"Aku pernah menyesal karena kehilangan Ann selama tiga tahun lamanya. Selesaikan urusanmu dan jangan membuatku merasa bersalah lagi karena turut andil memisahkan kalian waktu itu," ujar Ben dingin, tapi terkesan cukup perhatian.
"Kamu asal dateng gitu aja tanpa cari tau siapa yang booking kamu?" Rai menoleh Gendhis di sofa paling sudut, perempuan ini diam seribu bahasa. Lantas Rai mendongak pada Ben lagi, "Sebagai anak seorang ketua perkumpulan, aku nggak akan membantah perintah para tetua," ujarnya."Kamu nggak akan mengejarnya?" Ben menunjuk Gendhis. "Dulu aku nggak bisa membantumu karena belum waktunya, sekarang, kamu nggak akan ambil kesempatan itu?""Para tetua nggak akan menerima menantu pelacur, Ben!" suara Rai meninggi."Ibu kandungmu pelacur, Christopher!" balas Ben sengit. "Jangan memaksaku membunuhmu!" geramnya lantas tanpa menatap Gendhis, ia melangkah pergi seraya membanting pintu diikuti beberapa anak buahnya yang tadi berjaga.Gendhis merintih pelan saat kecupan Rai turun ke lehernya. Kedua jemarinya meremas pundak Rai, mencengkeramnya kuat. Gelenyar panas menguasai tubuhnya, ia benar-benar tidak kuasa menahan sengatan listrik di sekujur raganya. Berbeda dengan yang selama ini ia rasakan saat melayani pelanggannya, sentuhan Rai terasa sangat lembut dan menyamankan. Gendhis bak dibawa melayang ke langit, dimanjakan. "Rai ...," lenguh Gendhis tepat saat kecupan Rai tiba di tulang selangkanya. Sontak Rai menghentikan gerakannya. Ia mendongak, diamatinya ekspresi Gendhis yang matanya sudah setengah tertutup. Senyum simpul Rai terbit, sungguh, ia pun merindukan sosok mungil pendiam yang dulu senantiasa dilindunginya ini. Si cantik malang yang tertindas yang tak pernah sedetikpun meninggalkan ruang dalam hatinya. "Kita sama-sama sadar sekarang, dan aku belom mabuk sama sekali," desis Rai. "Setelah ini, kamu jadi milikku, Ndhis," tambahnya sangat dominan. Gendhis tak menan
"Untuk VVIP, aku biasanya dibayar buat tiga sampai 4 kali main, Rai," ucap Gendhis setelah napasnya teratur. Ia tarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Rai merubah posisi berbaringnya, miring menghadapi Gendhis, ikut membenamkan setengah tubuhnya di dalam selimut yang sama. Ia usap pipi Gendhis lembut, tatapannya begitu redup. "Berhentilah, Ndhis," pintanya tulus. Gendhis spontan menoleh lelaki di sebelahnya, "Maksud kamu?" "Aku serius soal bilang perasaanku ke kamu.""Rai, udah sekian lama, bersikaplah kayak pas kita ketemu di rumah sakit waktu itu. Jangan kayak gini," pinta Gedhis tersenyum getir. "Aku nggak mau percaya sama apapun lagi tentang kamu, sejak saat itu. Karena terakhir aku percaya, aku kehilangan segenap rasa yang kujaga. Seandainya di masa lalu aku nggak bilang cinta sama kamu, jadi pelacur nggak akan seberat ini."Rai membasahi bibirnya, ia tercekat, tak menyangka Gendhis akan dengan tegas menyebut kisah
Rai-Gendhis di masa SMA ....Langkah gontai Gendhis berhenti di ujung anak tangga paling atas, pintu atap sekolah yang ditujunya sudah terbuka setengah. Sambil tertatih melanjutkan langkahnya, Gendhis mengitarkan pandangan. Atap sekolah memang difungsikan untuk gudang di sisi sebelah barat dan lokasi penampungan air besar ada di sebelah timur. Tidak banyak siswa yang naik ke atap di situasi panas seperti ini, tapi jika menjelang sore dan beberapa ekstrakurikuler masih berlangsung, para siswa sering memanfaatkan atap sekolah untuk bersantai. Menyisir rambut panjangnya yang kusut karena jambakan dari Aini, kakak kelas berkuasa yang tak terima ditatap sinis olehnya, Gendhis duduk di satu kursi kayu yang sudah rusak sandarannya. Ia hela napas panjang, hari-harinya ke depan pasti akan terasa berat dan menantang. Ia murid baru, pindahan sekitar dua hari yang lalu. "Lo emang nggak punya tempat di manapun di dunia ini, Ndhis," lirih Gendhis bermonolog, setitik a
