Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
"Kenapa lama?" Baru saja Livia menginjakkan kaki di dalam rumah ia langsung disambut oleh pertanyaan tersebut yang berasal dari mulut Rajendra."Tadi apotiknya tutup jadi saya mencari apotik lain," jawab Livia menyampaikan alasannya.Rajendra mendengkus. Tidak percaya pada alasan istrinya begitu saja."Siapa yang mengantarmu pulang?" tanyanya lagi meski ia tahu persis siapa lelaki yang mengantar istrinya."Kamu mengintip saya?""Bukan mengintip tapi suara mobilnya yang berisik membuat tidur kekasihku jadi terganggu."Livia tersenyum getir. Rajendra terlalu berlebihan. Suara mobil Ryuga tidaklah keras."Kenapa nggak dijawab? Siapa yang mengantarmu pulang?" "Kamu pasti tahu siapa yang mengantar saya. Bukankah kamu melihatnya sendiri?" Mendengar kalimat Livia yang terkesan sedang melawannya membuat amarah Rajendra semakin menjadi."Hanya perempuan murahan yang mau diantar lelaki asing.""Lebih murahan mana saya atau kekasihmu yang nggak tahu malu itu?"Tangan Rajendra sontak naik ke u
"Livia! Bangun!" Sepasang mata Livia terbuka ketika ia mendengar suara keras suaminya. Tampak Rajendra sedang menatapnya dengan nyalang. Di dekat lelaki itu ada Utary yang sedang muntah.Livia mengusap matanya yang berat digayuti kantuk. Kemarin malam setelah dipaksa Rajendra Livia akhirnya tidur di kamar. Di sofa dinginnya seperti biasa. Livia baru bisa memejamkan matanya menjelang pukul tiga pagi. Itulah sebabnya kenapa ia masih merasa ngantuk."Bersiin itu terus buatin teh hangat untuk Utary," kata Rajendra memberi perintah.Livia menatap nanar pada lantai yang berserakan muntah Utary. Ia hanya bisa mengelus dada. Apa Utary tidak bisa muntah di kamar mandi?"Buruan! Tunggu apa lagi?!" bentak Rajendra melihat Livia diam termangu.Dengan matanya yang masih mengantuk Livia bangun dari sofa. Sambil bertumpu pada tongkatnya Livia terpincang seperti biasa. Namun akibat terburu-buru ia jatuh terpeleset."Aduh!" rintihnya sambil meringis kesakitan.Utary yang melihat pemandangan itu tert
Livia mengantar bubur untuk Utary. Tangan kanannya memegang tongkat sedangkan tangan kirinya membawa mangkuk. Ternyata Utary tidak ada di ruang makan. "Antar ke kamar, Utary ada di sana," kata Marina memberitahu.Livia membawa langkahnya ke kamar tamu. Ia pikir Utary sudah kembali ke sana. Nyatanya perempuan itu ada di kamar Livia dengan Rajendra.“Sorry ya, Liv, aku jadi merepotkan kamu.” Utary berujar lirih ketika Livia meletakkan nampan di atas nakas.“It’s okay, santai aja, Tar.” Meski pada awalnya Livia merasa berat melakukan ini semua, namun perempuan itu mencoba berdiri di sudut pandang lain. Anggap saja ia melakukannya untuk seorang teman agar hatinya bisa sedikit lebih ringan.“Sarapan dulu yuk, setelahnya baru minum obat,” ucap Rajendra sambil membantu Utary yang sedang berbaring agar duduk.Livia masih berada di sana menyaksikan Utary dengan gerakan gemulai duduk dengan punggung tersandar ke headboard. Sementara Rajendra mulai menyuapi kekasihnya itu.Suapan pertama baru s
"Livia, aku mau bicara!”Suara bariton milik Rajendra menahan langkah Livia. Perempuan itu lantas menoleh pada pemilik raut gagah yang mencegatnya.“Iya?”“Mau kabur ke mana kamu?”“Kabur?” Livia mengernyitkan dahi. Ia sama sekali tidak kabur atau melarikan diri. “Saya mau mencuci, masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan."Rajendra menarik langkah mendekati Livia kemudian berdiri tegak di hadapan perempuan itu lalu seperti biasa menyorot Livia dengan tatapan penuh intimidasi.“Jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan atas kesalahan kamu.”“Kesalahan yang mana?” Livia sungguh tak mengerti Rajendra sedang membicarakan apa.“Jangan berpura-pura lugu. Kita sama-sama tahu apa yang sedang aku bicarakan.”Livia menahan napas saat menyadari yang dimaksudkan Rajendra adalah kekasihnya. Memangnya apa ada topik lain di antara mereka selain perempuan itu?“Jadi ini tentang Utary?”Rajendra mendengkus.“Kenapa dengan dia?”“Kamu sengaja meracuninya. Kamu bermaksud untuk mencelakai dia. Itu k
Hari itu kediaman Rajendra lebih ramai dari biasanya. Tamu-tamu berdatangan. Jejeran kendaraan berderet hingga menyesaki bibir jalan.Hari ini akan diselenggarakan pernikahan Marina dengan seorang pengusaha bernama Hendrawan. Kedua orangtua Rajendra memang sudah bercerai. Jika Marina sudah lama menjanda dan akan memulai hidup barunya hari ini, maka ayah kandung Rajendra sudah sejak lama menikah lagi.Wajah Marina tampak begitu semringah. Senyum manis terus terkembang di bibirnya. Wanita itu benar-benar bahagia. Terlebih setelah proses akad nikah dilangsungkan dan sepasang sejoli itu resmi dinyatakan sebagai suami istri.Setelah menikah Hendrawan berniat mengajak Marina ikut dengannya yang berarti Marina akan pergi dari rumah yang selama ini ia tempati.Livia tidak tahu harus senang atau sedih. Baginya terbebas dari kungkungan sang mertua adalah hal yang ia impikan sejak lama. Namun jika Marina pergi itu artinya Livia akan tinggal bertiga dengan Rajendra dan juga Utary karena Sherly
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.
Rajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men
'Ya Tuhan, ngomong apa gue barusan? Ngapain juga gue minta tes DNA. Randu itu anak gue. Astaga, Randu, maafin Papa, Nak.' Rajendra berteriak di dalam hatinya sambil berdiri di koridor rumah sakit.Rajendra tidak tahu apa yang tadi menguasai pikirannya sehingga ia bisa mengatakan hal itu pada dokter. Mungkin lantaran tadi kepalanya begitu digerogoti oleh banyak pikiran sehingga ia bicara sembarangan.Bagaimana mungkin ia meragukan Randu sebagai anaknya di saat dia sedang sakit?Tanpa membuang waktu Rajendra segera mencari dokter tadi. Beruntung ia menemukannya."Dokter!"Pria bersnelli putih berambut cepak menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang."Maaf, saya mengganggu, Dok. Tes DNA-nya nggak usah. Dibatalkan saja, Dok. Tadi saya hanya terlalu panik.""Baik, Pak." Dokter menjawab dengan singkat lalu pergi.Rajendra menghela napasnya kemudian kembali ke tempat perawatan Randu. Utary masih di sana, menemani anak mereka. Begitu melihat Rajendra, Utary memasang tampang masam
Di tempat yang lain Livia sedang merajut. Kali ini ia membuat topi bayi. Topi itu baru setengah jadi namun sudah terlihat indah dan menggemaskan berkat perpaduan warnanya. Livia memang sangat berbakat dalam hal merajut dan piawai memadumadankan warna.Dentingan dari ponselnya membuat Livia mengalihkan sejenak perhatiannya ke arah benda itu yang ia letakkan di atas meja. Ia meraihnya. Ia tahu itu dari Langit. Karena hanya Langit satu-satunya yang tahu SIM card baru Livia."Liv, aku lagi sama Rajendra, ngopi di dekat kantor."Itu isi chat dari Langit.Livia pandangi layar ponselnya dengan cukup lama. Pesan yang disampaikan Langit bagai membawa angin dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum. Nama Rajendra masih memiliki efek yang kuat padanya walaupun ia telah mencoba keras melupakan lelaki itu.Diletakkannya kembali ponsel ke atas meja dan melanjutkan rajutannya. Tapi entah mengapa tangannya terasa gemetar.Kenapa Langit mengabarkan padanya? Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan ters
Rajendra baru saja masuk ke dalam coffee shop di lingkungan kantornya ketika mendengar ponselnya lagi-lagi berbunyi. Dengan kesal ia merogoh saku celananya. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat nama Jihan tertera di layar. Jangan-jangan mertuanya itu ingin memberitahu pada Rajendra mengenai Livia. Jangan-jangan Livia ada di sana. Dan masih banyak lagi jangan-jangan yang bersarang di kepalanya."Halo, Tante.""Halo juga, Ndra. Kamu lagi sibuk?""Nggak juga, Tante. Tumben Tante menelepon?" Degup jantung Rajendra mengencang. Mungkinkah sebentar lagi ia akan mendengar Jihan mengatakan 'Ndra, Livia ada di sini'?"Kebetulan kalau begitu. Berarti Tante nggak mengganggu. Tante mau tanya, kenapa biaya pengobatan Tante bulan ini belum dikirim?"Rajendra mengepalkan sebelah tangannya yang bebas. Ia mencoba menahan kekesalan yang yang menggumpal di dalam dadanya. Rajendra sudah teramat lelah dengan semuanya, ditambah lagi panggilan dari Jihan yang hanya menagih uang membuatnya tidak mampu m
Hari-hari yang dilalui Rajendra terasa hampa. Hampir setiap hari ia datang ke rumah. Namun rumah itu tetap kosong. Tidak ada Livia di sana. Kejadian yang terjadi pada kehidupan pribadinya sampai terbawa ke dunia kerja. Rajendra jadi sering marah pada para pegawainya.Rajendra duduk di kursi kerjanya dengan raut kusut. Kertas-kertas berserakan di mejanya tatapi tidak ada satu pun yang dipedulikannya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari Livia yang sudah pergi meninggalkan rumah. Seharusnya saat ini Rajendra bahagia lantaran Livia, istrinya yang cacat dan membuatnya malu sudah pergi. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak bisa membuang perempuan itu jauh-jauh dari pikirannya meski sudah dua minggu berlalu. Ke mana pun ia memandang hanya wajah Livia yang terlihat.Sikap Rajendra berubah dengan dratis. Ia mudah marah pada siapa pun termasuk karena hal-hal sepele. Para pegawainya mulai sering membicarakan Rajendra di belakangnya. Membahas sikap dan perilaku atasan mereka yang semakin tidak ter