Share

Terbongkar

last update Last Updated: 2021-09-15 21:23:02

"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."

Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya. 

Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua.

"Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan.

"Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.

Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri.

"Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.

Zulfa semakin menunduk. Ia sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak menjadi isakan. Ia tak  Hari ini, Zulfa telah kalah oleh wanita bernama Amara. Bahkan, ia telah dikhianati oleh suaminya.

"Entahlah, Ra. Aku nggak paham siapa sebenarnya yang bermasalah. Jujur saja, aku memang ingin sekali punya anak. Tapi ... memilih menceraikan Zulfa bukanlah keinginanku," kata Rio. Ada nada serius dalam ucapannya.

"Kenapa? Memangnya aku masih kurang untukmu setelah semua yang kita lakukan? Ingat, Rio! Istrimu lama-lama akan mengetahui hubungan gelap kita."

"Aku ... masih mencintai Zulfa."

Mendengar satu kalimat dari Rio, Zulfa berhenti menangis. Namun, ia tak bisa mentolerir perbuatan Rio padanya. Berselingkuh adalah hal yang paling ia benci. 

"Cintamu akan hilang saat kamu benar-benar merindukan kehadiran seorang bayi, Rio. Pikirkan saja! Kedua orang tuamu pasti sering mendesakmu, kan? Apa kamu nggak kasihan sama mereka?"

"Sudahlah, Amara." Rio terdengar putus asa.

"Bawa aku pergi dari sini," lirih Zulfa, ia sudah tak kuat menahan gejolak amarah dalam hatinya. Ia merasa benar-benar telah dilupakan.

Fikri dengan sigap membantu Zulfa berdiri dan memapahnya keluar dari sana. Ia menghentikan langkahnya kala pelayan mengatarkan pesanannya.

"Pak, ini pesanan Anda," kata si pelayan. Ia melihat Fikri dengan tatapan heran, karena hendak pergi sebelum makan.

"Untukmu saja. Makanlah, tadi sudah kubayar, kan?" sahut Fikri. Ia lantas kembali melangkah dan tak mempedulilan panggilan pelayan tersebut.

Dalam mobil, Zulfa mengeluarkan segala lara hatinya. Derai air mata deras mengalir, hingga membuat mata dan hidungnya memerah. 

"A--ku nggaak nyang--kaa ... a-kan seperti ini," ucapnya terbata-bata. Sesekali ia mengelap air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Keluarkan ... keluarkan semua isi hatimu," kata Fikri sambil mengusap punggung Zulfa.

"Me-ngapaa, Rio tega ... sama aku," isaknya.

"A-apaa karena aku nggak hamil-hamil? Apa karena itu?"  

Zulfa menarik napas, agar sesaknya berkurang. Namun, bukannya berkurang, rasa sesak itu kian bertambah saat mengingat bahwa ia memang tak bisa hamil. Isakannya semakin jelas kentara.

"Dia pria yang bodoh!" umpat Fikri.

Zulfa tak merespons. Pikirannya masih sangat kacau. Ia tenggelam dalam lautan kesedihan karena merasakan sakitnya dikhianati untuk kedua kalinya.

"Dia telah menyia-nyiakan wanita sepertimu dan lebih memilih wanita murahan seperti itu." Fikri terkekeh.

"Kau mau kuantar pulang?" tawarnya. Zulfa mengangguk. Ia tak berselera untuk berkata-kata. Yang ingin ia lakukan saat ini adalah menangis sendiri di dalam kamarnya.

Mobil yang dikendarai Fikri melaju pelan, menyisir jalanan padat yang penuh kendaraan. Sejauh perjalanan, hanya keheningan yang menyelimuti Zulfa dan Fikri.

Zulfa masih belum bisa menerima semua kenyataan pahit yang menimpa rumah tangganya. Rumah tangga yang selama ini ia kira akan tetap harmonis dan baik-baik saja, nyatanya hancur. Ya ... hancur.

Mobil telah berhenti tepat di depan rumah Zulfa setelah beberapa menit melaju. 

"Terima kasih, Fik. Aku akan menghubungimu lagi nanti," kata Zulfa sebelum turun.

"Iya. Aku harap kamu tidak melakukan hal yang bodoh!"

Zulfa menatap Fikri. "Aku masih waras untuk tidak melakukan tindakan bodoh!" sahutnya. Fikri terkekeh sebagai jawaban.

Zulfa segera turun. Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan hati kacau. Sedangkan Fikri, ia menunggu gadis itu masuk sebelum melajukan mobilnya.

Zulfa melangkah naik dengan langkah gontai. Kedua kakinya lemas, seperti tak mampu menopang tubuhnya. Air matanya tak lagi keluar, semua sudah terkuras habis.

Di saat-saat seperti ini, ia tak punya tempat untuk bersandar. Jika saja ia memiliki buah hati, tentunya itu akan menyembuhkan sedikit lukanya.

Ting!

