Share

Terbakar Emosi

"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan."

Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini.

Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu?

"Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang.

Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam.

'Aku harus beli obat merah atau plester,' pikirnya.

Livia meninggalkan dapur, mengambil uang dan bersiap untuk menuju toko terdekat. Ia hanya berpakaian sekenanya.

"Mau ke mana?" tegur Marina yang melihat Livia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya.

"Bu, saya mau ke luar sebentar. Tangan saya luka kena pisau waktu mengiris bawang." Livia menjawab sembari memperlihatkan jarinya pada Marina. Jarinya itu masih mengeluarkan darah yang Livia balut dengan tisu.

"Huh! Manja banget," dengkus Marina. "Baru juga luka segitu. Nggak perlulah beli obat segala macam."

"Tapi darahnya nggak berhenti keluar, Bu."

"Langsung belanja bulanan. Stock di kulkas hampir habis."

Livia terdiam mendengar perintah mertuanya. Masalahnya ia tidak punya uang sebanyak itu. Uang dari Rajendra hanya ala kadarnya. Jika Livia gunakan maka ia tidak akan memiliki pegangan lagi.

"Tunggu apa lagi?! Disuruh kok malah diam!" bentak Marina yang kesal melihat Livia termangu.

"Uangnya, Bu?"

"Pakai uang kamu dulu. Nanti minta gantinya sama Rajendra. Ingat, jangan mark up!"

Livia terpaksa mengangguk dan akan memakai uangnya dulu karena ia tidak ingin bertengkar dengan Marina. Ia membatalkan niatnya ke toko terdekat dan mengganti tujuannya ke supermarket.

Taksi yang Livia tumpangi menurunkan perempuan itu tepat di depan supermarket tujuannya.

Livia berjalan kepayahan dengan bantuan tongkatnya. Ia sukses menjadi pusat perhatian banyak orang. Kasihan Livia harus belanja membawa barang-barang sendirian dengan keadaannya yang memprihatinkan.

"Kasihan ya. Aku pikir dengan menjadi istri Rajendra kamu akan diperlakukan seperti ratu. Ternyata malah dijadiin babu. Hahaha."

Livia sontak menoleh ke belakang dan mendapati Utary sudah berdiri di sana. Perempuan itu tertawa mengejeknya.

"Kamu?" ujar Livia terkejut.

"Ya aku. Kekasihnya Rajendra," jawab Utary sambil tersenyum dan mengangkat dagunya, menunjukkan kesombongan.

Livia tidak tahu kenapa bisa bertemu dengan Utary di sana. Entah kebetulan atau bukan. Namun ia tidak mau berurusan dengan perempuan itu. Livia akan mendorong trolinya. Sebelum ia berhasil lolos, dengan cepat Utary menghadang di depan benda itu.

"Kenapa menghindariku? Merasa minder karena aku lebih cantik, lebih sempurna dan nggak cacat seperti kamu? Oh iya, aku juga nggak mandul seperti kamu." Utary menyeringai setelah puas menghina Livia.

Dihina sedemikian rupa membuat sudut-sudut mata Livia menghangat. Namun ia tidak akan menunjukkannya pada Utary.

"Minimal ngaca dululah. Perempuan seperti kamu sama sekali nggak pantas jadi istri Rajendra. Kamu hanya bikin dia malu. Lihat tuh penampilanmu kayak babu gitu," ejek Utary lagi.

"Apa maumu?" tanya Livia pada perempuan itu.

"Aku mau Rajendra," jawab Utary lugas.

"Silakan ambil dia. Itu pun kalau dia mau denganmu." Setelah menyampaikan perkataannya Livia langsung mendorong troli dengan kuat hingga mengenai perut buncit Utary.

Perempuan itu mengaduh kesakitan dan berteriak-teriak memanggil Livia.

"Hai, berhenti! Tunggu dulu! Livia! Kamu akan menyesal atas perbuatanmu hari ini. Rajendra akan menikah denganku dan menceraikan kamu!"

Livia mendengar semua perkataan Utary namun tidak peduli. Terserah perempuan itu mau berkata apa.

Livia mendorong troli yang berisi kantong-kantong belanjaan ke luar supermarket. Seperti biasa orang-orang hanya mampu melihatnya. Dulu saat ia jatuh di escalator akibat membawa banyak barang, orang-orang juga hanya bisa menonton.

'Aku harus punya uang sendiri. Kalau nanti Rajendra benar menceraikanku, aku masih punya uang,' batin Livia di dalam taksi yang membawanya pulang.

Tapi apa yang harus ia lakukan? Siapa yang mau memperkerjakan orang cacat sepertinya? Alih-alih akan diterima kerja, orang-orang malah menjauhinya.

Tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepala Livia. Ia akan membuka les untuk anak-anak SD. Dulu saat kuliah Livia mengambil pendidikan guru. Ia ingin menjadi tenaga pendidik. Tapi apa daya. Sepulangnya dari wisuda mobil yang dikendarai ayahnya mengalami kecelakaan. Mengingat semua itu membuat Livia jadi sedih.

"Pak, tolong mampir ke percetakan dulu," pinta Livia pada supir taksi.

Sang supir melihat Livia melalui spion tengah kemudian menganggukkan kepala.

Hari itu Livia membuat selebaran dan menyebarnya di mana-mana. Ia menempelkan di tiang listrik, memberikan pada orang-orang di jalan maupun di stasiun.

Berhari-hari Livia sabar menunggu, berharap akan ada orang yang menggunakan jasanya. Namun tidak ada yang datang. Livia hampir saja putus asa ketika dua minggu kemudian seorang lelaki datang bersama seorang anak perempuan kecil berumur tujuh tahun.

"Selamat malam, benar ini rumah ibu Livia?" tanya laki-laki itu pada Livia yang membukakan pintu.

"Benar sekali, Pak. Ada yang bisa dibantu?"

"Kenalkan saya Ryuga dan ini anak saya Hazel. Saya dapat selebaran, katanya di sini menerima les untuk anak SD."

"Iya, Pak, betul."

"Kebetulan saya mau menggunakan jasa ibu Livia untuk mengajar anak saya. Apa bisa?"

"Bisa, Pak, bisa!" jawab Livia begitu penuh semangat. "Ayo silakan masuk dan duduk dulu."

Ryuga dan Hazel masuk ke dalam rumah. Sepasang ayah dan anak tersebut tercengang melihat Livia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya.

"Maaf, bisa saya bertemu dengan ibu Livia langsung?" tanya Ryuga setelah Livia duduk di hadapannya.

"Saya Livia, Pak."

Livia membuat Ryuga terkejut atas jawabannya. Bagaimana mungkin perempuan pincang ini akan mengajar? Apa bisa? Penampilannya saja kurang meyakinkan.

"Maaf, Pak, ada yang salah?" tanya Livia seolah bisa membaca isi kepala Ryuga.

Lelaki gagah dan masih muda tersebut menggelengkan kepalanya lantaran tidak ingin Livia tersinggung.

Di saat mereka sedang bercakap-cakap Rajendra datang. Pria itu baru saja pulang dari kantor. Melihat ada tamu laki-laki menemui Livia, terlebih gagah dan masih muda, membuat Rajendra langsung menatap tajam pada Livia. Rajendra memberi isyarat pada Livia agar ikut dengannya.

"Maaf, Pak Ryuga, saya tinggal sebentar," pamit Livia sopan. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati meninggalkan tamunya, tapi ia juga khawatir Rajendra marah padanya.

"Siapa dia?" selidik Rajendra setelah Livia tiba di kamar.

"Tamu saya, Ndra. Namanya Ryuga. Nama anaknya Hazel. Mulai hari ini saya akan mengajar les."

"Apa?" Rajendra langsung naik pitam. "Apa uang dariku masih belum cukup juga?"

Nyatanya uang dari Rajendra memang pas-pasan. Tapi jika Livia meminta lebih ia takut akan dianggap materialistis seperti Jihan.

"Katakan berapa yang kamu inginkan? Sebutkan sekarang!"

Livia hanya diam sambil menatap pada Rajendra yang terbakar emosi.

Tiba-tiba lelaki itu mengambil uang di dompetnya kemudian melempar lembaran uang tersebut tepat ke depan muka Livia.

Livia mematung di tempat. Ia tidak tahu mana yang lebih membuat Rajendra marah. Dirinya yang mengajar les atau karena orang tua muridnya adalah lelaki muda dan gagah.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ririn Indah
ngenes sekali kamu Livia. nasibmu jadi anaknya Zizi, disiksa abis²an dari awal sampe akhir...... btw syemangat nulisnya zii, selalu suka karyamu walau kamu suka nyiksa tokoh ceweknya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status