Memiliki seorang suami, namun hidup bagaikan seorang janda. Itulah yang Zulfa rasakan kini. Ia merasa bahwa ada jarak yang terbentang lebar di antara ia dan Rio.
"Sebenarnya kamu kenapa, Mas?" lirih Zulfa berucap. Ditatapnya wajah Rio yang terlihat tenang dalam dengkuran halusnya. Dadanya naik turun secara teratur, pertanda ia benar-benar terlelap. Mungkin, ia memang kelelahan.
Sesekali, senyum di bibir Rio terukir seolah ia tengah memimpikan hal yang bahagia. Wajahnya begitu tampan. Hal yang membuat Zulfa takut jika ketampanan yang dimiliki suaminya itu akan menjadi bumerang untuknya.
Mungkin, sekarang.
'Apa kamu sedang memimpikanku, Mas?' batin Zulfa bertanya sendiri. Pikiran negatif selalu melintas dalam kepalanya. Apakah sekarang ia tengah terbuai mimpi sedang bersama wanita lain?
Entahlah, ia hanya bisa menebak-nebak.
Ia teringat tentang pesan-pesan sang Ibu. Agar tak menjadi wanita yang lemah ketika berhadapan dengan suami.
"Jika kamu merasa benar, teruskanlah! Jangan takut. Ibu tidak mau melihat kamu menjadi wanita lemah!" tutur Bu Umi sore tadi sebelum beranjak pulang.
Zulfa termenung kembali. Sepanjang menjalani rumah tangga dengan Rio, tak sekali pun ia membahas tentang kehamilan Zulfa. Bersikap buruk pun tak pernah. Namun, kini ia bimbang. Apalagi mendapati sikap Rio yang kini seolah menjaga jarak dengannya.
Ia merebahkan diri, memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu remang-remang di setiap sudut. Ingatannya berputar kembali pada waktu mereka baru menempati rumah ini. Begitu membahagiakan.
"Gimana, kamu suka rumahnya?" Rio merangkul Zulfa sambil memperlihatkan seluruh ruangan rumah berlantai dua dengan cat putih dan merah muda yang mendominasi. Rio baru membelinya sebagai kado untuk Zulfa karena bersedia menjadi istrinya.
"Suka sekali, Mas. Indah! Perpaduan warnanya pun sangat luar biasa. Aku suka," sahut Zulfa. Ia menghadiahi Rio dengan kecupan bertubi-tubi.
"Untuk penataannya, kamu urus sendiri, ya. Apa pun yang kamu inginkan bilang saja. Pokoknya, kamu harus betah tinggal di sini," kata Rio sambil mencium kening sang istri.
Zulfa tersenyum senang, menimbulkan lesung pipit di kedua pipinya terlihat dan membuatnya semakin cantik.
Zulfa ingat, bahwa semua dekorasi yang ada di rumah ini adalah atas kemauannya. Dulu, ia sangat nyaman. Akan tetapi, sekarang ia merasa asing dan ... dingin.
***
Zulfa terbangun dari tidurnya dan tak mendapati Rio di sampingnya. Ia bergegas bangun, melangkah ke jendela dan benar, mobil Rio sudah tidak ada.
Tempo hari, Rio pulang tanpa membawa mobil. Namun, semalam ia pulang dengan menaiki mobil itu. Sepertinya tak ada perubahan dalam mobil itu. Dan entah mengapa ia masih merasa ada yang janggal. Tapi ... entahlah, ia tak memahami apa yang tengah terjadi dalam ketidak tahuannya.
Zulfa terkekeh pelan, menertawakan dirinya sendiri. Memikirkan semua ini, bisa membuatnya depresi. Menurutnya, Rio sekarang sudah benar-benar keterlaluan. Malam ini, ia akan memutuskan untuk menuntut penjelasan kepada Rio.
"Awas kamu, Mas!" geram Zulfa. Ia bergegas membersihkan diri dan membersihkan seluruh rumah.
Suara dering ponsel menghentikan Zulfa yang kini tengah bersantai membaca buku. Ia selalu menghabiskan waktu dengan tumpukan buku karena Rio melarangnya bekerja dengan alasan agar ia tak kelelahan. Tentu, agar ia cepat hamil. Alasan klise!
Zulfa mengernyit saat melihat nomor di layar ponselnya. Nomor yang tak ia kenal.
[Halo?], ucap Zulfa setelah menggeser icon berwarna hijau.
[Zulfa?], sahut seseorang di seberang telepon. Kedua mata zulfa melebar saat mendengar bahwa itu suara perempuan.
[Siapa ini?], tanya Zulfa dengan rasa penasarannya yang membuncah.
Wanita itu terkekeh.
[Dalam waktu dekat kau akan tahu siapa aku. Tunggu saja!]
Klik.
[Halo? Halo?]
Zulfa menatap layar ponselnya. Sambungan telepon telah terputus. Zulfa bertanya-tanya dalam hati. Siapa wanita itu, mengapa dia menelponnya, dan mengapa nada bicara wanita itu seolah mengenal Zulfa.
Seketika kepalanya terasa pening. Semua yang terjadi belakangan ini ia coba hubungkan. Hingga akhirnya, ia menyimpulkan jika wanita yang baru saja menelponnya ada hubungan dengan Rio.
Dengan perubahan sikap Rio padanya.
***
"Zulfa? Zulfa?!" Zulfa bergegas ke ruang tamu saat mendengar suara ibu mertuanya memanggil.
"Oh, Ibuk. Silakan duduk, Buk. Aku buatin minum dulu," ujar Zulfa dengan senyum ramah.
Bu Salma mengangguk. "Ini, buah zuriyat dan madu. Buat promil." Beliau menyodorkannya kepada Zulfa.
"Terima kasih, Bu. Semoga sebentar lagi Allah mengabulkan keinginan kita semua," kata Zulfa setelah menerima pemberian Bu Salma. Dalam hati, ada sayatan tipis yang terasa menyakitkan.
"Iya, Zul. Kamu kan juga tahu, semakin hari aku semakin tua. Pingin sekali aku nggendong cucu. Pernikahan kalian itu bukan baru lagi. Udah lawas. Tentunya sudah waktunya kalian punya anak," kata Bu Salma sambil duduk di sofa dan menyalakan TV.
Zulfa tersenyum getir. Entah kata apa yang harus ia gunakan sebagai jawaban. Ia tak tahu, ucapan Bu Salma hanya sekadar keinginannya ataukah semacam ... sindiran.
"Bapak kerja, Buk? Kok gak ikut ke sini?" Zulfa mengalihkan pembicaraan. Sakit ia rasakan jika pembahasan hanya berputar pada masalah kehamilan. Padahal Ibu mertuanya juga seorang wanita. Apa beliau tidak ikut merasakan kepedihan menantunya?
"Iya, Zul. Kan hari ini hari kerja. Oh, ya. Kenapa Rio belum ke rumah ibuk? Kan dia baru pulang dari Kalimantan, iya, kan?"
"Iya, Bu. Tapi, akhir-akhir ini Mas Rio sibuk. Dia jarang di rumah. Katanya banyak klien yang mau ngajak bisnis," jawab Zulfa sambil mengaduk teh dalam cangkir.
Bu Salma mengangguk-angguk. Beliau kembali fokus menonton berita. Sesekali beliau menggerutu dan menyalahkan pelaku yang ada dalam berita. Zulfa yang melihat hanya geleng-geleng kepala.
"Kalau udah pulang, bilang sama suamimu. Suruh datang ke rumah ibu. Masa sama ibunya sendiri lupa," omel Bu Salma.
"Iya, Bu. Oh, ya, Ibu sarapan dulu, ayo. Aku sudah masak aseman sama nggoreng bandeng." Zulfa meletakkan secangkir teh di meja depan Bu Salma.
"Iya, nanti saja kalau ibu mau pulang. Jangan lupa loh, ya buah zuriyatnya dikonsumsi! Harus rajin minum air rebusannya. Sama madunya juga jangan ketinggalan! Biar cepet jadi," cetus Bu Salma mengulangi perkataanya lagi. Zulfa membalas dengan senyum dan anggukan.
Zulfa memahami, pasti semua orang dalam keluarganya begitu menantikan kehadiran buah hati yang terlahir dari rahimnya. Bukan hanya keluarganya, tetapi ia juga.