Pesan w******p masuk, membuat layar hapenya menyala menampilkan nama Fikri di sana. Pria itu ... seharusnya ia tak hadir di saat hubungan Zulfa dan Rio sedang kacau.

Dibukanya pesan dari Fikri yang seketika membuat matanya melebar sempurna.

[Aku pernah mengalah, karena Rio adalah sahabatku. Aku merelakanmu, karena kuyakin bahwa Rio bisa membuatmu bahagia. Tapi sekarang, aku tak akan diam saat dia menyakitimu. Tunggu aku datang menjemputmu.]

Zulfa berdecih. Entah pesan itu sebuah rayuan atau sebuah hiburan. Namun, pesan itu malah membuatnya semakin gelisah. Ada rasa sesal, karena melibatkan Fikri dalam masalahnya.

Ia pernah mencintai Fikri denga setulus hatinya. Namun, Fikri pergi meninggalkannya. Meski rasa sakit itu telah hilang dan berganti dengan rasa penasaran, Zulfa tetap tak ingin mengungkit apalagi bertanya.

Ia sudah cukup repot dengan masalahnya saat ini.

***

Zulfa sedang memilih dan memilah bahan-bahan yang akan dibeli untuk kebutuhan dapur. Hari ini, ia belanja di pasar tradisional dengan menaiki ojek. Biasanya, ada Rio yang selalu siap siaga mengantarnya. Namun, kini dia harus terbiasa sendiri.

Ia menawar dagangan layaknya seorang pembeli. Dan setelah harga sudah deal di kedua pihak, ia pun membayarnya. Namun, wajahnya berubah pias saat ia tak menemukan dompetnya.

"Loh, dompetku mana!" Zulfa merogoh semua tas dan sakunya. Namun, nihil. Ia tak menemukannya. Padahal, ia ingat sebelum ke toko bumbu itu, dompetnya masih ada.

"Bu, sebentar ya. Kayaknya dompet saya ketinggalan di toko yang tadi," kata Zulfa pada Ibu pemilik toko.

"Yaelah, Mbak! Udah nawar kayak gitu malah gak jadi! Bilang aja uangnya gak ada!" gerutu Si Ibu.

"Maaf, Bu. Beneran uangnya ketinggalan. Bentar lagi saya balik lagi, kok." Tanpa menunggu jawaban si Ibu, Zulfa berlari ke toko sebelumnya.

Ia bertanya pada Bapak pemilik toko. Apakah melihat dompetnya apa tidak.

"Wah, saya nggak lihat, Mbak! Kalau lihat ya udah saya simpan!" kata si Bapak. Zulfa mengangguk lesu, lantas ia berterima kasih.

"Terus aku pulangnya gimana ini," gumam Zulfa.

Zulfa terpaksa pulang dengan berjalan kaki. Meski ia tahu jika ia akan sampai rumah lebih lama. 

Peluh membasahi tubuhnya karena panas matahari begitu terik. Kepalanya berdenyut-denyut karena silaunya sinar mentari yang mengenai kepalanya. Ketika hendak menyebrang jalan, tiba-tiba ada mobil yang hendak menabraknya.

Zulfa berteriak, sebelum akhirnya pingsan karena merasakan dehidrasi yang begitu berat.

Ketika membuka mata, ia langsung bangun saat menyadari ia tengah berada di dalam mobil. Kepala yang masih dirasa berdenyut tak ia hiraukan kala kedua matanya menatap nyalang ke arah depan. Di mana seorang pria duduk dengan tatapan lurus ke depan.

"Ka-kamu?" 

"Bagaimana kabarmu?" 

Pria bermata tajam setajam mata elang itu tersenyum dengan senyuman yang sama. Seperti tiga setengah tahun yang lalu. Sebelum Zulfa memutuskan untuk lebih memilih Rio.

***

Pertemuan yang tak disengaja dengan Fikri, membuat Zulfa menjadi bimbang. Pria itu masih memberikan segudang perhatian meski dia pernah terluka karenanya. Kini, ia berkata demikian melalui pesan.

Ia segera menghapus pesan-pesan dari Fikri. Ia tak berniat membalasnya. Ia takut, akan melukai perasaan pria baik itu dan juga melukai dirinya sendiri.

Sekarang, ia harus kembali fokus pada tujuannya. Menemui wanita bernama Amara itu dan berlanjut menuntut penjelasan pada Rio. Dan selanjutnya, biar keadaan yang menjawab bagaimana kelanjutan rumah tangga Zulfa dan Rio.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
mayank adrian
simpan ke tempat ibu sertifikat rumahmu, amankan,apalagi klo sudah atas namamu.jgn biarkan pelakor yg menempatinya.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ceroboh, dungu. pantas aja diselingkuhi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bahagia Usai Berpisah   Menemui Amara

    Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"

    Last Updated : 2021-09-15
  • Bahagia Usai Berpisah   Amara Mengadu ke Rio

    "Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a

    Last Updated : 2021-10-07
  • Bahagia Usai Berpisah   Kita Cerai Saja, Mas!

    "Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan

    Last Updated : 2021-10-07
  • Bahagia Usai Berpisah   Cerita Masa Lalu

    "Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad

    Last Updated : 2021-10-08
  • Bahagia Usai Berpisah   Kehamilan Amara

    Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m

    Last Updated : 2021-10-08
  • Bahagia Usai Berpisah   Talak

    Sudah dua minggu Zulfa tinggal bersama sang Ibu. Dan sejak itu, Fikri sering datang berkunjung dengan membawa berbagai macam cemilan dan buah-buahan."Fik, tolong jangan begini. Meski aku sudah pisah sama Mas Rio, tapi kami belum benar-benar bercerai," ujar Zulfa saat Fikri menemuinya dengan membawa sekotak coklat berbentuk hati siang ini.Bu Umi keluar dengan membawa nampan yang di atasnya sudah ada teko berisi teh dan dua cangkir. Beliau menaruhnya di meja dan mengisi cangkir tersebut lalu memberikannya ke Fikri."Maafkan saya, Bu ... saya selalu merepotkan Ibu setiap kali ke sini," ucap Fikri sambil menunduk."Nggak papa, Le. Diminum dulu tehnya," kata Bu Umi ramah. Fikri mengangguk, lantas menyesap tehnya perlahan-lahan."Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Bu Umi."Saya kerja, Bu. Pulang kerja langsung ke sini. Maaf, ya jika kalian bosan karena katemu saya terus-terusan." Fikri terkekeh.Zulfa tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sen

    Last Updated : 2021-10-08
  • Bahagia Usai Berpisah   Kamu Tetaplah Menantuku!

    Pak Setyo berniat untuk mengunjungi Zulfa untuk meminta maaf. Beliau sudah teramat menyayanginya seperti anak sendiri. Setiap kali beliau sakit, Zulfa lah yang selalu memperhatikan, mulai dari makanan hingga pakaian yang dikenakannya.Sedangkan Bu Salma, beliau lebih senang dengan dunianya sendiri. Sebenarnya, Bu Salma juga menyayangi Zulfa. Namun, kenyataan bahwa Zulfa tak kunjung hamil membuat beliau sedikit malas pada menantunya itu."Mau ke mana, Yah?" tanya Bu Salma. Beliau sedang memasak sop iga untuk Amara.Rio bilang, bahwa ia dan Amara akan datang malam ini."Mau menemui Zulfa. Kamu mau ikut?" tawar Pak Setyo sambil memakai jaket kulitnya."Ngapain, sih, Ayah mau ke sana? Dia kan udah bukan menantu kita lagi," ketus Bu Salma."Itu menurutmu! Tapi, aku tetap menganggapnya anakku," tegas Pak Setyo

    Last Updated : 2021-10-11
  • Bahagia Usai Berpisah   Tawaran Fikri

    Zulfa telah resmi menjadi janda sejak masa nifasnya usai. Dan sejak tiga bulan ini, Fikri tidak pernah mengunjunginya. Entah mengapa Zulfa merindukannya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan agar Fikri tidak datang ke rumahnya."Melamun lagi?" tegur Bu Umi yang baru saja selesai memetik daun salam untuk bumbu masakannya."Aku mau nyari kerja, Bu. Sudah saatnya aku nyari uang." Zulfa beranjak dari kursinya dan berdiri di ambang pintu. Matanya menerawang jauh ke depan. Ia berniat untuk bisa mencari nafkah."Mau kerja apa? Nyari kerja kalau nggak dibantu susah, Nak," tukas Bu Umi."Ya ... aku akan usaha, Bu. Yang penting Ibu doakan aku terus." Zulfa tersenyum menatap sang Ibu."Iya itu selalu ibu lakukan untukmu. Oh, ya. Lama sekali, ya, Fikri nggak datang," celetuk Bu Umi. Zulfa seketika terdiam."Apa dia marah sama kita, ya. Mungkin, waktu itu dia marah karena kita melarangnya agar nggak ke sini sama sekali," tukas Bu Umi. "Ibu jadi merasa n

    Last Updated : 2021-10-11

Latest chapter

  • Bahagia Usai Berpisah   Ending

    Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.

  • Bahagia Usai Berpisah   Kenyataan Pahit

    Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m

  • Bahagia Usai Berpisah   Keterpurukan

    "Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m

  • Bahagia Usai Berpisah   Kehamilan Zulfa

    Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k

  • Bahagia Usai Berpisah   Hasil Tes Rio

    Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s

  • Bahagia Usai Berpisah   Awal Terkuak

    "Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a

  • Bahagia Usai Berpisah   Amara dan Haris

    Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s

  • Bahagia Usai Berpisah   Rio dan Silvia (21+)

    Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?

  • Bahagia Usai Berpisah   Kehidupan Baru

    Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.

DMCA.com Protection Status