"Dia ... selingkuhanmu, kan?" tuduh Zulfa dengan tatapan tajam dan mata merah usai menangis.
Rio membuang muka. Ia merasa malas berdebat tengah malam, khawatir jika ada tetangga yang lewat lalu mendengarnya. Orang yang tidak menyukainya akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak jika perdebatannya dengan Zulfa didengar.
"Jangan menuduhku selingkuh. Aku tak akan pernah melakukan itu padamu!" jawab Rio dengan tegas dan penuh penekanan.
"Jangan bohong, Mas! Aku merasa selama beberapa hari ini sikapmu berubah! Kamu berangkat sebelum aku bangun, terus aku sudah lelah memasak malah kamu nggak makan sedikit pun! Menoleh pun tidak! Apa kamu tau gimana rasanya, Maaass?" Zulfa meraung sambil menepuk-nepuk dadanya. Mengungkapkan amarah dan sesak dalam dadanya.
Rio bergeming. Ia hanya menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya ia iba, namun ia tak bisa apa-apa.
"Lalu, sekarang ... kenapa rambutmu basah? Kamu nggak pernah loh mandi tengah malam," selidik Zulfa dengan tatapan menyipit.
"Em ... aku memang baru saja mandi. Kamu ... eh, aku nggak mungkin tidur seranjang denganmu dengan tubuh bau, kan?" jawab Rio dengan bercampur kekehan.
Zulfa berdecih, menurutnya jawaban Rio tak masuk akal. Mengapa Rio sangat peduli dengan wangi tubuhnya, padahal ketika kentut saja tak tahu tempat.
Ia juga ingin bertanya juga perihal lingerie merah yang ditemukannya dalam koper. Namun, ia urungkan. Siapa tahu, Zulfa akan menemukan siapa wanita yang akan menerima pakaian minim bahan seperti itu. Mungkin saja ... wanita yang pernah menelponnya.
"Sudahlah, Sayang ... jangan bicara yang tidak-tidak. Aku tidak akan mengkhianati kamu. Aku lelah sekali .. jangan marah, ya," bujuk Rio. Kini, ia mencoba memeluk Zulfa. Namun, dengan sigap, Zulfa menepis tangan Rio dan meninggalkannya sendiri.
Zulfa telah merebahkan tubuhnya saat Rio masuk ke kamar mereka. Rio berganti pakaian dan ikut membaringkan tubuh di sebelah Zulfa.
"Maafkan aku, ya jika aku tidak pernah makan masakanmu beberapa hari ini," ucap Rio sambil menyentuh pipi Zulfa.
Zulfa yang semula terpejam, seketika membuka mata. "Iya. Lupakan saja," ucapnya cuek.
"Sungguh, aku tidak bermaksud menyakitimu." Rio berusaha bersikap manis.
"Hentikan, Mas ... Aku sudah memaafkanmu. Jangan mengulangi kalimat yang sama, aku bosen dengernya," ketus Zulfa.
Rio tersenyum, namun Zulfa malah muak melihatnya. Ia memutuskan membuang muka dan memejamkan mata.
"Sayang ... aku pengen ...," ujar Rio, ia meraba bagian sensitif Zulfa.
"Aku ngantuk!" ketus Zulfa sambil mengempaskan tangan Rio, lantas berbalik membelakangi Rio.
Rio mengusap wajahnya kasar. Mungkin, saat ini Zulfa benar-benar marah padanya. Malam ini, ia harus rela tidur tanpa mendapat jatah dari sang istri.
Sedangkan Zulfa, ia menahan tawa karena menolak ajakan Rio. Ia tahu jika hal itu salah, namun entah mengapa ia merasa enggan untuk melakukannya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya jijik melakukan hubungan dengan Rio.
Mengingat rambut basah Rio, membuatnya berpikir jauh. Apakah dia baru saja mandi junub? Entahlah ...
Tak butuh waktu lama, Rio sudah terlelap menuju alam mimpi. Zulfa yang sedari tadi masih terjaga bangkit dan melirik nakas sebelah suaminya. Benda pipih yang selalu menyita waktu Rio itu teronggok di sana.
Dengan gerakan perlahan, Zulfa bangkit dan berjalan perlahan ke samping Rio untuk mengambil ponsel. Ia sampai menahan napas, takut jika Rio terbangun karena merasa ada pergerakan yang mencurigakan.
"Aku akan mendapatkan buktinya di sini!" ucap Zulfa dalam hati sambil mengotak-atik ponsel Rio di kursi sudut kamar.
Sesekali, matanya melirik ke arah Rio. Ia takut jika Rio tiba-tiba terbangun.
Tujuan utamanya adalah galeri foto. Dengan teliti, ia berselancar, turun ke bawah melihat satu persatu foto di sana. Tanpa terlewat. Kedua matanya tetap fokus, meski rasa kantuk kian hebat mendera.
Selang bebepa menit, ia membuang napas kesal. Zulfa harus menelan kekecewaan karena tak mendapati foto yang mencurigakan. Dalam galeri ponsel Rio, hanya ada fotonya dan juga foto Rio.
Apakah Rio sudah menghapusnya? Pertanyaan itu melintas dalam benaknya.
Ia kembali fokus pada ponsel Rio. Kini, ia beralih mencari bukti ke pesan w******p, massanger, ataupun i*******m. Dan hasilnya pun tetap sama. Ia tak menemukan hal ganjil dalam semua pesan-pesan Rio. Apa Rio sudah menghapusnya juga?
Zulfa memejamkan mata, lantas menarik napas panjang untuk mengusir rasa kesal yang semakin besar. Diletakkannya ponsel Rio ke tempat semula. Mungkin, ia harus mencari siasat lain untuk membongkar rahasia Rio.
Ketika kedua mata hendak terpejam sempurna, Zulfa mengingat satu hal. Nomor ponsel wanita itu. Ya, dia akan menyocokkan nomor ponsel wanita yang menelponnya dengan kontak di ponsel suaminya. Dengan begitu, ia akan membongkar satu rahasia Rio.
Zulfa melirik Rio yang masih terlelap. Tak menunggu lama, ia menyahut kembali ponsel Rio. Ia mencari nomor wanita itu di ponselnya dan mengetikkannya di ponsel Rio. Dan ternyata ...
Saat Zulfa menekan tombol panggil, tertera nama ... Azka.
Ia berdecih menutup panggilan telepon yang sudah tersambung. Ia lantas bangkit dan menatap Rio dengan penuh kekecewaan.
"Aku akan mencari tau semuanya. Lakukan saja apa yang bisa membuatmu senang," ujar Zulfa sambil meletakkan kembali ponsel milik Rio.
***
Zulfa bangun dengan kedua mata yang terasa berat, karena ia tidur saat pagi menjelang. Gegas ia membersihkan diri dan menyiapkan sarapan. Sedangkan, Rio. Pria itu masih meringkuk di atas ranjang.
Zulfa menatap sekilas ke arah Rio. Lantas, ia kembali melangkah keluar ke arah pintu.
Rio mengerjapkan mata perlahan-lahan saat mendengar suara penggorengan dari lantai bawah. Ia menyisir pandang ke samping dan seluruh ruangan. Ternyata, Zulfa sudah lebih dulu bangun.
Pagi ini ... ia kesiangan.
"Kenapa tidak membangunkan aku?" todong Rio sambil berjalan menuruni tangga. Kedua tangannya membenarkan letak krah kemejanya.
"Aku lihat kamu terlalu lelap. Biasanya, kalau kamu tidur sampai mendengkur begitu, kamu terlalu ... lelah karena terlalu puas bermain." Zulfa tersenyum sinis.
Rio tampak gelagapan.
"Maksud kamu apa, sih, Yang?"
"Memang aku salah, ya, Mas? Kan kamu pulangnya larut malam habis main sama temen-temenmu. Tentu kamu capek, dong," kata Zulfa melihat gelagat aneh dari wajah Rio.
Rio terkekeh. "Iya. Kamu memang istri pengertian. Aku capek memang habis ngabisin waktu sama temen-temen," ucapnya dengan senyum yang berbeda menurut Zulfa.
Jika biasanya Zulfa luluh dengan mendengar Rio melontarkan kalimat pujian. Sekarang, ia merasa ... muak. Jijik!
"Kamu sarapan dulu!" titah Zulfa tanpa menoleh. Ia sedang menyelesaikan tugasnya mencuci piring dan peralatan dapur yang baru ia gunakan.
Alis Rio saling bertaut. "Kamu gak sarapan juga?"
"Nanti saja. Aku masih harus menyelesaikan ini."
Suara gesekan piring dan panci membuat Rio tak bertanya lagi. Ia menyendok nasi dan lauk ke atas piringnya. Lalu, makan dalam diam seraya menatap Zulfa yang mendiamkannnya.
"Aku berangkat, ya. Jaga dirimu," ucap Rio. Ia mendekati Zulfa. Mengulurkan tangannya. Zulfa menyambut dan mencium tangannya tanpa ekspresi.
"Aku harap kamu nggak marah lagi," kata Rio sebelum berangkat.
"Iya," sahut Zulfa.
Untuk pertama kalinya, Zulfa tak mengantar Rio sampai ke pintu. Hatinya terlalu kecewa dengan sikap Rio. Bisa-bisanya, nomor seorang wanita diberi nama Azka dalam ponselnya.
Mengapa?
"Apa kamu takut jika aku mengecek ponselmu?!"
"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?"Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh.Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya."Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai.Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.
"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya.Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua."Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan."Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri."Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.
Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
"Aku ingin cerai saja, Buuu ...."Zulfa terisak dalam pelukan sang Ibu, hatinya yang telah rapuh semakin lapuk saat berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia tak bisa bersikap tegar. Berhadapan dengan sang Ibu, membuatnya kembali seperti anak kecil yang membutuhkan belaian ketenangan dan pelukan kasih sayang."Ceritakan semuanya pada Ibu. Berbagilah kesedihanmu dengan Ibu, agar beban di hatimu bisa berkurang dan kamu bisa sedikit lega," tutur Bu Umi dengan tutur katanya yang selalu lemah lembut. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasa tenang.Zulfa menceritakan semuanya, tentang perubahan sikap Rio, lingerie merah, serta wanita bernama Amara. Bu Umi mendengarkannya dengan sesekali menghela napas. Sebagai Ibu, tentu saja Bu Umi merasakan kekecewaan yang amat dalam pada Rio. Putri yang ia percayakan telah disakiti sedemikan dalam oleh pria yang beliau percaya."Sabar, Nak. Semua kejad
Rio memandang setiap sudut rumahnya dengan hati terluka. Sejak kepergian Zulfa semalam, ia merasa rumah ini bagai tak ada kehidupan. Biasanya, ia mendengar suara penggorengan ataupun mendapati Zulfa tengah memasak. Namun, kini semua telah sirna.Pagi ini, Rio berencana akan menemui orang tuanya dan mengatakan semuanya. Entah bagaimana reaksi mereka jika mengetahui rumah tangga anak mereka telah hancur.Tok-tok-tok!!!Suara ketukan pintu menyadarkan Rio dari lamunannya. Ia bergegas membuka pintu dengan senyum terukir jelas. Ia berharap jika itu Zulfa yang kembali lagi.Akan tetapi, senyum di bibir Rio seketika pudar, saat Amara berdiri di depannya dengan wajah ditekuk. Bibirnya manyun, jelas tergambar bahwa ia tengah kesal."Amara?""Aku ingin kita segera menikah!" todongnya dengan menyerahkan sebuah bungkusan kertas berwarna putih biru.Dahi Rio m
Sudah dua minggu Zulfa tinggal bersama sang Ibu. Dan sejak itu, Fikri sering datang berkunjung dengan membawa berbagai macam cemilan dan buah-buahan."Fik, tolong jangan begini. Meski aku sudah pisah sama Mas Rio, tapi kami belum benar-benar bercerai," ujar Zulfa saat Fikri menemuinya dengan membawa sekotak coklat berbentuk hati siang ini.Bu Umi keluar dengan membawa nampan yang di atasnya sudah ada teko berisi teh dan dua cangkir. Beliau menaruhnya di meja dan mengisi cangkir tersebut lalu memberikannya ke Fikri."Maafkan saya, Bu ... saya selalu merepotkan Ibu setiap kali ke sini," ucap Fikri sambil menunduk."Nggak papa, Le. Diminum dulu tehnya," kata Bu Umi ramah. Fikri mengangguk, lantas menyesap tehnya perlahan-lahan."Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Bu Umi."Saya kerja, Bu. Pulang kerja langsung ke sini. Maaf, ya jika kalian bosan karena katemu saya terus-terusan." Fikri terkekeh.Zulfa tersenyum samar. Dalam hatinya, ia sen
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.