Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan.
Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak ia dan Rajendra menikah dua tahun yang lalu. Kala itu Rajendra menabrak mobil yang dikendarai ayah Livia hingga menyebabkan ayahnya tewas di tempat. Sedangkan Livia bernasib sedikit lebih baik. Meski mengalami kelumpuhan pada kakinya tapi setidaknya ia masih hidup. Tahu keadaan Livia tidak lagi sempurna seperti dulu, tunangannya pergi meninggalkan Livia yang membuat perempuan itu hancur sehancur-hancurnya. Bagaimana tidak? Ia baru saja ditimpa musibah lalu harus kehilangan pria yang dicintainya selama bertahun-tahun. Keluarga Livia menuntut pertanggungjawaban Rajendra. Lantaran tidak ingin masuk penjara Rajendra terpaksa menikahi Livia. Livia tidak menduga jika pernikahan dengan Rajendra merupakan babak baru kehidupannya. Rajendra memperlakukannya dengan buruk. Begitu pun dengan keluarga lelaki itu. Alih-alih disayang sebagai menantu, Livia malah diperlakukan sebagai pembantu. Tapi Livia masih bisa bersyukur. Selama dua tahun ini ia rutin berobat dan menjalani fisioterapi. Kakinya yang dulu lumpuh sekarang sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit walaupun dengan bantuan tongkat. Livia meringkuk di sofa yang dingin. Dipandanginya Rajendra yang sudah terpejam. Agaknya lelaki itu sudah lelap. Itu terbukti dari dengkuran halus yang terdengar dari mulutnya. Mungkin Rajendra terlalu lelah bekerja seharian. Biasanya lelaki itu jarang sekali tidur mendengkur. Livia mengesah, teringat drama romantis yang diam-diam ia tonton. Di drama itu lelaki yang menjadi tokoh utama selalu memeluk dan mencium kening wanitanya setiap kali mereka selesai bercinta. Livia juga ingin seperti itu. Ia ingin diperlakukan sebagai istri sebagaimana mestinya. Yang disayang-sayang dan dibelai-belai. Bukannya diusir setelah dipakai. *** Livia bangun pagi-pagi sekali. Perempuan itu terpincang-pincang keluar dari kamar. Sedangkan Rajendra masih pulas dalam tidurnya. Livia tidak berani membangunkannya. Karena setiap kali Livia melakukan itu Rajendra akan marah. Livia memulai hari dengan memasak menu sarapan pagi. Rumah Rajendra besar dan mewah, tapi mereka tidak memiliki pembantu. Livia tidak tahu apa alasannya. Livialah yang bertugas menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Mulai dari memasak, mencuci, sampai dengan membersihkan seisi rumah yang luas sampai ke sudut-sudutnya. Livia sedang memotong-motong sosis ketika Marina—mertuanya muncul. Seperti biasa perempuan itu selalu menatap Livia dengan wajah masam. "Jam segini baru bangun?!" hardiknya ketika melihat belum ada satu pun yang tersedia di meja makan. "Maaf, Mi, semalam saya susah tidur." Livia memberi alasan meski ia terlambat bangun hanya sekitar sepuluh menit saja. Namun bagi Marina hal itu merupakan kesalahan yang fatal. Semalam Livia memang tidur agak larut. Itu semua karena ia harus melayani Rajendra yang banyak maunya. "Harus berapa kali saya katakan? Jangan panggil saya mami. Saya bukan ibu kamu!" hardik perempuan separuh baya itu pada Livia. "Maaf, Bu Marina. Saya salah." Livia meralat ucapannya walau sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu. Marina adalah mertuanya. Dan sudah sewajarnya jika Livia memanggilnya sama dengan Rajendra. Marina menjawab dengan dengkusan keras. "Sekarang bangunkan Rajendra. Dia ada meeting pagi ini." "Baik, Bu," angguk Livia patuh. Ditinggalkannya pekerjaannya saat ini kemudian bergegas ke kamar. Setiba di kamar, Livia melihat Rajendra masih tertidur pulas. Ia menarik langkah mendekat. Gerakannya tertahan begitu sampai di dekat ranjang. Apa Rajendra tidak akan marah jika dibangunkan? Teringat pesan mertuanya tadi bahwa pagi ini ada meeting, Livia segera membangunkan Rajendra. "Ndra, bangun ...," panggilnya sembari mengguncang-guncang tubuh pria itu. Rajendra menggeliat namun tidak langsung membuka mata. "Ndra, sudah pagi. Mami kamu bilang ada meeting pagi ini." Livia membangunkan Rajendra sekali lagi dengan gerakan yang lebih kuat. Merasa terganggu, pria itu membuka matanya dan berdecak keras. "Apa nggak ada hal lain yang bisa kamu lakukan selain mengganggu orang?!" hardiknya yang membuat Livia berjengit. "Maaf, saya hanya khawatir kamu terlambat datang ke kantor," jawab Livia pelan. "Bukan urusanmu! Urus saja pekerjaanmu di dapur sana. Jangan pernah mencampuri hidupku!" bentak Rajendra sekali lagi dengan tatapan menusuk tajam. Livia membawa perasaan sedih keluar dari kamar. Bentakan Rajendra dan amarah lelaki itu adalah makanannya sehari-hari. Selama sarapan pagi berlangsung Livia tidak ikut makan. Ia bertugas melayani Rajendra, Marina dan Sherly—adik perempuan Rajendra satu-satunya. Livia baru akan diperbolehkan makan setelah seluruh pekerjaan rumah selesai. Ia benar-benar diperlukan bagai pembantu di rumah itu. Bagi Rajendra, Livia bukanlah istrinya melainkan seorang pelayan ranjang. Pukul sembilan pagi suara bel menggema di rumah besar tersebut. 'Siapa itu?' pikir Livia. Ia sedang sibuk mencuci piring di ruang belakang. Bel kembali berbunyi, memaksa Livia menghentikan segala aktivitasnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya, lalu dengan terpincang-pincang Livia melangkah ke depan rumah. Tepat sedetik setelah bel keempat dibunyikan, Livia membuka pintu. Seorang perempuan cantik berperut sedikit buncit sekarang berdiri di depannya. "Maaf, mau cari siapa?" tanya Livia ramah. "Rajendra ada?" Perempuan itu balas bertanya pada Livia. "Suami saya sedang di kantor. Ada yang bisa saya bantu?" Perempuan yang baru Livia lihat itu sontak terkejut mendengar jawabannya. "Suami? Maksudnya Rajendra sudah menikah?" "Benar sekali. Saya istrinya." "Nggak mungkin!" sangkal perempuan itu. "Rajendra adalah pacarku. Dia sudah janji akan menikahiku. Bahkan saat ini aku sedang mengandung anaknya!" ***Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik
Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang."Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai.Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?""Saya memang nggak tahu, Ndra.""Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!"Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan."Kembalikan!" Kata bernada perin
"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in