Dianggap sebagai perempuan tak berguna oleh suami dan mertua. Pernikahan yang sudah berjalan tiga tahun lamanya Ayara bagaikan pembantu untuk mereka. Penampilannya yang lusuh karena tak diberikan nafkah yang cukup. Bahkan, Janu yang suaminya pun memandang Ayara dekil dan bau. Sampai satu hari, Janu pulang dengan menggandeng seorang wanita. “Ayara, izinkan Mas berpoligami, ya.” Bagaimana jawaban Ayara atas permintaan sang suami? Akankah Ayara menolak atau menerima dimadu?
View More“Ayara! Di mana kamu!”
Pekikan itu mengisi seluruh sudut rumah. Ayara yang masih membersihkan dapur, langsung berlari kecil menuju meja makan. Di ambang pintu, Ayara melihat Nirmala—ibu mertuanya— yang sedang berkacak pinggang seraya menatap kesal pada meja makan. Hatinya mendadak tak enak, apa lagi yang salah di matanya? Dengan ragu Ayara melangkah menemui mertuanya yang sudah marah-marah di pagi hari. “Ada apa, Bu? Pagi-pagi Ibu udah teriak.” Ayara menatap mertuanya tak mengerti. “Ada apa, ada apa! Coba kamu lihat, apa yang kamu masak?!” Nirmala menunjuk ke atas meja makan. Ayara menoleh ke sana. “Kamu lihat itu? Kamu nyuruh kami sarapan dengan mie instan? Jadi istri kenapa gak punya pikiran, hah!?” Nirmala menyumpah-serapahi Ayara, tanpa memikirkan perasaan perempuan itu. “Maaf, Bu. Aku cuma bisa masak ini.” Ayara meremas ujung bajunya. Hanya ini yang bisa ia lakukan setiap kali kena amuk mertuanya. Mendengar balasan Ayara yang begitu halus, membuat Nirmala kembali berdecih sinis. “Halah bilang aja uang yang anakku kasih kau simpan buat belanja online kan?” Nirmala mendorong pelan badan Ayara, hingga perempuan itu menabrak kursi kayu. “Nggak, Bu.” Ayara sontak menggeleng atas tuduhan mertuanya. Ia sama sekali tidak pernah menyimpan uang belanja hanya untuk belanja online. Paling tidak ia gunakan uangnya untuk kebutuhan makan sekeluarga. “Emang dasarnya kamu itu gak guna! Kerjanya duduk di rumah habisin uang anakku saja! Nyesel dulu aku beri restu Janu menikahi gadis panti miskin kayak kamu!” Dada terasa sesak, hatinya bagai tercubit setiap kali sang mertua mengungkit masa itu. Ayara memang hanya seorang gadis panti yang lalu dipersunting jadi istri anaknya. Di mana saat ia datang ke rumah ini diperkenalkan sebagai kekasih anaknya, lalu meraih restu dengan sedikit sulit. Akan tetapi, Ayara tidak terima jika Nirmala mengatakan bahwa dirinya tidak ada guna. Buktinya selama tiga tahun menikah, perempuan berusia dua puluh enam tahun ini sama sekali tidak pernah goyang kaki di rumah. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah. Namun, sang mertua tidak pernah melihat itu. Ayara menghela napas pelan. Ia mencoba menarik kedua ujung bibirnya. “Untuk pagi ini, kita sarapan dengan ini dulu, ya, Bu.” Ayara bertutur lembut pada Nirmala. Nirmala yang sedang kesal, semakin naik tensi mendengar suara halus menantunya itu. “Gak mau saya! Kamu makan sendiri sampai kenyang ini!” Nirmala mendorong piring yang sudah di tata oleh Ayara di meja. Dadanya bergemuruh, lagi-lagi mertuanya ini berlaku kasar terhadapnya. Akan tetapi, ia tidak ingin menangis di depan keluarga suaminya. Terlebih lagi di saat yang bersamaan suara halus adik iparnya terdengar. “Pagi semuanya!” Gadis itu menyapa dengan sumringah. “Pagi, Li,” balas Ayara melempar senyum kepada remaja SMA itu. Namun, Ayara malah mendapat delikan sinis. “Loh, kok cuma mie instan menu sarapannya, Mbak?” Lili membanting kesal centong yang ada di dalam mangkuk. “Ibu, ini gimana ceritanya makan mie pagi-pagi?” Lili beralih mengadu pada ibunya dengan memelas. Nirmala menghela napas panjang. “Tanya saja sama kakak ipar kamu itu,” katanya melirik sinis ke arah Ayara. Lili pun merasa kesal dengan Ayara. Lama-lama ia juga gondok bicara dengan kakak iparnya itu. “Apa!? Alasan apa lagi yang mau Mbak bilang?” Lili berdecih, “Heran gue punya ipar lambat kayak lo!” Lihatlah, tidak hanya sang ibu, kini anak pun ikut menghina dan mencibir Ayara. “Mas Janu belum kasih uang belanja buat minggu ini, Bu. Makanya aku masak apa yang ada.” Ayara mencoba membela diri sebelum Nirmala kembali menyahuti perkataan putrinya. “Gak mungkin,” sangkal Nirmala sembari mengibaskan tangannya di udara. “Anakku selalu kasih uang belanja buat kamu, ya! Sampai-sampai uang bulanan untukku berkurang selama kamu ada di rumah ini!” Nirmala berteriak dan menatap marah ke arah Ayara. Baginya Ayara ini hanyalah penghambat keuangannya, karena selama putranya menikah dengan Ayara, uang bulanan untuknya berkurang. “Tapi aku jujur, Bu. Mas Janu belum ada kasih uang belanja.” Ayara masih meyakinkan ibu mertuanya. Pastinya ia tidak mau difitnah oleh ibu suaminya. “Kalau Ibu gak percaya, kita bisa tanya langsung ke mas Ja—” “Ada apa ribut-ribut?” Janu yang baru datang langsung menyela ucapan Ayara. Nirmala langsung mendekati putranya, memperlihatkan apa yang telah Ayara perbuat di pagi ini. “Kamu lihat, Janu. Istri kamu gak becus, dia marahi ibu juga tadi,” adunya dengan memasang wajah memelas di depan snag putra. Ayara mendengar itu sontak menggeleng. “Nggak gitu, Mas. Aku cuma bilang sama Ibu, kalau kamu belum kasih uang belanja, makanya aku cuma masak mie aja. Tapi Ibu malah anggap aku marahi ibu.” Ayara tak terima difitnah, jelas-jelas ia tidak memarahi mertuanya itu, malah di sini dirinyalah yang kena sembur setiap hari. Janu menoleh ke arah Ayara yang baru saja selesai berbicara. Kemudian ia mengalihkan pandangannya kepada Nirmala. “Lain kali kamu jangan gitu sama Ibu. Dia Ibu aku, kamu gak berhak memarahinya. Kamu turuti saja mau Ibu gimana.” Janu membalas tanpa sedikit pun membela Ayara yang notaben istrinya. Ayara tersenyum getir. Bahkan suaminya pun tidak punya simpati atasnya. Ayara tak ada pilihan lain, selain mengangguk kecil atas penuturan Janu. “Baik, Mas.” Masing-masing mereka mengambil tempat di meja makan. Terlihat Janu berdeham kecil, lalu menegak segelas air putih yang Ayara tuang hingga tandas. Pria itu menyambar tas kerjanya, lalu bangkit dari kursi. Tidak terlihat tanda-tanda jika pria itu ingin sarapan. “Uang belanja udah Mas taruh di kasur. Kamu hemat-hematin uangnya, jangan boros!” Janu berbicara ketus dan diangguki oleh Ayara. Hal itu kembali membuat Nirmala membuka suara. “Lihat, tidak salah apa yang Ibu bilang. Istrimu ini memang boros, ngatur uang belanja aja gak bisa!” cibirnya. “Sekarang lihat, bahkan suamimu aja nggak mau sarapan di rumah. Dasar memang istri gak guna kamu, bikin suami betah saja tidak bisa!” hardik Nirmala kesekian kalinya dan sekarang mata Nirmala mengerling jijik pada penampilan menantunya. Ayara tidak menyangkalnya, yang mertuanya katakan pasti akan benar di telinga suaminya. Namun, ia tidak memperpanjang lagi, kini ia kembali fokus pada suaminya. “Mas, ingin aku buatkan bekal apa?” tawar Ayara semangat, sebelum sang suami berangkat. Ayara langsung mengambil kotak bekal di dapur belakang, tetapi aksi Ayara yang cekatan tiba-tiba terhenti saat Janu berceletuk. “Tidak perlu, kamu mau buat aku malu dengan bekal mie instan-mu itu?” Janu menatap jijik