Gendhis bangkit dari ranjang. Bukannya menjawab soal pertanyaan Rai, ia justru memungut pakaiannya, memakai bra dan celana dalamnya dengan santai. Melihat sikap Gendhis yang tak acuh, Rai ikut bangun, hanya mengenakan trunk-boxernya saja. Ia raih bungkus rokok di atas nakas, diambilnya sebatang dan disulutnya seraya berjalan keluar menuju balkon. "Untuk hidupku yang udah terlanjur serusak ini, aku nggak mau menghadirkan perasaan bernama cinta itu lagi, Rai," ucap Gendhis menyusul Rai, ia kenakan handuk kimono demi menutupi indah lekuk tubuhnya. Rai tampak tenang, matanya menerawang jauh, menatap ke arah jalanan ibukota yang seakan tidak pernah sepi meski sudah selarut ini. Kepulan asap yang muncul dari embusan rokoknya seakan menari-nari, mempermainkan perasaan. "Salahku karena ngebiarin kamu sendirian selama dan sejauh ini," ujar Rai. "Pasti banyak hal mengerikan yang harus kamu lalui," tebaknya sambil menoleh Gendhis. Senyum Gendhis ter
Menghabiskan malam bersama, bercinta, mengobrol banyak hal tentang bagaimana keduanya saling mendoakan meski tak bertemu, Rai dan Gendhis berusaha berdamai dengan kenangan buruk mereka di masa lalu. Walaupun tidak ada ikatan pasti yang membuat mereka saling menjaga hati untuk satu sama lain, rasa itu ada dan kuat mengakar, menghuni ruang hati masing-masing, sejak lama. "Aku ada poli di dua rumah sakit hari ini, nanti kuminta orang buat ngirim baju gantimu," ucap Rai saat Gendhis membuka matanya di pagi hari. Sambil menggeliat, Gendhis mengamati gerak-gerik Rai yang sudah selesai membersihkan dirinya itu. Ada beberapa hiasan tato di punggung dan perut bawahnya menutupi 'abs', sedangkan di bagian leher, Rai menutupnya dengan plester besar sewarna kulit. "Kamu mau ke mana?" tanya Gendhis lembut. "Kerja, Sugar," tukas Rai menoleh sebentar lantas sibuk pada plester di tangannya. "Emang nggak boleh dokter keliatan punya tato?" gumam Gendhi
"Ini nggak bisa asal cancel gitu aja sih, Sugar, gila aja ya lo!" cecar Wida, menyempatkan diri untuk menemui Gendhis di lobi hotel. "Bukan gue yang ngebatalin, tapi klien yang lo terima asal-asalan ini yang bikin acara sendiri," gumam Gendhis menyasar Rai. "Asal-asalan?""Ya iya kan Mi? Asal duitnya gede sih lo nggak peduli mau gue minta libur barang sehari juga.""Dia bilang lo pasti mau ngelayanin dia, makanya gue oke, itu di samping bayarannya yang emang dia berani ngasih gede," sangkal Wida. "Lagian kalian kan udah saling kenal sejak di rumah sakit itu, nggak masalah juga kalau gue terima job dari dia tanpa sepengetahuan lo, kan?""Masalah banget ya Mi, ini nggak sesederhana yang lo kira. Sekarang lo tau kan gimana berkuasanya dia? Dia langsung nge-cancel 3 pelanggan gue sekaligus," sambar Gendhis. "Terus sekarang lo malah ke sini dan protes ke gue. Ya mana gue tau kalau Rai bertindak sejauh ini. Dia power-nya di bisnis nggak macem-macem, gue tau banget. Profesi dia sebagai dok
Rai-Gendhis di masa bertahun-tahun lalu ...."Ayok! Lelet banget kaki lo," paksa Inne, seorang LC senior yang dipercaya oleh pemilik bar untuk menangani pekerja baru. "Masih ada 364 hari lagi yang tersisa buat lo bayar utang bokap lo di sini, jangan buang waktu!" sergahnya mulai tak sabar. Gendhis berjalan terseok, beberapa kali hampir terjatuh karena tergesa mengejar langkah Inne. Tak pernah terbayangkan dalam angan Gendhis bahwa ia akan dijadikan jaminan pembayar hutang oleh papa kandungnya sendiri, Robby Januar. Semenjak kematian ibundanya tercinta karena penyakit kanker rahim, Gendhis yang adalah anak semata wayang harus menjalani kehidupan sulit dan penuh siksaan. Sang papa melampiaskan semua kemarahan dan kekesalan karena ditinggalkan sang istri pada Gendhis yang sebenarnya juga masih sangat terluka. Puncaknya, ketika perusahaannya bangkrut dan kekayaannya ludes, Robby menjadikan Gendhis anak kandungnya sendiri sebagai jaminan hutang dan menjualnya pada salah satu pemberi pinja
"Lo banyak kejutannya ya," gumam Rai seusai meneguk minuman beralkohol di gelasnya. "Maksudnya?" Gendhis menoleh lelaki yang duduk di sebelahnya. Rai sangat berbeda penampilannya dengan saat di sekolah. Kini, hanya berdua di dalam ruangan khusus yang disebut room 9 itu, Rai sengaja meminta Gendhis yang menemaninya, tanpa gangguan orang lain. "Lo muncul jadi murid baru, masuk ke atap sekolah dan bikin gue harus berbagi teritorial sama lo, sekarang, lo muncul sebagai jaminan hutang?" "Kamu juga sama, aku nggak nyangka kalau yang disebut Aniki itu kamu. Tato di leher ini, aku nggak pernah liat kalau di sekolah," sahut Gendhis tanpa menatap wajah Rai. "Bakalan jadi masalah buat bar sini kalau sampe ketahuan mempekerjakan anak di bawah umur," ujar Rai. "Apalagi lo pelajar," tandasnya. "Apa boleh aku kabur? Bisa aku lepas dari situasi ini?" "Emang lo mau ke mana? Lari dari sini lo punya tujuan laen? Paling enggak, kalau di sini, lo terbebas dari siksaan bokap lo." "Kamu tau?"
"Kalau emang nggak ada waktu nggak usah dipaksain ah," Gendhis menepuk lengan Rai lembut. "Bulan madu bisa di rumah juga," ucapnya sambil berusaha mengimbangi langkah Rai yang lebar itu. "Beneran nggak pa-pa?" tanya Rai. Ia sengaja menghentikan langkahnya seraya menatap Gendhis dengan sorot teduhnya yang membius. "Aku pengin kamu juga menikmati pernikahan kita sebagaimana pasangan lainnya, Ndhis," tandasnya. "Aku menikmati kok," ucap Gendhis mengembangkan senyumnya. 'Aku sadar nilaiku, nggak boleh nuntut yang macem-macem ke kamu.'"Tapi ekspresimu nggak bilang gitu. Ke depannya, aku bakalan usahain semaksimal mungkin buat kebahagiaanmu," janji Rai. "Aku tau kamu cukup terbebani sama situasi kita saat ini. Bahkan mungkin, nikah sama aku sebenernya nggak ada dalam to do list hidupmu.""Nikah sama kamu emang dadakan, nggak pernah terpikir di kepalaku sama sekali, dan nggak ada dalam anganku bakalan jadi istrimu secepat ini. Tapi aku bahagia, Rai. Aku seneng bisa dampingin kamu.""Terus
"It's okay Dok, mungkin akan normal untuk satu atau dua bulan ke depan. Nggak ada masalah," ucap Dokter Andri pada Rai. Ia baru saja selesai memeriksa Gendhis di urutan terakhir. "Makasih Dok, maaf bikin Dokter Andri telat pulang," balas Rai. "Nggak masalah," kata Dokter Andri tak keberatan. "Mbak Gendhis, nanti kalau ada yang mau ditanyakan bisa ke Dokter Christ, hasil USG juga nggak perlu penjelasan dari saya, ya," ucapnya. "Iya, makasih Dokter," gumam Gendhis tersenyum simpul. "Kalau gitu kami pamit, Dok. Makasih sekali lagi," ujar Rai kemudian berdiri, ia papah Gendhis keluar dari ruang praktik Dokter Andri, lalu memintanya untuk duduk di kursi tunggu. "Biar kuurus administrasinya bentar. Aku belom bisa pake identitas sebagai suamimu, jadi kamu nggak bisa jadi penerima manfaat fasilitas untuk keluarga tenaga medis di rumah sakit ini," terangnya."Iya nggak pa-pa," ucap Gendhis maklum. "Aku tunggu di sini," katanya. Menatap langkah Rai yang menjauh, pikiran Gendhis kembali mel
