Adrian tetap berdiri tegap di depan ranjang Elara, ekspresinya tenang, seolah tak terganggu oleh keterkejutan wanita itu.
Tentu saja Elara tidak mengenalinya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, pada sebuah pesta megah yang diadakan kakeknya, perhatian Elara hanya tertuju pada satu orang—Damian. Saat itu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu terpesona hingga tak menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya, termasuk Adrian. Adrian mengingat semuanya. Betapa gadis itu tampak bersinar dalam gaun putihnya, betapa matanya berbinar saat menatap Damian. Tidak ada celah bagi Adrian untuk masuk ke dalam dunianya. Namun kini, keadaan berbalik. Setelah mengetahui bahwa Elara mengalami kecelakaan, koma selama tiga minggu, dan dikhianati oleh suaminya, Adrianlah yang datang menunggunya, menjenguknya, merawatnya dari kejauhan. Karena dia telah jatuh cinta pada Elara sejak lama. Elara menatap pria di hadapannya, kebingungan masih menguasai benaknya. "Maaf, saya tidak ingat siapa Anda," katanya akhirnya, suaranya ragu-ragu. Adrian tersenyum, sorot matanya teduh namun tajam. "Tak apa-apa," ujarnya ringan. "Aku pernah datang ke pesta kakekmu. Waktu itu, kau mengenakan gaun putih dengan sepatu Mary Jane yang cantik." Elara membeku. Dia sendiri hampir lupa detail itu, tapi pria ini mengingatnya dengan begitu jelas. "Lalu… apa alasan Anda datang ke sini?" tanyanya, masih ragu. Adrian menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya berkata dengan suara yang dalam dan penuh keyakinan, "Aku menyukaimu, Elara. Ceraikan Damian, dan aku akan membantumu membalas dendam atas semua yang telah dia lakukan padamu." Elara terperanjat, menatapnya dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. "Jangan bercanda," katanya dengan suara serak. "Apa Anda tidak lihat keadaan wajah saya?" Adrian tersenyum tipis. "Wajah bisa diubah," katanya lembut. "Tapi bagaimana dengan hati? Aku akan membantumu mendapatkan kecantikanmu kembali seperti dulu." Elara menegakkan punggungnya, menatap pria itu lebih lama, seolah mencari kejujuran dalam sorot matanya. ** Setelah beberapa hari dirawat, Elara akhirnya diizinkan pulang. Namun, langkahnya terhenti di depan rumah sakit. Dia tak tahu harus ke mana. Rumah orang tuanya dan kakeknya telah disegel, tak ada tempat untuknya kembali. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah rumah Damian—tempat yang dulu dia sebut rumah, meski tak pernah benar-benar merasa memilikinya. Dengan hati yang berat, Elara melangkah masuk. Tak ada sambutan, tak ada kehangatan. Matanya langsung tertuju pada Damian yang sedang duduk santai di ruang tengah bersama Alicia. Keduanya tertawa pelan, bercanda akrab di sofa, menikmati kebersamaan yang selama ini diimpikan Elara—namun tak pernah menjadi miliknya. Langkah kakinya yang menggema membuat Damian menoleh. Mata pria itu melebar, terkejut melihatnya berdiri di ambang pintu. “Kau?!” suara Damian terdengar tajam, penuh kejijikan. “Apa yang kau lakukan di sini?” Elara menelan ludah, berusaha menahan luka yang kembali menganga. "Aku masih istrimu, Damian," katanya lirih. "Aku tak punya tempat tinggal." Damian mendengus sinis. "Dan aku peduli?" Tatapannya penuh rasa muak saat melihat wajahnya yang kini penuh bekas luka. “Bukankah aku sudah bilang aku akan menceraikanmu?” Suasana ruangan itu tiba-tiba terasa semakin dingin. "Pelayan!" seru Damian tiba-tiba. "Bawa semua barang wanita ini! Jangan sampai satu pun tertinggal!" Para pelayan yang sejak tadi diam langsung bergerak ke lantai atas. Tak butuh waktu lama, mereka turun dengan koper yang sudah disiapkan—seolah mereka sudah menantikan saat ini jauh-jauh hari. Seorang pelayan menyerahkan koper itu pada Elara, namun dia terlalu terpaku pada kenyataan yang terjadi. Sementara itu, Damian berjalan ke ruang kerjanya, lalu kembali dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia meletakkan dokumen itu di meja dengan tatapan dingin. “Ini surat cerai,” katanya tegas. “Tandatangani sekarang.” Elara menggigit bibirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku…” suaranya hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa.” Damian menyipitkan mata. Bibirnya melengkung dalam senyum kejam. "Kalau kau tak mau tanda tangan…" dia mendekat, suaranya rendah namun menusuk, "kau tak akan pernah bisa melihat ayah dan ibumu lagi." Darah Elara seketika membeku. "Kau tahu kan, mereka sudah menjadi budak di keluargaku?" lanjut Damian, nada suaranya terdengar puas melihat reaksi Elara yang kini menegang. Air mata menggenang di sudut mata Elara, tapi dia menolaknya jatuh. Dia bisa bertahan jika Damian hanya menyakitinya. Tapi ayah dan ibunya? Dengan tangan gemetar, ia meraih pulpen di meja dan menandatangani surat cerai itu. Ketika akhirnya dia menyerahkan kembali kertas itu ke tangan Damian, hatinya terasa kosong. Ia menatap Damian dan Alicia bergantian, mengukir wajah mereka dalam ingatannya. “Aku akan mengingat malam ini,” suaranya tenang, namun sarat dengan sesuatu yang dingin. “Aku akan mengingat setiap penghinaan yang kalian berikan padaku. Dan ingat ini baik-baik, Damian…” Tatapannya mengunci mata pria itu. “Aku akan kembali untuk membalas semua yang telah kalian lakukan.” Alicia tertawa kecil, lalu melingkarkan lengannya di lengan Damian. "Balas dendam?" dia mendengus mengejek. "Sebaiknya kau perbaiki dulu wajah jelekmu itu sebelum berpikir untuk membalas siapa pun." Elara menahan napas, dadanya sesak oleh rasa sakit yang menggerogoti setiap sudut hatinya. Namun, meski tubuhnya rapuh, hatinya kini membara. ** Keluar dari rumah Damian, Elara menghela napas panjang, mencoba mengusir sesak di dadanya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat sosok seorang pria berdiri di dekat sebuah mobil mewah yang terparkir di depan gerbang. Pria itu bersandar santai di samping mobilnya, jasnya terpotong sempurna mengikuti lekuk tubuhnya. Saat melihat Elara, dia mendorong tubuhnya tegak dan melangkah mendekat, senyuman lembut menghiasi wajahnya. "Apa kau masih mau menerima tawaranku, Elara?" tanyanya dengan nada yang tenang, tapi penuh keyakinan. Elara menegakkan punggungnya. Hatinya yang penuh luka dan dendam kini menemukan secercah harapan. "Apa Anda juga bisa mengembalikan perusahaan keluargaku seperti semula?" suaranya bergetar, matanya berkilat oleh air mata yang tertahan. Adrian menatapnya dalam, lalu tersenyum kecil. "Tentu saja," katanya, nadanya seolah menjanjikan dunia. "Aku akan membantumu mendapatkan semuanya kembali. Bahkan lebih dari itu..." Dia mendekat, suaranya lebih rendah namun tajam. "Aku akan membuat laki-laki itu bersujud di depanmu suatu hari." Elara terdiam. Matanya mengunci pada wajah pria di hadapannya, mencoba mencari kebohongan, tapi yang dia lihat hanyalah ketegasan dan janji yang tak main-main. Perlahan, dia mengangguk. "Baiklah," katanya, suaranya tak lagi ragu. "Saya bersedia menjadi wanita Anda." Namun, Adrian tersenyum lebih lebar, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. "Lebih dari itu, Elara." Dia mengangkat tangan dan menyentuh dagunya dengan lembut, membuat Elara menahan napas. "Aku ingin kau menjadi istriku." Jantung Elara berdegup kencang. Tak ada keraguan. Dia sudah tahu bagaimana rasanya terikat dalam pernikahan tanpa cinta—betapa menderitanya hidup dengan pria yang menginjak harga dirinya tanpa ampun. Maka kali ini, dia memilih. "Saya bersedia," jawabnya, suaranya teguh, seolah nasibnya kini berada di tangannya sendiri.Elara menatap bayangannya di cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Wajah itu… bukan lagi wajah yang pernah dia banggakan. Luka bakar yang menggores pipinya tampak kasar di bawah pencahayaan lampu kristal vila Adrian. Seumur hidup, dia tak pernah merasa seburuk ini.Di belakangnya, Adrian bersandar pada meja marmer dengan tangan terlipat di dada, matanya menatapnya lekat. "Kau ingin wajah lamamu kembali atau lebih dari waktu itu?" tanyanya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi.Elara menggigit bibirnya, menahan gejolak yang meluap-luap di dadanya. "Ya, aku ingin wajahku kembali lebih dari yang dulu," jawabnya lirih, nyaris berbisik.Adrian tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, aku akan membawamu ke seseorang yang bisa membantu."~~~Keesokan harinya, Elara duduk di ruang konsultasi sebuah klinik eksklusif di pusat kota. Ruangan itu beraroma antiseptik, dengan dinding putih bersih yang terasa terlalu steril. Di seberangnya, seorang dokter bedah terkenal
Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal. Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan.Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya."Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?"Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian.Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bi
Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah."Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan.Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah.Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung.Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ra
Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Laurent berdiri di tengah hiruk-pikuk proyek apartemen, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan yang masih setengah jadi. Ia mengenakan helm proyek dan rompi pelindung, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Suara mesin bor dan palu beradu logam menggema di sekelilingnya, tetapi pikirannya tetap fokus.Rooney, sang arsitek utama, berjalan di sampingnya, sesekali mengangguk ketika Laurent menunjukkan beberapa bagian bangunan yang perlu perhatian lebih."Saya ingin material di bagian lobi lebih eksklusif, Rooney. Kita harus memastikan ini sesuai dengan konsep awal." Suaranya tegas namun tetap anggun."Tentu, Nona Laurent. Saya akan berdiskusi lagi dengan tim desain."Laurent mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke struktur balkon. "Dan railing di area penthouse ini? Saya ingin desain yang lebih ramping, tapi tetap kokoh.""Saya akan mengajukan beberapa opsi besok pagi," jawab Rooney sambil mencatat.Namun, sebelum diskusi mereka selesai, sebuah suara mengalihkan p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis