Share

Ceraikan Saya

Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar.

Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya.

"Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?"

"Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra."

"Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?"

Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya.

"Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya.

Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin berdebat.

"Jujur sama saya. Seharian ini kamu ke mana?" desak Marina dengan tatapannya yang intens di wajah Livia.

Tahu jika mertuanya tidak akan percaya begitu saja jika ia hanya mengatakan ke kantor Rajendra, Livia terpaksa berterus terang.

"Tadi saya pulang ke rumah. Saya mengunjungi mama."

Marina sontak melipat kedua tangannya di dada dan memandangi Livia dengan bengis. "Kali ini rencana apa lagi yang kalian susun? Apa ibumu yang materialistis itu masih belum puas juga menguras harta saya?"

Dulu Jihanlah yang menuntut Rajendra agar bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Livia dan ayahnya. Untuk itu Rajendra terpaksa menggelontorkan uang ratusan juta. Tidak cukup sampai di sana Jihan memaksa agar Rajendra mau menikahi Livia. Jihan tidak ingin merawat perempuan cacat seperti Livia. Tidak ingin berbuntut panjang, Rajendra Geraldy dan keluarganya terpaksa memenuhi tuntutan tersebut.

"Kami nggak merencanakan apa pun, Bu. Tadi saya datang ke rumah karena kangen sama mama."

"Oh, kangen? Kenapa nggak kembali tinggal di sana sekalian? Kenapa masih di sini?"

Livia tidak mampu menjawab. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia masih berstatus sebagai istri sah Rajendra. Lagipula ia tidak mungkin kembali ke rumah orangtuanya. Alih-alih diterima ia malah diusir.

"Nggak berani jawab? Atau perlu saya yang bantu jawab? Kamu nggak mau pergi dari sini karena takut kehilangan harta anak saya. Kamu nggak mau hidup susah. Begitu kan?" tuding Marina sinis tanpa peduli pada perasaan Livia.

Perempuan malang berusia 24 tahun itu menggelengkan kepalanya menidakkan. Ia sama sekali tidak tergiur pada harta Rajendra. Ia tetap bertahan di rumah itu walaupun diperlakukan dengan buruk adalah karena ia masih berstatus sebagai istri Rajendra.

"Saya sama sekali nggak seperti yang ada di pikiran Ibu. Saya tetap di sini karena saya istri Rajendra," jawab Livia lirih.

"Kalau begitu saya akan menyuruh Rajendra menceraikan kamu secepatnya!" Usai mengatakan kalimat itu Marina menarik langkah pergi meninggalkan Livia.

Livia hanya bisa mengelus dada meningkahi sikap mertuanya. Dua tahun menghadapi keadaan yang sama setiap hari membuatnya kebal dan tahan banting. Masih hangat di ingatan Livia, dulu di awal pernikahan dengan Rajendra hampir setiap hari ia menangis akibat ulah lelaki itu dan keluarganya.

Sepeninggal Marina, Livia masuk ke kamarnya. Tepat di saat itu Rajendra baru saja selesai mandi. Selembar handuk putih menggantung rendah di pinggulnya. Titik-titik air dari rambutnya yang basah jatuh menetes mengenai wajahnya, membuat lelaki itu tampak begitu sexy.

Begitu menyadari kehadiran Livia tatapan Rajendra menajam. "Dari mana?" desisnya dingin.

"Tadi saya ke rumah mama."

"Sampai semalam ini dan kamu baru pulang sekarang?"

Livia memang hanya sebentar di rumah orangtuanya. Tadi setelah diusir ia berkeliling tanpa arah tujuan. Ia bingung harus pergi ke mana. Ia juga tidak punya teman untuk bercerita. Sejak dirinya cacat orang-orang menjauhinya, seolah kecacatan Livia adalah penyakit yang bisa menular.

"Iya," jawab Livia pelan. Ia sengaja tidak mengatakan pada Rajendra bahwa tadi dirinya luntang-lantung di luar seperti gembel. Rajendra tidak perlu tahu itu.

Rajendra memajukan langkahnya mendekati Livia hingga mereka nyaris tidak berjarak. Dalam posisi sedekat ini Livia bisa menghirup aroma sabun yang wangi namun maskulin dari tubuh laki-laki itu.

"Harus berapa kali aku katakan? Jangan pergi lagi ke rumah itu. Ke mana pun kamu pergi harus minta izin padaku dulu. Apa kamu tuli?" desis laki-laki itu di depan telinga Livia.

Hangatnya napas Rajendra yang menerpa sampai ke kulit leher Livia membuat perempuan itu meremang. Darahnya berdesir aneh. Mengirim sejumlah gelenyar asing ke segenap anggota tubuhnya.

"Kalau kamu bisa melakukan apa pun, kenapa saya nggak boleh?" tantang Livia berani.

Perkataan Livia tak pelak memancing kemarahan Rajendra.

"Apa maksudmu?"

"Kamu mengkhianati saya padahal kita sudah menikah. Kamu bahkan menghamili perempuan itu!" Dada Livia sesak kala mengatakannya. Perasaannya sakit. Jika memang Rajendra tidak mencintainya, tapi setidaknya lelaki itu bisa menghargai pernikahan mereka.

"Oh, jadi kamu mau aku hamili juga?" Rajendra menaikkan intonasi suaranya. Lelaki itu mendorong tubuh Livia hingga jatuh terjerembab di kasur.

Rajendra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lelaki itu langsung memenjarakan Livia di bawah tubuhnya. Tangannya menarik paksa pakaian yang Livia pakai dengan kasar hingga perempuan itu polos tanpa busana.

Air mata Livia tumpah meski sudah ia tahan sekuat tenaga ketika Rajendra memberi hujaman-hujaman tajam yang membuatnya kesakitan. Bukan hanya fisiknya yang sakit, namun perasaannya jauh lebih sakit. Livia merasa tidak ada artinya. Dirinya tidak lebih dari pemuas nafsu seorang Rajendra Geraldy.

Livia mencoba melawan. Namun ia kalah kuat. Alih-alih akan membuat Rajendra berhenti, pria itu malah semakin buas. Tidak peduli pada lenguhan kesakitan yang meluncur dari bibir Livia.

Pada akhirnya Livia hanya bisa pasrah lantaran tidak sanggup lagi melawan.

Rajendra baru berhenti setelah mencapai titik klimaks.

"Puas?" ucap pria itu sambil menempelkan dahinya di kening Livia seakan Livialah yang meminta untuk ditiduri. Deru napasnya yang hangat menerpa wajah Livia.

"Ceraikan saya, Ndra. Saya nggak sanggup lagi hidup sama kamu," pinta Livia tidak tahan.

Wajah Rajendra menggelap dalam hitungan detik bersama rahangnya yang menegang.

"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Pria itu mendesis dingin di atas wajah Livia dengan tatapannya yang setajam elang.

Livia memejamkan matanya. Tidak sanggup membalas tatapan Rajendra yang mengerikan dan membuatnya ketakutan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status