Rai mematung kaku di pintu utama rumahnya, tatapan matanya yang biasa teduh itu dipenuhi kilat marah yang ia tahan mati-matian. Di seberangnya, Eriska dan Kiara berdiri berdampingan, melempar senyum tak terdefinisikan untuk Rai. "Calon istri nggak pa-pa kan main ke rumah kamu, Bang?" kata Kiara tanpa beban. Ia mencoba melongok ke dalam beberapa kali, tapi tubuh tinggi Rai jelas menghalanginya."Mami nganter, kasian Kiara kalau kamu cuekin di rumah kan," kata Eriska lalu nyelonong masuk begitu saja, menabrak tegap tubuh Rai yang pasrah bungkam menempel daun pintu. "Kayak cicak deh Bang," cibir Kiara. "Masuk ya," katanya mengekor langkah Eriska. "Kalian mau ngapain? Aku ada jadwal poli dua jam lagi," ujar Rai menyusul masuk, menemui tamunya yang sudah duduk di ruang tamu. "Rumah kamu gede ya Bang," kata Kiara mengitarkan padangan. "Tapi nggak pa-pa kalau nanti abis nikah kita tinggal di apartemen aja, kalau ke sini aksesnya dari rumah sakit rada jauh," katanya nyerocos. "Cari aja y
"Gimana?" Gendhis menyambut kepulangan Rai di meja makan dengan beberapa masakan yang sudah terhidang, senyumnya terkembang cantik. Ini adalah kali pertamanya memasak untuk Rai. "Kamu yang masak?" lengkung senyum Rai ditarik dengan paksa oleh pemiliknya. Tidak! Gendhis tidak boleh tahu hal apa yang baru saja terjadi dengannya di rumah Ben dan bagaimana Taka-Sama menuntutnya untuk tetap fokus pada rencana. "Iya, aku belajar sama Ann, tadi dia ke sini, katanya ini semua makanan kesukaan kamu," ucap Gendhis ceria. "Terus Ann ke mana sekarang?" Rai celingak-celinguk mencari sosok cantik sang ibu angkat. "Udah pulang, katanya kalau Ben pulang ke rumah dan dia nggak ada, bisa gawat," jawab Gendhis mengedikkan bahunya. "Udah laper belom? Mau langsung makan atau bersih-bersih dulu?" tanyanya mendekati Rai, meraih lengannya dan membimbingnya untuk duduk di salah satu kursi. "Aku langsung coba dulu masakannya," ucap Rai pengertian. "Tolong ambilin nasinya," pintanya lembut. Gendhis mengan
"Kenapa tiba-tiba gini?" tanya Rai setengah berbisik di samping ayah angkatnya, Ben.Ben mengedikkan pundaknya, "Kayak nggak kenal Taka-Sama," tukasnya. "Nggak ada masalah sama proses kemaren kan?" "Bisa jadi. Bersiap aja buat semua kemungkinan," balas Ben. Ia melangkah masuk lebih dulu, membungkukkan badan lantas mengambil duduk di atas tatami paling depan. "Ben, aku perlu bicara sama Christ, bukan sama Ketua," tolak Taka-Sama, pimpinan para Tetua. "Aku diusir?" gumam Ben terpana. "Kita ada urusan nanti. Saat ini, aku perlu bicara cuma sama Christ. Keluar dulu sana," perintah Taka-Sama. Meski terlihat khawatir, Ben tak memiliki pilihan lain. Ia beranjak dan melangkah keluar setelah sebelumnya menepuk pundak Rai sebagai bentuk dukungan. "Christopher," panggil Taka-Sama setelah Rai duduk menempati tatami yang tadi sempat Ben duduki. "Apa kabar, Kakek?" tanya Rai setenang mungkin. "Rada pusing, aku dari bandara langsung ke sini. Denger kabar soal kamu, Kiara ngadu," ucap Taka-S
