Kehilangan segalanya di masa muda hingga harus terjerumus ke dalam lembah prostitusi membuat Gendhis merasa harus merelakan perasaannya pada sosok cinta pertama. Terpisah oleh keadaan di masa SMA, tak lagi bertemu bertahun lamanya, Gendhis dan Rai sang dokter muda dipertemukan oleh takdir dalam situasi yang asing tapi begitu emosional. "Kamu harus pake pengaman, Rai. Aku ini pelacur," bisik Gendhis menahan dada Rai yang sudah mulai melepas dress miliknya, menampilkan bra hitam berendanya. "Aku bukan Rai yang kamu kenal di 10 tahun yang lalu, Ndhis. Aku tau resiko dari keputusan yang kuambil." Rai yang kini menjelma menjadi seorang dokter spesialis muda nan mulia, bertekad untuk tidak lagi melepas Gendhis yang masih dicintainya. Namun, bagi Gendhis, strata sosial yang membentang di antara mereka adalah jurang pemisah tanpa dasar yang tak bisa diabaikan. Gendhis hanya tidak tahu, betapa sekali Rai berjanji, pantang baginya untuk mengingkari. Cinta mereka akan banyak diuji, akan banyak melukai. Namun kepercayaan Gendhis yang dulunya telah pudar, kini perlahan berhasil Rai buat bersemi kembali.
View More"Semua orang pada nanya, berita rencana nikahan kita udah kesebar, tapi kita masih sibuk kerja. Kamu nggak mau ngajakin aku belanja keperluan pernikahan kita, Bang?" tanya Kiara, lagi-lagi menemui Rai seusai selesai jam praktik di poli. "Bukannya semua kebutuhan dan keperluan pernikahan udah disiapin sama keluarga kamu?" balas Rai terlihat masih fokus menulis sesuatu di macbook-nya. "Tapi kan ada keperluan lain, kayak cincin, kita milih sendiri aja kan?""Kamu aja pilih sendiri, aku banyak kerjaan," balas Rai singkat. "Ada jadwal operasi?" tahan Kiara saat Rai beranjak dari kursinya. "Ada, aku udah ditunggu di OK," ucap Rai. "Beli aja yang kamu mau, kalau perlu uang, nanti kutransfer," tambahnya. "Bang!" Kiara mengejar langkah Rai menuruni tangga, "Mami Eris bilang, jangan sampe pelacur ini ganggu urusan pernikahan kita!" Rai seketika menghentikan langkahnya, ia berbalik ke arah Kiara, "Kamu yang ngadu soal itu ke Mami? Biar apa? Kukira kita sebatas kenal, perjodohan cuma formal
"Kamu tau Christ bakalan nikah satu bulan lagi?" tanya Ben dingin, seperti biasa. Gendhis mengangguk, ia duduk menghadapi sang ketua, di sebelahnya, Rai tampak santai mengisap rokoknya. Sementara, di samping Ben, Ann tersenyum simpul, ramah sekali seperti biasa."Kamu diem aja? Cuma begini?" mata Ben beralih pada Rai. "Aku harus ngacak-ngacak keluarganya Kiara? Gitu?" sambar Rai menggemaskan. "Kalau dia udah nikah sama Kiara, posisimu nggak mudah, Gendhis," sela Ann ikut menimbrung. "Apa kamu nggak pa-pa?" tanyanya. "Aku pelacur, dan aku tau diri, Ane-san," jawab Gendhis lirih. "Kamu rela, Rai nikahin perempuan lain?" tanya Ben tiba pada final pertanyaannya."Aku udah terbiasa jadi simpanan pria beristri Ben, aku rasa nggak akan jadi masalah," tandas Gendhis tegar sekali. "Kalian berdua ya!" gemas Ann saling berpandangan dengan Ben. "Terus, sampai kapan kamu jadiin Gendhis simpanan, Christ?" "Sampe aku resmi jadi ketua, Ane-san. Setelah itu, nasib Gendhis bakalan jadi priorita
"Jangan gila ya kamu, Rai!" sengal Gendhis panik. "Makan dulu," sahut Rai paham situasi. Gendhis menurut, meski hatinya tak menyangkal bahwa mengajak menikah adalah kejutan Rai yang sangat di luar nalar, tapi ia senang. Setidaknya Rai memikirkan kebimbangannya, ketakutannya selama ini. "Besok, setelah aku pulang kerja, ikut aku ketemu sama Ben dan Ann," ujar Rai di tengah kunyahannya. "Mau ngapain?" "Ketemu aja. Kamu kan baru ketemu mereka beberapa kali dan cuma bentar.""Aku nggak ngerti mau kamu itu apa. Sumpah, kamu ambigu banget, Rai," tuduh Gendhis jengah. "Ben sama Ann dulu juga nggak dapet restu dari para tetua, kita bisa cari ilmu dari mereka," kata Rai enteng sekali. "Ilmu apa? Situasinya beda kan Rai? Ben nggak punya calon istri lain. Sedangkan kamu punya," ujar Gendhis. "Kita nikmatin kencan ini dulu ya, nggak usah bahas yang berat-berat," kata Rai memutus arah pembicaraan serius mereka. "Kamu yang mulai duluan, aku cuma ngikutin kamu aja sih," desis Gendhis. Makan
"Aku harus pergi," ucap Gendhis pada Rai yang masih bertahan di kamarnya hingga hampir tengah malam. "Ke mana? Tengah malem begini? Ngelayanin pelanggan?" cecar Rai ingin tahu. Gendhis berkacak pinggang sambil berbalik pada Rai, "Cari makan," katanya singkat. "Ikut!" ujar Rai langsung bangkit, menyambar jaketnya. "Aku makan kaki lima lho," tandas Gendhis sengaja membuat Rai mengurungkan niatnya. "Aku makan pake tangan, bukan pake kaki. Ayok!" kata Rai tak peduli, ia genggam jemari Gendhis dan dibimbingnya keluar kamar tanpa menunggu lama. "Kamu nggak ada kerjaan? Nggak sibuk? Perasaan seharian ini jadi bawang kosong jagain kamarku," gumam Gendhis sambil mengunci pintu kamar. "Aku kangen," balas Rai. Beriringan, keduanya berjalan menuruni tangga, melewati ruang tamu di mana ada beberapa junior Gendhis yang menatap takjub pada Rai. Siapa yang tidak akan terpesona pada sang pemilik baru dari rumah bordil yang mereka tinggali? Rai memilik semua kharisma pemikat kaum hawa. "Terus,
"Maaf, aku kelamaan datengnya ya," ucap Rai. Berbaring di ranjang milik Gendhis, Rai tampak tak lagi peduli mengenai citranya sebagai dokter. Ia tak gentar jika nanti timbul asumsi mengenai kemunculannya di rumah bordil. Satu hal yang harus terus ia waspadai, ancaman Eriska tidak pernah main-main. Jadi, membeli rumah bordil secara paksa dari Wida adalah salah satu caranya melindungi Gendhis dari ancaman Eriska. Rai sangat tahu bagaimana karakter kakak kandungnya itu. Masih tertanam dalam pikirannya seperti apa penderitaan Ann sejauh ini akibat perbuatan Eriska. "Aku nggak nerima booking-an satu pun selama di sini juga," ucap Gendhis. "Tadi baru aja aku dikasih tau Rose kalau Mami uring-uringan. Mungkin bukan cuma karena aku nolak buat nerima pelanggan, tapi juga tekanan dari kamu yang ngebeli rumah ini.""Aku tetep ngebolehin dia ngejalanin bisnis ini, tapi tetep sesuai pengawasan orang-orangku.""Kamu tau rumah ini jadi sumber mata pencaharian lusinan pelacur, Rai. Kalau kamu pengi
"Mami Eris ngusir kamu?" tanya Rai, ia duduk di ranjang menghadapi Gendhis yang berdiri tegang tanpa suara.Gendhis membasahi bibirnya, tak langsung memberi jawaban. Ia melangkah ke arah sofa tamu, menjatuhkan diri di sana. "Aku pulang ke sini atas kemauanku sendiri, bukan karena diusir," jawab Gendhis. "Aku tau Mami Eris pasti ngomong yang enggak-enggak ke kamu, makanya kamu mutusin buat keluar dari rumahku, iya kan?" "Selayaknya seorang keluarga yang nggak rela anggota keluarga lainnya terjerumus ke neraka," sahut Gendhis. "Aku tau diri Rai, jadi, kamu nggak perlu nyari aku ke sini dan ngasih penjelasan apapun," tambahnya. "Aku ke sini bukan buat ngasih kamu penjelasan. Ini sekadar pengumuman, kamu bisa kasih tau ke yang lain kalau kepemilikan rumah bordil ini udah pindah tangan atas nama Wisanggeni," ujar Rai. "Jadi, kalau ada masalah apapun yang nantinya melibatkan rumah bordil ini, aku yang bertanggungjawab!" tegasnya.
