"Di sini boleh ngerokok nggak?" gumam Rai tampak masih meneliti sekitarnya, tak memedulikan Gendhis yang mematung beku ke arahnya.
"Ha?" hanya kata itu yang keluar dari mulut Gendhis. Ia syok, kaget dan tak menduga bahwa tamu level VIP-nya adalah Rai. "Ruangan ini ber-AC? Aku pengin ngerokok," ucap Rai sengaja bangun dari posisi duduknya dan mendekat ke arah jendela di mana ada pemandangan luar yang langsung mengarah ke taman. "Setelah hari ini, kita bisa pindah ke hotel aja kan? Jangan di sini?" tanyanya berbalik ke arah Gendhis. "Rai, kamu ngapain di sini?" tegur Gendhis setelah menguasai keadaan. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan Rai padanya. "Bu Wida nggak ngomong apa-apa?" gumam Rai, "aku udah urus semuanya ke dia, sampe dua minggu ke depan," tandasnya. "Kamu gila?" mata Gendhis membulat. "Kenapa? Kamu nolak ngelayanin aku?" "Mau kamu apa sih? Setelah bersikap nggak kenal ke aku selama di rumah sakit, sekarang tiba-tiba kamu muncul dan jadi pelangganku?" Rai tersenyum, "Anggep aja aku pelanggan random," katanya meregangkan tubuh santai. "Bisa kita langsung aja?" Gendhis menggigit bibir bawahnya kuat, ini kejutan yang tidak pernah terlintas di benaknya sekalipun. Melihat Rai begitu dekat tapi dalam situasi yang tak pernah diharapkannya, Gendhis tentu tidak bisa berkutik. "Nunggu apa? Kita bisa ke ranjang kan?" tanya Rai sengaja berjalan masuk ke balik bilik kedua. "Rai," Gendhis mengejar. "Apa ini maksudnya?" tanyanya gemas. "Aku nyewa jasa kamu," jawab Rai. "Itu udah ngejawab semuanya kan?" "Setelah semua sikap nggak masuk akalmu di rumah sakit?" "Sugar," Rai menyebut nama panggilan Gendhis selama di rumah bordil. "Kita lagi nggak di rumah sakit," ujarnya sekenanya. "Sini," ia duduk di sisi ranjang besar Gendhis. "Aku perlu tambahan energi, abis praktik banyak pasien dateng hari ini," tukasnya menepuk busa di samping pahanya. Ragu, Gendhis tak langsung mendekat. Bagaimana ini? Kenapa Rai terlihat plin-plan sekali dan bersikap seolah mereka sudah akrab sebelumnya tanpa memedulikan apa yang sudah terjadi di rumah sakit. "Aku nggak dilayani?" Rai tak sabar, ia berdiri dan mendekat pada Gendhis. Diraihnya pergelangan tangan Gendhis agar menurut padanya dan duduk di ranjang. "Kamu ngerendahin aku ya Rai?" tembak Gendhis dengan mata berkaca-kaca. Lelaki ini, sosok yang sampai saat ini masih memegang hatinya dan membawa pergi segenap rasa cintanya. Rai tak membalas, ia justru mendorong pundak Gendhis hingga mau tak mau, Gendhis berbaring di ranjangnya sendiri. Rasa nyeri di luka bekas operasinya membuat Gendhis tidak bisa melawan. "Buka," kata Rai singkat, menunjuk tank-top yang Gendhis kenakan. "Rai," lirih Gendhis terbata. "Tinggal buka kayak yang kamu lakuin biasanya. Apa perlu aku yang bantu bukain?" tantang Rai. "Kalau aku nggak mau?" sergah Gendhis merana. "Aku udah bayar ke Bu Wida, Mami kamu itu," desis Rai. Gendhis tertegun sejenak. Sekuat tenaga ia menahan air mata. Bagaimanapun ia tidak boleh merasa terhina karena kini melayani adalah pekerjaan yang sudah ia pilih untuk jalan hidupnya. Dibukanya atasan bajunya hingga Rai bisa melihat bra berenda warna burgundi itu. "Bawah juga," ujar Rai tak acuh. Tak memiliki pilihan, Gendhis menurut. Ia lucuti circular skirt hitamnya itu tanpa menatap wajah Rai. Harga dirinya terluka, tapi Gendhis tak bisa melawan. Hancur dunianya saat harus menerima kenyataan tentang Rai yang sudah pasti menganggapnya murah karena kini ia menjadi seorang pelacur. "Rai, kamu ...," Gendhis hilang suara saat sentuhan lembut jemari Rai menyentuh perut indahnya. Betapa gerakan tak terduga Rai yang menghangatkan hatinya seketika. ###"Kamu nggak dateng di dua kali jadwal kontrol yang kukasih," gumam Rai seraya membuka kemasan kasa waterproof di tangannya. "Kamu ganti sendiri kassa-nya?" tanyanya fokus pada luka bekas operasi di perut bagian bawah Gendhis itu. Gendhis tak langsung menjawab, sejenak pikirannya melayang jauh, ia seperti ditampar kuat oleh sikap Rai yang di luar ekspektasinya. Rai yang ia pikir akan dengan mudah menidurinya justru memperlakukannya seperti perempuan baik-baik lainnya."Seharusnya kamu juga harus di USG, biar bisa kucek ada perdarahan nggak di dalam. Tapi aku terbatas bawa alat, cuma buat ganti kassa aja yang bisa kulakuin di sini. Kamu nggak dateng kontrol ke poliku, tapi juga nggak bikin jadwal sama dokter Obgyn lain, kondisimu bisa aja fatal tanpa pengawasan, Ndhis," omel Rai. Gendhis yang mendengar omelan Rai bukannya takut tapi justru tersenyum. Hatinya terasa damai, afirmasi positif dari kalimat Rai membuatnya merasa berharga dan dianggap ada. Kenangan lama mereka tiba-tiba data
"Minggu depan aku bakalan dateng lagi di jam yang sama," ucap Rai setelah merapikan peralatan yang ia bawa ke dalam tas kecil serbaguna. "Aku udah nggak pa-pa kan? Harusnya aku yang bayar, tapi malah kebalik, kamu yang ke sini dan bayar mahal ke Mami," ungkap Gendhis. "Kamu tetep perlu USG. Dateng aja di jadwal poli Obgyn buka, nggak harus sama aku kalau kamu emang sibuk banget dan nggak bisa nyesuaiin jadwalmu sama jadwal jam praktik poliku. Ada satu lagi dokter kandungan yang praktik di rumah sakit. Kamu bisa dateng ke dia buat minta USG," balas Rai. "Aku nggak akan ambil uang dari kamu, tapi potongan yang udah masuk ke Mami nggak bisa kuminta lagi.""Aku nggak peduli sama uangku, kamu tau itu."Lantas sepi. Baik Rai maupun Gendhis terdiam lagi, larut dalam pikiran masing-masing. Jemari Gendhis bergerak-gerak saat saling menaut kiri dan kanan, pandangan matanya tertuju ke lantai kamar. Sementara Rai sudah selesai memberesi peralatann
Rai pergi begitu saja dari kamar Gendhis seusai memagut bibir cinta pertamanya itu dengan sangat brutal dan membuat keputusan sepihak. Ia berusaha keras untuk menyelamatkan hatinya. Keputusan Rai untuk mengejar Gendhis sudah sangat bulat. Ia akan bawa Gendhis keluar dari neraka kejam ini, menjaganya lagi seperti dulu, saat perasaan cinta itu baru saja menyala tak peduli dengan status pertunangannya dengan Kiara."Kenapa dia harus ngirim Mas Ardi buat jemput aku?" tanya Gendhis pada lelaki yang tengah menyetir mobil di sebelahnya, mobil milik Rai. "Ada cito, Rai nggak bisa jemput sendiri," balas Ardi, tangan kanan Rai sekaligus sahabat yang paling dipercaya oleh sang dokter tampan. "Sebenernya nggak perlu dijemput juga. Aku yang butuh dia," balas Gendhis. Matanya mengitar, memperhatikan jalanan yang dilewatinya. Jika saja Ardi tidak datang menjemput ke rumah bordil, ia pun tak ingin bertemu Rai lagi, keputusan yang ia buat dengan sangat sadar.
