"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan."
Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pikirnya. Livia meninggalkan dapur, mengambil uang dan bersiap untuk menuju toko terdekat. Ia hanya berpakaian sekenanya. "Mau ke mana?" tegur Marina yang melihat Livia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. "Bu, saya mau ke luar sebentar. Tangan saya luka kena pisau waktu mengiris bawang." Livia menjawab sembari memperlihatkan jarinya pada Marina. Jarinya itu masih mengeluarkan darah yang Livia balut dengan tisu. "Huh! Manja banget," dengkus Marina. "Baru juga luka segitu. Nggak perlulah beli obat segala macam." "Tapi darahnya nggak berhenti keluar, Bu." "Langsung belanja bulanan. Stock di kulkas hampir habis." Livia terdiam mendengar perintah mertuanya. Masalahnya ia tidak punya uang sebanyak itu. Uang dari Rajendra hanya ala kadarnya. Jika Livia gunakan maka ia tidak akan memiliki pegangan lagi. "Tunggu apa lagi?! Disuruh kok malah diam!" bentak Marina yang kesal melihat Livia termangu. "Uangnya, Bu?" "Pakai uang kamu dulu. Nanti minta gantinya sama Rajendra. Ingat, jangan mark up!" Livia terpaksa mengangguk dan akan memakai uangnya dulu karena ia tidak ingin bertengkar dengan Marina. Ia membatalkan niatnya ke toko terdekat dan mengganti tujuannya ke supermarket. Taksi yang Livia tumpangi menurunkan perempuan itu tepat di depan supermarket tujuannya. Livia berjalan kepayahan dengan bantuan tongkatnya. Ia sukses menjadi pusat perhatian banyak orang. Kasihan Livia harus belanja membawa barang-barang sendirian dengan keadaannya yang memprihatinkan. "Kasihan ya. Aku pikir dengan menjadi istri Rajendra kamu akan diperlakukan seperti ratu. Ternyata malah dijadiin babu. Hahaha." Livia sontak menoleh ke belakang dan mendapati Utary sudah berdiri di sana. Perempuan itu tertawa mengejeknya. "Kamu?" ujar Livia terkejut. "Ya aku. Kekasihnya Rajendra," jawab Utary sambil tersenyum dan mengangkat dagunya, menunjukkan kesombongan. Livia tidak tahu kenapa bisa bertemu dengan Utary di sana. Entah kebetulan atau bukan. Namun ia tidak mau berurusan dengan perempuan itu. Livia akan mendorong trolinya. Sebelum ia berhasil lolos, dengan cepat Utary menghadang di depan benda itu. "Kenapa menghindariku? Merasa minder karena aku lebih cantik, lebih sempurna dan nggak cacat seperti kamu? Oh iya, aku juga nggak mandul seperti kamu." Utary menyeringai setelah puas menghina Livia. Dihina sedemikian rupa membuat sudut-sudut mata Livia menghangat. Namun ia tidak akan menunjukkannya pada Utary. "Minimal ngaca dululah. Perempuan seperti kamu sama sekali nggak pantas jadi istri Rajendra. Kamu hanya bikin dia malu. Lihat tuh penampilanmu kayak babu gitu," ejek Utary lagi. "Apa maumu?" tanya Livia pada perempuan itu. "Aku mau Rajendra," jawab Utary lugas. "Silakan ambil dia. Itu pun kalau dia mau denganmu." Setelah menyampaikan perkataannya Livia langsung mendorong troli dengan kuat hingga mengenai perut buncit Utary. Perempuan itu mengaduh kesakitan dan berteriak-teriak memanggil Livia. "Hai, berhenti! Tunggu dulu! Livia! Kamu akan menyesal atas perbuatanmu hari ini. Rajendra akan menikah denganku dan menceraikan kamu!" Livia mendengar semua perkataan Utary namun tidak peduli. Terserah perempuan itu mau berkata apa. Livia mendorong troli yang berisi kantong-kantong belanjaan ke luar supermarket. Seperti biasa orang-orang hanya mampu melihatnya. Dulu saat ia jatuh di escalator akibat membawa banyak barang, orang-orang juga hanya bisa menonton. 'Aku harus punya uang sendiri. Kalau nanti Rajendra benar menceraikanku, aku masih punya uang,' batin Livia di dalam taksi yang membawanya pulang. Tapi apa yang harus ia lakukan? Siapa yang mau memperkerjakan orang cacat sepertinya? Alih-alih akan diterima kerja, orang-orang malah menjauhinya. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepala Livia. Ia akan membuka les untuk anak-anak SD. Dulu saat kuliah Livia mengambil pendidikan guru. Ia ingin menjadi tenaga pendidik. Tapi apa daya. Sepulangnya dari wisuda mobil yang dikendarai ayahnya mengalami kecelakaan. Mengingat semua itu membuat Livia jadi sedih. "Pak, tolong mampir ke percetakan dulu," pinta Livia pada supir taksi. Sang supir melihat Livia melalui spion tengah kemudian menganggukkan kepala. Hari itu Livia membuat selebaran dan menyebarnya di mana-mana. Ia menempelkan di tiang listrik, memberikan pada orang-orang di jalan maupun di stasiun. Berhari-hari Livia sabar menunggu, berharap akan ada orang yang menggunakan jasanya. Namun tidak ada yang datang. Livia hampir saja putus asa ketika dua minggu kemudian seorang lelaki datang bersama seorang anak perempuan kecil berumur tujuh tahun. "Selamat malam, benar ini rumah ibu Livia?" tanya laki-laki itu pada Livia yang membukakan pintu. "Benar sekali, Pak. Ada yang bisa dibantu?" "Kenalkan saya Ryuga dan ini anak saya Hazel. Saya dapat selebaran, katanya di sini menerima les untuk anak SD." "Iya, Pak, betul." "Kebetulan saya mau menggunakan jasa ibu Livia untuk mengajar anak saya. Apa bisa?" "Bisa, Pak, bisa!" jawab Livia begitu penuh semangat. "Ayo silakan masuk dan duduk dulu." Ryuga dan Hazel masuk ke dalam rumah. Sepasang ayah dan anak tersebut tercengang melihat Livia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. "Maaf, bisa saya bertemu dengan ibu Livia langsung?" tanya Ryuga setelah Livia duduk di hadapannya. "Saya Livia, Pak." Livia membuat Ryuga terkejut atas jawabannya. Bagaimana mungkin perempuan pincang ini akan mengajar? Apa bisa? Penampilannya saja kurang meyakinkan. "Maaf, Pak, ada yang salah?" tanya Livia seolah bisa membaca isi kepala Ryuga. Lelaki gagah dan masih muda tersebut menggelengkan kepalanya lantaran tidak ingin Livia tersinggung. Di saat mereka sedang bercakap-cakap Rajendra datang. Pria itu baru saja pulang dari kantor. Melihat ada tamu laki-laki menemui Livia, terlebih gagah dan masih muda, membuat Rajendra langsung menatap tajam pada Livia. Rajendra memberi isyarat pada Livia agar ikut dengannya. "Maaf, Pak Ryuga, saya tinggal sebentar," pamit Livia sopan. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati meninggalkan tamunya, tapi ia juga khawatir Rajendra marah padanya. "Siapa dia?" selidik Rajendra setelah Livia tiba di kamar. "Tamu saya, Ndra. Namanya Ryuga. Nama anaknya Hazel. Mulai hari ini saya akan mengajar les." "Apa?" Rajendra langsung naik pitam. "Apa uang dariku masih belum cukup juga?" Nyatanya uang dari Rajendra memang pas-pasan. Tapi jika Livia meminta lebih ia takut akan dianggap materialistis seperti Jihan. "Katakan berapa yang kamu inginkan? Sebutkan sekarang!" Livia hanya diam sambil menatap pada Rajendra yang terbakar emosi. Tiba-tiba lelaki itu mengambil uang di dompetnya kemudian melempar lembaran uang tersebut tepat ke depan muka Livia. Livia mematung di tempat. Ia tidak tahu mana yang lebih membuat Rajendra marah. Dirinya yang mengajar les atau karena orang tua muridnya adalah lelaki muda dan gagah. ***Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de
Pagi hari saat Livia sedang bersiap-siap menyediakan sarapan ia mendengar tangisan Randu yang diiringi pekikan Utary."Ndraaa, bantuin aku dong! Randu nangis terus nih!"Tidak ada jawaban dari Rajendra karena pria itu juga sedang bersiap-siap di kamarnya untuk berangkat kerja."Rajendraaaa! Bantuin dong. Anak kamu nangis mulu nih!" Teriakan Utary menggema sekali lagi yang membuat Livia tidak tahan.Livia meninggalkan meja makan lalu meraih tongkatnya. Ia menuju kamar Utary.Livia menemukan Utary sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan si kecil Randu ia biarkan menangis di dalam box-nya."Tary, Randu kenapa?" tanya Livia baik-baik."Udah tahu nanya!" balas Utary sewot. "Lagian Rajendra yang aku panggil kenapa kamu yang ke sini?"Livia menahan napas sambil mencoba tetap bersabar menghadapi Utary meskipun kata-katanya terdengar kasar."Rajendra lagi siap-siap mau berangkat kerja. Mungkin sekarang baru selesai mandi."Kemudian Livia berjalan mendekat. Ia letakkan tongkatnya di samping tem
Utary telah kembali berada di rumah setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Rumah menjadi lebih hidup oleh tangisan dan rengekan Randu. Rajendra juga jadi rajin pulang lebih cepat dari kantor. Hal pertama yang ia lakukan setiap kali tiba di rumah adalah mencari Randu. Ia menggendong anak itu dan menciuminya dengan kasih sayang.Hanya saja Livia merasa miris melihat Randu yang masih bayi tidak menerima ASI dari ibunya. Utary beralasan air susunya tidak ada. Padahal yang sebenarnya terjadi ia malas menyusui, begadang tengah malam dan khawatir bentuk payudaranya akan rusak.Setiap malam ketika tangisan keras Randu membangunkan seisi rumah, Utary selalu mengabaikannya. Perempuan itu tetap tidur atau beralasan kondisinya masih belum pulih dan dia berdalih harus banyak beristirahat.Rajendralah yang nengambil alih tugas Utary. Saat randu terbangun tengah malam ia yang mengurus sang putra sementara Utary tidur nyenyak karena mengaku kelelahan mengurus Randu saat siang.Mulai dari menggendon
Livia Mellanie duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sangkit. Tongkatnya ia sandarkan ke samping. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk menatap lantai putih rumah sakit. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau namun seribu tanya terus berputar-putar di kepalanya.Untuk apa aku di sini? Apa aku akan tetap bertahan? Sementara Rajendra sudah memiliki kehidupan yang lengkap dan begitu bahagia. Apakah ini saatnya untuk mundur? Apa lebih baik ia kabur saja ke tempat yang jauh?Derap langkah kaki yang mendekat membuat Livia mengangkat kepala dan memandang ke arah tersebut. Rajendra muncul. Ia tidak sendiri. Ada bayi mungil terbungkus selimut biru di dalam dekapannya. Livia bisa melihat dengan jelas betapa rona kebahagiaan menghiasi wajah Rajendra.Rajendra semakin mendekat ke arah Livia."Liv, ini anakku," ucapnya pelan sambil menunjukkannya pada Livia.Livia mengulas senyum. Dipandanginya Rajendra dan bayi yang sedang digendongnya. Bay
Livia yang masih terjaga dan asyik menciumi Rajendra tersentak ketika mendengar ketukan dan suara lirih di pintu. Semula ia mengira itu hanya halusinasinya lantaran terlalu lelah. Namun suara itu terus terdengar. Buru-buru Livia menjauhkan mulutnya dari kening Rajendra. Livia berdiri lalu berjalan menuju pintu dengan bantuan tongkatnya. Ketika daun pintu terbuka ia dibuat termangu oleh pemandangan yang dilihatnya.Kekasih suaminya sedang terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil dan badannya basah oleh keringat. Sementara tangannya terus mengusap-usap perut."Tary!" seru Livia panik. "Kenapa begini?" Livia bersimpuh di dekat Utary mengamati keadaan wanita itu."Tolong ... aku, Liv. Perutku ... sakit ... banget ..." Utary merintih dengan suara putus-putus.Livia mencoba membantu Utary bangun namun ia juga tidak berdaya. Dengan segera ia kembali ke kamar untuk membangunkan Rajendra."Bangun, Ndra! Rajendra, bangun! Utary lagi kontraksi. Kayaknya dia bakal ngelahirin!" seru Livia panik. N
Livia dibuat termangu oleh permintaan Rajendra. Bibirnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Livia menatap wajah Rajendra yang tampak lelah dengan mata yang hampir terpejam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ditelannya kembali.Jauh di dalam hatinya ada amarah yang mendidih, tetapi juga rasa sayang yang masih bertahta."Baik." Akhirnya Livia menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar.Rajendra membalas dengan anggukan kepala, tidak menangkap perasaan apa pun yang terefleksi dari tatapan Livia. Ia segera menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Dalam sekejap lelaki itu terlelap.Keluar dari kamar, Livia menujukan langkahnya ke kamar Utary. Diketuknya pintu dengan perlahan."Ngapain sih, Ndra, pake ketuk pintu segala?" Suara Utary terdengar dari dalam. Livia memutar gagang pintu dan mendorongnya. Tatapan Utary seketika berubah penuh kecurigaan ketika tahu Livialah yang datang. Tadinya ia pikir Rajendra."Rajendra mana?" Utary bertanya dengan nad
Livia terdiam memandangi Utary yang tersenyum dengan penuh kemenangan. Perkataan wanita itu menggema di kepalanya tanpa mampu ia singkirkan.Di sisi pahanya sebelah tangan Livia yang bebas terkepal. Dadanya terlalu sesak. Dengan keberanian yang mulai terkumpul Livia mengangkat dagu, mempertemukan tatapannya dengan mata Utary."Utary ..." Suara Livia begitu tenang. "Saya nggak akan peduli apa pun yang kamu katakan. Tapi satu hal yang jelas saya adalah istri Rajendra satu-satunya yang sah baik dari segi agama ataupun negara. Apa pun yang terjadi, posisi itu nggak akan berubah."Hati Utary panas mendengarnya namun perempuan itu menutupi dengan tawa. Tawa sinis yang terkesan meremehkan. "Kamu itu cuma istri di atas kertas, Livia. Sadar nggak sih? Sedangkan di hati Rajendra kamu bukan siapa-siapa."Puncak kemarahan Livia sudah sampai ubun-ubun tapi ia tetap berusaha menahan diri. "Dan apa kamu tahu apa yang nggak berubah dari Rajendra?"Dahi Utary berkerut. Ia bingung tapi tertarik ingin t
Sore ini Livia sedikit bersantai. Ketiadaan Utary di di rumah tersebut benar-benar membuatnya bebas dan lega. Livia tidak peduli sekarang Utary ada di mana. Yang penting tidak lagi berada di rumah itu.Saat Livia sedang asyik menonton berita sore ia mendengar suara mobil Rajendra. Tumben Rajendra pulang sore, pikirnya.Livia bangkit dari tempat duduknya, bergegas meraih tongkat kemudian berjalan terpincang-pincang untuk menyambut Rajendra. Ketika pintu rumah ia buka alangkah kagetnya Livia. Rajendra tidak sendiri. Lelaki itu membukakan pintu penumpang bagian depan. Utary keluar dari sana dengan wajah ceria. Selanjutnya Rajendra mengeluarkan kantong belanjaan dan barang-barang dari mobilnya. Rupanya mereka baru pulang membeli peralatan dan perlengkapan bayi.Mengetahui Utary telah kembali dada Livia terasa sesak. Kelegaan yang sempat hadir lenyap begitu saja. Kebebasannya seakan kembali direnggut. Dan ia harus kembali berbagi Rajendra."Kenapa masih berdiri di sana? Bantuin!" perintah
Pagi ini Livia terbangun jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Kehangatan tubuh Rajendra yang mendekapnya sepanjang malam masih dirasakannya. Dan untuk pertama kalinya Livia tidak merasa sendirian di ruangan itu.Kedua bola mata Livia mengamati wajah suaminya yang masih tertidur. Wajah Rajendra lebih damai dari biasanya. Jantung Livia berdebar-debar tak karuan, berharap kehangatan ini bertahan lebih lama.Sejurus kemudian keinginan itu dipengaruhi oleh keraguan. Apakah semua ini hanya berlangsung sesaat saja? Atau Rajendra benar-benar mulai menerima dirinya apa adanya?Di saat Livia bergerak untuk bangun dari tempat tidur, tangan Rajendra mengeratkan dekapannya. Suara lelaki itu pun terdengar yang sepertinya masih separuh sadar."Jangan bangun dulu," ujarnya.Livia langsung termangu. Ia tidak pernah mendengar nada selembut itu keluar dari mulut Rajendra untuknya."Kenapa nggak boleh bangun?" Livia tidak mengerti.Rajendra mengubur wajahnya di rambut Livia lalu menggumam pelan, "