Saat ini...
Elara membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah dunia baru saja kembali padanya setelah lama tenggelam dalam kegelapan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang berdenting pelan di sekitarnya. Seorang perawat berdiri di sisi ranjangnya, tampak terkejut begitu melihatnya sadar. Tanpa banyak bicara, perawat itu segera berbalik dan keluar dari ruangan, kemungkinan untuk memberi tahu dokter. Tak lama kemudian, seorang dokter masuk, wajahnya tenang tapi profesional, dengan clipboard di tangannya. Ia memeriksa Elara, memastikan kondisinya stabil sebelum akhirnya berbicara. “Kondisi Anda sudah cukup stabil sekarang,” katanya lembut, menatapnya dengan tatapan menenangkan. Elara menelan ludah, suaranya terasa serak ketika ia akhirnya bertanya, “Maaf… apa yang sebenarnya terjadi pada saya?” Dokter itu meletakkan clipboard-nya dan menatapnya dengan penuh pertimbangan. “Anda mengalami kecelakaan dan sudah dirawat di rumah sakit selama tiga minggu.” Ingatan akan kecelakaan itu tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Dentuman keras, tubuhnya terhempas, rasa sakit yang luar biasa—semuanya kembali begitu jelas. Napasnya tercekat, tapi ia memaksakan diri untuk tetap tenang. Namun, ada hal lain yang lebih mendesak. Sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Apakah…” suaranya bergetar, “…suami saya datang mengunjungi saya?” Hening sejenak. Dokter itu menoleh ke perawat, seolah memberikan kesempatan padanya untuk menjawab. Perawat itu tampak ragu sebelum akhirnya bersuara. “Apakah nama suami Anda Damian Everstone?” tanyanya hati-hati. Elara mengangguk lemah. “Ya… dia suamiku.” Perawat itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan sebelum akhirnya menghela napas pelan. “Suami Anda datang ke rumah sakit saat kecelakaan terjadi. Dia menandatangani berkas persetujuan operasi… tapi setelah itu, dia tak pernah datang lagi.” Seketika itu juga, seluruh dunianya terasa runtuh. Napas Elara tercekat di tenggorokannya, dan sesuatu di dalam dadanya mencengkeram erat, menimbulkan rasa sakit yang jauh lebih tajam dari luka di tubuhnya. Ia ingin percaya bahwa ia salah dengar. Bahwa Damian hanya sibuk atau mungkin tak bisa datang karena keadaan. Tapi tiga minggu… TIGA MINGGU… dan dia tak pernah kembali? Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menelan kenyataan pahit itu. Dadanya terasa sesak, seakan udara di ruangan ini menghilang begitu saja. Bukankah seharusnya suaminya ada di sisinya? Bukankah seharusnya Damian khawatir, menunggu di samping ranjangnya, menggenggam tangannya seperti yang selalu ia bayangkan selama ini? Namun, nyatanya, ia dibiarkan sendiri. Elara merasakan matanya mulai panas, tapi ia menolak untuk menangis. Tidak sekarang. Tidak di hadapan orang lain. Dokter berdeham pelan, mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruangan. “Lalu… siapa pria yang sering berkunjung ke sini?” tanyanya sambil menatap perawat. Perawat itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Beliau adalah direktur dari rumah sakit lain. Beliau sering datang… Apa Anda mengenalnya, Nyonya?” Elara mengerutkan kening samar, kebingungan bercampur kelelahan. Ia menggeleng pelan. “Saya tidak punya teman seorang direktur rumah sakit.” Suaranya nyaris tak terdengar, dipenuhi kebingungan dan kelelahan. Rasa sakit di tubuhnya mungkin perlahan berkurang, tapi rasa sakit di hatinya justru semakin tajam, menusuk hingga ke dasar jiwanya. Suaminya meninggalkannya. Dan entah kenapa, justru orang asing yang selalu datang. ** Malam itu, akhirnya Damian datang. Namun, ia tidak datang sendiri. Elara menegang di tempatnya ketika melihat seorang wanita berjalan di samping suaminya—Alicia. Perempuan itu tersenyum licik, jemarinya dengan sengaja mengelus perutnya yang masih rata, seolah ingin pamer dan mengingatkan Elara akan sesuatu yang menyakitkan. Ia sedang mengandung anak Damian. Elara menatap mereka dalam diam, tubuhnya terasa membeku. Tiga minggu terbaring di rumah sakit, dan kini, setelah akhirnya sadar, suaminya datang membawa wanita lain? “Wah, ada apa dengan wajahmu, Elara?” suara Alicia terdengar penuh kepura-puraan, sarat dengan ejekan halus. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah cermin kecil, lalu menatapnya dengan tatapan mengasihani yang dibuat-buat. Damian tidak mengatakan apa pun, tapi sorot matanya berbicara lebih dari cukup. Jijik. Sinis. Seolah Elara tak lebih dari sampah yang tak layak dipandang. Elara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Kamu belum tahu?” Alicia berdecak kecil sebelum menyodorkan cermin itu ke tangannya. Elara ragu-ragu menerimanya. Jemarinya sedikit gemetar saat ia mengangkat cermin itu, menatap refleksi dirinya sendiri untuk pertama kalinya sejak kecelakaan. Napasnya tercekat. Wajahnya… berubah. Bekas luka bakar akibat kecelakaan itu mencemari kulitnya, menghapus kecantikan yang dulu sering dipuji banyak orang. Wajah yang dulu ia kenal kini tampak asing—menyeramkan, penuh bekas luka yang tak rata. Bagaimana bisa ini terjadi? Dadanya terasa sesak. Ada dorongan kuat untuk melempar cermin itu jauh-jauh, seolah dengan begitu ia bisa mengusir kenyataan yang terpampang di hadapannya. Tapi ia tetap diam, terlalu terkejut, terlalu hancur untuk bereaksi. Damian mendengus pelan, lalu bersandar santai di sisi ranjang, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang menjijikkan. “Aku semakin yakin untuk tidak melanjutkan pernikahan ini, Elara,” katanya dingin. “Dulu, setidaknya kamu masih bisa kupamerkan. Tapi sekarang?” Ia tertawa kecil, sarkastik. “Bahkan wajahmu lebih