"Dokter Kiara," Gendhis menahan suaranya. Ia perhatikan ekspresi Rai yang tetap datar itu. "Apa dia tau soal aku?" tanyanya tertegun. Tak segera menjawab, Rai justru mengisap lagi rokoknya dalam-dalam. Tatapannya lekat pada Gendhis, sosok yang kini mungkin sedikit berubah, tapi masih menempati posisi yang sama di hatinya. "Enam bulan lagi kami dijadwalkan menikah," desis Rai gamblang. "Kiara anak konglomerat dan pebisnis properti tersukses di Indonesia dua tahun belakangan ini, Kiara Vanilla Suharjo, kami korban perjodohan," sebutnya. "Tambang emas, jangan dilepas," gumam Gendhis singkat. "Aku nggak perlu tambang emas buat menghidupi diriku sendiri.""Terus tujuanmu apa cerita begini ke aku, Rai? Biar aku makin sadar diri kastaku ada di bawah tunanganmu? Aku udah bilang kan aku nggak mau lagi terikat dan terlibat sama kamu!" tegas Gendhis. "Perasaanku ke kamu itu dulu, aku nggak mau membangkitkan apapun lagi, termasuk kenangan yang ud
"Kamu bakalan dianter sama Bang Ardi lagi," ucap Rai sambil memapah Gendhis menuruni tangga dari lantai dua. "Sampe kapan kamu bakalan bayar ke Mami buat bisa bikin aku ngedatengin kamu?" tanya Gendhis sengaja menghentikan langkahnya hingga Rai berada satu anak tangga di bawahnya, tapi justru membuat wajah mereka sejajar. "Jadwal kontrol kamu udah selesai setelah ini. Kayak yang kubilang, usahain jangan nerima pelanggan dulu," pesan Rai sedikit membuang pandangannya dari Gendhis. "Aku harus Rai, aku cari makan di situ, nggak mungkin aku nolak pelanggan.""Kalau gitu jangan ke rumah sakit tempatku kerja kalau kamu kenapa-napa lagi, aku nggak jamin aku bisa bawa kamu kembali dari kematian untuk yang kedua kali," ancam Rai begitu halus tapi menusuk. "Aku nggak bakalan mati. Kalau pun bisa mati, itu udah kejadian dari dulu," gumam Gendhis lantas lanjut menuruni tangga. "Harusnya kamu biarin aja aku mati waktu itu," tambahnya.
Gendhis memilih untuk segera pergi dan menghilang dari kehidupan Rai setelah hari itu, hari di mana mereka hampir terbawa suasana dan membahas perasaan. Kendati sisa-sisa asa untuk bersama itu masih ia sisakan dalam harapannya di masa depan, Gendhis tahu semua tak lagi sama. Ia dan Rai terlalu berbeda dalam segala, baik dulu, apalagi sekarang. "Orang baru, dia minta kamu dateng ke penthouse-nya," Wida mengetuk layar ponselnya dan mengulurnya pada Gendhis. "Bagian lo udah gue transfer ke rekening langsung," tambahnya. "Gue udah bilang mau istriahat bentar lagi kan Mam? Seminggu lagi lah," tawar Gendhis memutar bola matanya jengah. "Nggak bisa! Penyakit lo yang buat sendiri ini, kenapa gue yang harus nanggung kerugiannya? Gila aja lo! Buruan siap-siap!" ucap Wida ketus. Germo senior yang sudah lama berkecimpung di dunia prostitusi ini tampak tidak mau menerima alasan apapun. Gendhis menghela napas panjang tanpa menjawab gertakan Wida. Ia tahu, s
"Aku pernah menyesal karena kehilangan Ann selama tiga tahun lamanya. Selesaikan urusanmu dan jangan membuatku merasa bersalah lagi karena turut andil memisahkan kalian waktu itu," ujar Ben dingin, tapi terkesan cukup perhatian. "Kamu asal dateng gitu aja tanpa cari tau siapa yang booking kamu?" Rai menoleh Gendhis di sofa paling sudut, perempuan ini diam seribu bahasa. Lantas Rai mendongak pada Ben lagi, "Sebagai anak seorang ketua perkumpulan, aku nggak akan membantah perintah para tetua," ujarnya. "Kamu nggak akan mengejarnya?" Ben menunjuk Gendhis. "Dulu aku nggak bisa membantumu karena belum waktunya, sekarang, kamu nggak akan ambil kesempatan itu?" "Para tetua nggak akan menerima menantu pelacur, Ben!" suara Rai meninggi. "Ibu kandungmu pelacur, Christopher!" balas Ben sengit. "Jangan memaksaku membunuhmu!" geramnya lantas tanpa menatap Gendhis, ia melangkah pergi seraya membanting pintu diikuti beberapa anak buahnya yang tadi berjaga.
