Lavanya salah jika mengira Erik akan langsung meledak. Lelaki itu justru terdiam menatap Lavanya dalam keheningan yang mencekam. Namun, Lavanya tahu dari rahangnya yang mengeras dan wajahnya yang menggelap sebentar lagi Erik akan memuntahkan kemarahan. "Lagi-lagi dia!" Erik akhirnya bersuara. Nadanya rendah tapi begitu tajam. "Kenapa selalu ada dia di setiap urusan kamu?""Mas, kamu jangan langsung emosi. Ini bukan tentang aku, bukan tentang dia dan bukan tentang kamu. Tapi tentang anak kita," ucap Lavanya mencoba memberi pengertian sebelum bara dalam amarah Erik membesar."Tapi kamu selalu melibatkan dia! Kamu biarin dia membawa kamu dan membawa anakku ke rumah sakit mahal, di kamar VIP pula. Jangan-jangan dia yang bayar. Iya?"Lavanya menundukkan wajahnya. Tak perlu repot-repot menjawab karena keheningannya sudah cukup sebagai jawaban.Erik tertawa pelan. Tawa yang begitu penuh dengan amarah. Harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang suami terasa dilukai oleh sikap Danish. "Hebat
Danish terdiam di sisi pintu. Matanya memandang Lavanya dan Erik yang berdiri saling berhadapan penuh ketegangan. Walaupun ia tidak mendengar percakapan di antara keduanya, namun atmosfer panas yang melingkupi ruangan cukup memberinya gambaran. Telah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di sini. Ingin berbalik pergi, namun ia sudah terlanjur membuka pintu dan terlihat oleh keduanya."Maaf, saya nggak tahu kalau Mas Erik sudah datang," kata Danish dengan sopan. Ia melangkahkan kakinya pelan masuk ke dalam kamar. Diletakkannya kantong berisi makanan di atas meja di samping tempat tidur Belia. "Ini saya belikan nasi untuk makan siang Lavanya dan Mas Erik. Silakan dimakan kalau Mas Erik berkenan," sambungnya. Sebenarnya satu bungkus nasi lagi adalah untuknya. Namun karena melihat Erik sudah ada di sana Danish menjadi sungkan.Erik mengirim tatapan tajam pada Danish. Dadanya naik turun menahan emosi yang memuncak. Lavanya yang menyadari situasi semakin genting melangkah menghampiri Danis
"Aku belum selesai," kata Erik ketika Lavanya membalikkan badannya dan berniat untuk memberikan perhatian sepenuhnya pada Belia.Lavanya memejamkan mata sembari menahan napas. Benar dugaannya. Erik masih berniat melanjutkan pertengkaran."Apa lagi, Mas?" tanya Lavanya tanpa melihat lelaki itu.Erik merengkuh tubuh Lavanya hingga menghadap padanya. "Sebenarnya ada hubungan apa di antara kalian?" tatapnya dengan sorot menusuk tajam."Maksud Mas?""Jangan bilang kalau hubungan kamu dan dia hanya sebatas atasan dan bawahan.""Tapi memang begitu faktanya, Mas. Hubungan aku dan Pak Danish hanya sebatas atasan dan bawahan di kantor. Nggak lebih," kata Lavanya menegaskan."Nggak lebih kamu bilang? Aku ngeliat sendiri gimana caranya memandang kamu, caranya bicara, semua gestur tubuhnya menunjukkan lebih dari itu.""Itu hanya perasaan Mas saja," sangkal Lavanya. "Itu bukan hanya perasaanku, tapi fakta. Dia punya rasa sama kamu. Apa kamu nggak ngerti juga?""Sebenarnya Mas hanya ngerasa insecure
"Papa ke mana, Ma? Kenapa Papa pergi?" Belia merengek melihat Erik meninggalkannya."Papa ke luar sebentar. Ada perlu katanya." Lavanya terpaksa berbohong pada anaknya. Ia sama sekali tidak tahu Erik pergi ke mana. Lelaki itu pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa memberi tahu. Tidak juga meminta izin.Belia menatap pintu kamar yang tertutup rapat dengan harapan ayahnya akan segera kembali. "Papa perginya lama ya, Ma?""Nggak... Papa hanya sebentar.""Tadi Papa marah sama Mama ya? Papa marah sama aku juga ya?""Papa nggak marah sama siapa-siapa, Sayang." Lavanya menyangkal sembari tangannya membelai lembut kepala Belia. Hatinya begitu sedih saat mengatakan itu. Tapi apa lagi yang bisa ia ucapkan? Belia tidak akan mengerti kalau cinta bisa melukai dan perasaan tidak akan sama selamanya."Tapi tadi aku dengar Papa bentak-bentak Mama."Lavanya ingin mengatakan bahwa Belia hanya sedang bermimpi. Bahwa sikap Erik padanya baik-baik saja. Namun rasanya sudah terlalu sering ia membohongi anak
Erik tidak kunjung kembali hingga malam tiba. Hanya Lavanya sendiri yang menjaga Belia di rumah sakit. Bahkan Lavanya masih memakai pakaian kerjanya tadi pagi. Lavanya mengambil handphone. Ia bermaksud menelepon Erik dan meminta agar dibawakan pakaian ganti. Tapi setelah sambungan terhubung Erik tidak juga menjawab panggilan darinya hingga berkali-kali Lavanya men-dial.Akhirnya Lavanya menyerah. Ia mematikan panggilan terakhir dengan embusan napas kecewa."Mama barusan nelepon Papa?" tanya Belia yang sejak tadi memerhatikan gerak-geriknya.Lavanya beralih menatap Belia kemudian menganggukkan kepala."Terus Papanya mana, Ma? Tadi Mama bilang Papa cuma keluar sebentar. Sampai sekarang kok nggak balik-balik?"Tatapan Lavanya jatuh lebih lekat di wajah Belia. Ia bisa merasakan bahwa anaknya tersebut begitu berharap akan kehadiran ayahnya."Mama telepon Papa tapi nggak dijawab. Mungkin Papa masih sibuk. Bentar ya Mama chat Papa dulu.""Suruh Papa ke sini ya, Ma?" pinta Belia."Iya, Sayan
Erik memacu motornya dengan kencang menuju rumah Mona. Ia menyalip dengan sembarangan ketika ada kendaraan yang menghalanginya di depan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah secepatnya bertemu dengan Mona. Ia akhirnya tiba di rumah mantan kekasihnya. Suasana rumah malam itu terhitung sunyi. Hanya ada suara samar gemerisik daun dari pohon yang tumbuh di halaman.Di beranda rumah, Mona sedang duduk menunggu Erik. Ia tersenyum manis menyambut kedatangan lelaki itu."Akhirnya Mas Erik datang juga," ucapnya senang."Aku nggak mungkin membiarkan kamu sendirian dalam keadaan begini, Mon." Erik membalas senyuman Mona.Mona membukakan pintu untuk Erik. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam rumah."Kamar Mona di lantai atas. Karena gelap tadi Mona hampir kepeleset, Mas," beber perempuan itu sembari memimpin langkah menaiki tangga.Tiba di kamar, Erik mendapati suasana gulita. Hanya ada sedikit cahaya dari luar yang menembus jendela sebagai sedikit penerangan.Erik mendongak, menatap lampu y
Pagi mulai menjelang. Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Di sebuah kamar yang didominasi oleh warna putih, sepasang anak manusia masih bergelung di bawah selimut dengan tubuh tanpa busana. Kemarin mereka menghabiskan malam yang panas sampai kelelahan.Erik terbangun lebih dulu. Ia menggeliatkan tubuhnya. Lelaki itu tersentak saat menyaksikan tubuh tanpa sehelai benang di sebelahnya.Seketika ingatannya membawa pada kejadian kemarin malam. Seharusnya ia tidak berada di sini. Semestinya ia berada di rumah sakit menemani istrinya mendampingi anak mereka yang sakit. Namun semalam karena larut dalam suasana ia menjadi hilang kendali dan melupakan segalanya.Mengusap wajahnya dengan kasar, Erik bangun lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia menghela napas lalu memungut pakaiannya yang berceceran di lantai, mengenakannya."Mas Erik, mau ke mana?" Suara Mona terdengar. Perempuan itu baru bangun.Erik menoleh. "Aku pulang sekarang, Mon. Udah pagi."Semalam Mona mengatakan bahwa orangtuanya m
Lavanya sudah menduga cepat atau lambat pertanyaan itu akan ia dengar dari Erik. Namun yang tidak ia sangka adalah akan terjadi secepat ini. Di dalam pikirannya Erik akan terlebih dulu menanyakan keadaan Belia. Nyatanya hal itu tidak terjadi."Lavanya! Aku lagi nanya sama kamu. Ini sepeda siapa? Kenapa ada di sini?" Erik kembali bertanya dengan nada yang jauh lebih tinggi.Tatapan Erik yang mengintimidasi hampir saja membuat Lavanya gentar. Tapi untuk saat ini ia tidak boleh jujur. Hubungannya dengan Erik sedang tidak kondusif. Dan Lavanya tidak ingin memperburuk suasana."Itu sepeda Belia, Mas. Aku yang beliin."Erik memandang Lavanya lebih lekat. Seakan sedang mendeteksi kebohongan di wajah istrinya itu. "Kamu bilang nggak punya uang. Kamu selalu mengaku kekurangan uang. Jadi gimana bisa kamu membeli sepeda ini? Kamu dapat uangnya dari mana, hah?!""Mas, tolong jangan marah dulu. Aku sama sekali nggak bohong tentang keadaan keuanganku. Mas 'kan tahu sendiri berapa gajiku. Jadi cerit
Rumah orangtua Danish berdiri dengan megah di sebuah kawasan elit yang berada di Jakarta Selatan. Arsitekturnya bergaya klasik modern dengan pilar-pilar tinggi, jendela-jendela besar dan halaman yang begitu luas. Di sisi kanan terdapat taman beraneka bunga dengan lampu taman yang bercahaya terang. Di samping taman itu ada sebuah kolam renang berbentuk persegi dengan air berwarna biru yang menyejukkan mata.Gerbang hitam setinggi tiga meter otomatis terbuka, memberi jalan untuk taksi yang keduanya tumpangi. Lavanya meremas tali tasnya. Jantungnya memompa darah jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Ada perasaan asing menjalari dirinya. Semacam rasa tidak pantas berada di tempat itu. Bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya membuat nyalinya sedikit ciut."Ayo kita turun," ajak Danish ketika taksi berhenti tepat di halaman rumah.Lavanya menghela napas, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang di dalam istana besar itu.Rumah itu terlihat sunyi. Mungkin para penghuninya sudah bera
Lavanya tersentak kaget kala mendengar dering suara ponsel. Bukan miliknya, tapi berasal dari pria di seberang mejanya. Seluruh lamunannya mengenai masa lalu buyar saat itu juga.Danish mengambil handphonenya dan melihat nama 'Mami' di layar. Ternyata ibunya yang menelepon."Boleh aku terima telepon dulu?" katanya meminta izin pada Lavanya.Danish tidak berubah. Dari zaman mereka berpacaran dulu selalu sama. Setiap kali mereka bersama dan ada telepon masuk ia akan selalu meminta izin terlebih dahulu pada Lavanya sebelum menjawabnya. Hanya saja yang berubah saat ini adalah status hubungan mereka."Silakan, Pak," jawab Lavanya sopan. "Saya mau ke toilet dulu." Ia pikir Danish butuh privasi untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana."Kamu nggak perlu pergi, Nya. Itu telepon dari Mami, nggak ada yang rahasia," cegah Danish seolah tahu apa yang saat ini mengisi kepala Lavanya.Lavanya urung melaksanakan niatnya. Ia tetap duduk di tempat. Lantaran tidak ingin dianggap menguping, Lav