buruk dari monster.” Terlalu kejam. Elara tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokannya terasa tercekat, matanya panas, tapi air matanya enggan jatuh. “Kasihan sekali,” Alicia menimpali dengan nada manis yang dibuat-buat. “Seharusnya kamu lebih berhati-hati saat menyetir. Kenapa kamu begitu ceroboh, Elara?” Ia mengedikkan bahu, lalu tanpa malu-malu menggamit lengan Damian, seolah ingin menunjukkan betapa eratnya hubungan mereka. Elara masih tidak bisa bersuara. Ia hanya duduk di sana, masih terjebak dalam keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang. Damian menghela napas seolah lelah berlama-lama di tempat ini. “Aku akan menyiapkan surat cerai untukmu,” katanya tanpa basa-basi. “Aku tak peduli dengan omong kosong soal keberuntungan itu. Lihat dirimu sekarang—bahkan kamu sendiri terkena sial.” Ia menatapnya dengan tatapan puas, seolah menikmati penderitaannya. “Kamu bisa membayar utang keluargamu dengan cara lain,” tambahnya tanpa perasaan. “Sayang,” Alicia mencubit lengan Damian manja. “Sebaiknya kita pergi. Aku tidak mau aku dan anak kita terkena sial karena terlalu lama di sini.” ** Usai kepergian Damian, Elara masih terdiam di atas ranjangnya. Dadanya naik turun tak beraturan, seakan tubuhnya menolak kenyataan yang baru saja terjadi. Jemarinya yang masih menggenggam cermin kecil itu terasa kaku. Rasa sakit di hatinya semakin menguat, seperti ombak ganas yang terus menghantam tanpa henti. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat cermin itu dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah pintu. Suara kaca pecah bergema di seluruh ruangan, serpihannya berhamburan di lantai. Tepat pada saat itu, pintu kamar terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, matanya sedikit melebar karena terkejut. Elara juga sama terkejutnya. "Anda siapa?" tanyanya, suaranya masih serak karena emosi yang belum mereda. Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Elara, seolah sedang memastikan sesuatu. "Akhirnya kau sadar," ucapnya hampir bersamaan dengan pertanyaan Elara. Pria itu kemudian melangkah masuk, mendekatinya dengan tenang. Ada aura otoritas yang begitu kentara dalam gerak-geriknya, membuat Elara sadar bahwa lelaki ini bukan orang sembarangan. Ia terlihat berusia sekitar tiga puluh tahun, dengan rahang tegas dan mata tajam yang memancarkan sorot penuh keyakinan. Pakaian yang dikenakannya berkelas—setelan mahal yang terlihat pas di tubuh tegapnya. Elara menelan ludah. Ia merasa seharusnya mengenal pria ini, tapi ingatannya masih berantakan. "Aku Adrian Vaughn," kata pria itu akhirnya, suaranya dalam dan berwibawa. Adrian Vaughn? Nama itu terdengar samar di telinganya. "Apa kau lupa padaku?" tanyanya, ekspresinya tetap tenang, tapi ada sedikit perubahan dalam matanya—seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Elara terdiam, mencoba menggali ingatannya yang berantakan.Adrian tetap berdiri tegap di depan ranjang Elara, ekspresinya tenang, seolah tak terganggu oleh keterkejutan wanita itu.Tentu saja Elara tidak mengenalinya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, pada sebuah pesta megah yang diadakan kakeknya, perhatian Elara hanya tertuju pada satu orang—Damian. Saat itu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu terpesona hingga tak menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya, termasuk Adrian.Adrian mengingat semuanya. Betapa gadis itu tampak bersinar dalam gaun putihnya, betapa matanya berbinar saat menatap Damian. Tidak ada celah bagi Adrian untuk masuk ke dalam dunianya.Namun kini, keadaan berbalik. Setelah mengetahui bahwa Elara mengalami kecelakaan, koma selama tiga minggu, dan dikhianati oleh suaminya, Adrianlah yang datang menunggunya, menjenguknya, merawatnya dari kejauhan.Karena dia telah jatuh cinta pada Elara sejak lama.Elara menatap pria di hadapannya, kebingungan masih menguasai benaknya. "Maaf, saya
Elara menatap bayangannya di cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Wajah itu… bukan lagi wajah yang pernah dia banggakan. Luka bakar yang menggores pipinya tampak kasar di bawah pencahayaan lampu kristal vila Adrian. Seumur hidup, dia tak pernah merasa seburuk ini.Di belakangnya, Adrian bersandar pada meja marmer dengan tangan terlipat di dada, matanya menatapnya lekat. "Kau ingin wajah lamamu kembali atau lebih dari waktu itu?" tanyanya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi.Elara menggigit bibirnya, menahan gejolak yang meluap-luap di dadanya. "Ya, aku ingin wajahku kembali lebih dari yang dulu," jawabnya lirih, nyaris berbisik.Adrian tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, aku akan membawamu ke seseorang yang bisa membantu."~~~Keesokan harinya, Elara duduk di ruang konsultasi sebuah klinik eksklusif di pusat kota. Ruangan itu beraroma antiseptik, dengan dinding putih bersih yang terasa terlalu steril. Di seberangnya, seorang dokter bedah terkenal
Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal. Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan.Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya."Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?"Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian.Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bi
Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah."Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan.Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah.Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung.Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ra
Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis