Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.
Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia? Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya. "Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu." "Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan. "Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra yang sah. Kami menikah resmi baik secara agama mau pun negara," tegas Livia penuh penekanan. Utary tersenyum sinis dan kembali menghina Livia. "Mana mungkin Rajendra mau menikahi perempuan cacat seperti kamu. Buat jalan aja nggak bisa. Udah deh, nggak usah ngaku-ngaku. Sekarang panggilin Rajendra atau siapa pun yang ada di rumah ini. Aku mau bicara dengan mereka." "Nggak ada orang di rumah ini. Kalau urusan kamu sudah selesai, silakan pergi," usir Livia lugas. Ia tidak tahan lagi berdebat dengan perempuan asing di hadapannya ini. "Aku nggak akan pergi. Aku akan tunggu sampai Rajendra pulang." Utary memaksa masuk ke dalam rumah dengan cara yang kasar. Badannya menyenggol Livia hingga perempuan itu hampir saja jatuh. Untung ia berpegangan dengan kuat pada tongkatnya. "Livia!!! Livia!!!" Marina memanggil Livia dengan keras. "Iy-iya, Bu!" sahut Livia dari tempatnya lalu tergopoh-gopoh berjalan. Utary yang melihat kejadian itu tercengang. Ternyata Livia benar-benar pincang. "Ngapain aja kamu? Piring kotor masih banyak di belakang!" bentak Marina yang menyusul ke ruang depan. "Iya, Bu, sebentar, lagi ada tamu." "Siapa tamunya?" Livia tidak menjawab. Hanya matanya yang terarah pada sofa di ruangan itu, membuat Marina ikut memandang ke arah yang sama. Tahu dirinya sedang diperhatikan, dengan cepat Utary berdiri kemudian melangkah mendekati Marina. Tiba-tiba perempuan itu terisak. "Tante, aku Utary, pacar Rajendra. Putra Tante menghamili saya. Dia berjanji akan menikahi saya. Tapi sampai detik ini dia nggak memenuhi janjinya. Saya malu, Tante. Lama kelamaan perut saya akan semakin besar." Tentu Marina terkejut mendengar pengakuan yang dilontarkan Utary. Pernikahan Rajendra dengan Livia memang diselenggarakan karena terpaksa. Tapi ia tidak menyangka jika Rajendra akan berbuat sejauh itu. "Jadi kamu pacarnya Rajendra?" Marina menanyakannya. "Benar, Tante. Aku nggak bohong. Tante bisa tanya Rajendra langsung. Saat ini aku sedang mengandung anak Rajendra," aku Utary bersama tangisnya yang semakin keras. Marina tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak berani mengambil sikap sebelum memastikannya langsung pada sang putra. Maka kemudian yang dikatakannya adalah, "Sejak kapan kalian pacaran?" "Sudah lama, Tante. Lebih tepatnya dari dua tahun yang lalu. Tapi Rajendra nggak pernah mengizinkan aku datang ke rumah ini. Sekarang aku sedang mengandung anak Rajendra. Aku nggak bisa tetap tinggal diam." Hati Livia semakin hancur mendengar pengakuan Utary yang menyakitkan. Jika Utary sudah berhubungan dengan Rajendra sejak dua tahun yang lalu, itu artinya lelaki itu sudah menduakan Livia sejak awal pernikahan mereka. "Saya akan sampaikan pada Rajendra nanti. Sekarang pulanglah. Kalau memang anak itu anak Rajendra, dia pasti akan bertanggung jawab," usir Marina menyuruh Utary pergi. "Apa nggak boleh aku menunggu di sini saja, Tante?" pinta perempuan berambut coklat terang itu. "Rajendra baru akan pulang malam nanti. Kamu akan bosan menunggu dia. Lagian saya juga akan pergi, nggak ada orang di rumah ini," tolak Marina. "Baik, Tante. Tapi sebelum aku pergi boleh aku tahu siapa perempuan pincang ini? Tadi dia mengaku sebagai istri Rajendra. Itu nggak benar kan, Tante?" Marina mengembuskan napas. Ditatapnya Livia dengan kesal. Perempuan muda itu selalu membuatnya malu. "Bukan. Dia hanya pembantu di rumah ini." Utary lega mendengarnya, sedangkan Livia terkesiap. Sejahat-jahatnya Marina tapi tidak pernah ada dalam pikiran Livia kalau perempuan itu tidak akan mengakuinya. Seakan belum cukup derita yang diterimanya, setelah Utary pergi Marina mengata-ngatai Livia habis-habisan. "Tahu rasa kamu sekarang, hah?! Rajendra akan punya anak dan itu bukan dengan kamu. Dan ingat, jangan pernah menyalahkan Rajendra. Semua adalah kesalahan kamu. Sudah pincang, nggak bisa punya anak. Lebih baik kamu mati. Nggak ada gunanya juga kamu hidup. Kamu cuma benalu di rumah ini!" kecam Marina sambil menunjuk-nunjuk wajah Livia dengan tangan kirinya. Livia hanya bisa diam karena faktanya ia memang pincang dan tidak bisa memberikan Rajendra keturunan. Walau sedihnya sampai ke palung hati Livia tidak melawan. Baginya Marina sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia sangat menghormati perempuan itu kendati sering bersikap kasar padanya. *** Setelah semua pekerjaan rumah tangga beres Livia memesan taksi. Ia akan pergi ke kantor Rajendra. Ia tidak sabar menunggu Rajendra pulang nanti malam untuk menanyakan mengenai Utary. Livia cukup sering datang ke kantor Rajendra untuk mengantar hasil masakannya—walaupun lelaki itu tidak pernah memakannya dan selalu marah—jadi ia sudah tahu bagaimana sikap pegawai Rajendra padanya. "Siang, Pak Rajendra ada di ruangannya?" tanya Livia pada resepsionis begitu kakinya menginjak lobi. "Bapak lagi ada tamu," jawab resepsionis perempuan itu malas. "Baik, saya akan tunggu di ruang tunggu atas saja." Sebelum langkahnya menjauh Livia mendengar resepsionis tadi berbisik-bisik dengan keras membicarakan dirinya. "Heran gue, bisa-bisanya Pak Bos punya istri pincang kayak gitu." "Udah pincang, mandul lagi," kata temannya menimpali. "Mana tuh ibu-ibu sering banget datang ke sini. Dia nggak mikir apa ya suaminya bakalan malu? Kalo gue yang jadi Pak Bos udah lama gue cerein." "Setuju sama lo, Ka. Pak Bos kan ganteng. Mana masih muda dan tajir banget. Dia bisa dapetin cewek mana pun yang dia mau." "Jangan-jangan dia dipelet kali ya sama si pincang." Livia hanya bisa mengurut dada mendengar seluruh hinaan yang ditujukan untuknya. Ingin berkecil hati tapi sudah nasib orang cacat sepertinya untuk dihina. Sesampai di ruangan Rajendra yang berada di lantai 8 Livia mengetuk pintu. Lantaran tidak dijawab ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Livia hanya ingin memastikan apa benar Rajendra sedang ada tamu karena terkadang itu hanya akal-akalan resepsionis saja yang tidak suka Livia bertemu dengan Rajendra. Daun pintu pun terbuka. Menampakkan dua sosok manusia yang sedang berciuman. Membuat Livia terkejut dan menjatuhkan kotak makanan yang ia bawa. ***Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang. "Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata be
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupaka
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha
Rajendra membawa Livia dengan disupiri Geri setelah menitipkan anak-anak pada Bu Mimi. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak panik. Maklum saja, ini adalah untuk pertama kalinya Rajendra melewati semua momen kehamilan Livia, mulai dari morning sickness, masa-masa Livia tidak bisa makan apa pun, masa-masa betapa protektifnya Rajendra padanya, masa-masa kehamilan tua di mana Livia mulai merasa kesakitan di mana-mana dan tidak bisa tidur hingga saat ini tiba masanya untuk melahirkan."Sakit banget, Ndraaa ..." Livia merintih tidak tahan di atas pangkuan Rajendra."Iya, Sayang. Sabar sebentar ya. Nggak lama lagi kita nyampe di rumah sakit," kata Rajendra sambil mengelus-elus perut Livia. "Ger, lebih kencang lagi," suruh Rajendra pada Geri agar menaikkan kecepatan."Baik, Pak," jawab Geri sambil memandang melalui spion tengah kemudian menekan pedal gas lebih dalam.Selama dalam perjalanan ke rumah sakit Livia terus merintih. Melihat ringisan di wajahnya membuat Rajendra tidak tahan. Andai
Kehamilan ketiga ini tidak mudah bagi Livia. Kondisinya lebih lemah dari dua kehamilan sebelumnya. Livia yang sering mual dan muntah-muntah otomatis membuat anak-anak bertanya apa yang terjadi pada ibu mereka."Bang Randu, tahu nggak kenapa Bunda muntah-muntah terus?" tanya Gadis pada Randu ketika mereka akan berangkat sekolah pagi itu.Livia yang muntah setiap pagi dan Rajendra yang selalu memijit tengkuknya adalah pemandangan yang sering dilihat anak-anak belakangan ini.Randu mengangkat bahunya tidak tahu. "Entahlah. Abang juga nggak tahu, Dis.""Apa mungkin Bunda lagi sakit?" Gadis terlihat khawatir."Kita tanya aja langsung yuk," ajak Randu.Kedua anak itu menunggu Livia dan Rajendra keluar dari kamar mandi. Mereka saling pandang saat mendengar suara muntahan dari arah dalam sana.Beberapa menit kemudian Livia dan Rajendra keluar dari kamar mandi."Ngapain pada kumpul di sini?" tanya Rajendra."Adis dengar Bunda muntah-muntah terus setiap pagi, Pa. Bunda sakit apa, Pa?" tanya Gad