"Mami uring-uringan, lo pulang tapi nggak mau nerima bookingan," Rose, teman satu angkatan Gendhis di rumah bordil masuk begitu saja ke dalam kamar."Gue lagi pengin tidur doang di kamar, seminggu kayaknya enak deh," jawab Gendhis masih membenamkan wajahnya di balik bantal. "Sugar, VVIP yang make lo kemarin, gila banget ya?" tanya Rose hati-hati. "Lo numbalin diri lo biar dia nggak booking anak-anak baru," desisnya. "Mario minta gue yang dateng, Rose. Lo tau sendiri rumah bordil ini di-backing penuh sama kekuasaannya Mario. Dan Mario tau kalau dari kita semua, cuma gue yang hafal dan tau kebiasaannya," ucap Gendhis. "Lo gimana? Aman semuanya kan?" Rose mengangguk, "Gue mau nikah. Jadi istri siri," tandasnya mengejutkan. "Jangan gila ya lo!" sengal Gendhis segera menarik bantal yang menutupi wajahnya. Ia seketika bangun dari posisi berbaringnya. "Istri siri itu nggak aman buat kita, Rose. Apalagi posisi kita sebagai istri kedua," ujarnya. "Gue jatuh cinta sama Mas Arul, Sugar. Sat
Gendhis berdiri mematung di ujung tangga, ia baru saja keluar dari dalam kamar Rai saat menyadari bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam rumah. Tahu bahwa hal seperti ini pasti akan terjadi suatu saat, Gendhis berusaha terlihat kuat. Ia sudah mempersiapkan hatinya, tp ternyata, diam pun tidak cukup untuk membuat hatinya tenang. "Sejak kapan kamu tinggal di sini?" tanya sosok perempuan berambut panjang berumur sekitar 50 tahunan itu pada Gendhis. "Dua mingguan, Tante," jawab Gendhis jujur. "Ah, jadi kamu pelacur itu?" Gendhis bungkam. "Aku Eriska, keluarga kandungnya Christ kalau kamu penasaran. Kamu mau pergi sendiri atau nunggu kuusir dari sini?" tanya Eriska, perempuan yang selalu Rai sebut dengan panggilan 'Mami Eris' itu. Gendhis tertegun sesaat, berusaha mencerna situasi yang tengah dihadapinya. Eriska bukan salah satu orang yang ada di pihaknya, ia tidak satu kubu dengan Ann dan Ben. Oleh karena itu, Gendhis harus hati-hati dan tidak asal menjawab. "Berapa juta yang kamu
"Kamu bisa belanja baju dan keperluan kamu lainnya pake ini," ujar Rai meletakkan satu kartu ATM di nakas. Gendhis yang tengah menyisir rambutnya di depan cermin, menoleh. Ia beranjak dan mendekati nakas, meneliti kartu yang Rai letakkan di atasnya. "Mami terus nelepon sejak subuh tadi. Kayaknya dia udah dengar soal masalah Mario kemarin itu," sebut Gendhis lalu meraih kartu ATM dari Rai dan menyimpannya. "Dia pasti kalang kabut," tambahnya. "Biar nanti orangku yang urus," balas Rai. "Satu jam lagi kukirim sopir buat anter kamu belanja. Maaf aku nggak bisa nemenin, ada jadwal poli hari ini di dua rumah sakit," katanya. Gendhis menghela napas panjang. Belum lama, belum ada sebulan juga ia tinggal di rumah besar milik Rai. Ada setidaknya dua ART yang membersihkan setiap sudut rumah dengan jobdesc yang berbeda. Pun, mereka tidak pernah sengaja mencari tahu siapa gerangan sosok Gendhis. Privasi Rai di rumahnya sendiri benar-benar terjaga, para pekerjanya sangat menghormatinya. "Ada m
"Argh… Sakit, sakit banget!" "Mbak, Mbak masih bisa denger suara saya?" Sekuat tenaga Gendhis berusaha mengangguk saat guncangan di Pundak dan pertanyaan itu ditujukan padanya. “Sakit sekali, Dokter.” Lagi-lagi, hanya erangan kesakitan yang Gendhis beri sebagai tambahan jawabannya. Tangannya tergerak mencengkeram perut bagian bawahnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Dari kapan sakitnya?" tanya perawat di sebelah Gendhis. Gendhis menggeleng, "Semalam…" gumamnya tak yakin. "Ada bercak darah?" Gendhis mengangguk kali ini, ia berusaha membuka matanya. Tak jauh dari ranjangnya sekarang, seorang perempuan berusia 40 tahunan tengah menatapnya dari kejauhan. Tampak cemas, tapi juga tak berani mendekat. "S-saya hamil. Test pack saya positif," ungkap Gendhis terbata. Tak ada jawaban, semua orang yang menangani Gendhis di Instalasi Gawat Darurat itu tampak sibuk melakukan tugasnya masing-masing setelah mendengar pengakuannya. Air mata Gendhis menetes, ia ingin men...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments