"Semua orang pada nanya, berita rencana nikahan kita udah kesebar, tapi kita masih sibuk kerja. Kamu nggak mau ngajakin aku belanja keperluan pernikahan kita, Bang?" tanya Kiara, lagi-lagi menemui Rai seusai selesai jam praktik di poli. "Bukannya semua kebutuhan dan keperluan pernikahan udah disiapin sama keluarga kamu?" balas Rai terlihat masih fokus menulis sesuatu di macbook-nya. "Tapi kan ada keperluan lain, kayak cincin, kita milih sendiri aja kan?""Kamu aja pilih sendiri, aku banyak kerjaan," balas Rai singkat. "Ada jadwal operasi?" tahan Kiara saat Rai beranjak dari kursinya. "Ada, aku udah ditunggu di OK," ucap Rai. "Beli aja yang kamu mau, kalau perlu uang, nanti kutransfer," tambahnya. "Bang!" Kiara mengejar langkah Rai menuruni tangga, "Mami Eris bilang, jangan sampe pelacur ini ganggu urusan pernikahan kita!" Rai seketika menghentikan langkahnya, ia berbalik ke arah Kiara, "Kamu yang ngadu soal itu ke Mami? Biar apa? Kukira kita sebatas kenal, perjodohan cuma formal
"Gila ya, aku udah diusir dari rumah ini sama Mami kamu, tapi aku keukeuh balik lagi secara nggak tau malu," ucap Gendhis sengaja berlama berdiri, tak langsung duduk di sofa tamu seperti yang Rai lakukan. "Selama bukan aku yang ngusir kamu, kamu masih jadi nyonya di rumah ini," kata Rai santai. "Nanti biar dibantu Gani masukin barangmu ke kamar. Dia lagi ngasih makan hewan di belakang," tambahnya. "Kamu beneran blokir semua pelangganku, Rai?" tanya Gendhis hati-hati. "Enggak, Bu Wida yang nglakuin. Dia marah sama kamu mungkin," jawab Rai. Gendhis memicingkan matanya curiga, "Nggak mungkin Mami ngeblokir pelangganku karena itu bakalan bikin dia rugi," tebaknya curiga. "Kamu nyuruh dia begitu kan? Ini perintah kamu kan? Kamu nekan dia sampai titik darah penghabisan kan?" cecarnya. "Salah siapa dia ngasih kamu ke Mario dan bikin kamu tersiksa," sahut Rai keceplosan. "Rai," Gendhis spontan duduk di sebelah Rai, menempel padanya. "Kamu apain Mami, hem?" desaknya. "Kamu nggak tau dia
Hari minggu, hari libur untuk Rai dari segala praktik poli dan pekerjaan sampingan di mana ia bertanggungjawab di beberapa sektor warisan keluarga. Ia sengaja mengajak Gendhis pergi keluar, selain mengunjungi kasino yang kemarin ia bicarakan, ia juga berniat membawa Gendhis bertemu seorang tattoo artist, langganan keluarga Takahashi. Mengingat tanggal pernikahan mereka yang sudah ditentukan besok lusa, jadi persiapan minimalis itu dikebut secepatnya. "Nggak akan ada yang ngasih dia perlakuan istimewa, termasuk gue," ucap Danisha, bungsu Takahashi, tante dari Rai yang mengelola kasino secara langsung. "Gue nggak minta dia diperlakukan istimewa," ujar Rai santai. "Lo tau dia berarti buat gue, jadi gue yakin lo juga paham gimana cara memperlakukannya," tandasnya. "Lo serius mau beristri dua? Brengsek amat lo, lebih brengsek dari bapak lo!" cecar Danisha takjub. "Apa gue minta buat dibatalin aja perjodohan sama Kiara, gitu Tante?" "Anjing! Jangan panggil gue Tante!" sergah Danisha ge
Persis 2 jam selama perjalanan pulang ke rumah Rai, Gendhis tak bicara apapun. Rai juga memilih sibuk pada kemudinya, tak mau membuka percakapan. Hingga keduanya sampai di halaman rumah besar Rai, hanya kebisuan yang merebak. Ini kali pertama mereka saling mendiamkan, sepertinya ego yang tercipta setelah perasaan terungkap justru membesar seiring besarnya cinta. "Ini yang aku takutin sejak awal terlibat hubungan sama kamu, karena aku pelacur, harga diriku nggak penting buat kamu," keluh Gendhis angkat bicara. "Siapa yang nganggep itu nggak penting? Kamu asal nyimpulin," sahut Rai. Gendhis mendesah lelah, ia abaikan tanggapan Rai dan memilih untuk menjatuhkan diri di sofa tamu. Tak ingin saling mendiamkan berlarut-larut, Rai mengambil duduk di sebelah perempuannya. Sambil menatap langit-langit ruang tamu, ia toleh Gendhis yang memejamkan matanya damai, mulutnya terkatup rapat. "Kamu sakit hati karena ucapanku?" tanya Rai, nada bicaranya sudah jauh lebih lembut ketimbang sebelumnya.
"Axel bukan saingan, Rai," bisik Gendhis timbul-tenggelam. Ia berusaha memberi pengertian pada Rai yang tengah menindih tubuhnya di ranjang sambil mengecupi lehernya ini. "Kamu tau aku nggak bisa berpaling dari kamu," tandasnya."Aku tau," Rai mendongak, "tapi kamu bisa tidur sama siapapun yang membayarmu dulu, Ndhis. Itu yang nggak bisa nenangin isi kepalaku," ujarnya. "Sejak awal aku udah kasih peringatan kan Rai? Kenapa kamu masih ngotot buat ngejalanin hubungan sama aku kalau ujungnya begini? Aku ini pelacur, riwayat hidupku nggak akan pernah bisa bersih. Kenyataan kayak gini bakalan terus kita bahas kalau kita beneran jadi nikah. Biar tenang isi kepalamu, cukup nikah sama Kiara aja. Dia bersih kan?""Dan aku yang gila kalau harus tanpa kamu!" sahut Rai yakin. "Aku nggak suka kamu berinteraksi sedekat itu sama Axel, bisa kuminta kamu buat membatasi diri?" "Aku lagi ngusahain itu semua kan? Kamu nggak liat gimana aku berjuang buat nggak lagi nerima pelanggan? Aku nurutin semua m
"Maaf ya Gendhis, kamu jadi harus merajam tubuhmu dan sedikit menodai kulit mulus kamu," ucap Ann sungkan. Gendhis mengulum senyumnya, rasa perih di perut sebelah kanannya masih tersisa, kulit sekitarnya masih terlihat memerah. Namun, ada satu tato baru yang melekat di sana, tato identitas keluarga. Dalam tradisi keluarga Takahashi, siapapun itu yang akan masuk menjadi anggota klan, apalagi menantu, ia harus rela merajam tubuhnya dengan satu simbol warisan keluarga. Meski sempat ragu untuk melakukannya, Gendhis akhirnya setuju dan bersedia, apalagi saat Rai berkata bahwa Kiara tidak sudi melakukan itu karena merasa derajat keluarganya lebih tinggi dari keluarga Rai. Pun dengan menganggap bahwa klan Takahashi ada di bawah kendalinya."Kamu juga bisa minta Aiko buat tato bekas luka operasimu," bisik Ann memberi saran. "Ini hasil karya Rai, Ane-san. Aku nggak akan ngerubah apapun dari itu, sebagai pengingat kalau dia yang nyelametin aku," kata Gendhis bangga. "Dia pasti seneng banget
Gendhis memilih untuk menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya. Sambil menunggu Rai visit pasien menjelang malam itu, ia tidak bisa menolak ajakan sang calon suami. Benar, hatinya terasa tergelitik saat memikirkan bagaimana esok pagi dirinya akan resmi menjadi seorang istri dari Rai Damian Christopher Wisanggeni. "Siap nggak siap, lo harus punya kekuatan dan keyakinan buat ngehadapin besok pagi, Ndhis," gumam Gendhis memberi semangat pada dirinya sendiri. Suasana rumah sakit memang cenderung lengang, apalagi di akhir pekan seperti ini. Hanya ada beberapa penunggu pasien yang tampak sedang memesan makanan untuk makan malam mereka seadanya karena foodcourt pun tampaknya sudah hampir tutup. "Hei," secara mengagetkan, Rai datang dari arah belakang Gendhis, sudah siap dengan stetoskop andalan di lehernya, "Kalau mau pesen jajan atau makanan, kamu pake kartu makanku," tukasnya memberikan sebuah kartu berwarna hijau di mana foto tampannya terpampang nyata. "Kamu nggak jadi visit?" tan