Gendhis bungkam, di depannya Rai ikut diam, hanya jemarinya yang sibuk menjentik-jentik permukaan luar gelas kopinya. Sementara, pandangan Rai tajam ke arah Gendhis, ada letupan marah dari sorot teduh itu, tapi tertahan sangat rapat dalam keheningan yang merebak entah sudah berapa puluh menit berlalu. "Mami tadi telepon, minta ketemu. Kusuruh aja ke sini," ungkap Gendhis hati-hati, sambil mengamati ekspresi dingin suaminya yang tak berubah sama sekali. "Nggak taunya, dia sama Doni, asistennya Mario," lanjutnya. Sontak pandangan mata Rai yang tadi sempat tertuju pada jelaga di dasar gelasnya, naik menatap Gendhis lagi. Sorot marah itu berubah seketika menjadi kabut khawatir yang tak bisa Rai sembunyikan. "Aku nggak diapa-apain," ucap Gendhis seakan bisa membaca arti dari pandangan teduh di mata sang suami. "Mau apa dia?" desis Rai seketika beranjak, ia mendekati Gendhis, duduk di sebelahnya. Diamatinya tubuh Gendhis saksama, mencari kalau-kalau terdapat luka atau lebam bekas pukula
"Mereka lapor kalau Nyonya minta mereka makan siang dulu di restoran bawah. Pas mereka balik, Nyonya udah nggak ada di kamar," lapor Ardi sambil menunjuk dua orang yang diminta berjaga untuk kamar Gendhis. "Siapa yang goblok?" gumam Rai terlihat sangat kesal. Pulang dari bekerja, Rai berharap bisa bertemu istrinya untuk bermanja, tapi ia justru tidak menemukan Gendhis di kamarnya. Gendhis juga tidak meninggalkan pesan apapun pada Rai, ponselnya tidak bisa dihubungi. "Suruh mereka pergi sebelum gue lempar dua bedebah ini dari jendela!" sengal Rai terdengar sangat marah. Ardi langsung tanggap, ia gerakkan tangannya demi mengusir dua orang penjaga yang tak berguna itu. Hanya menyisakan dirinya dan Rai saja, Ardi paham bahwa Rai ingin mengobrol serius. "Para tetua apa orangnya Mario?" tembak Rai langsung, meminta pendapat Ardi. "Kalau para tetua, menurut gue nggak mungkin. Pasti udah geger duluan kan?" balas Ardi menganalisis. "Kemungkinan Kiara atau Eriska?" "Gue juga lagi mikir
"Naik level ya lo sekarang, Sugar," cibir Wida iri, ia amati seisi kamar hotel yang dihuni Gendhis. "Mami ngajak janji temu cuma mau bilang itu?" gumam Gendhis sambil meneguk air mineralnya. "Lo nggak bisa sembunyi dari Mario selamanya, Sugar," ucap Wida tiba-tiba, hampir membuat Gendhis tersedak. "Lo sengaja ngajak ketemuan sama gue biar dia bisa ngelacak lokasi gue?""Gue serba salah. Pacar dokter lo itu menekan gue sampe gue nggak bisa ngelawan. Si Mario ngancam bakalan ngebongkar semua tentang rumah bordil kalau nggak bisa bikin janji sama lo," sengal Wida kalut. "Terus?" Gendhis membulatkan matanya. "Lo siap-siap," kata Wida mencurigakan. "Gue bisa dijeblosin ke penjara sama Mario kalau nggak bisa nemuin lo! Dan identitas soal pacar dokter lo itu udah dipegang sama orangnya Mario. Lo nggak mau terjadi sesuatu kan sama dia?" "Lo ngancem gue, Mi?" sergah Gendhis tak habis pikir."Iya. Biar lo selesaiin urusan lo secepatnya sama Mario!" ucap Wida tanpa keraguan. Ia berdiri dar
"Apa yang bakalan terjadi kalau Mami Eris-mu itu tau soal acara pernikahan kita, Rai?" tanya Gendhis hati-hati. Setelah selesai prosesi pernikahan yang sangat privat dan rahasia itu, Rai dan Gendhis memilih untuk tinggal lebih dulu di hotel. Sementara Rai pergi bekerja nanti sore, akan lebih aman jika Gendhis menunggu sang suami di kamar hotel dengan penjagaan beberapa orang suruhan Ben. Nanti, jika sudah selesai pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Rai, mereka baru akan pulang ke rumah besar di mana Rai menobatkan Gendhis sebagai nyonya rumahnya. "Aku juga nggak punya bayangan, yang pasti, kamu yang paling terancam kalau Mami sampe tau," jawab Rai menoleh perempuan yang berbaring damai di sebelahnya. "Aku nggak kasih tau siapapun dari pihakku soal pernikahan kita. Cuma berusaha untuk nggak membuka kemungkinan kalau pernikahan ini justru bakalan bocor dari pihakku," desis Gendhis. "Mamiku tadi sempat WA. Mario nyariin aku, dia mau booking buat lusa," ceritanya. "Terus kamu bilang