***
Zulfa menunggu Rio di halaman rumah. Tak peduli dengan desiran angin yang menerpa wajah dan tubuhnya, ia masih menanti. Meski kini, tubuhnya mulai menggigil menahan dingin.
Ia butuh penjelasan. Sejelas-jelasnya.
Memahami jika yang ditunggu tak kunjung tiba, Zulfa menelpon Rio melalui Whatssap. Status, Rio sedang online. Tentu Zulfa tak akan menunggu terlalu lama agar Rio mengangkat teleponnya.
Namun, ternyata ia salah. Rio tak mengangkat panggilan darinya. Sudah kesekian kalinya, ia merasa dikecewakan.
Zulfa memutuskan masuk, karena tubuhnya semakin tak bisa menahan dinginnya angin malam. Ia menunggu di sofa ruang tamu, menahan diri agar tak terlelap seperti waktu itu.
Satu jam ... dua jam ... ia masih menunggu.
"Apakah aku sekarang sudah tak ada dalam memori otakmu walau hanya secuil saja?" batin Zulfa bergejolak kala detik jam masih terus berdetak.
"Zulfa? Kamu belum tidur?" Rio sudah sampai di rumah dengan rambut yang basah bak baru saja selesai keramas. Aroma sabun pun menguar menusuk indra penciuman Zulfa.
Kedua mata Zulfa menyipit. Gejolak dadanya tak dapat lagi dibendung.
"Dari mana kamu?" todong Zulfa tanpa mempedulikan pertanyaan Rio.
"Aku baru selesai meeting, Sayang," jawab Rio dengan lemah lembut namun dalam dada, jantungnya berpacu begitu cepat.
"Meeting apa sampai tengah malam begini? Siapa wanita itu? Siapa wanita yang berhasil membuatmu berpaling dariku?" cecar Zulfa. Wajahnya mengeras, disertai air mata yang telah luruh akibat ia tak kuasa menahan.
Rio menarik napas kasar, mengusap wajahnya dan melangkah ke arah Zulfa. Ia menangkup kedua pipi Zulfa agar kedua pasang mata mereka saling bertemu.
"Kamu habis mimpi? Aku baru pulang kerja. Tapi kamu malah nuduh aku selingkuh?" ujarnya.
Zulfa menatap nanar. Air matanya kian deras mengalir. Ia benar-benar ragu jika yang Rio ucapkan adalah kejujuran.
"Aku tahu, Mas. Kamu menghindariku selama beberapa hari ini! Apa kamu tahu gimana perasaanku, Mas? Bahkan tadi ada wanita yang menelponku! Dia seperti mengenalku!" Zulfa berkata dengan memunggungi Rio.
Mata Rio melebar mendengar penuturan Zulfa. Degup jantungnya semakin berpacu lebih cepat.
"Dia ... selingkuhanmu, kan?"
"Dia ... selingkuhanmu, kan?" tuduh Zulfa dengan tatapan tajam dan mata merah usai menangis.Rio membuang muka. Ia merasa malas berdebat tengah malam, khawatir jika ada tetangga yang lewat lalu mendengarnya. Orang yang tidak menyukainya akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak jika perdebatannya dengan Zulfa didengar."Jangan menuduhku selingkuh. Aku tak akan pernah melakukan itu padamu!" jawab Rio dengan tegas dan penuh penekanan."Jangan bohong, Mas! Aku merasa selama beberapa hari ini sikapmu berubah! Kamu berangkat sebelum aku bangun, terus aku sudah lelah memasak malah kamu nggak makan sedikit pun! Menoleh pun tidak! Apa kamu tau gimana rasanya, Maaass?" Zulfa meraung sambil menepuk-nepuk dadanya. Mengungkapkan amarah dan sesak dalam dadanya.Rio bergeming. Ia hanya menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya ia iba, namun ia tak bisa apa-apa."Lalu, sekarang ... kenapa rambutmu basah? Kamu nggak pernah loh mandi tengah
"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?"Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh.Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya."Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai.Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.
"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya.Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua."Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan."Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri."Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.
Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad
Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.