Saat ini...
Elara membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah dunia baru saja kembali padanya setelah lama tenggelam dalam kegelapan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang berdenting pelan di sekitarnya. Seorang perawat berdiri di sisi ranjangnya, tampak terkejut begitu melihatnya sadar. Tanpa banyak bicara, perawat itu segera berbalik dan keluar dari ruangan, kemungkinan untuk memberi tahu dokter. Tak lama kemudian, seorang dokter masuk, wajahnya tenang tapi profesional, dengan clipboard di tangannya. Ia memeriksa Elara, memastikan kondisinya stabil sebelum akhirnya berbicara. “Kondisi Anda sudah cukup stabil sekarang,” katanya lembut, menatapnya dengan tatapan menenangkan. Elara menelan ludah, suaranya terasa serak ketika ia akhirnya bertanya, “Maaf… apa yang sebenarnya terjadi pada saya?” Dokter itu meletakkan clipboard-nya dan menatapnya dengan penuh pertimbangan. “Anda mengalami kecelakaan dan sudah dirawat di rumah sakit selama tiga minggu.” Ingatan akan kecelakaan itu tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Dentuman keras, tubuhnya terhempas, rasa sakit yang luar biasa—semuanya kembali begitu jelas. Napasnya tercekat, tapi ia memaksakan diri untuk tetap tenang. Namun, ada hal lain yang lebih mendesak. Sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Apakah…” suaranya bergetar, “…suami saya datang mengunjungi saya?” Hening sejenak. Dokter itu menoleh ke perawat, seolah memberikan kesempatan padanya untuk menjawab. Perawat itu tampak ragu sebelum akhirnya bersuara. “Apakah nama suami Anda Damian Everstone?” tanyanya hati-hati. Elara mengangguk lemah. “Ya… dia suamiku.” Perawat itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan sebelum akhirnya menghela napas pelan. “Suami Anda datang ke rumah sakit saat kecelakaan terjadi. Dia menandatangani berkas persetujuan operasi… tapi setelah itu, dia tak pernah datang lagi.” Seketika itu juga, seluruh dunianya terasa runtuh. Napas Elara tercekat di tenggorokannya, dan sesuatu di dalam dadanya mencengkeram erat, menimbulkan rasa sakit yang jauh lebih tajam dari luka di tubuhnya. Ia ingin percaya bahwa ia salah dengar. Bahwa Damian hanya sibuk atau mungkin tak bisa datang karena keadaan. Tapi tiga minggu… TIGA MINGGU… dan dia tak pernah kembali? Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menelan kenyataan pahit itu. Dadanya terasa sesak, seakan udara di ruangan ini menghilang begitu saja. Bukankah seharusnya suaminya ada di sisinya? Bukankah seharusnya Damian khawatir, menunggu di samping ranjangnya, menggenggam tangannya seperti yang selalu ia bayangkan selama ini? Namun, nyatanya, ia dibiarkan sendiri. Elara merasakan matanya mulai panas, tapi ia menolak untuk menangis. Tidak sekarang. Tidak di hadapan orang lain. Dokter berdeham pelan, mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruangan. “Lalu… siapa pria yang sering berkunjung ke sini?” tanyanya sambil menatap perawat. Perawat itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Beliau adalah direktur dari rumah sakit lain. Beliau sering datang… Apa Anda mengenalnya, Nyonya?” Elara mengerutkan kening samar, kebingungan bercampur kelelahan. Ia menggeleng pelan. “Saya tidak punya teman seorang direktur rumah sakit.” Suaranya nyaris tak terdengar, dipenuhi kebingungan dan kelelahan. Rasa sakit di tubuhnya mungkin perlahan berkurang, tapi rasa sakit di hatinya justru semakin tajam, menusuk hingga ke dasar jiwanya. Suaminya meninggalkannya. Dan entah kenapa, justru orang asing yang selalu datang. ** Malam itu, akhirnya Damian datang. Namun, ia tidak datang sendiri. Elara menegang di tempatnya ketika melihat seorang wanita berjalan di samping suaminya—Alicia. Perempuan itu tersenyum licik, jemarinya dengan sengaja mengelus perutnya yang masih rata, seolah ingin pamer dan mengingatkan Elara akan sesuatu yang menyakitkan. Ia sedang mengandung anak Damian. Elara menatap mereka dalam diam, tubuhnya terasa membeku. Tiga minggu terbaring di rumah sakit, dan kini, setelah akhirnya sadar, suaminya datang membawa wanita lain? “Wah, ada apa dengan wajahmu, Elara?” suara Alicia terdengar penuh kepura-puraan, sarat dengan ejekan halus. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah cermin kecil, lalu menatapnya dengan tatapan mengasihani yang dibuat-buat. Damian tidak mengatakan apa pun, tapi sorot matanya berbicara lebih dari cukup. Jijik. Sinis. Seolah Elara tak lebih dari sampah yang tak layak dipandang. Elara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Kamu belum tahu?” Alicia berdecak kecil sebelum menyodorkan cermin itu ke tangannya. Elara ragu-ragu menerimanya. Jemarinya sedikit gemetar saat ia mengangkat cermin itu, menatap refleksi dirinya sendiri untuk pertama kalinya sejak kecelakaan. Napasnya tercekat. Wajahnya… berubah. Bekas luka bakar akibat kecelakaan itu mencemari kulitnya, menghapus kecantikan yang dulu sering dipuji banyak orang. Wajah yang dulu ia kenal kini tampak asing—menyeramkan, penuh bekas luka yang tak rata. Bagaimana bisa ini terjadi? Dadanya terasa sesak. Ada dorongan kuat untuk melempar cermin itu jauh-jauh, seolah dengan begitu ia bisa mengusir kenyataan yang terpampang di hadapannya. Tapi ia tetap diam, terlalu terkejut, terlalu hancur untuk bereaksi. Damian mendengus pelan, lalu bersandar santai di sisi ranjang, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang menjijikkan. “Aku semakin yakin untuk tidak melanjutkan pernikahan ini, Elara,” katanya dingin. “Dulu, setidaknya kamu masih bisa kupamerkan. Tapi sekarang?” Ia tertawa kecil, sarkastik. “Bahkan wajahmu lebih buruk dari monster.” Terlalu kejam. Elara tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokannya terasa tercekat, matanya panas, tapi air matanya enggan jatuh. “Kasihan sekali,” Alicia menimpali dengan nada manis yang dibuat-buat. “Seharusnya kamu lebih berhati-hati saat menyetir. Kenapa kamu begitu ceroboh, Elara?” Ia mengedikkan bahu, lalu tanpa malu-malu menggamit lengan Damian, seolah ingin menunjukkan betapa eratnya hubungan mereka. Elara masih tidak bisa bersuara. Ia hanya duduk di sana, masih terjebak dalam keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang. Damian menghela napas seolah lelah berlama-lama di tempat ini. “Aku akan menyiapkan surat cerai untukmu,” katanya tanpa basa-basi. “Aku tak peduli dengan omong kosong soal keberuntungan itu. Lihat dirimu sekarang—bahkan kamu sendiri terkena sial.” Ia menatapnya dengan tatapan puas, seolah menikmati penderitaannya. “Kamu bisa membayar utang keluargamu dengan cara lain,” tambahnya tanpa perasaan. “Sayang,” Alicia mencubit lengan Damian manja. “Sebaiknya kita pergi. Aku tidak mau aku dan anak kita terkena sial karena terlalu lama di sini.” ** Usai kepergian Damian, Elara masih terdiam di atas ranjangnya. Dadanya naik turun tak beraturan, seakan tubuhnya menolak kenyataan yang baru saja terjadi. Jemarinya yang masih menggenggam cermin kecil itu terasa kaku. Rasa sakit di hatinya semakin menguat, seperti ombak ganas yang terus menghantam tanpa henti. Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat cermin itu dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah pintu. Suara kaca pecah bergema di seluruh ruangan, serpihannya berhamburan di lantai. Tepat pada saat itu, pintu kamar terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, matanya sedikit melebar karena terkejut. Elara juga sama terkejutnya. "Anda siapa?" tanyanya, suaranya masih serak karena emosi yang belum mereda. Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Elara, seolah sedang memastikan sesuatu. "Akhirnya kau sadar," ucapnya hampir bersamaan dengan pertanyaan Elara. Pria itu kemudian melangkah masuk, mendekatinya dengan tenang. Ada aura otoritas yang begitu kentara dalam gerak-geriknya, membuat Elara sadar bahwa lelaki ini bukan orang sembarangan. Ia terlihat berusia sekitar tiga puluh tahun, dengan rahang tegas dan mata tajam yang memancarkan sorot penuh keyakinan. Pakaian yang dikenakannya berkelas—setelan mahal yang terlihat pas di tubuh tegapnya. Elara menelan ludah. Ia merasa seharusnya mengenal pria ini, tapi ingatannya masih berantakan. "Aku Adrian Vaughn," kata pria itu akhirnya, suaranya dalam dan berwibawa. Adrian Vaughn? Nama itu terdengar samar di telinganya. "Apa kau lupa padaku?" tanyanya, ekspresinya tetap tenang, tapi ada sedikit perubahan dalam matanya—seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Elara terdiam, mencoba menggali ingatannya yang berantakan.Adrian tetap berdiri tegap di depan ranjang Elara, ekspresinya tenang, seolah tak terganggu oleh keterkejutan wanita itu.Tentu saja Elara tidak mengenalinya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, pada sebuah pesta megah yang diadakan kakeknya, perhatian Elara hanya tertuju pada satu orang—Damian. Saat itu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu terpesona hingga tak menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya, termasuk Adrian.Adrian mengingat semuanya. Betapa gadis itu tampak bersinar dalam gaun putihnya, betapa matanya berbinar saat menatap Damian. Tidak ada celah bagi Adrian untuk masuk ke dalam dunianya.Namun kini, keadaan berbalik. Setelah mengetahui bahwa Elara mengalami kecelakaan, koma selama tiga minggu, dan dikhianati oleh suaminya, Adrianlah yang datang menunggunya, menjenguknya, merawatnya dari kejauhan.Karena dia telah jatuh cinta pada Elara sejak lama.Elara menatap pria di hadapannya, kebingungan masih menguasai benaknya. "Maaf, saya
Elara menatap bayangannya di cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Wajah itu… bukan lagi wajah yang pernah dia banggakan. Luka bakar yang menggores pipinya tampak kasar di bawah pencahayaan lampu kristal vila Adrian. Seumur hidup, dia tak pernah merasa seburuk ini.Di belakangnya, Adrian bersandar pada meja marmer dengan tangan terlipat di dada, matanya menatapnya lekat. "Kau ingin wajah lamamu kembali atau lebih dari waktu itu?" tanyanya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi.Elara menggigit bibirnya, menahan gejolak yang meluap-luap di dadanya. "Ya, aku ingin wajahku kembali lebih dari yang dulu," jawabnya lirih, nyaris berbisik.Adrian tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Kalau begitu, aku akan membawamu ke seseorang yang bisa membantu."~~~Keesokan harinya, Elara duduk di ruang konsultasi sebuah klinik eksklusif di pusat kota. Ruangan itu beraroma antiseptik, dengan dinding putih bersih yang terasa terlalu steril. Di seberangnya, seorang dokter bedah terkenal
Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal. Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan.Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya."Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?"Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian.Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bi
Alicia tetap diam sejak tadi, pikirannya dipenuhi oleh kata-kata yang baru saja diucapkan Damian kepada Laurent di depan toilet. Ia berusaha menahan diri, meski hatinya sudah dipenuhi amarah."Jadi, kau ke sana hanya untuk mengikutinya?" suara Alicia terdengar lembut, tapi ada ketegasan di baliknya. Senyumnya masih terukir, namun sorot matanya tajam, memperingatkan.Damian menghela napas, mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya. "Kau salah paham. Kau tahu, dia yang menggodaku," kilahnya, suaranya terdengar sedikit gelisah.Alicia mendengus pelan, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Awas saja kalau sampai kau tertarik pada wanita lain, Damian," gumamnya, nyaris seperti ancaman terselubung.Sementara itu, seorang MC naik ke atas panggung, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Selamat malam, hadirin sekalian. Untuk acara selanjutnya, kita akan mengadakan permainan yang berkaitan dengan amal. Hadiah yang didapatkan akan didonasikan untuk panti asuhan," katanya dengan nada ra
Laurent dan Damian melangkah masuk ke dalam ruangan. Baru beberapa detik berlalu, tiba-tiba sesuatu melesat cepat di udara. Pisau. Senjata tajam itu menghujam pintu kayu di depan mereka dengan suara berat yang menggema di dalam ruangan.Di luar, para tamu menjerit kaget. Alicia berdiri dari tempat duduknya, jantungnya berdegup tak karuan. Apakah ini benar-benar bagian dari permainan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan malam itu?Di dalam ruangan, Laurent tersentak. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Damian. Sentuhan itu seharusnya terasa biasa saja, tapi tidak bagi Damian. Ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah gelombang halus yang lebih dari sekadar respons atas bahaya. Bukan ketakutan yang membuat jantungnya berdebar, melainkan kehadiran Laurent yang begitu dekat.“Kau… baik-baik saja?” Damian bertanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.Laurent mengangguk kecil, mencoba mengatur napasnya.“Apa ini bagian dari permainan?” Damian melirik ke ar
Selama perjalanan pulang, Damian hanya diam, dan itu membuat Alicia gelisah. Lelaki itu tak pernah bersikap sedingin ini padanya, apalagi hanya karena seorang wanita seperti Laurent dalam satu malam."Apa kau bersikap seperti ini karena dia?" tanya Alicia, kesal karena Damian terus mengabaikannya.Damian menoleh sekilas, mengernyit, lalu kembali fokus pada kemudi tanpa sepatah kata pun."Damian! Aku tidak suka kalau kau mendiamkanku seperti ini!" suaranya meninggi, mememperlihatkan emosinya yang semakin memuncak.Damian menarik napas dalam-dalam, menahan amarahnya yang sudah di ambang batas. "Kau tahu apa dampak yang kau timbulkan tadi, Alicia? Kau menampar seseorang yang sedang naik popularitasnya di dunia bisnis! Bagaimana kau bisa begitu ceroboh? Tidak bisakah kau sedikit saja mengendalikan emosimu?" geramnya, suaranya rendah tapi tajam."Oh, jadi ini semua salahku?" tanya Alicia, matanya membulat penuh ketidakpercayaan.Damian tidak menjawab, hanya menghela napas panjang seolah be
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
"Jelaskan apa? Bahwa kau selingkuh?" suara Damian menggema di ruangan, dingin dan tajam seperti belati. Tatapannya menusuk, menuntut jawaban yang bisa meredam amarahnya.Alicia menelan ludah, tubuhnya menegang. "Itu bukan seperti yang kau pikirkan!" katanya cepat, mencoba mempertahankan ketenangan meski napasnya mulai memburu.Damian menggeleng, ekspresi wajahnya penuh kemarahan dan kekecewaan. "Kau tahu dampak dari apa yang kau lakukan saat menampar Laurent masih ada? Aku harus membereskannya, dan sekarang kau membuat masalah lagi?" nada suaranya meninggi, frustrasi yang sejak tadi ia tekan akhirnya meledak."Aku hanya bertemu dengan pria itu! Tak ada yang spesial, Damian. Aku hanya membahas masalah bisnis."Damian mendengus sinis. "Kau pikir aku percaya?"Alicia mendekat, menatap suaminya dengan mata penuh keyakinan. "Aku bersumpah, Damian! Aku dijebak! Kau harus percaya bahwa Elara sudah kembali dan sedang memanipulasi semuanya!"Namun, Damian hanya menghela napas panjang, kasar, p