ke arah istrinya. Kemudian, ia beralih pada Nirmala menyalami sang ibu. “Aku pergi dulu!” Janu melenggang pergi, tanpa berpamitan pada Ayara. Pria itu hanya menyalami ibunya, lalu mencium adiknya. Ayara hanya bisa menatap punggung lebar suaminya yang semakin menjauh. Bahkan untuk berpamitan saja suaminya tidak mau lagi. Terkadang ia berpikir apakah sekarang dirinya seburuk ini? “Lihat, suamimu saja sudah tak minat. Kamu tuh, masaknya gak enak! Gak bisa ngerawat diri, kucel lagi!” Nirmala mengamati penampilan Ayara pagi ini yang cukup lusuh baginya. “Huh, pokoknya nyesel punya mantu kayak kamu!” Nirmala membanting sendok, lalu pergi dari sana. Ayara tak lagi membalas cacian atau hardikan ibu mertuanya. Mendapat perlakuan seperti itu Ayara hanya bisa diam. Ia sadar bahwa dirinya hidup sebatang kara, baginya Nirmala sudah seperti ibu kandung. Maka, sulit baginya untuk membalas hinaan perempuan itu. Ayara tidak habis pikir dengan suaminya. Seharusnya dia menjadi tempat untuk Ayara berlindung dan mengadu jika ada percekcokan. Akan tetapi, secara terang-terangan suaminya itu membela penuh ibunya. Ayara pun memilih beranjak ke kamar. Perempuan itu tersenyum melihat uang belanja yang diletakkan di atas kasur. Namun, senyuman Ayara langsung pudar ketika ia usai menghitung nominalnya. "Ya, ampun, Mas ... Kenapa makin ke sini makin kurang?"Setelah selesai urusan di kantor pengacara, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi makan siang bersama, hitung-hitung agar Laras merasa nyaman dan tidak terlalu canggung ketika berada antara mereka.Ayara langsung menyambar tangan Laras begitu mereka tiba di depan sebuah restoran. "Ayo kita masuk. Kamu jangan gugup gitu, di sini gak ada yang kenal sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut, okay.”Ayara tersenyum pada Laras yang sesekali celingukan melihat sekitar, selayaknya takut ada orang yang ia kenal atau orang yang mengenalnya.Tidak ada lagi pembicaraan setelahnya, keempat manusia dewasa itu berjalan memasuki pintu kaca di hadapannya. Pilihan mereka pada sebuah meja yang terletak di samping tembok. Tak lama mereka duduk, seorang pelayan datang dengan tablet menu di tangannya.Usai memesan makanan, mereka mulai menikmati suasana di restoran sederhana itu. Tempatnya tenang, dengan lampu-lampu kuning yang memberikan suasana nyaman. Di setiap sudut diisi oleh sebagian orang membuat suas
Langit masih mendung, udara terasa dingin setelah hujan reda. Di dalam mobil, Ayara terus melirik ke jendela, pikirannya berkecamuk. Hari ini adalah hari dimana ia akan membahas masalah Laras lebih serius. Arsen yang menyetir melirik Ayara sebentar. "Kamu kenapa cemas gitu, Sayang?” tanyanya dengan suara yang terdengar ragu. Ayara menarik napas dalam. "Hem, aku gak tau juga Mas, takut nanti Laras ngejelasin ke Mas Rezanya.” Arsen menatap Ayara lembut, “Gak ada yang perlu ditakutkan, yakin aja Laras bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Lagian Mas yakin kalau kalau masalah ini pasti diterima.” Ucapan penenang yang kembali Arsen berikan. Ayara tersenyum simpul, perasaannya sedikit lebih tenang. Ia mencoba yakin jika laporan Laras nanti pasti akan diproses dengan baik seperti yang Arsen katakan. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan rumah Laras setelah beberapa saat dalam perjalanan. Ayara bisa melihat perempuan itu duduk di teras, memeluk dirinya sendiri. Wajah yang biasa te
