Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.
Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia? Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya. "Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu." "Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan. "Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra yang sah. Kami menikah resmi baik secara agama mau pun negara," tegas Livia penuh penekanan. Utary tersenyum sinis dan kembali menghina Livia. "Mana mungkin Rajendra mau menikahi perempuan cacat seperti kamu. Buat jalan aja nggak bisa. Udah deh, nggak usah ngaku-ngaku. Sekarang panggilin Rajendra atau siapa pun yang ada di rumah ini. Aku mau bicara dengan mereka." "Nggak ada orang di rumah ini. Kalau urusan kamu sudah selesai, silakan pergi," usir Livia lugas. Ia tidak tahan lagi berdebat dengan perempuan asing di hadapannya ini. "Aku nggak akan pergi. Aku akan tunggu sampai Rajendra pulang." Utary memaksa masuk ke dalam rumah dengan cara yang kasar. Badannya menyenggol Livia hingga perempuan itu hampir saja jatuh. Untung ia berpegangan dengan kuat pada tongkatnya. "Livia!!! Livia!!!" Marina memanggil Livia dengan keras. "Iy-iya, Bu!" sahut Livia dari tempatnya lalu tergopoh-gopoh berjalan. Utary yang melihat kejadian itu tercengang. Ternyata Livia benar-benar pincang. "Ngapain aja kamu? Piring kotor masih banyak di belakang!" bentak Marina yang menyusul ke ruang depan. "Iya, Bu, sebentar, lagi ada tamu." "Siapa tamunya?" Livia tidak menjawab. Hanya matanya yang terarah pada sofa di ruangan itu, membuat Marina ikut memandang ke arah yang sama. Tahu dirinya sedang diperhatikan, dengan cepat Utary berdiri kemudian melangkah mendekati Marina. Tiba-tiba perempuan itu terisak. "Tante, aku Utary, pacar Rajendra. Putra Tante menghamili saya. Dia berjanji akan menikahi saya. Tapi sampai detik ini dia nggak memenuhi janjinya. Saya malu, Tante. Lama kelamaan perut saya akan semakin besar." Tentu Marina terkejut mendengar pengakuan yang dilontarkan Utary. Pernikahan Rajendra dengan Livia memang diselenggarakan karena terpaksa. Tapi ia tidak menyangka jika Rajendra akan berbuat sejauh itu. "Jadi kamu pacarnya Rajendra?" Marina menanyakannya. "Benar, Tante. Aku nggak bohong. Tante bisa tanya Rajendra langsung. Saat ini aku sedang mengandung anak Rajendra," aku Utary bersama tangisnya yang semakin keras. Marina tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak berani mengambil sikap sebelum memastikannya langsung pada sang putra. Maka kemudian yang dikatakannya adalah, "Sejak kapan kalian pacaran?" "Sudah lama, Tante. Lebih tepatnya dari dua tahun yang lalu. Tapi Rajendra nggak pernah mengizinkan aku datang ke rumah ini. Sekarang aku sedang mengandung anak Rajendra. Aku nggak bisa tetap tinggal diam." Hati Livia semakin hancur mendengar pengakuan Utary yang menyakitkan. Jika Utary sudah berhubungan dengan Rajendra sejak dua tahun yang lalu, itu artinya lelaki itu sudah menduakan Livia sejak awal pernikahan mereka. "Saya akan sampaikan pada Rajendra nanti. Sekarang pulanglah. Kalau memang anak itu anak Rajendra, dia pasti akan bertanggung jawab," usir Marina menyuruh Utary pergi. "Apa nggak boleh aku menunggu di sini saja, Tante?" pinta perempuan berambut coklat terang itu. "Rajendra baru akan pulang malam nanti. Kamu akan bosan menunggu dia. Lagian saya juga akan pergi, nggak ada orang di rumah ini," tolak Marina. "Baik, Tante. Tapi sebelum aku pergi boleh aku tahu siapa perempuan pincang ini? Tadi dia mengaku sebagai istri Rajendra. Itu nggak benar kan, Tante?" Marina mengembuskan napas. Ditatapnya Livia dengan kesal. Perempuan muda itu selalu membuatnya malu. "Bukan. Dia hanya pembantu di rumah ini." Utary lega mendengarnya, sedangkan Livia terkesiap. Sejahat-jahatnya Marina tapi tidak pernah ada dalam pikiran Livia kalau perempuan itu tidak akan mengakuinya. Seakan belum cukup derita yang diterimanya, setelah Utary pergi Marina mengata-ngatai Livia habis-habisan. "Tahu rasa kamu sekarang, hah?! Rajendra akan punya anak dan itu bukan dengan kamu. Dan ingat, jangan pernah menyalahkan Rajendra. Semua adalah kesalahan kamu. Sudah pincang, nggak bisa punya anak. Lebih baik kamu mati. Nggak ada gunanya juga kamu hidup. Kamu cuma benalu di rumah ini!" kecam Marina sambil menunjuk-nunjuk wajah Livia dengan tangan kirinya. Livia hanya bisa diam karena faktanya ia memang pincang dan tidak bisa memberikan Rajendra keturunan. Walau sedihnya sampai ke palung hati Livia tidak melawan. Baginya Marina sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia sangat menghormati perempuan itu kendati sering bersikap kasar padanya. *** Setelah semua pekerjaan rumah tangga beres Livia memesan taksi. Ia akan pergi ke kantor Rajendra. Ia tidak sabar menunggu Rajendra pulang nanti malam untuk menanyakan mengenai Utary. Livia cukup sering datang ke kantor Rajendra untuk mengantar hasil masakannya—walaupun lelaki itu tidak pernah memakannya dan selalu marah—jadi ia sudah tahu bagaimana sikap pegawai Rajendra padanya. "Siang, Pak Rajendra ada di ruangannya?" tanya Livia pada resepsionis begitu kakinya menginjak lobi. "Bapak lagi ada tamu," jawab resepsionis perempuan itu malas. "Baik, saya akan tunggu di ruang tunggu atas saja." Sebelum langkahnya menjauh Livia mendengar resepsionis tadi berbisik-bisik dengan keras membicarakan dirinya. "Heran gue, bisa-bisanya Pak Bos punya istri pincang kayak gitu." "Udah pincang, mandul lagi," kata temannya menimpali. "Mana tuh ibu-ibu sering banget datang ke sini. Dia nggak mikir apa ya suaminya bakalan malu? Kalo gue yang jadi Pak Bos udah lama gue cerein." "Setuju sama lo, Ka. Pak Bos kan ganteng. Mana masih muda dan tajir banget. Dia bisa dapetin cewek mana pun yang dia mau." "Jangan-jangan dia dipelet kali ya sama si pincang." Livia hanya bisa mengurut dada mendengar seluruh hinaan yang ditujukan untuknya. Ingin berkecil hati tapi sudah nasib orang cacat sepertinya untuk dihina. Sesampai di ruangan Rajendra yang berada di lantai 8 Livia mengetuk pintu. Lantaran tidak dijawab ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Livia hanya ingin memastikan apa benar Rajendra sedang ada tamu karena terkadang itu hanya akal-akalan resepsionis saja yang tidak suka Livia bertemu dengan Rajendra. Daun pintu pun terbuka. Menampakkan dua sosok manusia yang sedang berciuman. Membuat Livia terkejut dan menjatuhkan kotak makanan yang ia bawa. ***Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
"Persetan dengan semuanya. Anak ini bukan anak gue. Gue nggak ada sangkut pautnya sama dia. Dia cuma bakal jadi beban buat gue. Masalah gue udah banyak, gue nggak mau nambah lagi." Itulah kesimpulan Rajendra setelah mempertimbangkan apakah akan meletakkan Randu ke panti asuhan.Randu membelokkan mobilnya ke apartemen. Ia akan mengambil perlengkapan Randu di sana seperti pakaian, selimut dan susu. "Shit!" makinya ketika sepatunya menginjak pecahan kaca besar yang hampir membuatnya tersandung.Sejak ngamuk waktu itu Rajendra membiarkan apartemennya porak poranda. Nggak ada gunanya juga dibersihkan.Ia menendang pecahan kaca di lantai dengan jengkel, yang membuat bunyi berderak, memecah keheningan apartemen. Tempat yang kacau balau tersebut lebih mirip dengan area perperangan ketimbang sebagai kediaman. Serpihan-serpihan kaca, potongan-potongan foto, dan barang yang berserakan di mana-mana menjadi reminder kemarahannya beberapa hari yang lalu.Rajendra membawa langkahnya menuju kamar u
Sudah tiga hari pasca operasi Randu dirawat di rumah sakit. Hari ini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Tapi Rajendra masih bingung. Ia tidak tahu akan membawa Randu ke mana. Sebenarnya Rajendra bisa saja meninggalkan Randu di rumah sakit, tapi pasti pihak rumah sakit akan mencarinya karena data-data Rajendra sebagai orang tua Randu tercantum di sana.Rajendra memandang Randu yang terbaring di ranjang rumah sakit. Anak itu begitu kecil dan rapuh. Kalau ingin mengikuti keegoisan hatinya Rajendra bisa saja membuangnya di jalan."Mau gue bawa ke mana anak ini?" Rajendra bergumam dalam kebingungan. Ia sudah mencoba mencari Utary dengan menghubungi teman-teman perempuan itu. Namun tidak satu pun yang mengetahui keberadaan Utary. Atau mungkin mereka berbohong? Entahlah."Pak Rajendra," suara pelan seorang perawat mengeluarkan Rajendra dari lamunannya.Rajendra menoleh."Apa sudah ada yang akan menjemput atau mengantar Bapak dan Randu pulang ke rumah?"Rajendra termangu dalam keterdiaman.
Rajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men
'Ya Tuhan, ngomong apa gue barusan? Ngapain juga gue minta tes DNA. Randu itu anak gue. Astaga, Randu, maafin Papa, Nak.' Rajendra berteriak di dalam hatinya sambil berdiri di koridor rumah sakit.Rajendra tidak tahu apa yang tadi menguasai pikirannya sehingga ia bisa mengatakan hal itu pada dokter. Mungkin lantaran tadi kepalanya begitu digerogoti oleh banyak pikiran sehingga ia bicara sembarangan.Bagaimana mungkin ia meragukan Randu sebagai anaknya di saat dia sedang sakit?Tanpa membuang waktu Rajendra segera mencari dokter tadi. Beruntung ia menemukannya."Dokter!"Pria bersnelli putih berambut cepak menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang."Maaf, saya mengganggu, Dok. Tes DNA-nya nggak usah. Dibatalkan saja, Dok. Tadi saya hanya terlalu panik.""Baik, Pak." Dokter menjawab dengan singkat lalu pergi.Rajendra menghela napasnya kemudian kembali ke tempat perawatan Randu. Utary masih di sana, menemani anak mereka. Begitu melihat Rajendra, Utary memasang tampang masam
Di tempat yang lain Livia sedang merajut. Kali ini ia membuat topi bayi. Topi itu baru setengah jadi namun sudah terlihat indah dan menggemaskan berkat perpaduan warnanya. Livia memang sangat berbakat dalam hal merajut dan piawai memadumadankan warna.Dentingan dari ponselnya membuat Livia mengalihkan sejenak perhatiannya ke arah benda itu yang ia letakkan di atas meja. Ia meraihnya. Ia tahu itu dari Langit. Karena hanya Langit satu-satunya yang tahu SIM card baru Livia."Liv, aku lagi sama Rajendra, ngopi di dekat kantor."Itu isi chat dari Langit.Livia pandangi layar ponselnya dengan cukup lama. Pesan yang disampaikan Langit bagai membawa angin dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum. Nama Rajendra masih memiliki efek yang kuat padanya walaupun ia telah mencoba keras melupakan lelaki itu.Diletakkannya kembali ponsel ke atas meja dan melanjutkan rajutannya. Tapi entah mengapa tangannya terasa gemetar.Kenapa Langit mengabarkan padanya? Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan ters
Rajendra baru saja masuk ke dalam coffee shop di lingkungan kantornya ketika mendengar ponselnya lagi-lagi berbunyi. Dengan kesal ia merogoh saku celananya. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat nama Jihan tertera di layar. Jangan-jangan mertuanya itu ingin memberitahu pada Rajendra mengenai Livia. Jangan-jangan Livia ada di sana. Dan masih banyak lagi jangan-jangan yang bersarang di kepalanya."Halo, Tante.""Halo juga, Ndra. Kamu lagi sibuk?""Nggak juga, Tante. Tumben Tante menelepon?" Degup jantung Rajendra mengencang. Mungkinkah sebentar lagi ia akan mendengar Jihan mengatakan 'Ndra, Livia ada di sini'?"Kebetulan kalau begitu. Berarti Tante nggak mengganggu. Tante mau tanya, kenapa biaya pengobatan Tante bulan ini belum dikirim?"Rajendra mengepalkan sebelah tangannya yang bebas. Ia mencoba menahan kekesalan yang yang menggumpal di dalam dadanya. Rajendra sudah teramat lelah dengan semuanya, ditambah lagi panggilan dari Jihan yang hanya menagih uang membuatnya tidak mampu m
Hari-hari yang dilalui Rajendra terasa hampa. Hampir setiap hari ia datang ke rumah. Namun rumah itu tetap kosong. Tidak ada Livia di sana. Kejadian yang terjadi pada kehidupan pribadinya sampai terbawa ke dunia kerja. Rajendra jadi sering marah pada para pegawainya.Rajendra duduk di kursi kerjanya dengan raut kusut. Kertas-kertas berserakan di mejanya tatapi tidak ada satu pun yang dipedulikannya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari Livia yang sudah pergi meninggalkan rumah. Seharusnya saat ini Rajendra bahagia lantaran Livia, istrinya yang cacat dan membuatnya malu sudah pergi. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak bisa membuang perempuan itu jauh-jauh dari pikirannya meski sudah dua minggu berlalu. Ke mana pun ia memandang hanya wajah Livia yang terlihat.Sikap Rajendra berubah dengan dratis. Ia mudah marah pada siapa pun termasuk karena hal-hal sepele. Para pegawainya mulai sering membicarakan Rajendra di belakangnya. Membahas sikap dan perilaku atasan mereka yang semakin tidak ter