"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?"
Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh.
Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya.
"Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.
Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai.
Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!
Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.
"Cepat sekali!" seru Zulfa setelah mengetahui orang yang baru saja ditelponnya sudah berdiri di depan rumahnya.
"Tentu saja. Kalau bukan kamu yang minta aku nggak bakal mau," sahutnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.
Zulfa tertawa renyah. Sebenarnya, ia enggan meminta tolong pada pria di hadapannya. Karena selain sungkan, ia juga tak enak hati karena mereka pernah punya suatu hubungan masa lalu.
"Maaf, ya. Habis aku bingung mau minta tolong sama siapa," kata Zulfa seraya menggigit bibir bawahnya.
"Aku cuma bercanda. Naiklah, keburu kita nggak bisa mbuntutin suamimu itu!" ucapnya.
Zulfa mengangguk antusias. Setelah semua kondisi rumah dinyata aman, ia segera menutup pintu dan menguncinya. Lantas, mengikuti pria itu masuk ke dalam mobil.
"Pakai sabukmu!" Zulfa mengangguk.
Hening menyelimuti perjalanan mereka. Sesekali Zulfa melirik pria di samping dengan ekor matanya.
"Kalau mau tanya-tanya, ngomong aja. Jangan main lirik-lirikan begitu. Ntar bintitan!"
Zulfa melotot. "Ih, siapa juga yang ngelirik kamu?"
Pria itu hanya terkekeh.
Zulfa memainkan jemarinya demi mengusir rasa gugup. "Ehmm ... makasih banget ya, Fik. Kamu memang teman yang baik," ucapnya, segan.
"Belum apa-apa kamu sudah terima kasih. Bagaimana nanti kalau misi kita berhasil?" kata pria yang dipanggil Fik itu.
Namanya Fikri. Ia pria berusia tiga puluh tahun dan bekerja sebagai staff keuangan di salah satu kantor di pusat kota. Namun sayangnya ia belum menikah. Di saat semua orang bertanya alasannya, ia hanya menjawab bahwa ia belum menemukan orang yang tepat.
"Aku akan bayar kamu, deh," sahut Zulfa setelah sekian detik berlalu.
Fikri tertawa lebar mendengar jawaban Zulfa. Ia tidak menyangka bahwa Zulfa masih sama seperti dulu. Menjawab gegabah tanpa berpikir panjang.
"Bercanda, kok. Yang penting kamu bisa mengetahui apa yang disembunyikan suamimu itu sudah cukup membayarku."
Zulfa menoleh. Ditatapnya pria di sampingnya. Tiba-tiba debaran aneh timbul dalam dadanya. Perasaan itu kembali muncul. Setelah bertahun-tahun ia mencoba meredamnya.
"Kamu pasti masih tau bagaimana perasaanku ke padamu, kan?" Fikri bertanya tanpa menatap Zulfa. Ia masih fokus pada kemudi dan jalanan di hadapannya.
Zulfa bergeming. Ia tak suka dengan pembicaraan tersebut.
"Dan sampai sekarang ... rasa itu masih sama ... untukmu," sambungnya dengan suara pelan.
Zulfa berpaling menatap jendela. Sejujurnya, ia tak bisa memahami Fikri. Mengapa bisa Fikri berkata demikian meski ia tahu bahwa Zulfa sudah menikah?
"Aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku, Fa. Dengan begitu aku akan lebih tenang. Kamu jangan merasa canggung. Aku akan bersikap seperti biasa. Seperti teman. Seperti apa yang kamu ucapkan."
"Jangan mengatakan hal bodoh, Fik! Kamu seharusnya tidak merayuku setelah beberapa tahun yang lalu meninggalkanku."
Dahi Fikri mengernyit. "Maksudmu?"
"Sudahlah, lupakan saja. Semua itu masa lalu," sahut Zulfa yang tak mau meneruskan pembicaraan.
Zulfa merasakan ada yang tertancap dalam hatinya, dan itu membuatnya merasa sakit. Ia dapat melihat wajah Fikri dari kaca spion. Fikri terlihat muram, seperti tak ada menahan perih yang begitu dalam.
'Kenapa jadi begini, sih?' batin Zulfa.
"Baiklah, kita fokus pada rencana semula. Semua masa lalu itu akan kita bahas nanti," ujar Fikri seolah memahami apa yang Zulfa pikirkan.
"Eh?"
Fikri tertawa. "Kamu memang masih sama seperti dulu. Oh, ya mobil suamimu silver itu, kan?"
Zulfa mengikuti arah telunjuk Fikri dan mengangguk. Memang itu adalah mobil Rio. Ia sudah hafal dengan nomor plat mobilnya.
"Ikuti saja kemana pun mobil itu jalan," ucap Zulfa. Kini, ia kembali fokus pada tujuan awal saat melihat mobil Rio sudah berada di depannya.
"Sebegitu curiga, ya kamu sama suamimu itu?"
Zulfa mendesah pelan. "Iya, dan aku harus tahu kemana ia pergi sekarang. Aku ingin tahu, siapa wanita yang dinamai Azka dalam ponselnya. Dia pasti tahu aku akan mengecek ponselnya. Makanya dia menamai wanita itu dengan nama lelaki! Semua ini benar-benar membuatku muak!" ucapnya dengan dada kembang kempis. Ia menghantamkan kedua tangannya yang mengepal ke pahanya. Emosinya kembali memuncak.
Fikri hanya tersenyum mendengar ocehan Zulfa. Wanita itu benar-benar menarik perhatiannya. Sejak lama.
"Luapkan semua emosi dalam hatimu, Fa. Ada aku di sini yang mendengarnya. Jangan memendamnya sendiri. Akan sakit rasanya. Jika perlu menangis ... menangislah," ujar Fikri.
Rasa sesak dan kesal dalam hati Zulfa perlahan mereda. Pria yang memiliki mata tajam seperti elang itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman. Bahkan, sekarang air mata Zulfa luruh tanpa aba-aba.
Sejak dulu, Zulfa selalu kuat saat berhadapan dengan siapa pun. Namun, saat bersama Fikri, ia bisa memperlihatkan sisi lemahnya sebagai wanita. Karena rasa nyaman dan tenang yang ia rasakan. Ia bisa menjadi dirinya sendiri.
Zulfa segera menghapus air matanya saat melihat mobil yang dikendarari Rio berbelok ke arah restoran cepat saji. "Ikuti dia!" ucapnya dengan tanpa sadar memegang lengan Fikri.
"Kita tunggu di sini dulu. Melihat perkembangan selanjutnya," kata Fikri setelah menepikan mobil kala Rio sudah turun dari mobilnya.
"Aku yakin, pasti dia janjian bertemu dengan perempuan itu!" desis Zulfa.
"Tunggu dulu. Jangan langsung menilai. Dari dulu kamu tidak berubah."
Zulfa menoleh cepat. "Maksudmu apa?"
"Nggak papa. Aku salah karena bilang begitu. Kita harus menunggu sekitar lima belas menit. Setelah itu kamu masuk. Lihat siapa yang ditemui suamimu di dalam sana," jelas Fikri.
"Iya. Baiklah."
Mereka menunggu dalam diam. Zulfa sudah merasa lebih tenang setelah mengeluarkan isi hatinya melalui tangisan. Memalukan, tetapi juga melegakan.
"Masuklah sekarang!" ucap Fikri.
Zulfa mengangguk. Ia membenarkan poni rambutnya dan tak lupa mengenakan kacamata untuk menyamarkan wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia keluar mobil.
"Aku pergi dulu," kata Zulfa lewat jendela mobil. Fikri menjawab dengan anggukan.
Zulfa melangkah dengan was-was. Takut jika ada orang yang menyapanya. Padahal di tempat itu tak ada orang yang mengenalnya.
Ketika kakinya melangkah masuk, ia disambut oleh alunan musik yang merdu. Untuk sesaat ia terbuai, mengingat kenangan saat datang ke restoran bersama Rio. Kenangan di saat Rio melamarnya dan mengajaknya mengarungi bahtera rumah tangga bersama-sama.
Namun ... itu dulu.
Zulfa menyipitkan kedua matanya, agar pandangannya semakin jelas. Ia menyisir pandang ke setiap sudut restoran, mencari Rio dalam banyaknya orang yang berkumpul.
Ia berjalan pelan, siapa tahu ada yang terlewat hingga tak menemukannya.
"Rio?" lirih Zulfa mendapati Rio sedang tertawa lebar bersama seorang wanita. Wanita itu begitu menarik dan cantik.
Saat hendak menghampiri, sebuah tangan kekar menariknya hingga ia terkejut.
"Mengapa kamu selalu gegabah, Fa? Setidaknya kamu harus mencari tahu siapa wanita itu," Fikri berucap dengan tangan yang tetap menggenggam tangan Zulfa.
"Ikuti aku. Kita harus menjalankan misi ini tanpa ada kata gagal!" Ditariknya tangan Zulfa. Mereka pu duduk di belakang tempat duduk Rio.
Zulfa yang merasa was-was hanya menunduk. Ia takut jika Rio tahu dia di tempat yang sama, maka rencananya akan sia-sia. Apalagi posisi Zulfa dan Rio saling membelakangi.
"Aku akan memesan makanan," pamit Fikri.
Zulfa tak menjawab. Ia hanya fokus mendengarkan obrolan Rio dengan wanita itu.
"Rio, apa kamu masih mencintai Zulfa?"
Jantung seolah berhenti berdetak. Serta aliran darah yang berhenti mengalir, membuat Zulfa tiba-tiba merasa dingin kala mendengar namanya disebut.
"Entalah ... aku bingung."
"Bingung kenapa? Memangnya kamu nggak pengen punya anak?" Suara wanita itu begitu manja dan mendayu. Seperti dibuat-buat.
Tangan Zulfa mengepal erat.
"Aku ingin sekali, Amara. Tapi, nyatanya kami masih belum dikaruniai keturunan sampai sekarang."
Kedua mata Zulfa terpejam. Rahangnya kian mengeras. Diremasnya sweater yang ia kenakan.
"Aku siap, jika kamu menjadikan aku ... istri keduamu jika kamu tidak bisa menceraikannya."
"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya.Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua."Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan."Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri."Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.
Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad
Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m
Sudah dua minggu Zulfa tinggal bersama sang Ibu. Dan sejak itu, Fikri sering datang berkunjung dengan membawa berbagai macam cemilan dan buah-buahan."Fik, tolong jangan begini. Meski aku sudah pisah sama Mas Rio, tapi kami belum benar-benar bercerai," ujar Zulfa saat Fikri menemuinya dengan membawa sekotak coklat berbentuk hati siang ini.Bu Umi keluar dengan membawa nampan yang di atasnya sudah ada teko berisi teh dan dua cangkir. Beliau menaruhnya di meja dan mengisi cangkir tersebut lalu memberikannya ke Fikri."Maafkan saya, Bu ... saya selalu merepotkan Ibu setiap kali ke sini," ucap Fikri sambil menunduk."Nggak papa, Le. Diminum dulu tehnya," kata Bu Umi ramah. Fikri mengangguk, lantas menyesap tehnya perlahan-lahan."Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Bu Umi."Saya kerja, Bu. Pulang kerja langsung ke sini. Maaf, ya jika kalian bosan karena katemu saya terus-terusan." Fikri terkekeh.Zulfa tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sen
Pak Setyo berniat untuk mengunjungi Zulfa untuk meminta maaf. Beliau sudah teramat menyayanginya seperti anak sendiri. Setiap kali beliau sakit, Zulfa lah yang selalu memperhatikan, mulai dari makanan hingga pakaian yang dikenakannya.Sedangkan Bu Salma, beliau lebih senang dengan dunianya sendiri. Sebenarnya, Bu Salma juga menyayangi Zulfa. Namun, kenyataan bahwa Zulfa tak kunjung hamil membuat beliau sedikit malas pada menantunya itu."Mau ke mana, Yah?" tanya Bu Salma. Beliau sedang memasak sop iga untuk Amara.Rio bilang, bahwa ia dan Amara akan datang malam ini."Mau menemui Zulfa. Kamu mau ikut?" tawar Pak Setyo sambil memakai jaket kulitnya."Ngapain, sih, Ayah mau ke sana? Dia kan udah bukan menantu kita lagi," ketus Bu Salma."Itu menurutmu! Tapi, aku tetap menganggapnya anakku," tegas Pak Setyo
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.