Share

Istri Yang Tidak Pernah Diharapkan
Istri Yang Tidak Pernah Diharapkan
Penulis: Zizara Geoveldy

Istri Yang Tidak Pernah Diharapkan

Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan.

Namun, apa Rajendra peduli?

Tentu tidak.

Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya.

Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya.

"Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya.

Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa.

Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak ia dan Rajendra menikah dua tahun yang lalu.

Kala itu Rajendra menabrak mobil yang dikendarai ayah Livia hingga menyebabkan ayahnya tewas di tempat. Sedangkan Livia bernasib sedikit lebih baik. Meski mengalami kelumpuhan pada kakinya tapi setidaknya ia masih hidup.

Tahu keadaan Livia tidak lagi sempurna seperti dulu, tunangannya pergi meninggalkan Livia yang membuat perempuan itu hancur sehancur-hancurnya. Bagaimana tidak? Ia baru saja ditimpa musibah lalu harus kehilangan pria yang dicintainya selama bertahun-tahun.

Keluarga Livia menuntut pertanggungjawaban Rajendra. Lantaran tidak ingin masuk penjara Rajendra terpaksa menikahi Livia.

Livia tidak menduga jika pernikahan dengan Rajendra merupakan babak baru kehidupannya. Rajendra memperlakukannya dengan buruk. Begitu pun dengan keluarga lelaki itu. Alih-alih disayang sebagai menantu, Livia malah diperlakukan sebagai pembantu.

Tapi Livia masih bisa bersyukur. Selama dua tahun ini ia rutin berobat dan menjalani fisioterapi. Kakinya yang dulu lumpuh sekarang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit walaupun dengan bantuan tongkat.

Livia meringkuk di sofa yang dingin. Dipandanginya Rajendra yang sudah terpejam. Agaknya lelaki itu sudah lelap. Itu terbukti dari dengkuran halus yang terdengar dari mulutnya. Mungkin Rajendra terlalu lelah bekerja seharian. Biasanya lelaki itu jarang sekali tidur mendengkur.

Livia mengesah, teringat drama romantis yang diam-diam ia tonton. Di drama itu lelaki yang menjadi tokoh utama selalu memeluk dan mencium kening wanitanya setiap kali mereka selesai bercinta. Livia juga ingin seperti itu. Ia ingin diperlakukan sebagai istri sebagaimana mestinya. Yang disayang-sayang dan dibelai-belai. Bukannya diusir setelah dipakai.

***

Livia bangun pagi-pagi sekali. Perempuan itu terpincang-pincang keluar dari kamar. Sedangkan Rajendra masih pulas dalam tidurnya. Livia tidak berani membangunkannya. Karena setiap kali Livia melakukan itu Rajendra akan marah.

Livia memulai hari dengan memasak menu sarapan pagi. Rumah Rajendra besar dan mewah, tapi mereka tidak memiliki pembantu. Livia tidak tahu apa alasannya. Livialah yang bertugas menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Mulai dari memasak, mencuci, sampai dengan membersihkan seisi rumah yang luas sampai ke sudut-sudutnya.

Livia sedang memotong-motong sosis ketika Marina—mertuanya muncul. Seperti biasa perempuan itu selalu menatap Livia dengan wajah masam.

"Jam segini baru bangun?!" hardiknya ketika melihat belum ada satu pun yang tersedia di meja makan.

"Maaf, Mi, semalam saya susah tidur." Livia memberi alasan meski ia terlambat bangun hanya sekitar sepuluh menit saja. Namun bagi Marina hal itu merupakan kesalahan yang fatal. Semalam Livia memang tidur agak larut. Itu semua karena ia harus melayani Rajendra yang banyak maunya.

"Harus berapa kali saya katakan? Jangan panggil saya mami. Saya bukan ibu kamu!" hardik perempuan separuh baya itu pada Livia.

"Maaf, Bu Marina. Saya salah." Livia meralat ucapannya walau sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Marina adalah mertuanya. Dan sudah sewajarnya jika Livia memanggilnya sama dengan Rajendra.

Marina menjawab dengan dengkusan keras. "Sekarang bangunkan Rajendra. Dia ada meeting pagi ini."

"Baik, Bu," angguk Livia patuh. Ditinggalkannya pekerjaannya saat ini kemudian bergegas ke kamar.

Setiba di kamar, Livia melihat Rajendra masih tertidur pulas. Ia menarik langkah mendekat. Gerakannya tertahan begitu sampai di dekat ranjang.

Apa Rajendra tidak akan marah jika dibangunkan?

Teringat pesan mertuanya tadi bahwa pagi ini ada meeting, Livia segera membangunkan Rajendra.

"Ndra, bangun ...," panggilnya sembari mengguncang-guncang tubuh pria itu.

Rajendra menggeliat namun tidak langsung membuka mata.

"Ndra, sudah pagi. Mami kamu bilang ada meeting pagi ini." Livia membangunkan Rajendra sekali lagi dengan gerakan yang lebih kuat.

Merasa terganggu, pria itu membuka matanya dan berdecak keras.

"Apa nggak ada hal lain yang bisa kamu lakukan selain mengganggu orang?!" hardiknya yang membuat Livia berjengit.

"Maaf, saya hanya khawatir kamu terlambat datang ke kantor," jawab Livia pelan.

"Bukan urusanmu! Urus saja pekerjaanmu di dapur sana. Jangan pernah mencampuri hidupku!" bentak Rajendra sekali lagi dengan tatapan menusuk tajam.

Livia membawa perasaan sedih keluar dari kamar. Bentakan Rajendra dan amarah lelaki itu adalah makanannya sehari-hari.

Selama sarapan pagi berlangsung Livia tidak ikut makan. Ia bertugas melayani Rajendra, Marina dan Sherly—adik perempuan Rajendra satu-satunya. Livia baru akan diperbolehkan makan setelah seluruh pekerjaan rumah selesai. Ia benar-benar diperlukan bagai pembantu di rumah itu. Bagi Rajendra, Livia bukanlah istrinya melainkan seorang pelayan ranjang.

Pukul sembilan pagi suara bel menggema di rumah besar tersebut.

'Siapa itu?' pikir Livia. Ia sedang sibuk mencuci piring di ruang belakang.

Bel kembali berbunyi, memaksa Livia menghentikan segala aktivitasnya.

Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya, lalu dengan terpincang-pincang Livia melangkah ke depan rumah.

Tepat sedetik setelah bel keempat dibunyikan, Livia membuka pintu.

Seorang perempuan cantik berperut sedikit buncit sekarang berdiri di depannya.

"Maaf, mau cari siapa?" tanya Livia ramah.

"Rajendra ada?" Perempuan itu balas bertanya pada Livia.

"Suami saya sedang di kantor. Ada yang bisa saya bantu?"

Perempuan yang baru Livia lihat itu sontak terkejut mendengar jawabannya.

"Suami? Maksudnya Rajendra sudah menikah?"

"Benar sekali. Saya istrinya."

"Nggak mungkin!" sangkal perempuan itu. "Rajendra adalah pacarku. Dia sudah janji akan menikahiku. Bahkan saat ini aku sedang mengandung anaknya!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status