"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan."
Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pikirnya. Livia meninggalkan dapur, mengambil uang dan bersiap untuk menuju toko terdekat. Ia hanya berpakaian sekenanya. "Mau ke mana?" tegur Marina yang melihat Livia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. "Bu, saya mau ke luar sebentar. Tangan saya luka kena pisau waktu mengiris bawang." Livia menjawab sembari memperlihatkan jarinya pada Marina. Jarinya itu masih mengeluarkan darah yang Livia balut dengan tisu. "Huh! Manja banget," dengkus Marina. "Baru juga luka segitu. Nggak perlulah beli obat segala macam." "Tapi darahnya nggak berhenti keluar, Bu." "Langsung belanja bulanan. Stock di kulkas hampir habis." Livia terdiam mendengar perintah mertuanya. Masalahnya ia tidak punya uang sebanyak itu. Uang dari Rajendra hanya ala kadarnya. Jika Livia gunakan maka ia tidak akan memiliki pegangan lagi. "Tunggu apa lagi?! Disuruh kok malah diam!" bentak Marina yang kesal melihat Livia termangu. "Uangnya, Bu?" "Pakai uang kamu dulu. Nanti minta gantinya sama Rajendra. Ingat, jangan mark up!" Livia terpaksa mengangguk dan akan memakai uangnya dulu karena ia tidak ingin bertengkar dengan Marina. Ia membatalkan niatnya ke toko terdekat dan mengganti tujuannya ke supermarket. Taksi yang Livia tumpangi menurunkan perempuan itu tepat di depan supermarket tujuannya. Livia berjalan kepayahan dengan bantuan tongkatnya. Ia sukses menjadi pusat perhatian banyak orang. Kasihan Livia harus belanja membawa barang-barang sendirian dengan keadaannya yang memprihatinkan. "Kasihan ya. Aku pikir dengan menjadi istri Rajendra kamu akan diperlakukan seperti ratu. Ternyata malah dijadiin babu. Hahaha." Livia sontak menoleh ke belakang dan mendapati Utary sudah berdiri di sana. Perempuan itu tertawa mengejeknya. "Kamu?" ujar Livia terkejut. "Ya aku. Kekasihnya Rajendra," jawab Utary sambil tersenyum dan mengangkat dagunya, menunjukkan kesombongan. Livia tidak tahu kenapa bisa bertemu dengan Utary di sana. Entah kebetulan atau bukan. Namun ia tidak mau berurusan dengan perempuan itu. Livia akan mendorong trolinya. Sebelum ia berhasil lolos, dengan cepat Utary menghadang di depan benda itu. "Kenapa menghindariku? Merasa minder karena aku lebih cantik, lebih sempurna dan nggak cacat seperti kamu? Oh iya, aku juga nggak mandul seperti kamu." Utary menyeringai setelah puas menghina Livia. Dihina sedemikian rupa membuat sudut-sudut mata Livia menghangat. Namun ia tidak akan menunjukkannya pada Utary. "Minimal ngaca dululah. Perempuan seperti kamu sama sekali nggak pantas jadi istri Rajendra. Kamu hanya bikin dia malu. Lihat tuh penampilanmu kayak babu gitu," ejek Utary lagi. "Apa maumu?" tanya Livia pada perempuan itu. "Aku mau Rajendra," jawab Utary lugas. "Silakan ambil dia. Itu pun kalau dia mau denganmu." Setelah menyampaikan perkataannya Livia langsung mendorong troli dengan kuat hingga mengenai perut buncit Utary. Perempuan itu mengaduh kesakitan dan berteriak-teriak memanggil Livia. "Hai, berhenti! Tunggu dulu! Livia! Kamu akan menyesal atas perbuatanmu hari ini. Rajendra akan menikah denganku dan menceraikan kamu!" Livia mendengar semua perkataan Utary namun tidak peduli. Terserah perempuan itu mau berkata apa. Livia mendorong troli yang berisi kantong-kantong belanjaan ke luar supermarket. Seperti biasa orang-orang hanya mampu melihatnya. Dulu saat ia jatuh di escalator akibat membawa banyak barang, orang-orang juga hanya bisa menonton. 'Aku harus punya uang sendiri. Kalau nanti Rajendra benar menceraikanku, aku masih punya uang,' batin Livia di dalam taksi yang membawanya pulang. Tapi apa yang harus ia lakukan? Siapa yang mau memperkerjakan orang cacat sepertinya? Alih-alih akan diterima kerja, orang-orang malah menjauhinya. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di kepala Livia. Ia akan membuka les untuk anak-anak SD. Dulu saat kuliah Livia mengambil pendidikan guru. Ia ingin menjadi tenaga pendidik. Tapi apa daya. Sepulangnya dari wisuda mobil yang dikendarai ayahnya mengalami kecelakaan. Mengingat semua itu membuat Livia jadi sedih. "Pak, tolong mampir ke percetakan dulu," pinta Livia pada supir taksi. Sang supir melihat Livia melalui spion tengah kemudian menganggukkan kepala. Hari itu Livia membuat selebaran dan menyebarnya di mana-mana. Ia menempelkan di tiang listrik, memberikan pada orang-orang di jalan maupun di stasiun. Berhari-hari Livia sabar menunggu, berharap akan ada orang yang menggunakan jasanya. Namun tidak ada yang datang. Livia hampir saja putus asa ketika dua minggu kemudian seorang lelaki datang bersama seorang anak perempuan kecil berumur tujuh tahun. "Selamat malam, benar ini rumah ibu Livia?" tanya laki-laki itu pada Livia yang membukakan pintu. "Benar sekali, Pak. Ada yang bisa dibantu?" "Kenalkan saya Ryuga dan ini anak saya Hazel. Saya dapat selebaran, katanya di sini menerima les untuk anak SD." "Iya, Pak, betul." "Kebetulan saya mau menggunakan jasa ibu Livia untuk mengajar anak saya. Apa bisa?" "Bisa, Pak, bisa!" jawab Livia begitu penuh semangat. "Ayo silakan masuk dan duduk dulu." Ryuga dan Hazel masuk ke dalam rumah. Sepasang ayah dan anak tersebut tercengang melihat Livia berjalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. "Maaf, bisa saya bertemu dengan ibu Livia langsung?" tanya Ryuga setelah Livia duduk di hadapannya. "Saya Livia, Pak." Livia membuat Ryuga terkejut atas jawabannya. Bagaimana mungkin perempuan pincang ini akan mengajar? Apa bisa? Penampilannya saja kurang meyakinkan. "Maaf, Pak, ada yang salah?" tanya Livia seolah bisa membaca isi kepala Ryuga. Lelaki gagah dan masih muda tersebut menggelengkan kepalanya lantaran tidak ingin Livia tersinggung. Di saat mereka sedang bercakap-cakap Rajendra datang. Pria itu baru saja pulang dari kantor. Melihat ada tamu laki-laki menemui Livia, terlebih gagah dan masih muda, membuat Rajendra langsung menatap tajam pada Livia. Rajendra memberi isyarat pada Livia agar ikut dengannya. "Maaf, Pak Ryuga, saya tinggal sebentar," pamit Livia sopan. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati meninggalkan tamunya, tapi ia juga khawatir Rajendra marah padanya. "Siapa dia?" selidik Rajendra setelah Livia tiba di kamar. "Tamu saya, Ndra. Namanya Ryuga. Nama anaknya Hazel. Mulai hari ini saya akan mengajar les." "Apa?" Rajendra langsung naik pitam. "Apa uang dariku masih belum cukup juga?" Nyatanya uang dari Rajendra memang pas-pasan. Tapi jika Livia meminta lebih ia takut akan dianggap materialistis seperti Jihan. "Katakan berapa yang kamu inginkan? Sebutkan sekarang!" Livia hanya diam sambil menatap pada Rajendra yang terbakar emosi. Tiba-tiba lelaki itu mengambil uang di dompetnya kemudian melempar lembaran uang tersebut tepat ke depan muka Livia. Livia mematung di tempat. Ia tidak tahu mana yang lebih membuat Rajendra marah. Dirinya yang mengajar les atau karena orang tua muridnya adalah lelaki muda dan gagah. ***Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
Livia sudah bangun sejak tadi pagi. Tapi sampai detik ini ia masih berada di dalam kamar. Berbaring sambil bermenung sendiri. Sisa-sisa kesedihan masih berjejak di hatinya. Perasaan kecewa karena merasa dibohongi belum sepenuhnya pergi.Saat Livia sedang asyik merenung pintu kamarnya diketuk."Bunda! Bunda udah bangun?" Itu suara Gadis.Livia mengesah pelan."Nda, Adis boleh masuk nggak?"Livia menoleh ke arah pintu lalu dengan berat hati terpaksa mengatakan. "Masuk aja."Perlahan-lahan pintu terbuka, memperlihatkan seorang anak kecil yang sudah siap dengan seragam merah putihnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai bebas. Sebuah bandana berwarna pink lembut menghiasi kepalanya. Membuatnya tampak begitu manis dan menggemaskan.Dengan langkah kecilnya Gadis mendekati tempat tidur Livia lalu bicara pada perempuan yang masih berbaring itu. "Bunda, kenapa masih tiduran? Bunda sakit ya?" tanyanya sembari meraba kening Livia."Bunda cuma mau istirahat," lidah Livia kelu saat mengucapk
Livia berjalan tanpa arah. Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit, tapi ia tidak peduli. Kata-kata Astrid terus terngiang di telinganya.AKU ASTRID, ISTRI EVANJadi selama ini ia hanya tempat persinggahan sementara? Atau dirinyalah yang salah arah? Evan begitu baik padanya, begitu perhatian, tetapi pada akhirnya ia tetap pria yang sudah memiliki istri.Air mata yang ia tahan sejak tadi di akhirnya jatuh. Livia tertawa miris. Bodoh. Ia merasa sangat bodoh.Ponselnya bergetar berkali-kali. Nama Evan muncul di layar, tapi ia tidak ingin menjawab. Apalagi yang perlu dijelaskan? Semua fakta sudah ada di depan mata.Tanpa sadar hati membawanya kembali ke rumah Rajendra. Setelah masuk ia langsung menuju kamar tanpa menyapa siapa pun. Ia hanya ingin bersembunyi dari dunia yang terasa semakin menyakitkan. Namun Rajendra yang kehilangan Livia sejak tadi melihat semuanya. Wajah Livia yang muram, tatapan mata yang kosong dan langkahnya yang gontai.Rajendra tidak bisa tinggal diam. Denga
Saat jam kerja sudah selesai Evan mengajak Livia pulang. "Aku harus pulang ke mana?" Livia bertanya bingung."Ke rumah kamu. Rumah Rajendra. Biar aku yang antar."Livia menggeleng. "Harus berapa kali aku bilang kalau aku nggak nyaman tinggal di sana? Semua terasa asing.""Itu hanya perasaanmu, Liv. Nggak ada yang asing. Kasihan anakmu, Liv. Dia pasti kehilangan ibunya kalau kamu terus bersikap kayak gini. Aku antar ya? Besok kita ketemu lagi." Evan terus membujuk Livia agar mau pulang."Janji?" kata Livia kurang percaya."Janji." Evan mengangkat kelingkingnya.Livia ragu sejenak tapi akhirnya ia menyambut kelingking Evan dan mengaitkan dengan miliknya.Sepanjang perjalanan Livia lebih banyak diam. Matanya menerawang keluar jendela, mengamati lampu-lampu kota yang menyala seiring datangnya malam. Evan melirik ke arahnya sesekali."Livia," panggilnya."Ya?""Maaf kalau aku terlalu memaksamu. Tapi aku nggak mau kamu semakin jauh dari kehidupanmu yang sebenarnya."Livia hanya diam sampa
Evan menghela panjang setelah menatap Livia yang bersikeras tidak ingin pulang. Ia tahu situasi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut. Maka ia mengambil ponselnya lalu meninggalkan Livia dengan alasan pergi ke toilet. Tiba di toilet ia menelepon Rajendra.Rajendra sedang berada di ruangannya ketika ponselnya bergetar di dalam saku. Ia mengambilnya dan melihat nama Evan ada di sana. Sebelumnya mereka memang sempat bertukar nomor telepon satu sama lain."Ada apa?" tanya Rajendra tanpa basa-basi."Livia ada di sini. Dia datang ke kantor gue sendiri dan bilang nggak mau pulang."Rajendra terkejut mendengarnya. Tadi Livia bilang akan merajut seharian di rumah. Namun ternyata ia tertipu."Dia juga bilang masih cinta sama gue," tambah Evan. "Sorry, Ndra."Rajendra terdiam. Dadanya begitu sesak. Rasa sakit menohoknya. "Gue paham," jawab Rajendra akhirnya. "Kalo dia mau di sana biarin aja dulu. Mungkin dia lagi kangen sama lo."Evan tidak menyangka bahwa jawaban Rajendra akan semudah itu
Livia melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran dengan jantung berdebar kencang. Ia bahkan tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Ia hanya mengikuti dorongan kuat dalam hatinya. Sesuatu di tempat itu terasa familier dengannya walaupun ingatannya tetap kabur.Saat ia tiba di depan resepsionis ia bertanya, "Pagi, Mbak, Evan Satria ada di sini?"Resepsionis menatapnya dengan ragu sejenak lalu menjawab, "Anda sudah anda janji dengan Pak Evan?"Livia menggeleng. "Nggak ada. Tapi tolong kasih tahu dia bahwa Livia ada di sini."Resepsionis tampak ragu tapi tak urung menghubungi seseorang. Tidak butuh waktu lama seorang lelaki berkemeja biru muncul."Livia!" Walau tadi sudah disampaikan resepsionis bahwa Livia yang menunggunya namun Evan tetap tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Livia tersenyum tipis lalu memeluk Evan penuh kerinduan. "Kangen banget sama kamu, Van."Evan yang merasa tidak enak melepaskan pelukan itu pelan-pelan."Ayo kita ke ruanganku, Liv," ajaknya.Livia menurut
'Aku harus berbuat baik pada Rajendra agar dia bisa percaya padaku. Aku nggak boleh lagi bersikap denial padanya agar bisa mengungkap semuanya.' Itu yang dipatrikan Livia di dalam hatinya sebelum ia tidur malam.Keesokan paginya saat terbangun Livia melaksanakan niatnya. Ia harus bersikap baik dan lembut pada Rajendra agar bisa lebih dalam menggali rahasia yang dipendam lelaki itu. Saat muncul di ruang makan ia melihat Rajendra sudah berada di sana dengan secangkir kopi di hadapannya. Biasanya Livia akan menghindari sarapan bersama Rajendra, tapi kali ini berbeda.Livia mengumpulkan napas serta menguatkan hatinya sebelum berjalan mendekat. "Pagi," sapanya dengan lembut.Rajendra menoleh dan agak terkejut lantaran Livia menyapanya lebih dulu, sesuatu yang tidak pernah perempuan itu lakukan selama ia sakit.Livia duduk di kursi seberang Rajendra. "Kopinya enak?" tanyanya yang lagi-lagi membuat Rajendra terkejut.Rajendra tentu curiga dengan perubahan istrinya. "Kenapa tiba-tiba perhati
Evan tidak menyangka Livia akan mengatakan hal seperti itu di depan suaminya sendiri.Sementara itu Rajendra mengepalkan tangan, mencoba menahan gejolak di dalam dada. Kata cerai yang diucapkan Livia menusuk hatinya begitu dalam."Jangan diam aja, Van, ngomong dong!" Livia terus mendesak dengan mengguncang-guncang badan Evan.Evan mengalihkan pandangannya pada Rajendra. Saat tatapan mereka bertemu Rajendra memberi isyarat dengan matanya."Karena kita udah nggak cocok lagi, Liv, makanya kita putus.""Kita nggak cocok? Kita nggak cocok kenapa?" Livia semakin mendesak ingin tahu. "Bukankah kita saling mencintai? Hubungan kita sangat kuat. Kita nggak mungkin putus gitu aja," isak Livia lalu kembali memeluk Evan dan membasahi kemeja pria itu dengan air matanya.Evan mengatupkan rahangnya. Membiarkan Livia menangis dalam pelukannya. Di satu sisi ia ingin mengakui bahwa ia adalah pria brengsek yang dulu meninggalkan Livia akibat kecelakaan itu. Namun di sisi lain ada tatapan Rajendra yang m
Hari-hari terus berlalu. Keadaan fisik Livia sudah berangsur pulih. Hari ini Livia bertekad akan mendatangi rumah Evan. Ia butuh penjelasan atas semuanya. Kenapa mereka tidak menikah namun justru ia menikah dengan Rajendra. Dengan sisa-sisa ingatannya Livia memetakan alamat rumah Evan di kepalanya. Ia tidak butuh Rajendra. Ia akan pergi sendiri. Namun niatnya terhalang. Ketika ia sudah siap untuk pergi, Rajendra sudah berdiri di hadapannya."Kamu mau ke mana, Liv?" tanya laki-laki itu."Keluar." Livia menjawab singkat."Keluar ke mana? Kamu butuh sesuatu? Biar aku yang antar."Livia terdiam sejenak sebelum berkata, "Aku mau ke rumah Evan."Rajendra sempat terkejut namun menutupi dengan ekspresinya."Aku akan temani kamu ke sana. Kamu ingat alamatnya?""Semua aku ingat, kecuali kamu!" jawab Livia ketus. Setelah mendengar cerita Tasia tentang Rajendra, perlahan-lahan Livia mulai membenci lelaki itu."Oke. Kita ke rumah Evan sekarang," putus Rajendra. Karena sampai kapan pun ia menunda L
"Bunda, malam ini boleh Adis tidur sama Bunda?" pinta Gadis pada Livia setelah mereka makan malam bersama.Livia menoleh ke arah Gadis, menatap wajah polos itu tanpa tahu harus menjawab apa. Permintaan Gadis begitu sederhana. Tapi bagi Livia yang masih merasa asing dengan semuanya, itu justru terasa sulit."Adis kangen sama Bunda," lirih Gadis dengan perasaan sedih.Rajendra yang masih duduk di kursinya ikut memerhatikan. Ia berharap Livia akan mengiakan namun Livia tetap diam, seakan sedang mempertimbangkan.Livia ingin mengatakan tidak. Tapi melihat sorot mata penuh harapan dari Gadis membuatnya ragu. Ia belum bisa menerima anak itu sebagai anaknya. Tapi menolak mentah-mentah juga terasa kejam."Menurut saya Bu Livia masih butuh waktu untuk sendiri. Jadi nanti biar Gadis tidur sama Tante Tasia aja ya?" sela Tasia sambil melihat ke arah Gadis."Nggak apa-apa kalau begitu. Biar Adis tidur di kamar aja." Gadis beranjak pergi membawa kesedihannya.Rajendra menghela napas lalu ikut menyu