"Aldi bilang, kamu pulang naik taksi semalem, WA-ku nggak kamu bales juga," ujar Rai menyambut Gendhis yang baru keluar dari kamar mandi, keesokan paginya."Kamu lama sih, jadi aku pulang duluan. Dan aku capek banget pas sampe rumah, makanya langsung ketiduran," sahut Gendhis. "Ane-san udah siap? Kami harus jalan ke venue dulu, MUA-nya standby di sana," ujarnya. "Kamu ketemu Kiara ya, Ndhis?" tanya Rai straight to the point. "Dia bilang ke aku kalau udah berhasil ngusir kamu," ceritanya. "Emang dia siapa bisa asal ngusir aku dari rumah sakit," gumam Gendhis menyeringai. "Aku pulang setelah ngasih tau dia, seberapa hebatnya aku muasin kamu.""Kamu bilang gitu?" Rai tersenyum, jelas sekali ekspresinya tampak bangga. "Iya, aku harus ngelawan dong. Cuma itu yang bisa aku banggain ke dia.""Makasih untuk nggak kalah sama liciknya Kiara," ucap Rai tulus. "Aku nggak bisa diem aja dan ngebiarin dia ngehina aku, Rai. Harga diri aku udah nggak punya, ngelawan dan bersikap gila adalah caraku
"Apa yang bakalan terjadi kalau Mami Eris-mu itu tau soal acara pernikahan kita, Rai?" tanya Gendhis hati-hati. Setelah selesai prosesi pernikahan yang sangat privat dan rahasia itu, Rai dan Gendhis memilih untuk tinggal lebih dulu di hotel. Sementara Rai pergi bekerja nanti sore, akan lebih aman jika Gendhis menunggu sang suami di kamar hotel dengan penjagaan beberapa orang suruhan Ben. Nanti, jika sudah selesai pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Rai, mereka baru akan pulang ke rumah besar di mana Rai menobatkan Gendhis sebagai nyonya rumahnya. "Aku juga nggak punya bayangan, yang pasti, kamu yang paling terancam kalau Mami sampe tau," jawab Rai menoleh perempuan yang berbaring damai di sebelahnya. "Aku nggak kasih tau siapapun dari pihakku soal pernikahan kita. Cuma berusaha untuk nggak membuka kemungkinan kalau pernikahan ini justru bakalan bocor dari pihakku," desis Gendhis. "Mamiku tadi sempat WA. Mario nyariin aku, dia mau booking buat lusa," ceritanya. "Terus kamu bilang
Tidak dapat dipungkiri, menikah adalah bentuk kebahagiaan lain yang selalu didambakan Gendhis demi bisa meninggalkan dunia pelacuran yang menghidupinya. Senyumnya tak berhenti terkembang, apalagi saat dengan saksama Rai yang ada di sampingnya mengucap ikrar setia dan berjanji pada Tuhan untuk menjaga dan melindunginya hingga ajal. Tidak ada terlintas sedikitpun dalam bayangan Gendhis bahwa ia akan secepat ini menikah, dengan Rai, cinta dalam hidupnya. "Perempuan ini, Gendhis Kemuning Btari, aku nikahi, tidak peduli bagaimana keadaan kesehatannya, latar belakangnya. Aku akan mencintainya, melindunginya, menjaganya, menghiburnya, menghormatinya sampai mati. Aku bersumpah akan menjaga kesetiaan sampai mati," ikrar Rai begitu menusuk di hati Gendhis hingga merinding sekujur tubuh. "Lelaki ini, Rai Damian Christopher Wisanggeni, aku nikahi, tidak peduli latar belakangnya, bagaimana keadaan kesehatannya. Aku akan mencintainya melindunginya, menjaganya, menghiburnya, menghormatinya, samp
"Ini langkah gila, Christ," gumam Bastian, kakak kedua Ben, paman angkat Rai di keluarga Wisanggeni. "Aku nggak bisa lepasin Gendhis, nggak bisa setelah semua yang terjadi di masa lalu," desah Rai sembari membenahi dasi yang ia kenakan. "Kalau Taka-sama denger soal ini, posisimu terancam, Bocil!" "Makanya jaga jangan sampe tau, Paman," balas Rai setengah bercanda. "Kalau Taka-sama tau soal ini, bukan cuma posisiku yang ada dalam bahaya, tapi kalian semua yang mendukungku juga bakalan