Gendhis merintih pelan saat kecupan Rai turun ke lehernya. Kedua jemarinya meremas pundak Rai, mencengkeramnya kuat. Gelenyar panas menguasai tubuhnya, ia benar-benar tidak kuasa menahan sengatan listrik di sekujur raganya. Berbeda dengan yang selama ini ia rasakan saat melayani pelanggannya, sentuhan Rai terasa sangat lembut dan menyamankan. Gendhis bak dibawa melayang ke langit, dimanjakan. "Rai ...," lenguh Gendhis tepat saat kecupan Rai tiba di tulang selangkanya. Sontak Rai menghentikan gerakannya. Ia mendongak, diamatinya ekspresi Gendhis yang matanya sudah setengah tertutup. Senyum simpul Rai terbit, sungguh, ia pun merindukan sosok mungil pendiam yang dulu senantiasa dilindunginya ini. Si cantik malang yang tertindas yang tak pernah sedetikpun meninggalkan ruang dalam hatinya. "Kita sama-sama sadar sekarang, dan aku belom mabuk sama sekali," desis Rai. "Setelah ini, kamu jadi milikku, Ndhis," tambahnya sangat dominan. Gendhis tak menan
Rai mematung kaku di pintu utama rumahnya, tatapan matanya yang biasa teduh itu dipenuhi kilat marah yang ia tahan mati-matian. Di seberangnya, Eriska dan Kiara berdiri berdampingan, melempar senyum tak terdefinisikan untuk Rai. "Calon istri nggak pa-pa kan main ke rumah kamu, Bang?" kata Kiara tanpa beban. Ia mencoba melongok ke dalam beberapa kali, tapi tubuh tinggi Rai jelas menghalanginya."Mami nganter, kasian Kiara kalau kamu cuekin di rumah kan," kata Eriska lalu nyelonong masuk begitu saja, menabrak tegap tubuh Rai yang pasrah bungkam menempel daun pintu. "Kayak cicak deh Bang," cibir Kiara. "Masuk ya," katanya mengekor langkah Eriska. "Kalian mau ngapain? Aku ada jadwal poli dua jam lagi," ujar Rai menyusul masuk, menemui tamunya yang sudah duduk di ruang tamu. "Rumah kamu gede ya Bang," kata Kiara mengitarkan padangan. "Tapi nggak pa-pa kalau nanti abis nikah kita tinggal di apartemen aja, kalau ke sini aksesnya dari rumah sakit rada jauh," katanya nyerocos. "Cari aja y
"Gimana?" Gendhis menyambut kepulangan Rai di meja makan dengan beberapa masakan yang sudah terhidang, senyumnya terkembang cantik. Ini adalah kali pertamanya memasak untuk Rai. "Kamu yang masak?" lengkung senyum Rai ditarik dengan paksa oleh pemiliknya. Tidak! Gendhis tidak boleh tahu hal apa yang baru saja terjadi dengannya di rumah Ben dan bagaimana Taka-Sama menuntutnya untuk tetap fokus pada rencana. "Iya, aku belajar sama Ann, tadi dia ke sini, katanya ini semua makanan kesukaan kamu," ucap Gendhis ceria. "Terus Ann ke mana sekarang?" Rai celingak-celinguk mencari sosok cantik sang ibu angkat. "Udah pulang, katanya kalau Ben pulang ke rumah dan dia nggak ada, bisa gawat," jawab Gendhis mengedikkan bahunya. "Udah laper belom? Mau langsung makan atau bersih-bersih dulu?" tanyanya mendekati Rai, meraih lengannya dan membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi. "Aku langsung coba dulu masakannya," ucap Rai pengertian. "Tolong ambilin nasinya," pintanya lembut. Gendhis mengan
