Zulfa harus menelan kekecewaan karena rumah tangganya dengan Rio harus kandas di usia pernikahan yang ke tiga hanya karena satu alasan. Anak. Hatinya yang rapuh semakin lapuk. Kenyataan pahit yang dialaminya membuatnya trauma untuk kembali membangun rumah tangga. Namun, Fikri datang. Seorang pria yang pernah menjadi masa lalunya. Membantunya menguak satu per satu rahasia Rio. Siapa sangka, jika Fikri adalah takdir yang telah diatur untuk menghabiskan waktu bersama Zulfa hingga akhir hayat.
View MoreAku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.
Zulfa memandang suaminya–Rio, dengan pelbagai pertanyaan yang berputar dalam benaknya. Semenjak kepulangan Rio dari luar Kota, tingkahnya banyak berubah. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama handphone dari pada dengannya.Padahal, dulu Rio lebih senang bermanja dengannya dari pada bermain ponsel. Bahkan, sekarang saat masakan Zulfa telah terhidang, Rio sama sekali tak meliriknya. Dia masih asyik tersenyum bersama benda pipih pintar miliknya. Ia merasa tak dihargai."Mas, makan lah makananmu! Akan tidak enak jika kamu membiarkannya terlalu lama," ujar Zulfa. Rio tersadar. Ia mengangguk dan tersenyum."Iya, Sayang. Makasih, ya." Rio menyendok mie ayam buatan istrinya."Masakanmu memang tiada tanding, Yang," puji Rio dengan mulut penuh makanan. Sesekali tersenyum memandang Zulfa.Zulfa tersipu, kedua pipinya memerah. Bukan pertama kalinya ia dipuji seperti itu. Namun, mendengar be...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments