Zulfa memandang suaminya–Rio, dengan pelbagai pertanyaan yang berputar dalam benaknya. Semenjak kepulangan Rio dari luar Kota, tingkahnya banyak berubah. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama handphone dari pada dengannya.
Padahal, dulu Rio lebih senang bermanja dengannya dari pada bermain ponsel. Bahkan, sekarang saat masakan Zulfa telah terhidang, Rio sama sekali tak meliriknya. Dia masih asyik tersenyum bersama benda pipih pintar miliknya. Ia merasa tak dihargai.
"Mas, makan lah makananmu! Akan tidak enak jika kamu membiarkannya terlalu lama," ujar Zulfa. Rio tersadar. Ia mengangguk dan tersenyum.
"Iya, Sayang. Makasih, ya." Rio menyendok mie ayam buatan istrinya.
"Masakanmu memang tiada tanding, Yang," puji Rio dengan mulut penuh makanan. Sesekali tersenyum memandang Zulfa.
Zulfa tersipu, kedua pipinya memerah. Bukan pertama kalinya ia dipuji seperti itu. Namun, mendengar berulang kali pujian dari Rio, ia merasa seperti wanita yang paling bahagia. Memiliki suami yang selalu memperlakukannya dengan baik, menjadi poin penting dalam hidup Zulfa.
Pernikahan Zulfa dan Rio telah berjalan tiga tahun. Belum ada keturunan yang lahir di dalam rumah tangga mereka. Namun, keharmonisan masih nampak jelas di antara keduanya. Tidak ada yang menyinggung soal keturunan. Bagi mereka, keturunan adalah hak Yang Maha Kuasa.
Selepas makan, saat Zulfa mencuci piring ia mengernyit heran. Rio telah berganti pakaian dengan memakai pakaian kantor. Padahal, jam telah menunjukkan angka lima.
"Mau kemana, Mas?" Zulfa bertanya sambil menghampiri Rio yang sudah terlihat tampan dan rapi. Aroma parfum menguar menusuk indra penciumannya.
"Aku mau keluar sebentar, Sayang. Barusan klienku telepon. Dia ngajak ketemu buat membahas masalah bisnis di kantor," tutur Rio. Ia menangkup kedua pipi Zulfa, saat melihat wajah Zulfa berubah muram.
"Kenapa nggak besok aja, sih, Mas? Mas kan baru pulang dua jam yang lalu. Aku kan masih kangen," protes Zulfa dengan bibirnya yang manyun. Ia merasa kesal, karena waktu Rio untuknya mulai berkurang.
Rio mendekatkan wajahnya. Ia tersenyum, lalu bibirnya mengecup lembut bibir kemerahan Zulfa. Seketika, wajah Zulfa berubah bak kepiting rebus.
"Kenapa? Malu, ya?" goda Rio.
"Apa, sih, Mas. Enggak, kok," sanggah Zulfa sambil menutupi kedua pipinya.
"Kita sudah menikah hampir tiga tahun loh, Yang. Kenapa masih malu-malu?" Rio mendekap Zulfa yang kini membelakanginya.
"Jangan berpikir macam-macam. Aku hanya akan fokus bekerja untuk masa depan kita. Tidak untuk yang lainnya. Fokuskan pikiranmu dengan hal-hal yang positif. Oke?" bisik Rio tepat di telinga Zulfa.
Zulfa berbalik. Ia memeluk Rio dengan penuh sayang. "Maaf, Mas. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh denganmu," ucapnya, jujur.
"Itu hanya perasaanmu saja," kata Rio sambil mengusap rambut panjang Zulfa. Dikecupnya puncak kepala Zulfa berkali-kali.
Zulfa mengangguk. Walaupun dalam hati ia masih bimbang. Hatinya merasa bahwa ada yang disembunyikan oleh Rio. Namun, melihat ketulusan Rio, semua pikiran buruk tentang suaminya berhasil ia singkirkan.
"Aku berangkat dulu, ya. Jaga dirimu," kata Rio setelah meyakinkan Zulfa
Zulfa kembali mengangguk. Ia lantas mencium punggung tangan Rio dan mengantarkannya sampai ke depan pintu.