"Kenapa tiba-tiba gini?" tanya Rai setengah berbisik di samping ayah angkatnya, Ben.Ben mengedikkan pundaknya, "Kayak nggak kenal Taka-Sama," tukasnya. "Nggak ada masalah sama proses kemaren kan?" "Bisa jadi. Bersiap aja buat semua kemungkinan," balas Ben. Ia melangkah masuk lebih dulu, membungkukkan badan lantas mengambil duduk di atas tatami paling depan. "Ben, aku perlu bicara sama Christ, bukan sama Ketua," tolak Taka-Sama, pimpinan para Tetua. "Aku diusir?" gumam Ben terpana. "Kita ada urusan nanti. Saat ini, aku perlu bicara cuma sama Christ. Keluar dulu sana," perintah Taka-Sama. Meski terlihat khawatir, Ben tak memiliki pilihan lain. Ia beranjak dan melangkah keluar setelah sebelumnya menepuk pundak Rai sebagai bentuk dukungan. "Christopher," panggil Taka-Sama setelah Rai duduk menempati tatami yang tadi sempat Ben duduki. "Apa kabar, Kakek?" tanya Rai setenang mungkin. "Rada pusing, aku dari bandara langsung ke sini. Denger kabar soal kamu, Kiara ngadu," ucap Taka-S
Gendhis bungkam, di depannya Rai ikut diam, hanya jemarinya yang sibuk menjentik-jentik permukaan luar gelas kopinya. Sementara, pandangan Rai tajam ke arah Gendhis, ada letupan marah dari sorot teduh itu, tapi tertahan sangat rapat dalam keheningan yang merebak entah sudah berapa puluh menit berlalu. "Mami tadi telepon, minta ketemu. Kusuruh aja ke sini," ungkap Gendhis hati-hati, sambil mengamati ekspresi dingin suaminya yang tak berubah sama sekali. "Nggak taunya, dia sama Doni, asistennya Mario," lanjutnya. Sontak pandangan mata Rai yang tadi sempat tertuju pada jelaga di dasar gelasnya, naik menatap Gendhis lagi. Sorot marah itu berubah seketika menjadi kabut khawatir yang tak bisa Rai sembunyikan. "Aku nggak diapa-apain," ucap Gendhis seakan bisa membaca arti dari pandangan teduh di mata sang suami. "Mau apa dia?" desis Rai seketika beranjak, ia mendekati Gendhis, duduk di sebelahnya. Diamatinya tubuh Gendhis saksama, mencari kalau-kalau terdapat luka atau lebam bekas pukula
"Mereka lapor kalau Nyonya minta mereka makan siang dulu di restoran bawah. Pas mereka balik, Nyonya udah nggak ada di kamar," lapor Ardi sambil menunjuk dua orang yang diminta berjaga untuk kamar Gendhis. "Siapa yang goblok?" gumam Rai terlihat sangat kesal. Pulang dari bekerja, Rai berharap bisa bertemu istrinya untuk bermanja, tapi ia justru tidak menemukan Gendhis di kamarnya. Gendhis juga tidak meninggalkan pesan apapun pada Rai, ponselnya tidak bisa dihubungi. "Suruh mereka pergi sebelum gue lempar dua bedebah ini dari jendela!" sengal Rai terdengar sangat marah. Ardi langsung tanggap, ia gerakkan tangannya demi mengusir dua orang penjaga yang tak berguna itu. Hanya menyisakan dirinya dan Rai saja, Ardi paham bahwa Rai ingin mengobrol serius. "Para tetua apa orangnya Mario?" tembak Rai langsung, meminta pendapat Ardi. "Kalau para tetua, menurut gue nggak mungkin. Pasti udah geger duluan kan?" balas Ardi menganalisis. "Kemungkinan Kiara atau Eriska?" "Gue juga lagi mikir
"Naik level ya lo sekarang, Sugar," cibir Wida iri, ia amati seisi kamar hotel yang dihuni Gendhis. "Mami ngajak janji temu cuma mau bilang itu?" gumam Gendhis sambil meneguk air mineralnya. "Lo nggak bisa sembunyi dari Mario selamanya, Sugar," ucap Wida tiba-tiba, hampir membuat Gendhis tersedak. "Lo sengaja ngajak ketemuan sama gue biar dia bisa ngelacak lokasi gue?""Gue serba salah. Pacar dokter lo itu menekan gue sampe gue nggak bisa ngelawan. Si Mario ngancam bakalan ngebongkar semua tentang rumah bordil kalau nggak bisa bikin janji sama lo," sengal Wida kalut. "Terus?" Gendhis membulatkan matanya. "Lo siap-siap," kata Wida mencurigakan. "Gue bisa dijeblosin ke penjara sama Mario kalau nggak bisa nemuin lo! Dan identitas soal pacar dokter lo itu udah dipegang sama orangnya Mario. Lo nggak mau terjadi sesuatu kan sama dia?" "Lo ngancem gue, Mi?" sergah Gendhis tak habis pikir."Iya. Biar lo selesaiin urusan lo secepatnya sama Mario!" ucap Wida tanpa keraguan. Ia berdiri dar