"Kok aku bawaannya pengen nyium celana dalam kamu terus ya, Liv?" "Apa sih, Ndra?" Livia mendelik malu, mukanya sedikit memerah."Iya, Sayang, aku serius," jawab Rajendra sungguh-sungguh. "Sini!" Rajendra merenggut celana dalam bekas pakai Livia setelah Livia membukanya. Saat itu mereka akan mandi berdua.Livia terpaksa memberikannya pada Rajendra. Lelaki itu langsung mencium dan menjilatinya tepat di bagian kewanitaan Livia."Astaga, Ndra!" Livia geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya. Ternyata Rajendra kalau bucin gini amat ya?"Wanginya khas, aku suka," kata Rajendra yang membuat Livia bertambah malu."Sini, Ndra! Balikin nggak?" Livia berusaha merebut dari tangan Rajendra tapi Rajendra menjauhkan celana dalam itu dengan mengangkatnya tinggi-tinggi."Cuma celana dalam aja, Sayang. Pelit banget sih." Rajendra tertawa melihat ekspresi Livia yang sudah kehabisan akal."Tapi kamu itu aneh. Masa maunya celana dalam aku. Nggak cukup apa nyium yang ini?" Livia menunjuk organ vital
lHari demi hari berlangsung dengan damai. Kehidupan rumah tangga Livia dan Rajendra berlangsung harmonis bersama anak-anak mereka. Sesekali Rajendra menelepon Lunetta, namun gadis kecil itu tidak ingin berbicara dengannya. Lunetta masih merajuk lantaran Rajendra meninggalkannya di tempat sang nenek.Sementara itu Rajendra menjadi ayah yang siaga untuk Ananta. Hampir setiap malam Rajendra menemani Livia begadang untuk menyusui atau mengurus Ananta jika anak itu tidak mau tidur. Mereka saling bahu membahu dan berbagi tugas. Setiap tumbuh kembang Ananta tidak lepas dari perhatian Rajendra. Rajendra tidak ingin kehilangan momen-momen penting itu karena tidak akan bisa diulang kembali. Tanpa terasa sekarang Ananta sudah berusia satu tahun. Anak itu sudah bisa berjalan walau kakinya belum terlalu kokoh. Sore itu Rajendra pulang lebih cepat dari biasanya sehingga ia punya banyak waktu bermain dengan Ananta."Ndra, tolong jagain Ananta sebentar ya, aku mau nyiapin makanannya," ujar Livia."
"Lho, Papa kenapa udah pulang? Katanya Papa pergi liburan?" Gadis tercengang ketika sore itu melihat Rajendra sudah ada di rumah."Papa nggak jadi liburan, Papa tadi pagi cuma mengantar Kak Lunetta ke rumah kakek dan neneknya.""Apa, Pa? Berarti Papa bohongin kita? Kata Papa bohong itu dosa," mulut Gadis mengerucut.Rajendra tertawa karenanya. "Papa nggak bohong, Nak. Papa cuma nggak ingin bikin Adis sedih.""Emangnya Lunetta nggak bakal ke sini lagi ya, Pa?" tanya Randu menimpali.Rajendra menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini nggak. Lunetta tinggal dan sekolah di Surabaya. Nanti kalau liburan dia baru ke sini.""Kasihan Kak Lunetta. Kalau tahu dia mau pergi Adis kan bisa kasih hadiah perpisahan. Lagian emangnya di sana Kak Lunetta main sama siapa, Pa? Kak Lunetta kan nggak punya teman.""Ada, Sayang. Nanti kalau Kak Lunetta sudah sekolah temannya juga banyak seperti di sini. Adis nggak usah khawatir ya." Rajendra me
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bercat putih berpagar hitam. Rajendra dan Lunetta turun. Sebelah tangan Rajendra menggeret koper sedangkan sebelahnya lagi menggandeng tangan Lunetta."Papa, kenapa hotelnya kayak gini? Kenapa nggak bagus?" tanya Lunetta keheranan. Matanya mengelana ke sekeliling."Ini bukan hotel, Sayang. Ini rumah nenek dan kakek, orang tuanya mommy Sharon."Lunetta terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. "Kita ngapain di sini, Pa?""Kita ngunjungin nenek dan kakek. Selama ini mereka nggak tahu Lunetta itu yang mana. Ayo kita masuk."Berhubung pagar yang tidak dikunci memudahkan Rajendra untuk masuk ke dalam pekarangan. Tepat di depan pintu Rajendra menekan bel. Hanya dalam beberapa detik seorang wanita berusia enam puluhan keluar."Tante Ratih, masih ingat saya?" kata Rajendra mengawali.Wanita itu mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir. Setelah ingatannya pulih ia berkata, "Rajendra?""Iya, Tante. Ini saya.""Sudah lama sekali saya tidak ketemu kamu," uja