"Apakah kamu nanti pulang malam?" tanya Zulfa. Ia masih tak rela jika Rio pergi lagi. Meninggalkannya sendirian di rumah.
"Paling jam sembilan aku sudah di rumah."
Zulfa merasa ragu mendengar jawaban Rio. Namun, ia hanya bisa diam. Tak dapat mengungkapkan isi hatinya yang terus gelisah tak menentu.
Rio memasuki mobil dan mengendarainya hingga keluar halaman. Zulfa memandang mobil berwarna silver itu hingga hilang dalam pandangannya.
Zulfa teringat bahwa tadi belum merapikan pakaian Rio yang berada di dalam koper. Karena, sepulangnya Rio dari luar kota, mereka menuntaskan rindu yang telah memuncak layaknya suami istri.
"Berat banget, sih, kopernya," gerutu Zulfa saat mengangkat koper milik Rio.
Zulfa mengernyit heran saat mengeluarkan pakaian Rio. Pakaian milik Rio masih terlihat rapi, seolah belum terpakai sama sekali. Namun, sekali lagi ia menepis pikiran buruk yang melintas di kepalanya. Mungkin saja, sebelum pulang, Rio sudah me-laundy semua pakaiannya.
Dengan perasaan tak menentu, Zulfa mengeluarkan satu per satu pakaian Rio dan menatanya di lemari. Dahinya kembali mengernyit heran. Saat mencium aroma parfum wanita.
Ya, Zulfa yakin jika ia menciun aroma parfum. Aroma parfum ini bukanlah miliknya. Lalu, milik siapa? Apalagi aromanya semakin menguar saat pakaian di koper Rio tinggal separuh.
Saat Zulfa mengangkat satu pakaian yang tersisa, senyum di bibirnya terbit. Ia melihat ada sebuah lingerie berwarna merah yang masih terbungkus rapi. Apakah Rio akan memberikan dia kejutan malam ini? Membayangkannya saja, pipi Zulfa kembali merona.
Dengan hati-hati, ia meletakkan kembali lingerie itu ke dalam koper. Ia akan menunggu Rio memberikan langsung padanya. Diletakkannya koper tersebut kembali ke tempatnya.
***
Bu Salma menanti kedatangan putranya, Rio. Dua minggu yang lalu Rio berpamitan bahwa akan ditugaskan di Kalimantan. Dengan bangga, beliau mengizinkan dan mendoakan.
"Yah, Rio seharusnya sudah pulang. Tapi, kenapa dia belum ke sini, ya?" ujar Bu Salma.
Pak Setyo yang tengah memotong rumput di belakang rumah hanya menjawab," Ya, tentunya dia masih kangen-kangenan sama istrinya, Bu. Sudahlah, nanti juga ke sini. Jangan diangen-angen terus."
"Ya mau gak diangen-angen gimana? Wong dia anak lelakiku satu-satunya," omel Bu Salma.
Pak Setyo hanya geleng-geleng menanggapi sikap istrinya.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Zulfa menunggu Rio pulang dengan hati berdebar. Apakah malam ini, Rio akan mengajaknya kembali bermain di peraduan? Setelah melihat lingerie itu, tak henti-hentinya, wajahnya tiba-tiba memanas dan disertai oleh debaran jantung yang tak keruan.
Zulfa mengecek ponselnya. Berharap Rio menghubunginya untuk menanyakan apa yang sedang ia lakukan. Seperti dulu ... Rio selalu bertanya, sedang apa, sudah makan belum atau kata-kata rindu dan romantis.
Tetapi, harapan hanyalah angan. Zulfa kembali kecewa karena tak mendapatkan satu pesan pun yang ia tunggu. Apakah Rio sesibuk itu? pikirnya.
Zulfa memutuskan menunggu di ruang tamu saat jam telah menunjuk angka sembilan. Sore tadi, Rio berkata bahwa jam sembilan akan sampai di rumah. Tetapi, kenyataannya tak sesuai.
"Kenapa kamu belum pulang, Mas?" Tiba-tiba muncul rasa khawatir dalam hati Zulfa.
Ia takut jika sesuatu yang buruk menimpa suaminya. Apakah suaminya sampai tujuan dengan selamat? Atau kah ia kembali pulang tanpa kendala?
Zulfa memutuskan menelpon Rio untuk memastikan. Namun, hanya sambungan telepon yang terdengar. Tak ada sahutan sama sekali walau Zulfa mencoba beberapa kali.
Zulfa bingung sekaligus khawatir. Ia mondar-mandir di depan pintu menunggu kedatangan Rio. Sesekali matanya menatap layar ponsel, siapa tahu Rio akan mengabarinya.
Satu jam berlalu, tetapi tetap tak ada kabar. Kedua mata Zulfa begitu berat. Ia bersandar di sofa dengan mata yang begitu berat, seolah ada beban yang membuat matanya tak kuat terbuka. Tanpa sadar, ia pun terlelap.
***
Zulfa mengerjapkan mata berkali-kali saat mendengar suara gedoran pintu. Ia menajamkan pendengaran saat suara pria memanggil namanya berulang-ulang.
"Zuulfaaaaa ... bukaa pintunyaa!" teriaknya.
"Mas Rio?!" gumam Zulfa. Ia segera berlari ke pintu.
"Benar, itu Rio. Mengapa aku tidak mendengar deru mobilnya tadi? Apa aku terlalu terlelap tadi?" batin Zulfa.
"Mas, kamu baru pulang?" tanya Zulfa seraya melirik jam dinding yang jarumnya bertengger di angka dua belas.
"Iya, Yang. Maaf, ya. Tadi Mas ngobrol sama teman-teman sampai nggak tahu waktu," jelas Rio.
Zulfa melongok ke depan. "Ke mana mobilmu, Mas?" tanyanya.
"Eumm ... anu, itu ... mobil masih di bengkel soalnya tadi mesinnya ada yang korslet," jawab Rio, terbata-bata.
"Lalu kamu barusan pulangnya gimana?"
"Di anter sama temenku, Yang. Sudah, yuk kita masuk. Aku ngantuk sekali," ujar Rio. Kedua matanya memang sudah tampak merah. Zulfa mengangguk, meski ia tak percaya dengan jawaban Rio. Namun, untuk terus bertanya, Zulfa tak tega.
"Mas, kenapa tadi saat aku telepon kamu nggak jawab?" todong Zulfa setelah mereka merebahkan diri di peraduan.
"Aku nggak pegang hape. Hapeku tadi ada di mobil. Ketinggalan! Maaf, ya," jawab Rio sambil mengusap rambut panjang Zulfa.
Tak berselang lama, suara dengkuran halus terdengar. Rio telah terlelap dengan posisi memunggungi Zulfa. Zulfa tersenyum kecut. Padahal, ia menunggu Rio memberikan lingerie yang ia temukan di koper sore tadi. Tapi ...
"Apakah dia berniat memberikannya pada wanita lain?" gumamnya.
Zulfa menghela napas, mengusir rasa sesak yang perlahan hadir. Entah mengapa, ia merasa bahwa Rio membohonginya. Ia merasa dia tidak pergi bekerja.
Lalu ... mobilnya? Aneh sekali jika tiba-tiba ada di bengkel. Padahal, ia tahu mobil itu baik-baik saja.
Zulfa memerjamkan mata, berharap besok semua pertanyaannya ini akan mendapatkan jawaban.