"Apa yang bakalan terjadi kalau Mami Eris-mu itu tau soal acara pernikahan kita, Rai?" tanya Gendhis hati-hati. Setelah selesai prosesi pernikahan yang sangat privat dan rahasia itu, Rai dan Gendhis memilih untuk tinggal lebih dulu di hotel. Sementara Rai pergi bekerja nanti sore, akan lebih aman jika Gendhis menunggu sang suami di kamar hotel dengan penjagaan beberapa orang suruhan Ben. Nanti, jika sudah selesai pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Rai, mereka baru akan pulang ke rumah besar di mana Rai menobatkan Gendhis sebagai nyonya rumahnya. "Aku juga nggak punya bayangan, yang pasti, kamu yang paling terancam kalau Mami sampe tau," jawab Rai menoleh perempuan yang berbaring damai di sebelahnya. "Aku nggak kasih tau siapapun dari pihakku soal pernikahan kita. Cuma berusaha untuk nggak membuka kemungkinan kalau pernikahan ini justru bakalan bocor dari pihakku," desis Gendhis. "Mamiku tadi sempat WA. Mario nyariin aku, dia mau booking buat lusa," ceritanya. "Terus kamu bilang
Tidak dapat dipungkiri, menikah adalah bentuk kebahagiaan lain yang selalu didambakan Gendhis demi bisa meninggalkan dunia pelacuran yang menghidupinya. Senyumnya tak berhenti terkembang, apalagi saat dengan saksama Rai yang ada di sampingnya mengucap ikrar setia dan berjanji pada Tuhan untuk menjaga dan melindunginya hingga ajal. Tidak ada terlintas sedikitpun dalam bayangan Gendhis bahwa ia akan secepat ini menikah, dengan Rai, cinta dalam hidupnya. "Perempuan ini, Gendhis Kemuning Btari, aku nikahi, tidak peduli bagaimana keadaan kesehatannya, latar belakangnya. Aku akan mencintainya, melindunginya, menjaganya, menghiburnya, menghormatinya sampai mati. Aku bersumpah akan menjaga kesetiaan sampai mati," ikrar Rai begitu menusuk di hati Gendhis hingga merinding sekujur tubuh. "Lelaki ini, Rai Damian Christopher Wisanggeni, aku nikahi, tidak peduli latar belakangnya, bagaimana keadaan kesehatannya. Aku akan mencintainya melindunginya, menjaganya, menghiburnya, menghormatinya, samp
"Ini langkah gila, Christ," gumam Bastian, kakak kedua Ben, paman angkat Rai di keluarga Wisanggeni. "Aku nggak bisa lepasin Gendhis, nggak bisa setelah semua yang terjadi di masa lalu," desah Rai sembari membenahi dasi yang ia kenakan. "Kalau Taka-sama denger soal ini, posisimu terancam, Bocil!" "Makanya jaga jangan sampe tau, Paman," balas Rai setengah bercanda. "Kalau Taka-sama tau soal ini, bukan cuma posisiku yang ada dalam bahaya, tapi kalian semua yang mendukungku juga bakalan kena," ujarnya. "Dulu, pas belum masuk circle para tetua, Taka-sama termasuk orang yang fleksibel. Tapi sekarang karena usianya udah semakin tua, Mama juga meninggal lebih dulu, Taka-sama jadi lebih ketat ke kita semua. Yang dia miliki tinggal klan kita, kamu harus paham. Taka-sama nggak mau klan kita jatuh ke tangan orang yang salah," ungkap Bastian. "Perempuan ini, layak kan untuk diperjuangkan?" "Kalau dia nggak layak, aku nggak mungkin melibatkan lusinan orang buat prosesi ini, Bro," sahut Rai se