Alicia melangkah perlahan di jalan setapak pemakaman yang mulai diselimuti kabut tipis. Angin bertiup lembut, mengusap helaian rambutnya yang tergerai di bahu. Tangannya merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan dengan cepat menekan nomor suaminya.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara Damian yang dalam dan malas menanggapi."Damian... Wanita itu masih hidup," ujar Alicia, suaranya datar tapi penuh keyakinan.Terdengar tarikan napas dari seberang telepon. "Dari mana kau tahu?" tanya Damian, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.Alicia membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok, menatap lurus ke depan dengan ekspresi serius. "Aku baru saja ke makam ayahnya. Ada bunga yang masih segar di sana. Siapa lagi yang akan meninggalkannya kalau bukan dia?"Sejenak, Damian terdiam. Lalu, dengan suara yang lebih tajam, ia berkata, "Alicia, jangan mulai lagi."Namun, Alicia tidak peduli. Ia menyalakan mesin mobil dan tersenyum tipis. "Bagaimana kalau kita
Malam itu, Alicia berbaring di tempat tidur dengan gelisah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, pikirannya terus berputar pada kejadian di lelang siang tadi.Bagaimana mungkin keluarga Damian, yang selama ini selalu menjadi pusat perhatian, bisa kalah? Dan bukan oleh sembarang lawan, melainkan oleh L Group, perusahaan yang diyakini ada kaitannya dengan Laurent. Kebetulan seperti ini terasa terlalu aneh, terlalu disengaja.Alicia menghela napas. Semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat firasat buruk menyelimutinya. Terlebih lagi, akhir-akhir ini, kehidupannya seakan selalu diusik oleh bayang-bayang Laurent.Damian baru saja keluar dari kamar mandi, handuk masih melingkar di lehernya. Ia memperhatikan istrinya yang tampak tenggelam dalam pikirannya, wajahnya tegang, nyaris terganggu."Kau masih memikirkan lelang tadi siang?" tanyanya santai, sambil berjalan ke lemari dan mengambil piyama.Alicia mengangguk pelan."Damian," panggilnya tiba-tiba, suaranya datar nam
Adrian tengah sibuk berbicara dengan beberapa investor di sudut ruangan, membahas prospek kerja sama bisnis. Sementara itu, Laurent duduk sendiri di meja bundar dekat bar, menyesap sampanye dengan elegan.Tatapannya menyapu ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana. Lelang ini bukan sekadar transaksi biasa. Ini adalah langkah awal dari balas dendamnya. Rumah itu harus kembali padanya. Keluarga Damian tidak boleh memilikinya.Saat Laurent masih tenggelam dalam pikirannya, suara tajam menyelusup di antara denting gelas dan percakapan pelan para tamu."Berani sekali kau datang ke sini," ujar seseorang dengan nada mengejek.Laurent mendongak. Di hadapannya berdiri Alicia, mengenakan gaun merah tua yang mencolok. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibir wanita itu, seolah-olah kehadiran Laurent di tempat ini adalah kesalahan besar."Kenapa tidak berani?" Laurent menjawab dengan suara pelan, namun tajam. "Apakah ada orang jahat di sini sampai aku harus takut?"Tatapan Alicia men
"Tentu saja aku bekerja," jawab Damian singkat. Suaranya terdengar biasa saja, datar tanpa celah untuk dipertanyakan.Tanpa menunggu reaksi dari Alicia, ia melangkah pergi, membuka pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak mereka, lalu menghilang di dalamnya.Alicia tetap berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Damian yang semakin menjauh hingga menghilang di balik pintu.Ia menghela napas panjang, dadanya naik turun, menahan perasaan yang mendidih di dalamnya.Suaminya berbohong.Alicia tahu itu.Damian tidak akan pernah mengaku bahwa dia tadi bertemu dengan Laurent.Perlahan, ia berbalik, menatap kosong ke arah pintu kamar mereka yang kini tertutup rapat. Cahaya lampu koridor menerangi wajahnya yang penuh kecurigaan, bibirnya mengerucut dalam kemarahan yang semakin pekat."Damian…" bisiknya, nyaris tanpa suara. "Kau mulai berbohong padaku."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia mengatupkan rahang, pikirannya mulai berputar, mencari cara.Tidak.Ia tidak akan me
Damian menunggu di kamar rumah sakit, sesekali melirik jam di dinding. Waktu terasa berjalan lambat. Sudah lebih dari setengah jam sejak Laurent dibawa masuk. Tidak ada luka serius, hanya beberapa goresan di wajahnya—lebih karena syok daripada cedera berat.Ruangan itu dipenuhi kesunyian yang menyesakkan. Damian bersandar di kursinya, tangannya bertaut di pangkuan, matanya terus menatap ke arah pintu yang masih tertutup.Tiba-tiba, pintu kamar didorong dari luar. Adrian masuk dengan langkah tergesa, wajahnya penuh kecemasan. Napasnya sedikit memburu, seolah ia baru saja berlari. Tepat pada saat itu, Laurent membuka matanya."Kau tak apa-apa?" suara Adrian penuh kegelisahan, seakan dunia di sekitarnya tak lagi ada. Bahkan, ia tidak menyadari keberadaan Damian di ruangan yang sama.Laurent mencoba untuk duduk, tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengangguk pelan, mengatur napasnya.Dengan lembut, Adrian mengusap pipinya, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang begitu berharga. Ada kelembu
Laurent berdiri di tengah hiruk-pikuk proyek apartemen, matanya tajam mengamati setiap sudut bangunan yang masih setengah jadi. Ia mengenakan helm proyek dan rompi pelindung, memastikan setiap detail berjalan sesuai rencana. Suara mesin bor dan palu beradu logam menggema di sekelilingnya, tetapi pikirannya tetap fokus.Rooney, sang arsitek utama, berjalan di sampingnya, sesekali mengangguk ketika Laurent menunjukkan beberapa bagian bangunan yang perlu perhatian lebih."Saya ingin material di bagian lobi lebih eksklusif, Rooney. Kita harus memastikan ini sesuai dengan konsep awal." Suaranya tegas namun tetap anggun."Tentu, Nona Laurent. Saya akan berdiskusi lagi dengan tim desain."Laurent mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke struktur balkon. "Dan railing di area penthouse ini? Saya ingin desain yang lebih ramping, tapi tetap kokoh.""Saya akan mengajukan beberapa opsi besok pagi," jawab Rooney sambil mencatat.Namun, sebelum diskusi mereka selesai, sebuah suara mengalihkan p
"Ada apa?" tanya Adrian, nada suaranya sarat dengan perhatian.Laurent tidak segera menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah tertentu, matanya terpaku pada satu sosok. Adrian mengikuti arah pandangnya, menoleh ke belakang.Di belakangnya Damian berdiri, baru saja melepaskan jabatan tangan dengan seseorang—mungkin mitra bisnisnya. Pandangan pria itu kemudian beralih, menemukan Laurent dan Adrian di meja mereka.Sebuah senyum terlukis di wajah Damian. Sebuah senyum yang tak memiliki arti.Laurent menahan napas. Tidak. Sepertinya pria itu tidak mendengar. Sepertinya nama itu—Elara—tidak mencapai telinganya.Namun sebelum Laurent bisa menarik napas lega, Damian mulai melangkah mendekat."Kita bertemu di sini," ucapnya ringan, seolah hanya ingin menyapa Laurent.Laurent menanggapi dengan sebuah senyum tipis, terlatih, tanpa cela.Damian melirik bunga yang ada di atas meja, sorot matanya berubah sedikit—entah itu sebuah ejekan halus atau hanya sekadar pengamatan. Kemudian, bibirnya melengku
Laurent turun dari mobil dengan langkah anggun, mengenakan setelan elegan yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya ketika ia melangkah menuju lobi hotel, tempat pertemuan pentingnya dengan seorang investor berpengaruh.Di dalam, suasana hotel terasa mewah dan tenang. Cahaya lampu kristal berpendar lembut, menciptakan refleksi indah di lantai marmer yang mengilap. Wangi parfum eksklusif bercampur dengan aroma kopi dari kafe di sudut ruangan, menambah kesan berkelas pada tempat itu.Laurent duduk di area lounge, menunggu dengan sabar sementara matanya mengamati sekitar. Investor yang ia nantikan mengirim pesan bahwa ia terjebak macet—bukan hal yang mengejutkan di kota besar seperti ini.Saat itu, tanpa sengaja, sesuatu menarik perhatiannya.Di dekat resepsionis, seorang wanita berdiri. Wajahnya begitu familiar. Laurent menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.Namun, bukan itu yang mengejutkannya. Di samping Alicia