Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa.
"Assalamu'alaikum, Yang," salamnya.
"Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya.
"Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.
Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain.
"Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih.
"Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang."
"Maaf, ya," sahut Zulfa. Ia mengeluarkan isi dalam kantong tersebut dan memindahkannya ke piring.
"Iya nggak papa. Biar nanti aku makan saja."
Zulfa mengangguk. Ia mengingat tentang mertuanya yang lusa kemarin bertandang ke rumahnya.
"Oh, ya. Kemarin lusa Ibu ke sini. Nanyain kamu, kenapa kamu belum ke rumahnya katanya," ujar Zulfa.
"Uhm ... iya. Aku memang belum menemui Ayah dan Ibu. Rencananya malam ini aku mau ke sana. Kamu mau ikut?"
Zulfa menggeleng.
"Kenapa? Tumben sekali, sih, istri cantikku menolak," goda Rio. Ia mendekati Zulfa dan hendak memeluknya.
Mengetahui gerak-gerik Rio, Zulfa segera menghindar. Ia tak ingin, disentuh oleh pria bermuka dua seperti Rio.
"Kamu kenapa, sih, Yang?" Rio melempar tanya kala mendapati sikap Zulfa berubah yang seolah menjauhinya.
"Nggak papa. Mas ... aku mau tanya sesuatu sama kamu." Zulfa duduk di kursi makan dengan wajah serius.
Rio yang tak mendapati sekali pun senyum dari Zulfa hanya mengangguk. Ia tahu, bahwa Zulfa sedang marah padanya. Meski ia tak tahu apa sebabnya.
"Tanyakan saja," sahut Rio yang kini duduk berhadapan dengan Zulfa.
"Apa kamu masih mencintaiku?"
Kedua alis Rio saling bertaut. Disusul dengan senyum dan kekehan dari mulutnya. "Tentu saja. Kenapa kamu menanyakan hal yang sudah tahu jawabannya?"
"Meskipun aku belum hamil sampai sekarang?"
Raut wajah Rio berubah tegang. Pertanyaan Zulfa begitu menohok hingga dasar hatinya. Ia tak mengira jika Zulfa menanyakan hal itu padanya.
Dengan senyum yang dipaksakan, Rio menjawab," Tentu saja, Sayang. Aku selalu mencintaimu, meski dalam rumah tangga kita masih belum ada keturunan."
Zulfa tersenyum getir. Melihat bagaimana cara Rio menjawab, membuatnya semakin yakin, bahwa Rio tak lagi mencintainya seperti dulu. Apalagi setelah diiming-iming oleh Amara jika ia bisa memberikan Rio keturunan.
"Apa kamu pernah berpikir untuk menikah lagi, Mas?" tanya Zulfa. Ia ingin tahu bagaimana jawaban dan reaksi Rio jika ia menanyakan hal itu.
Rio tampak gugup. Zulfa bisa melihat bagaimana kedua tangan Rio mengepal. Serta bulir-bulir keringat yang tiba-tiba muncul di dahinya.
"Aku tak pernah berpikir begitu, Sayang. Aku mencintamu ... dan akan tetap seperti itu." Kini, Rio meraih kedua tangan Zulfa dan mengenggamnya.
'Cih, mulutmu begitu manis saat bicara padaku, Mas. Tapi aku tidak bodoh! Aku tahu busuknya dirimu!' kata Zulfa dalam hati.
"Aku percaya. Oh, ya ... kamu harus segera berangkat ke Ibuk, Mas. Mungkin beliau menunggumu. Lagi pula ini sudah hari ke tiga sejak Ibu datang," ujar Zulfa.
"Iya, Yang. Aku mau mandi dulu, setelah itu baru berangkat." Zulfa mengangguk.
Sepeninggal Rio, Zulfa langsung mengirim pesan pada Fikri. Ia akan merepotkan pria itu lagi.
[Nanti antarkan aku menemui Amara. Kamu tahu rumahnya, kan?]
Tak menunggu lama, pesan Zulfa pun dibalas.
[Aku tahu. Aku akan menjemputmu setelah kamu memerintahkan aku untuk berangkat.]
Zulfa segera menghapus semua pesan dari Fikri. Seperti halnya Rio, Zulfa memberi nama Kayla sebagai pengganti nama Fikri di ponselnya. Ia sudah belajar banyak dari Rio.
"Sayang, kamu beneran nggak ikut?" Rio mengulang pertanyaannya lagi.
"Iya. Aku sedikit pusing soalnya." Zulfa tak berbohong. Ia memang merasa pusing akibat kejadian pagi tadi. Apalagi yang utama, ia menghindari mertuanya karena mereka selalu menanyakan tentang kehamilan Zulfa.
"Baiklah, tidak apa-apa. Kamu istirahat saja. Memang lelah mengurus rumah sendirian."
Zulfa tersenyum. "Salam buat Ibu dan Ayah, Mas."
"Iya. Nanti aku sampaikan."
Seperginya Rio, Zulfa segera mengirim pesan agar Fikri segera datang. Ia tak sabar ingin menemui Amara dan meminta penjelasan pada wanita itu.
Zulfa berdandan secantik mungkin, agar Amara tak memandang rendah dirinya. Ia memakai peralatan make-up yang jarang sekali ia pergunakan. Serta tak lupa menggerai rambut hitam panjangnya.
"Aku jarang berdandan. Melihat diri sendiri seperti ini rasanya lucu." Zulfa mengulum senyum saat melihat pantulan dirinya di cermin.
Fikri sudah menunggu di depan rumah. Dia berdiri di samping pintu mobilnya dengan kaca mata hitam yang tak pernah lupa dipakai, serta memakai headset di telinga, mungkin untuk mengusir jenuh. Hingga ia tak menyadari kehadiran Zulfa yang sudah berdiri di depan pintu.
"Ayo!" seru Zulfa.
Fikri yang sedikit terlonjak seketika langsung membuka kaca matanya. Ia melihat perbedaan yang begitu luar biasa pada penampilan Zulfa.
"Kenapa kamu berdandan seperti itu?" tanya Fikri dengan tatapan tak suka.
"Kenapa? Apa aku kelihatan aneh?"
"Kamu cantik. Sangat ... cantik. Tapi, aku tidak suka melihatmu terlalu cantik seperti ini."
"Kenapa?" tanya Zulfa.
"Aku nggak suka jika nanti banyak yang menikmati kecantikanmu."
Wajah Zulfa memanas. Ia segera membuang muka dari Fikri. "Sudahlah, ayo berangkat. Lagian aku juga ada alasannya dandan kayak gini," gerutunya.
Fikri tak menjawab. Ia membukakan pintu untuk Zulfa dan segera menutupnya setelah Zulfa masuk. Baru kemudian ia beralih ke jok mobilnya. Begitulah setiap kali Fikri mengantar Zulfa.
"Rio kemana. Kok, kamu bisa keluar?" Fikri melempar tanya saat mobil yang mereka tumpangi sudah melaju di jalan raya.
"Ke rumah ibunya. Aku lupa billang sama dia kalau lusa kemarin ibunya datang." Zulfa mengecek make-upnya di kaca bedak yang ia bawa.
"Kenapa kamu peduli banget sama make-upmu?"
"Biar Amara nggak memandang rendah padaku nanti. Jadi, aku sengaja berpenampilan kayak gini," jelas Zulfa dengan sesekali mengembuskan napas.
"Cukup sekali saja kamu seperti ini."
Zulfa menoleh, menatap Fikri dengan tatapan menunggu penjelasan.
"Aku tidak ingin melihat wanita yang kucintai menjadi orang lain. Wanita yang kucintai itu selalu berpenampilan sederhana, sama seperti hatinya. Dia tak suka berlebihan dalam penampilan. Intinya, aku tidak ingin melihat wanita itu tidak menjadi dirinya sendiri."
Penjelasan Fikri membuat Zulfa terdiam.
"Seharusnya kamu menemui Amara dengan penampilanmu yang seperti biasanya. Jangan mencoba melebihi dia. Lagi pula dia juga tidak lebih baik dari pada kamu," sambung Fikri.
"Hentikan, Fik. Jangan memberiku banyak perhatian. Aku menerima pertolonganmu, bukan berarti aku mau menerima perhatianmu," balas Zulfa. Moodnya kini berubah buruk.
"Iya. Aku tahu."
Mobil mereka berbok ke arah perumahan Asri bernama "Bintang Terang Utama". Rumah di sana termasuk mewah, karena rata-rata berlantai dua dengan ukuran yang cukup luas.
"Dari mana kamu tahu rumah Amara?" tanya Zulfa.
"Aku tahu semuanya. Hanya saja aku lebih memilih diam. Menunggumu bertanya atau memintaku memberi tahumu," jawabnya.
"Ini rumahnya."
Zulfa melihat rumah Amara. Rumah berlantai dua bercat kopi susu dan putih itu begitu modern. Terdapat ayunan di halaman depan dan juga pohon mangga di sudut halaman.
"Rumah ini adalah pemberian Rio," celetuk Fikri.
"Apa maksudmu!" sentak Zulfa.
"Tuntaskan dulu misimu. Aku akan memberi tahumu nanti." Zulfa memilih diam dan memendam rasa penasarannya.
Zulfa memencet bel di depan pintu rumah Amara. Dan tak menunggu lama pintu itu terbuka, menampikan sosok Amara yang melotot menatap Zulfa.
"Aku datang sebagai tamu. Kenapa tidak disuruh masuk?" kata Zulfa membuyarkan lamunan Amara.
Amara yang gugup mengangguk dan membuka lebar-lebar pintunya. "Masuklah!
Zulfa masuk menggunakan high heels lima sentinya. Ia melangkah dengan anggun, bak seorang model. Rambutnya pun melambai-lambai saat ia berjalan.
"Kamu tahu siapa aku, kan?" todong Zulfa tanpa basa-basi.
Amara mengangguk gugup.
Zulfa menatap setiap sudut ruangan yang ia tempati. Lantas berhenti menatap Amara dengan tatapan tajam, membuat Amara merasa gemetaran.
"Aku tidak perlu basa-basi. Aku hanya ingin bertanya dan kamu harus jawab jujur! Ada hubungan apa kamu dengan suamiku!"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad
Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m
Sudah dua minggu Zulfa tinggal bersama sang Ibu. Dan sejak itu, Fikri sering datang berkunjung dengan membawa berbagai macam cemilan dan buah-buahan."Fik, tolong jangan begini. Meski aku sudah pisah sama Mas Rio, tapi kami belum benar-benar bercerai," ujar Zulfa saat Fikri menemuinya dengan membawa sekotak coklat berbentuk hati siang ini.Bu Umi keluar dengan membawa nampan yang di atasnya sudah ada teko berisi teh dan dua cangkir. Beliau menaruhnya di meja dan mengisi cangkir tersebut lalu memberikannya ke Fikri."Maafkan saya, Bu ... saya selalu merepotkan Ibu setiap kali ke sini," ucap Fikri sambil menunduk."Nggak papa, Le. Diminum dulu tehnya," kata Bu Umi ramah. Fikri mengangguk, lantas menyesap tehnya perlahan-lahan."Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Bu Umi."Saya kerja, Bu. Pulang kerja langsung ke sini. Maaf, ya jika kalian bosan karena katemu saya terus-terusan." Fikri terkekeh.Zulfa tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sen
Pak Setyo berniat untuk mengunjungi Zulfa untuk meminta maaf. Beliau sudah teramat menyayanginya seperti anak sendiri. Setiap kali beliau sakit, Zulfa lah yang selalu memperhatikan, mulai dari makanan hingga pakaian yang dikenakannya.Sedangkan Bu Salma, beliau lebih senang dengan dunianya sendiri. Sebenarnya, Bu Salma juga menyayangi Zulfa. Namun, kenyataan bahwa Zulfa tak kunjung hamil membuat beliau sedikit malas pada menantunya itu."Mau ke mana, Yah?" tanya Bu Salma. Beliau sedang memasak sop iga untuk Amara.Rio bilang, bahwa ia dan Amara akan datang malam ini."Mau menemui Zulfa. Kamu mau ikut?" tawar Pak Setyo sambil memakai jaket kulitnya."Ngapain, sih, Ayah mau ke sana? Dia kan udah bukan menantu kita lagi," ketus Bu Salma."Itu menurutmu! Tapi, aku tetap menganggapnya anakku," tegas Pak Setyo
Zulfa telah resmi menjadi janda sejak masa nifasnya usai. Dan sejak tiga bulan ini, Fikri tidak pernah mengunjunginya. Entah mengapa Zulfa merindukannya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan agar Fikri tidak datang ke rumahnya."Melamun lagi?" tegur Bu Umi yang baru saja selesai memetik daun salam untuk bumbu masakannya."Aku mau nyari kerja, Bu. Sudah saatnya aku nyari uang." Zulfa beranjak dari kursinya dan berdiri di ambang pintu. Matanya menerawang jauh ke depan. Ia berniat untuk bisa mencari nafkah."Mau kerja apa? Nyari kerja kalau nggak dibantu susah, Nak," tukas Bu Umi."Ya ... aku akan usaha, Bu. Yang penting Ibu doakan aku terus." Zulfa tersenyum menatap sang Ibu."Iya itu selalu ibu lakukan untukmu. Oh, ya. Lama sekali, ya, Fikri nggak datang," celetuk Bu Umi. Zulfa seketika terdiam."Apa dia marah sama kita, ya. Mungkin, waktu itu dia marah karena kita melarangnya agar nggak ke sini sama sekali," tukas Bu Umi. "Ibu jadi merasa n
HK15. Mertua Pembantu GratisPerut Amara mulai terlihat membuncit, sebab usia kehamilannya telah memasuki lima bulan. Fase-fase yang ia lalui tak serumit wanita hamil pada umumnya. Ia lebih enjoy dan tak pernah merasakan mual dan pening. Orang jawa bilang 'ngebo'.Di saat-saat itu pun Bu Salma memberikan perhatian lebih ekstra untuknya. Amara yang merasa disayang Bu Salma sering memanfaatkan keadaan agar ia bisa berleha-leha tanpa lelah mengurus rumah."Amara, ini ibu belikan kurma muda. Kamu makan ya. Ini bagus banget buat ibu hamil seperti kamu," tukas Bu Salma ketika berkunjung.Amara mengangguk senang. "Iya, Bu. Makasih, ya ... Ibu baik banget," pujinya."Iya ... soalnya ibu pengeeen sekali punya cucu, Ra. Sudah hampir berjalan empat tahun. Dan ini tahun pertama bersamamu. Dan ibu gak nunggu lama-lama lagi," ujar Bu Salma sambil mengelus perut Amara."Bu? Ibu nggak pernah marah gitu sama Zulfa?" Amara sengaja memancing Bu Salma a
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.