasuk Adrian.Adrian mengingat semuanya. Betapa gadis itu tampak bersinar dalam gaun putihnya, betapa matanya berbinar saat menatap Damian. Tidak ada celah bagi Adrian untuk masuk ke dalam dunianya.Namun kini, keadaan berbalik. Setelah mengetahui bahwa Elara mengalami kecelakaan, koma selama tiga minggu, dan dikhianati oleh suaminya, Adrianlah yang datang menunggunya, menjenguknya, merawatnya dari kejauhan.Karena dia telah jatuh cinta pada Elara sejak lama.Elara menatap pria di hadapannya, kebingungan masih menguasai benaknya. "Maaf, saya
Elara menatap bayangannya di cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Wajah itu… bukan lagi wajah yang pernah dia banggakan. Luka bakar yang menggores pipinya tampak kasar di bawah pencahayaan lampu kristal vila Adrian. Seumur hidup, dia tak pernah merasa seburuk ini.Di belakangnya, Adrian bersandar pada meja marmer dengan tangan terlipat di dada, matanya menatapnya lekat. "Kau ingin wajah lamamu kembali atau lebih dari waktu itu?" tanyanya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi.Elara menggigit bibirnya, menahan gejolak yang meluap-luap di dadanya. "Ya, aku ingin wajahku kembali lebih dari yang dulu," jawabnya lirih, nyaris berbisik.Adrian tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, aku akan membawamu ke seseorang yang bisa membantu."~~~Keesokan harinya, Elara duduk di ruang konsultasi sebuah klinik eksklusif di pusat kota. Ruangan itu beraroma antiseptik, dengan dinding putih bersih yang terasa terlalu steril. Di seberangnya, seorang dokter bedah terkenal
Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal. Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan.Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya."Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?"Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian.Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bi
Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah."Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan.Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah.Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung.Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ra
Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia
"Jelaskan apa? Bahwa kau selingkuh?" suara Damian menggema di ruangan, dingin dan tajam seperti belati. Tatapannya menusuk, menuntut jawaban yang bisa meredam amarahnya.Alicia menelan ludah, tubuhnya menegang. "Itu bukan seperti yang kau pikirkan!" katanya cepat, mencoba mempertahankan ketenangan meski napasnya mulai memburu.Damian menggeleng, ekspresi wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat menampar Laurent masih ada? Aku harus membereskannya, dan sekarang kau membuat masalah lagi?" nada suaranya meninggi, frustrasi yang sejak tadi ia tekan akhirnya meledak."Aku hanya bertemu dengan pria itu! Tak ada yang spesial, Damian. Aku hanya membahas masalah bisnis."Damian mendengus sinis. "Kau pikir aku percaya?"Alicia mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh keyakinan. "Aku bersumpah, Damian! Aku dijebak! Kau harus percaya bahwa Elara sudah kembali dan sedang memanipulasi semuanya!"Namun, Damian hanya menghela napas panjang, kasar, p
Alicia melangkah perlahan di jalan setapak pemakaman yang mulai diselimuti kabut tipis. Angin bertiup lembut, mengusap helaian rambutnya yang tergerai di bahu. Tangannya merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan dengan cepat menekan nomor suaminya.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Damian yang dalam dan malas menanggapi."Damian... Wanita itu masih hidup," ujar Alicia, suaranya datar tapi penuh keyakinan.Terdengar tarikan napas dari seberang telepon. "Dari mana kau tahu?" tanya Damian, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.Alicia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok, menatap lurus ke depan dengan ekspresi serius. "Aku baru saja ke makam ayahnya. Ada bunga yang masih segar di sana. Siapa lagi yang akan meninggalkannya kalau bukan dia?"Sejenak, Damian terdiam. Lalu, dengan suara yang lebih tajam, ia berkata, "Alicia, jangan mulai lagi."Namun, Alicia tidak peduli. Ia menyalakan mesin mobil dan tersenyum tipis. "Bagaimana kalau kita
Malam itu, Alicia berbaring di tempat tidur dengan gelisah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, pikirannya terus berputar pada kejadian di lelang siang tadi.Bagaimana mungkin keluarga Damian, yang selama ini selalu menjadi pusat perhatian, bisa kalah? Dan bukan oleh sembarang lawan, melainkan oleh L Group, perusahaan yang diyakini ada kaitannya dengan Laurent. Kebetulan seperti ini terasa terlalu aneh, terlalu disengaja.Alicia menghela napas. Semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat firasat buruk menyelimutinya. Terlebih lagi, akhir-akhir ini, kehidupannya seakan selalu diusik oleh bayang-bayang Laurent.Damian baru saja keluar dari kamar mandi, handuk masih melingkar di lehernya. Ia memperhatikan istrinya yang tampak tenggelam dalam pikirannya, wajahnya tegang, nyaris terganggu."Kau masih memikirkan lelang tadi siang?" tanyanya santai, sambil berjalan ke lemari dan mengambil piyama.Alicia mengangguk pelan."Damian," panggilnya tiba-tiba, suaranya datar nam
Adrian tengah sibuk berbicara dengan beberapa investor di sudut ruangan, membahas prospek kerja sama bisnis. Sementara itu, Laurent duduk sendiri di meja bundar dekat bar, menyesap sampanye dengan elegan.Tatapannya menyapu ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Lelang ini bukan sekadar transaksi biasa. Ini adalah langkah awal dari balas dendamnya. Rumah itu harus kembali padanya. Keluarga Damian tidak boleh memilikinya.Saat Laurent masih tenggelam dalam pikirannya, suara tajam menyelusup di antara denting gelas dan percakapan pelan para tamu."Berani sekali kau datang ke sini," ujar seseorang dengan nada mengejek.Laurent mendongak. Di hadapannya berdiri Alicia, mengenakan gaun merah tua yang mencolok. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir wanita itu, seolah-olah kehadiran Laurent di tempat ini adalah kesalahan besar."Kenapa tidak berani?" Laurent menjawab dengan suara pelan, namun tajam. "Apakah ada orang jahat di sini sampai aku harus takut?"Tatapan Alicia men
"Tentu saja aku bekerja," jawab Damian singkat. Suaranya terdengar biasa saja, datar tanpa celah untuk dipertanyakan.Tanpa menunggu reaksi dari Alicia, ia melangkah pergi, membuka pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak mereka, lalu menghilang di dalamnya.Alicia tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Damian yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu.Ia menghela napas panjang, dadanya naik turun, menahan perasaan yang mendidih di dalamnya.Suaminya berbohong.Alicia tahu itu.Damian tidak akan pernah mengaku bahwa dia tadi bertemu dengan Laurent.Perlahan, ia berbalik, menatap kosong ke arah pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. Cahaya lampu koridor menerangi wajahnya yang penuh kecurigaan, bibirnya mengerucut dalam kemarahan yang semakin pekat."Damian…" bisiknya, nyaris tanpa suara. "Kau mulai berbohong padaku."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengatupkan rahang, pikirannya mulai berputar, mencari cara.Tidak.Ia tidak akan me
Damian menunggu di kamar rumah sakit, sesekali melirik jam di dinding. Waktu terasa berjalan lambat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Laurent dibawa masuk. Tidak ada luka serius, hanya beberapa goresan di wajahnya—lebih karena syok daripada cedera berat.Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Damian bersandar di kursinya, tangannya bertaut di pangkuan, matanya terus menatap ke arah pintu yang masih tertutup.Tiba-tiba, pintu kamar didorong dari luar. Adrian masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh kecemasan. Napasnya sedikit memburu, seolah ia baru saja berlari. Tepat pada saat itu, Laurent membuka matanya."Kau tak apa-apa?" suara Adrian penuh kegelisahan, seakan dunia di sekitarnya tak lagi ada. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Damian di ruangan yang sama.Laurent mencoba untuk duduk, tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangguk pelan, mengatur napasnya.Dengan lembut, Adrian mengusap pipinya, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang begitu berharga. Ada kelembu
Laurent berdiri di tengah hiruk-pikuk proyek apartemen, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan yang masih setengah jadi. Ia mengenakan helm proyek dan rompi pelindung, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Suara mesin bor dan palu beradu logam menggema di sekelilingnya, tetapi pikirannya tetap fokus.Rooney, sang arsitek utama, berjalan di sampingnya, sesekali mengangguk ketika Laurent menunjukkan beberapa bagian bangunan yang perlu perhatian lebih."Saya ingin material di bagian lobi lebih eksklusif, Rooney. Kita harus memastikan ini sesuai dengan konsep awal." Suaranya tegas namun tetap anggun."Tentu, Nona Laurent. Saya akan berdiskusi lagi dengan tim desain."Laurent mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke struktur balkon. "Dan railing di area penthouse ini? Saya ingin desain yang lebih ramping, tapi tetap kokoh.""Saya akan mengajukan beberapa opsi besok pagi," jawab Rooney sambil mencatat.Namun, sebelum diskusi mereka selesai, sebuah suara mengalihkan p
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia