Share

Dikhianati Di Depan Mata

Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.

Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?

Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya.

"Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu."

"Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan.

"Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra yang sah. Kami menikah resmi baik secara agama mau pun negara," tegas Livia penuh penekanan.

Utary tersenyum sinis dan kembali menghina Livia. "Mana mungkin Rajendra mau menikahi perempuan cacat seperti kamu. Buat jalan aja nggak bisa. Udah deh, nggak usah ngaku-ngaku. Sekarang panggilin Rajendra atau siapa pun yang ada di rumah ini. Aku mau bicara dengan mereka."

"Nggak ada orang di rumah ini. Kalau urusan kamu sudah selesai, silakan pergi," usir Livia lugas. Ia tidak tahan lagi berdebat dengan perempuan asing di hadapannya ini.

"Aku nggak akan pergi. Aku akan tunggu sampai Rajendra pulang." Utary memaksa masuk ke dalam rumah dengan cara yang kasar. Badannya menyenggol Livia hingga perempuan itu hampir saja jatuh. Untung ia berpegangan dengan kuat pada tongkatnya.

"Livia!!! Livia!!!" Marina memanggil Livia dengan keras.

"Iy-iya, Bu!" sahut Livia dari tempatnya lalu tergopoh-gopoh berjalan.

Utary yang melihat kejadian itu tercengang. Ternyata Livia benar-benar pincang.

"Ngapain aja kamu? Piring kotor masih banyak di belakang!" bentak Marina yang menyusul ke ruang depan.

"Iya, Bu, sebentar, lagi ada tamu."

"Siapa tamunya?"

Livia tidak menjawab. Hanya matanya yang terarah pada sofa di ruangan itu, membuat Marina ikut memandang ke arah yang sama.

Tahu dirinya sedang diperhatikan, dengan cepat Utary berdiri kemudian melangkah mendekati Marina. Tiba-tiba perempuan itu terisak.

"Tante, aku Utary, pacar Rajendra. Putra Tante menghamili saya. Dia berjanji akan menikahi saya. Tapi sampai detik ini dia nggak memenuhi janjinya. Saya malu, Tante. Lama kelamaan perut saya akan semakin besar."

Tentu Marina terkejut mendengar pengakuan yang dilontarkan Utary. Pernikahan Rajendra dengan Livia memang diselenggarakan karena terpaksa. Tapi ia tidak menyangka jika Rajendra akan berbuat sejauh itu.

"Jadi kamu pacarnya Rajendra?" Marina menanyakannya.

"Benar, Tante. Aku nggak bohong. Tante bisa tanya Rajendra langsung. Saat ini aku sedang mengandung anak Rajendra," aku Utary bersama tangisnya yang semakin keras.

Marina tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak berani mengambil sikap sebelum memastikannya langsung pada sang putra. Maka kemudian yang dikatakannya adalah, "Sejak kapan kalian pacaran?"

"Sudah lama, Tante. Lebih tepatnya dari dua tahun yang lalu. Tapi Rajendra nggak pernah mengizinkan aku datang ke rumah ini. Sekarang aku sedang mengandung anak Rajendra. Aku nggak bisa tetap tinggal diam."

Hati Livia semakin hancur mendengar pengakuan Utary yang menyakitkan. Jika Utary sudah berhubungan dengan Rajendra sejak dua tahun yang lalu, itu artinya lelaki itu sudah menduakan Livia sejak awal pernikahan mereka.

"Saya akan sampaikan pada Rajendra nanti. Sekarang pulanglah. Kalau memang anak itu anak Rajendra, dia pasti akan bertanggung jawab," usir Marina menyuruh Utary pergi.

"Apa nggak boleh aku menunggu di sini saja, Tante?" pinta perempuan berambut coklat terang itu.

"Rajendra baru akan pulang malam nanti. Kamu akan bosan menunggu dia. Lagian saya juga akan pergi, nggak ada orang di rumah ini," tolak Marina.

"Baik, Tante. Tapi sebelum aku pergi boleh aku tahu siapa perempuan pincang ini? Tadi dia mengaku sebagai istri Rajendra. Itu nggak benar kan, Tante?" 

Marina mengembuskan napas. Ditatapnya Livia dengan kesal. Perempuan muda itu selalu membuatnya malu. 

"Bukan. Dia hanya pembantu di rumah ini."

Utary lega mendengarnya, sedangkan Livia terkesiap. Sejahat-jahatnya Marina tapi tidak pernah ada dalam pikiran Livia kalau perempuan itu tidak akan mengakuinya.

Seakan belum cukup derita yang diterimanya, setelah Utary pergi Marina mengata-ngatai Livia habis-habisan.

"Tahu rasa kamu sekarang, hah?! Rajendra akan punya anak dan itu bukan dengan kamu. Dan ingat, jangan pernah menyalahkan Rajendra. Semua adalah kesalahan  kamu. Sudah pincang, nggak bisa punya anak. Lebih baik kamu mati. Nggak ada gunanya juga kamu hidup. Kamu cuma benalu di rumah ini!" kecam Marina sambil menunjuk-nunjuk wajah Livia dengan tangan kirinya.

Livia hanya bisa diam karena faktanya ia memang pincang dan tidak bisa memberikan Rajendra keturunan. Walau sedihnya sampai ke palung hati Livia tidak melawan. Baginya Marina sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia sangat menghormati perempuan itu kendati sering bersikap kasar padanya.

***

Setelah semua pekerjaan rumah tangga beres Livia memesan taksi. Ia akan pergi ke kantor Rajendra. Ia tidak sabar menunggu Rajendra pulang nanti malam untuk menanyakan mengenai Utary.

Livia cukup sering datang ke kantor Rajendra untuk mengantar hasil masakannya—walaupun lelaki itu tidak pernah memakannya dan selalu marah—jadi ia sudah tahu bagaimana sikap pegawai Rajendra padanya.

"Siang, Pak Rajendra ada di ruangannya?" tanya Livia pada resepsionis begitu kakinya menginjak lobi.

"Bapak lagi ada tamu," jawab resepsionis perempuan itu malas.

"Baik, saya akan tunggu di ruang tunggu atas saja."

Sebelum langkahnya menjauh Livia mendengar resepsionis tadi berbisik-bisik dengan keras membicarakan dirinya.

"Heran gue, bisa-bisanya Pak Bos punya istri pincang kayak gitu."

"Udah pincang, mandul lagi," kata temannya menimpali.

"Mana tuh ibu-ibu sering banget datang ke sini. Dia nggak mikir apa ya suaminya bakalan malu? Kalo gue yang jadi Pak Bos udah lama gue cerein."

"Setuju sama lo, Ka. Pak Bos kan ganteng. Mana masih muda dan tajir banget. Dia bisa dapetin cewek mana pun yang dia mau."

"Jangan-jangan dia dipelet kali ya sama si pincang."

Livia hanya bisa mengurut dada mendengar seluruh hinaan yang ditujukan untuknya. Ingin berkecil hati tapi sudah nasib orang cacat sepertinya untuk dihina.

Sesampai di ruangan Rajendra yang berada di lantai 8 Livia mengetuk pintu. Lantaran tidak dijawab ia memutar gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Livia hanya ingin memastikan apa benar Rajendra sedang ada tamu karena terkadang itu hanya akal-akalan resepsionis saja yang tidak suka Livia bertemu dengan Rajendra.

Daun pintu pun terbuka. Menampakkan dua sosok manusia yang sedang berciuman. Membuat Livia terkejut dan menjatuhkan kotak makanan yang ia bawa.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status