Lavanya menundukkan kepala, memutus pertemuan mata yang intens di antara mereka. Beruntung pelayan restoran datang mengantar pesanan keduanya.Dua piring hidangan disajikan untuk mereka. Roasted chicken wing with garlic herb butter untuk Lavanya, serta tenderloin steak untuk Danish. Sedangkan untuk minumannya iced lychee tea favorit Lavanya dan juice apple kesukaan Danish.Baru melihatnya saja Lavanya sudah merasakan kesegaran mengaliri tenggorokannya. "Silakan dimakan, Nya," suruh Danish.Lavanya mengangguk lalu menyuap sayap ayamnya. Setiap potongan yang ia telan seakan sedang memanggil kenangan masa lalu ke permukaan. Kenangan indah yang sayangnya sangat menyesakkan dada. Rasa garlic butter yang gurih membawanya ke kamar tidur rumah kontrakannya beberapa tahun yang silam.Lavanya ingat betul kejadiannya. Saat itu Lavanya sedang sakit. Perubahan cuaca yang tiba-tiba dan sukar diprediksi berhasil melumpuhkannya. Semalam ia pulang kehujanan. Kebetulan di saat itu daya tahan tubuhnya
Setelah meeting selesai Danish membawa Lavanya ke hotel tempat mereka akan menginap selama dua hari ini.Sebenarnya Danish bisa saja menginap di rumah orangtuanya, tapi ia memilih menginap di hotel dengan Lavanya. Alasannya sederhana, agar ia bisa mendampingi Lavanya jika sewaktu-waktu perempuan itu membutuhkan.Sepanjang perjalanan menuju hotel yang terletak tidak jauh dari kantor Serenity Group, Lavanya tidak mengatakan apa pun. Momen manis saat meeting tadi membuatnya merasa canggung pada Danish. Apalagi ia tahu persis seluruh peserta rapat memerhatikan mereka.Mobil yang membawa keduanya berbelok memasuki halaman sebuah hotel bintang lima dan menurunkan mereka tepat di depan lobi. Seorang petugas hotel dengan sigap membawakan koper Lavanya dan Danish. Setelah check in, sepasang mantan kekasih itu naik ke kamar yang berada di lantai atas yang letaknya bersebelahan."Mau makan dulu atau istirahat?" tanya Danish setelah tiba di depan pintu kamar Lavanya."Istirahat dulu, Pak. Dan ka
Puluhan menit kemudian guncangan ringan dari helikopter yang menyesuaikan ketinggian membuat Lavanya terbangun. Seiring dengan kelopak matanya yang terbuka, ia merasakan tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Meski begitu sakit di perutnya tidak kunjung hilang. Sedetik setelahnya ia menyadari sesuatu yang berbeda. Ternyata kepalanya berada di pundak Danish. Entah sejak kapan. Lavanya yang terkejut seketika mengangkatnya. Pipinya bersemu karena malu."Maaf, Pak, saya nggak nyadar, tadi ketiduran," ucapnya tanpa berani memandang pada lelaki di sampingnya.Lelaki itu menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. Ia terlihat santai. "Kamu terlalu banyak meminta maaf, Nya. Kamu nggak salah apa-apa padahal."Walau Danish menganggap sebagai hal yang wajar, tetapi tertidur di pundak atasan sekaligus mantan kekasih, tidaklah lazim menurut Lavanya.Kepalanya tertunduk semakin dalam, mengimbangi rasa malu yang kian menyebar. Berbagai perasaan melingkupi hatinya. Antara malu, terharu dan juga nyaman. Ke
Pagi itu gerimis kecil baru saja membasahi kota A. Lavanya tiba di kantor dengan menggunakan taksi. Setelah berterima kasih, ia menjinjing koper kecilnya ke dalam kantor. Erik masih tidur saat ia tinggalkan tadi. Meskipun suaminya itu tidak mengizinkan, Lavanya tetap pergi. Kemarin malam Lavanya juga menelepon Nadia, meminta bantuannya untuk mengantar jemput Belia ke sekolah selama dirinya tidak berada di Jakarta, jika Erik melalaikan tugasnya."Kamu sudah siap, Nya?" tanya Danish begitu melihat Lavanya muncul.Lavanya mengangguk dan mengatakan, "Sudah, Pak.""Kita berangkat sekarang. Kita nggak naik pesawat komersial. Kemarin Bu Ratna nggak jadi mengatur penerbangan untuk kita karena kantor pusat mengirim helikopter untuk berangkat," jelas Danish di sela-sela langkah menuju mobil yang standby di depan lobi.Lavanya menelan saliva. Apa katanya? Berangkat dengan helikopter? Itu artinya selain ada pilot, ia hanya berdua dengan Danish, 'kan?Entah kenapa tiba-tiba saja detak jantung L
Terbangun pagi ini, sekujur tubuh Lavanya terasa sakit-sakitan, terutama bagian perut bawahnya. Andai saja bisa Lavanya ingin beristirahat di rumah. Namun lantaran sudah mengambil cuti waktu Belia sakit, Lavanya tidak enak jika harus absen lagi. Ia memaksakan diri untuk berangkat ke kantor."Lemas banget, Nya, mukamu pucat," kata Nadia ketika melihat Lavanya muncul. "Lagi sakit?""Masa?" Lavanya memegang pipinya.Nadia mengangguk."Oh, mungkin karena aku nggak pake bedak." Lavanya berdalih menyembunyikan keadaannya.Nadia tidak sepenuhnya percaya namun tidak memperpanjangnya. "Gimana Mas Erik? Ada tanda-tanda mencurigakan?" tanyanya dengan suara separuh berbisik."Ya gitu.""Ya gitu gimana?"Lavanya menghela napas. Tidak tahu dari mana harus memulai. Yang akhirnya ia katakan adalah, "Aku nggak pernah membahas mengenai foto itu.""Ih, gimana sih? Dia selingkuh lho! Dia check in di hotel!" kata Nadia geregetan. Jika ia menjadi Lavanya, ia pasti sudah bertengkar hebat dengan suaminya. Ba
"Biar kandungan kamu kuat, Lavanya. Ibu masih ingat, dulu beberapa kali kamu hampir keguguran waktu mengandung Belia," jawab Neli membeberkan alasannya. Lavanya mengerutkan dahi. Perubahan sikap Neli yang begitu drastis hanya dalam waktu satu malam menimbulkan kecurigaan tak berkesudahan di hatinya. "Kenapa tiba-tiba Ibu berubah sikap? Bukankah kemarin Ibu ngotot maksa aku buat menggugurkannya?" "Kemarin Ibu memang berpikiran begitu. Tapi ibu merenung dan menyadari kalau Ibu salah. Bagaimana mungkin Ibu menyuruh kamu meminta menggugurkan cucu sendiri. Anak kamu adalah cucu Ibu juga. Walau bagaimanapun dia adalah daging Erik. Ibu minta maaf soal kemarin." Lavanya terdiam. Neli tampak bersungguh-sungguh, membuat Lavanya berada di ambang keraguan. "Ayo! Tunggu apa lagi? Kasihan Bu Yati. Dia udah nunggu kamu pulang dari tadi." Suara Neli terdengar mendesak dan penuh tuntutan. Lavanya melirik ke arah Erik, meminta bantuan agar mendukungnya. Namun suaminya itu hanya diam. Ia duduk
Saat jam makan siang Lavanya benar-benar pergi dengan Danish. Yang orang-orang kantor tahu adalah keduanya pergi bersama mengantar dokumen penawaran tender. Tidak terlalu lama, mereka akhirnya tiba di komplek perumahan yang dituju. Perumahan tersebut masih baru dan terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota. Jalan yang membentang di sana juga sudah diaspal licin. Setelah melalui gerbang perumahan, Danish menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berwarna krem. Rumah tipe 36 itu memang sederhana, tapi begitu manis dengan bunga-bunga yang tumbuh di halaman kecil di depannya."Ini salah satu unit yang siap huni. Letaknya strategis, nggak terlalu jauh dari gerbang. Tapi kalau kamu kurang sreg, kita bisa mencari unit lain," jelas Danish sembari turun dari mobil dan menunjuk rumah di hadapan mereka.Lavanya mengamati rumah tersebut dengan saksama. Ada jendela-jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari masuk dengan leluasa. Pintunya yang mengilat, baru selesai dipernis dan berwarna