kena," ujarnya. "Dulu, pas belum masuk circle para tetua, Taka-sama termasuk orang yang fleksibel. Tapi sekarang karena usianya udah semakin tua, Mama juga meninggal lebih dulu, Taka-sama jadi lebih ketat ke kita semua. Yang dia miliki tinggal klan kita, kamu harus paham. Taka-sama nggak mau klan kita jatuh ke tangan orang yang salah," ungkap Bastian. "Perempuan ini, layak kan untuk diperjuangkan?" "Kalau dia nggak layak, aku nggak mungkin melibatkan lusinan orang buat prosesi ini, Bro," sahut Rai se
"Aldi bilang, kamu pulang naik taksi semalem, WA-ku nggak kamu bales juga," ujar Rai menyambut Gendhis yang baru keluar dari kamar mandi, keesokan paginya."Kamu lama sih, jadi aku pulang duluan. Dan aku capek banget pas sampe rumah, makanya langsung ketiduran," sahut Gendhis. "Ane-san udah siap? Kami harus jalan ke venue dulu, MUA-nya standby di sana," ujarnya. "Kamu ketemu Kiara ya, Ndhis?" tanya Rai straight to the point. "Dia bilang ke aku kalau udah berhasil ngusir kamu," ceritanya. "Emang dia siapa bisa asal ngusir aku dari rumah sakit," gumam Gendhis menyeringai. "Aku pulang setelah ngasih tau dia, seberapa hebatnya aku muasin kamu.""Kamu bilang gitu?" Rai tersenyum, jelas sekali ekspresinya tampak bangga. "Iya, aku harus ngelawan dong. Cuma itu yang bisa aku banggain ke dia.""Makasih untuk nggak kalah sama liciknya Kiara," ucap Rai tulus. "Aku nggak bisa diem aja dan ngebiarin dia ngehina aku, Rai. Harga diri aku udah nggak punya, ngelawan dan bersikap gila adalah caraku
Gendhis memilih untuk menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya. Sambil menunggu Rai visit pasien menjelang malam itu, ia tidak bisa menolak ajakan sang calon suami. Benar, hatinya terasa tergelitik saat memikirkan bagaimana esok pagi dirinya akan resmi menjadi seorang istri dari Rai Damian Christopher Wisanggeni. "Siap nggak siap, lo harus punya kekuatan dan keyakinan buat ngehadapin besok pagi, Ndhis," gumam Gendhis memberi semangat pada dirinya sendiri. Suasana rumah sakit memang cenderung lengang, apalagi di akhir pekan seperti ini. Hanya ada beberapa penunggu pasien yang tampak sedang memesan makanan untuk makan malam mereka seadanya karena foodcourt pun tampaknya sudah hampir tutup. "Hei," secara mengagetkan, Rai datang dari arah belakang Gendhis, sudah siap dengan stetoskop andalan di lehernya, "Kalau mau pesen jajan atau makanan, kamu pake kartu makanku," tukasnya memberikan sebuah kartu berwarna hijau di mana foto tampannya terpampang nyata. "Kamu nggak jadi visit?" tan
"Maaf ya Gendhis, kamu jadi harus merajam tubuhmu dan sedikit menodai kulit mulus kamu," ucap Ann sungkan. Gendhis mengulum senyumnya, rasa perih di perut sebelah kanannya masih tersisa, kulit sekitarnya masih terlihat memerah. Namun, ada satu tato baru yang melekat di sana, tato identitas keluarga. Dalam tradisi keluarga Takahashi, siapapun itu yang akan masuk menjadi anggota klan, apalagi menantu, ia harus rela merajam tubuhnya dengan satu simbol warisan keluarga. Meski sempat ragu untuk melakukannya, Gendhis akhirnya setuju dan bersedia, apalagi saat Rai berkata bahwa Kiara tidak sudi melakukan itu karena merasa derajat keluarganya lebih tinggi dari keluarga Rai. Pun dengan menganggap bahwa klan Takahashi ada di bawah kendalinya."Kamu juga bisa minta Aiko buat tato bekas luka operasimu," bisik Ann memberi saran. "Ini hasil karya Rai, Ane-san. Aku nggak akan ngerubah apapun dari itu, sebagai pengingat kalau dia yang nyelametin aku," kata Gendhis bangga. "Dia pasti seneng banget
"Axel bukan saingan, Rai," bisik Gendhis timbul-tenggelam. Ia berusaha memberi pengertian pada Rai yang tengah menindih tubuhnya di ranjang sambil mengecupi lehernya ini. "Kamu tau aku nggak bisa berpaling dari kamu," tandasnya."Aku tau," Rai mendongak, "tapi kamu bisa tidur sama siapapun yang membayarmu dulu, Ndhis. Itu yang nggak bisa nenangin isi kepalaku," ujarnya. "Sejak awal aku udah kasih peringatan kan Rai? Kenapa kamu masih ngotot buat ngejalanin hubungan sama aku kalau ujungnya begini? Aku ini pelacur, riwayat hidupku nggak akan pernah bisa bersih. Kenyataan kayak gini bakalan terus kita bahas kalau kita beneran jadi nikah. Biar tenang isi kepalamu, cukup nikah sama Kiara aja. Dia bersih kan?""Dan aku yang gila kalau harus tanpa kamu!" sahut Rai yakin. "Aku nggak suka kamu berinteraksi sedekat itu sama Axel, bisa kuminta kamu buat membatasi diri?" "Aku lagi ngusahain itu semua kan? Kamu nggak liat gimana aku berjuang buat nggak lagi nerima pelanggan? Aku nurutin semua m
Persis 2 jam selama perjalanan pulang ke rumah Rai, Gendhis tak bicara apapun. Rai juga memilih sibuk pada kemudinya, tak mau membuka percakapan. Hingga keduanya sampai di halaman rumah besar Rai, hanya kebisuan yang merebak. Ini kali pertama mereka saling mendiamkan, sepertinya ego yang tercipta setelah perasaan terungkap justru membesar seiring besarnya cinta. "Ini yang aku takutin sejak awal terlibat hubungan sama kamu, karena aku pelacur, harga diriku nggak penting buat kamu," keluh Gendhis angkat bicara. "Siapa yang nganggep itu nggak penting? Kamu asal nyimpulin," sahut Rai. Gendhis mendesah lelah, ia abaikan tanggapan Rai dan memilih untuk menjatuhkan diri di sofa tamu. Tak ingin saling mendiamkan berlarut-larut, Rai mengambil duduk di sebelah perempuannya. Sambil menatap langit-langit ruang tamu, ia toleh Gendhis yang memejamkan matanya damai, mulutnya terkatup rapat. "Kamu sakit hati karena ucapanku?" tanya Rai, nada bicaranya sudah jauh lebih lembut ketimbang sebelumnya.
Hari minggu, hari libur untuk Rai dari segala praktik poli dan pekerjaan sampingan di mana ia bertanggungjawab di beberapa sektor warisan keluarga. Ia sengaja mengajak Gendhis pergi keluar, selain mengunjungi kasino yang kemarin ia bicarakan, ia juga berniat membawa Gendhis bertemu seorang tattoo artist, langganan keluarga Takahashi. Mengingat tanggal pernikahan mereka yang sudah ditentukan besok lusa, jadi persiapan minimalis itu dikebut secepatnya. "Nggak akan ada yang ngasih dia perlakuan istimewa, termasuk gue," ucap Danisha, bungsu Takahashi, tante dari Rai yang mengelola kasino secara langsung. "Gue nggak minta dia diperlakukan istimewa," ujar Rai santai. "Lo tau dia berarti buat gue, jadi gue yakin lo juga paham gimana cara memperlakukannya," tandasnya. "Lo serius mau beristri dua? Brengsek amat lo, lebih brengsek dari bapak lo!" cecar Danisha takjub. "Apa gue minta buat dibatalin aja perjodohan sama Kiara, gitu Tante?" "Anjing! Jangan panggil gue Tante!" sergah Danisha ge