"Aku berangkat dulu. Kamu hari ini sarapan sendiri, ya. Aku buru-buru soalnya." Rio turun dari tangga dengan tergesa-gesa dengan tangan kanannya yang terus menyisir rambut.Zulfa bingung dengan sikap Rio. Padahal waktu masih terlalu pagi untuk bekerja. Ayam tetangga pun masih bergulung di peraduan mengerami telurnya. Bahkan, matahari belum nampak bangun dari peraduan."Kenapa pagi sekali, Mas?" tanya Zulfa dengan tatapan tak suka. Kedua matanya menatap Rio tajam."Iya. Habis gimana, ya... Klienku dari Kalimantan baru sampai hari ini. Dia ngajak ketemu sekarang juga," jelas Rio."Tapi ... kenapa kamu dandan gitu?""Maksudmu aku harus pakai kaos dan celana bokser?"Zulfa mendesah. "Maksudku kenapa rambutmu klemis dan wangi parfummu semerbak kayak gini? Kamu gak lagi bohongin aku kan, Mas?" Zulfa memberikan tatapan menyelidik.Rio terkekeh. "Ingat perkataanku
Memiliki seorang suami, namun hidup bagaikan seorang janda. Itulah yang Zulfa rasakan kini. Ia merasa bahwa ada jarak yang terbentang lebar di antara ia dan Rio."Sebenarnya kamu kenapa, Mas?" lirih Zulfa berucap. Ditatapnya wajah Rio yang terlihat tenang dalam dengkuran halusnya. Dadanya naik turun secara teratur, pertanda ia benar-benar terlelap. Mungkin, ia memang kelelahan.Sesekali, senyum di bibir Rio terukir seolah ia tengah memimpikan hal yang bahagia. Wajahnya begitu tampan. Hal yang membuat Zulfa takut jika ketampanan yang dimiliki suaminya itu akan menjadi bumerang untuknya.Mungkin, sekarang.'Apa kamu sedang memimpikanku, Mas?' batin Zulfa bertanya sendiri. Pikiran negatif selalu melintas dalam kepalanya. Apakah sekarang ia tengah terbuai mimpi sedang bersama wanita lain?Entahlah, ia hanya bisa menebak-nebak.Ia teringat tentang pesan-pesan sang Ibu. Agar tak
"Dia ... selingkuhanmu, kan?" tuduh Zulfa dengan tatapan tajam dan mata merah usai menangis.Rio membuang muka. Ia merasa malas berdebat tengah malam, khawatir jika ada tetangga yang lewat lalu mendengarnya. Orang yang tidak menyukainya akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak jika perdebatannya dengan Zulfa didengar."Jangan menuduhku selingkuh. Aku tak akan pernah melakukan itu padamu!" jawab Rio dengan tegas dan penuh penekanan."Jangan bohong, Mas! Aku merasa selama beberapa hari ini sikapmu berubah! Kamu berangkat sebelum aku bangun, terus aku sudah lelah memasak malah kamu nggak makan sedikit pun! Menoleh pun tidak! Apa kamu tau gimana rasanya, Maaass?" Zulfa meraung sambil menepuk-nepuk dadanya. Mengungkapkan amarah dan sesak dalam dadanya.Rio bergeming. Ia hanya menatap istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Sejujurnya ia iba, namun ia tak bisa apa-apa."Lalu, sekarang ... kenapa rambutmu basah? Kamu nggak pernah loh mandi tengah
"Kenapa nomor hape wanita itu kamu beri nama Azka? Kenapa?"Zulfa menatap kepergian suaminya. Entah pergi berkerja atau ... berselingkuh.Ia sudah menyiapkan rencana untuk hari ini. Dirogohnya hape dalam saku roknya, lantas menghubungi seseorang untuk bekerja sama menjalankan misinya."Aku tunggu. Berangkatlah sekarang!" titah Zulfa pada seseorang di seberang telepon.Zulfa bergegas ke kamarnya untuk berganti baju. Ia memakai celana jeans, kecamata, dan juga topi. Rambut yang biasa ia ikat kini dibiarkan tergerai.Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Cukup berbeda. Tak akan ada orang yang tau jika itu dirinya. Zulfa tersenyum, merasa senang karena sebentar lagi ia bisa membongkar kebusukan suaminya. Semoga saja!Saat suara bel terdengar, Zulfa bergegas turun setelah mengenakan sweater merah yang telah lama tersimpan dalam lemari. Rio tak akan curiga, karena ia tak pernah teliti dengan baju yang dimiliki Zulfa.
"Aku bersedia menjadi ... istri keduamu. Jika kamu belum bisa menceraikannya."Seketika darah Zulfa mendidih. Hatinya remuk, bagai dihantam ombak yang besar lalu terseret mengahantam bebatuan. Setetes demi setetes air mata turun hingga membasahi kedua tangannya.Ia yakin, wanita yang menelponnya waktu itu adalah yang kini sedang bicara dengan Rio. Wanita bernama Amara itu dengan tanpa rasa berdosa dan tanpa rasa malu, meminta Rio untuk menjadikannya istri kedua."Jangan gila, Ra. Aku tidak suka punya dua istri. Bisa repot aku nanti," sahut Rio. Namun, disertai dengan kekehan."Kalau begitu, ceraikan saja istrimu. Toh dia nggak ada gunanya. Gak bisa hamil, kan?" kata Amara yang begitu menohok.Fikri datang dan segera merapatkan kursinya di samping Zulfa. Dirangkulnya Zulfa dari samping, namun Zulfa menolak. Ia masih waras untuk tidak menerima dekapan pria lain disaat statusnya masih seorang istri."Kamu masih mau di sini?" bisik Fikri.
Rio pulang dengan wajah berseri-seri. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Zulfa yang memahami apa penyebabnya hanya tersenyum miring. Ia akan terus berakting seperti orang yang tak tahu apa-apa."Assalamu'alaikum, Yang," salamnya."Wa'alaikum salam. Baru pulang?" balas Zulfa sambil meraih tangan Rio seperti biasanya."Iya. Oh, ya. Aku bawain makanan buat kamu. Nih!" Rio menyodorkan makanan pada Zulfa.Zulfa tersenyum saat menerimanya. Namun, ketika membaca nama pada kantong plastiknya, seketika wajahnya kembali datar. Rio membelinya di restoran tempat di mana Zulfa melihatnya bertemu dengan wanita lain."Aku sudah kenyang, Mas. Kamu makan aja, ya. Soalnya aku nggak masak buat makan sore ini," kata Zulfa. Bagaimana ia bisa memakannya, melihatnya saja darahnya kembali mendidih."Wah, padahal aku tadi beli ini karena teringat sama kamu, Yang.""Maaf, ya,"
"Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?" Kedua mata Zulfa tak lepas menatap Amara.Ternyata, nyali Amara menciut saat bertatap muka secara langsung dengan Zulfa. Berbeda sekali saat membicarakannya di belakang. Kejam dan menusuk!"Jawab!" Sentakan Zulfa membuat tubuh gadis berkulit putih itu terlonjak."Aku dan suamimu hanya berteman, Zulfa. Hubungan kami hanya sebatas teman bisnis saja." Amara mulai menjawab. Meski kedua tangannya bergetar."Oh, ya. Bukankah aku memintamu menjawab dengan jujur ... Amara?" Satu alis Zulfa naik."Aku sudah berkata jujur," tegas Amara.Zulfa mengangguk-angguk. Ia bersikap sesantai mungkin meski hati terasa bergejolak ingin memaki-maki."Kamu adalah wanita yang cantik, Amara. Aku yakin, banyak pria yang ingin memilikimu. Tapi, kukira kamu hanya menyukai pria beristri saja." Zulfa kini berjalan-jalan sembari melihat-lihat foto yang terpajang di setiap dinding."Zulfa! Aku sudah bilang, a
"Sayang, kamu belum tidur?" Rio yang baru saja masuk ke kamar, mendapati Zulfa tengah berdiri menghadap jendela."Kita cerai saja, Mas!"Kedua tangan Rio yang hendak membuka kancing kemejanya seketika terhenti. Ia menatap Zulfa yang masih setia menghadap jendela, untuk memastikan bahwa ia salah dengar. Namun, Zulfa tetap bergeming di tempatnya."Maksud kamu apa, Sayang?""Kita cerai saja. Aku tidak ingin tinggal dengan pria yang telah mengkhianatiku." Ucapan Zulfa terdengar pelan. Namun, mampu menusuk relung hati Rio."Aku nggak salah dengar, kan?" Rio masih meyakinkan apakah Zulfa benar-benar mengucapkan kata cerai."Aku yakin kalau kamu nggak tuli, Mas!" ketus Zulfa. Ia berbalik menatap Rio tajam. Wajahnya begitu dingin seolah tak dapat disentuh."A-apa kamu tahu semuanya?" Rio melempar tanya dengan hati-hati, meski ia sudah tahu rahasianya sudah terbongkar.Zulfa melengos, ia melangkah ke ranjang dan mengeluarkan
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.