Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.
Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu. "Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu. Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary. "Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?" "Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan. Hancur sudah hati Livia mendengar suaminya mengucapkan sendiri kalimat tersebut. Tidak masalah jika perkataan tersebut asalnya dari mulut orang lain. Tapi ini suaminya sendiri. "Saya hanya ingin mengantar makanan," jawab Livia lirih sambil berusaha menahan bulir-bulir bening yang berdesakan di pelupuk matanya. "Siapa yang menyuruhmu mengantarnya? Bawa lagi! Aku nggak sudi memakan makanan itu." Meskipun Rajendra sudah menolaknya dengan kasar, Livia tetap bersikeras meninggalkan makanan itu di sana. Diletakkannya kotak makanan berisi menu makan siang tersebut di atas meja. Tepat di hadapan Rajendra. "Saya tahu kamu sibuk dan nggak sempat untuk keluar. Jadi terimalah." PRANG!!! Rajendra menyingkirkan kotak makanan dari aluminum itu hingga jatuh ke lantai. Membuat isinya tumpah dan berserakan ke mana-mana. "Sekarang pergi dari sini. Itu pintu keluarnya kalau kamu lupa!" hardik pria itu sembari mengarahkan telunjuknya ke arah pintu. Dengan membawa hati yang hancur dan perasaan kecewa yang dalam Livia menarik diri, pergi meninggalkan ruangan suaminya. "Ndra, sebenarnya siapa dia? Kenapa nggak sopan banget sama kamu?" ucap Utary geram. "Bukan siapa-siapa." Rajendra menjawab tanpa mampu menatap wajah Utary. "Kalau memang dia bukan siapa-siapa dan hanya pembantu, kenapa sikapnya aneh?" Utary merasa ragu. Tadi, sebelum Livia datang ia juga meminta penjelasan pada Rajendra mengenai jati diri Livia. Rajendra mengatakan perempuan itu hanya pembantu di rumahnya. Namun entah kenapa Utary melihat Rajendra terkesan gugup. "Sudah, Tar, nggak usah bahas orang lagi," ucap Rajendra dan bersiap mengangkat gagang telepon untuk memanggil office boy agar membersihkan lantai yang kotor. "Jujur sama aku, Ndra. Siapa dia sebenarnya?" tuntut Utary mencekal pergelangan tangan Rajendra hingga lelaki itu urung menelepon. "Aku kan sudah bilang dia hanya pembantu." "Nggak mungkin. Kalau memang dia pembantu kenapa tadi di rumah dia mengaku sebagai istrimu?" Utary menatap Rajendra lekat, meminta kejujuran laki-laki itu. Rajendra menghela napas. Lelaki itu mengusap mukanya frustrasi. Ia tidak mungkin terus menyembunyikan fakta tersebut dari Utary. Kekasihnya itu adalah gadis yang pintar dan tidak bisa dibodohi begitu saja. "Oke, aku akan jujur sekarang." Utary memandang Rajendra dengan muka yang semakin tegang. "Dua tahun yang lalu aku mengalami kecelakaan. Aku menabrak mobil orang sampai dia meninggal. Lalu anak orang itu kakinya lumpuh. Keluarga orang tersebut meminta pertanggungjawabanku dengan menikahi anaknya. Daripada masalahnya jadi panjang dan dipenjara, jadi kuputuskan untuk bertanggung jawab. Dan anak orang itu adalah Livia, perempuan yang tadi." Sekujur tubuh Utary mengejang mendengar pengakuan Rajendra. Ternyata lelaki itu sudah membohonginya. Mereka sudah lama menjalin hubungan. Tapi sejak awal Utary tidak tahu kalau Rajendra sudah beristri. Ia hanya tahu bahwa Rajendra lelaki single yang gagah, tampan dan kaya-raya. Kini setelah mendengar sendiri dari Rajendra, Utary merasa dikhianati. "Kenapa kamu nggak jujur sama aku, Ndra? Kenapa kamu tega membohongiku?" tuntut perempuan itu dengan emosi yang membludak di dadanya. "Sudahlah, Tar. Sekarang kamu kan sudah tahu. Jangan dijadiin masalah," jawab Rajendra ringan yang membuat Utary semakin sakit. "Gampang banget kamu ngomong begitu. Lalu gimana dengan anak ini? Semakin lama perutku semakin besar. Orang-orang akan tahu kalau aku hamil tanpa suami. Aku malu, Ndra!" "Kamu tutupi dulu pakai baju yang agak longgar. Nggak usah pakai baju ngepas body biar orang-orang nggak tahu." "Tapi aku nggak mungkin selamanya pakai baju longgar. Kalau kandunganku udah enam bulan ke atas aku udah nggak bisa menutupinya lagi, Ndraaa ..." Utary merengek menderaikan air mata. "Nggak usah dibikin ribet, Tar. Sekarang kandungan kamu kan masih tiga bulan. Enam bulan itu masih lama." Jawaban Rajendra masih seringan tadi. Seakan yang dialami Utary saat ini bukanlah masalah yang besar baginya. "Pokoknya kamu harus tanggung jawab. Aku nggak mau tahu. Kamu ceraikan perempuan itu lalu kita menikah." "Pasti aku akan tanggung jawab, tapi aku nggak bisa menceraikan Livia sekarang. Aku bisa dipenjara kalau sampai itu terjadi," jawab Rajendra menolak keinginan kekasihnya. "Jadi kapan? Gimana denganku?" Utary mendesak tidak sabar. Ia sudah tidak tahan ingin menikah dengan Rajendra dan menjadi bagian dari keluarga Geraldy yang kaya-raya. "Pokoknya kamu sabar dulu. Kaki Livia masih pincang. Tunggu sampai kakinya sembuh total. Setelah itu aku akan ceraikan dia, jadi aku bebas dari tuntutan apa pun," janji Rajendra, walaupun ia tidak tahu kapan kaki istrinya itu akan sembuh sepenuhnya. *** Selepas dari kantor Rajendra, Livia tidak langsung pulang ke rumah nerakanya. Perempuan itu menaiki taksi menuju rumah orangtuanya. Rumah tempat tinggalnya dulu sebelum sang ayah tiada. Rumah berwarna putih itu tampak lengang. Livia langsung menekan bel. Setelah cukup lama barulah pintu dibuka. Seorang perempuan separuh baya dengan banyak bintik di wajahnya keluar dari sana. Ia terkejut melihat kedatangan Livia. "Kamu ternyata. Kenapa ke sini?" Jihan melipat tangan di depan dada melihat kedatangan anak tirinya. "Ma, izinkan aku menginap di sini. Satu malam saja, Ma," pinta Livia begitu memelas. "Apa?" Jihan terkejut mendengar permintaan Livia. "Kenapa mau menginap di sini? Tempatmu bukan di sini. Sekarang pergilah!" usir Jihan yang tidak sudi merawat orang cacat seperti Livia. "Ma, aku mohon. Hanya satu malam. Besok aku akan pergi," pinta Livia lirih. Ia sedang tidak ingin pulang ke rumah nerakanya. Rajendra membuatnya kecewa. Ia butuh waktu dan tempat yang bisa menenangkannya. "Tidak ada kamar di sini. Semuanya penuh. Sekarang pergilah. Mama sedang sibuk!" BRAAAK!!! Daun pintu dibanting tepat di depan hidung Livia, membuat perempuan itu berjengit karena terkejut. "Mamaaa!!! Mamaaa!!! Tolong buka pintunya, Ma!!!" Livia berteriak memanggil Jihan sambil terus menggedor-gedor pintu rumah. Rumah yang adalah miliknya, peninggalan ayahnya yang seharusnya diwariskan untuk Livia. Semestinya Livialah yang lebih berhak atas rumah tersebut. Nyatanya ia diusir dari rumahnya sendiri. ***Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
Livia dan Rajendra mulai berbenah barang-barang mereka. Lusa mereka akan pulang ke Indonesia.Sebenarnya Livia masih ingin berada lebih lama di Ohio, tapi alasan yang disampaikan Rajendra membuatnya menyerah pada keinginan lelaki itu.Jauh di dalam hatinya Rajendra merasa bersalah. Uangnya masih banyak untuk biaya hidup di Ohio. Ia hanya ingin lari dari semua kenyataan ini. Ia tidak ingin Livia tahu fakta mengenai Lunetta yang merupakan darah dagingnya.Sementara itu Sharon terus mendesak. Lantaran Rajendra tidak mau menjawab panggilan darinya setiap kali Sharon menelepon, wanita itu memborbardirnya dengan pesan."Rajendra sayang, aku tidak bisa menunggu sampai enam hari lagi. Kepalaku semakin sering sakit. Dokter bilang aku harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Bagaimana dengan Lunetta? Apa aku harus mengantarnya ke apartemenmu?"Rajendra mendengkus membaca pesan itu lalu dengan kasar menghentakkan jarinya di layar gawai."Aku bilang tunggu dulu. Enam hari lagi nggak la
Rajendra mengemudikan mobilnya pulang dengan perasaan kacau. Amplop hasil tes DNA tergelak di dashboard, seakan menjadi pengingat atas kesalahan dan kebohongan yang selama ini ia simpan. Wajah Sharon dan Lunetta terus berkelindan di pikirannya. Tapi bayangan Livia yang tersenyum lembut selalu muncul di atas segalanya.Setibanya di hunian mereka Livia ternyata sudah pulang. Perempuan itu tersenyum ceria."Ndra, kata dokter Justin progress aku sudah 95%. Sebentar lagi aku bisa jalan kayak kamu, Ndra.""Syukurlah, Sayang," jawab Rajendra sambil memaksakan sebuah senyuman sambil menahan kecamuk di dadanya."Tadi kamu jalan-jalan ke mana sama Gadis?""Aku ajak dia ke playground. Dia happy di sana. Sampai nggak mau pulang," dusta Rajendra."Iya ya, Nak?" Livia terkikik sambil menggelitik Gadis yang membuatnya tertawa.Rajendra menatap interaksi ibu dan anak itu yang begitu bahagia. Akankah kebahagiaan tersebut tetap ada setelah Livia tahu kenyataan yang sebenarnya? ***Malamnya Rajendra me
"Ndra, tahu nggak, dokter aku udah ganti lagi. Namanya dokter Justin. Dia yang bakal menangani aku sampai sembuh. Dia bilang sebentar lagi aku bisa berjalan."Baru saja Rajendra tiba di apartemen ia disambut oleh ocehan Livia yang tampak begitu ceria.Rajendra terdiam sesaat. Ini membuatnya bingung. Dokter Hailey bilang kesempatan Livia untuk berjalan normal lagi sangat kecil, tapi dokter Justin mengatakan sebaliknya. Apa ini bukan hanya untuk menambah semangat Livia saja?"Ndra, kok diam?" Livia mengguncang tangan Rajendra yang terpaku."Eh, iya, Sayang. Aku ikut senang." Rajendra tersenyum kikuk. "Aaa ... aku udah nggak sabar. Coba deh kamu lihat."Livia kemudian melangkah di hadapan Rajendra setapak demi setapak. Rajendra memerhatikannya. Livia memang masih pincang tapi tidak separah dulu."Gimana, Ndra?" tanyanya setelah melakukan 'pertunjukan' berjalannya di hadapan Rajendra."Hebat, Sayang. Pincangnya udah nggak terlalu kelihatan. Aku yakin ini memang nggak bakal lama." Raje
Rajendra bangun lebih cepat dari Livia. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat.Livia masih pulas dalam tidurnya. Ekspresinya begitu tenang seolah tidak ada masalah yang membebani hidup mereka.Tapi lain halnya bagi Rajendra. Hari ini terasa bagaikan medan perang.Rajendra mengisi paru-parunya dengan udara baru lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Livia.Ia melangkah ke dapur, menuang segelas air putih lalu meneguknya. Setelahnya ia duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk.Pikirannya mengelana tentang tes DNA hari ini. Wajah Lunetta muncul tiba-tiba, disusul oleh tawa manis Gadis dan senyum lembut Livia. Skenario terburuk tentang bagaimana reaksi Livia jika semua ini terungkap terus mengejarnya.Mengusap wajah dengan kasar, Rajendra bangkit dari duduknya. Ia harus membantu Livia membuat sarapan untuk Gadis.Rajendra menyibukkan dirinya di dapur membuat mashed potato untuk
Rajendra membeku di bangku taman setelah Sharon pergi. Wajahnya tegang, sorot matanya kosong. Udara dingin semakin menusuk kulit tetapi tidak ia rasakan. Yang ada hanyalah suara-suara yang bergema di kepalanya dan menyiksa batinnya tanpa henti. 'Lunetta anak gue? Apa memang itu faktanya? Tapi kenapa bisa?' Rajendra mendengkus menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? 'Kalau memang semua ini benar, gue mesti ngapain?' Wajah lembut Livia melintas tepat di depan matanya. Livia telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Tidak hanya rasa sakit fisik tapi juga luka batin yang mungkin saat ini belum sembuh sepenuhnya. Rajendra baru saja mendapat kepercayaan dari Livia. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan semua ini pada Livia? Bagaimana caranya mengatakan pada Livia bahwa Sharon adalah mantannya dan mereka memiliki seorang anak gara-gara hubungan di masa lalu? Sungguh, Rajendra tidak sanggup untuk berterus terang. Rajendra tidak ingin kehilangan Livia. R
Rajendra memandang arlojinya yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah lima belas menit lamanya ia menunggu di sebuah taman kecil di dekat danau. Udara dingin menerpa kulit. Daun-daun berguguran menutupi jalan setapak. Rajendra duduk di bangku taman di dekat pohon dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Tatapannya begitu gelisah. Ketika ia bermaksud mengambil ponsel untuk menghubungi orang yang akan bertemu dengannya saat ini, terdengar langkah kaki mendekat. Sharon muncul. Wanita itu mengenakan mantel panjang berwarna coklat. Wajahnya tampak pucat. Ia berjalan pelan ke arah Rajendra dengan sebuah tas tersampir di bahunya. "Hai, Ndra, long time no see," ucapnya sambil tersenyum. "Langsung saja, Sha. Kamu ingin bicara apa?" balas Rajendra dengan nada dingin. Ia tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Sharon. "Kamu nggak mau menyilakanku duduk dulu?" "Kamu bisa duduk sendiri kalau kamu mau." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi. Sharon tersenyum getir melihat R
Dulu, pada bulan pertama memulai terapi fisik adalah hal yang paling sulit bagi Livia. Ia masih sangat bergantung pada tongkatnya. Setiap langkah begitu berat dan tubuhnya juga sering terasa lelah. Namun Livia tidak menyerah. Setiap hari ia melatih kakinya meski hanya berjalan mengitari apartemen.Di bulan kedua sudah ada kemajuan kecil. Livia mulai bisa berjalan tanpa tongkat meskipun hanya selangkah dua langkah.Di bulan ketiga tongkat mulai jarang ia gunakan saat berada di apartemen. Livia mulai bisa berjalan sendiri dengan langkahnya yang masih terpincang. Ia merasa bahagia setiap kali bisa berjalan lebih lama tanpa merasa terlalu lelah.Tiba di bulan kelima Livia hampir tidak pernah menggunakan tongkatnya lagi. Ia sudah cukup percaya diri untuk keluar apartemen meskipun kakinya masih pincang, tapi berjalan tanpa menggunakan tongkat meningkatkan rasa percaya dirinya. Walau masih ada yang memandang aneh tapi dengan tidak adanya tongkat tidak semua orang memperhatikannya seperti dul
Rajendra mendekatkan wajahnya ke muka Livia lalu memberi ciuman sayang. Ciuman lembut itu lama kelamaan menjadi lumatan panas di bibir Livia.Perasaan sayang yang tak terukur, serta perasaan cinta yang dalam membuat keduanya hanyut dalam gelora.Tanpa disadari keduanya saling membantu melepas pakaian masing-masing hingga tubuh keduanya polos sempurna.Rajendra menghujani tubuh Livia dengan ciuman basahnya di mana-mana yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit perempuan itu."Gimana perasaan kamu?" tanyanya setelah membenamkan wajah di ceruk leher Livia."Bahagia," jawab Livia dengan tatapan sendu sambil membelai kepala Rajendra. Rajendra menghadiahkan sebuah senyum.Benak Livia kini sibuk bertanya. Apa mereka benar-benar akan melakukannya?Mereka sudah tak berbusana. Walau bukan tidak mungkin tapi terlalu mustahil untuk mengenakannya kembali. Lagi pula Rajendra tidak memaksa. Laki-laki itu malah bertanya."Kamu beneran mau kita melakukannya, Liv?" Rajendra menjauh dari ceruk leher
Rajendra mengendarai mobil dengan tenang. Sesekali ia melirik Livia yang duduk di sampingnya. Istrinya itu tampak termenung, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Sementara di pangkuannya ada Gadis yang tertidur nyenyak. "Liv, mikirin apa?" Rajendra bertanya memecah kesenyapan.Livia menoleh dan membalas tatapan Rajendra. "Saya agak sedih aja sih, Ndra, ninggalin apartemen kita yang lama, tapi nggak apa-apa. Ini yang terbaik untuk kita."Rajendra tahu apa yang Livia maksudkan. Apartemen mereka sebelumnya adalah tempat mereka memulai hidup bersama di negara ini. Tempat mereka jauh dari kenangan buruk sampai akhirnya toxic itu datang. Sejak saat itu apartemen tersebut terasa tidak lagi seperti rumah untuk pulang.Rajendra menghentikan mobilnya di sebuah komplek apartemen. Tempat tersebut adalah tempat tinggal mereka yang baru. Apartemen baru mereka berada di daerah yang lebih tenang dan jauh dari pusat kota. Bangunannya modern dengan keamanan yang ketat dan fasilitas lengkap.