Setelah mendengar cerita Ayara, Arsen tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan di luar jendela restoran. Ia berusaha meredam amarahnya, tapi gagal.“Kita gak bisa biarkan ini terus berlanjut. Kalau dia tetap di rumah itu, bisa-bisa dia mati di tangan mertuanya sendiri.”Ayara menunduk, meremas jemarinya. “Itulah kenapa aku mau bantu dia.” Ayara mencuri pandang pada Arsen yang kini masih dengan wajah tegasnya. “Harus gimana awalinya, Mas?”Arsen menghela napas dalam, lalu meraih ponselnya. “Aku kenal seseorang yang bisa bantu kita.”Ayara mengangkat wajahnya. “Siapa?”“Teman lama dari kuliah hukum, namanya Reza. Setahu Mas sekarang dia pengacara yang cukup berpengalaman dalam perkara perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga,” jelas Arsen.Mata Ayara berbinar. “Kamu yakin dia bisa bantu?”Arsen tersenyum tipis. “Kita tanya dulu, mungkin dia sedang kosong klien. Reza itu tipe orang yang gak suka lihat ketidakadilan. Kalau dia t
Malam itu, Ayara masih duduk di samping Kakeknya. Angin malam yang sejuk menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi.Kakek menghela napas panjang, mengusap janggut putihnya sebelum akhirnya menatap cucunya dengan pandangan yang lebih lembut."Ayara..." suaranya terdengar lebih tenang, tidak lagi sekeras sebelumnya. "Kakek hanya takut kamu terluka lagi."Ayara menggenggam tangan Kakeknya, jemarinya hangat meski hatinya masih terasa berat. "Aku tahu, Kek. Tapi kali ini aku yang memilih. Aku gak mau perempuan lain mengalami apa yang pernah aku alami."Kakek diam sejenak, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Kamu benar-benar keras kepala, ya?"Ayara tertawa pelan. "Bukan keras kepala, Kek. Cuma... aku gak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja.” Kini Ayara melirih."Kamu benar-benar seperti almarhum ayahmu."Ayara menoleh, terkejut dengan ucapan tiba-tiba sang kakek. "Apa maksud Kakek?"Kakek mengubah raut wajahnya yang tegas dengan ters
Langit mendung menggantung rendah ketika Ayara tiba di kafe kecil tempat ia berjanji bertemu dengan Laras. Matanya langsung mencari sosok perempuan itu di antara meja-meja yang hampir penuh. Saat menemukan Laras duduk di sudut ruangan, Ayara langsung terdiam.Perempuan itu mengenakan sweater oversized, tetapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kenyataan. Ada lebam ungu di pelipisnya, bibirnya pecah, dan di sudut matanya masih tampak sembab seolah habis menangis semalaman."Laras..." Ayara menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya.Laras menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayara. "Maaf, aku bikin kamu repot."Ayara menggeleng cepat. "Apa yang terjadi?"Laras menghembuskan napas panjang sebelum menjawab, suaranya terdengar serak. "Sejak malam aku pulang dari rumahmu itu... hidupku berubah jadi neraka, Ra." Ia menelan ludah, matanya menatap kosong meja di depannya. "Ibu Nirmala selalu pukul aku, hampir tiap hari dia datang ke rumaku. Aku mau ngelawan, tapi aku gak … aku gak bisa
Angin berembus lembut melewati jendela besar yang terbuka, membawa aroma hujan semalam yang masih tersisa di udara. Arsen duduk di sofa ruang tamu, menyesap kopi yang sudah mulai dingin. Di depannya, Ayara sibuk mengelus kepala El yang tertidur di pangkuannya.Hari itu, suasana di rumah terasa tenang. Selain karena berlibur dari kegiatan kantor, juga karena dapat bersantai dengan orang tersayang. Arsen sengaja datang ke rumah Ayara, karena mendapat kabar jika El terus rewel dari semalam. Padahal sekarang sudah jam sepuluh pagi, tetapi anak itu masih tertidur, mungkin karena suara geledek dan petir tadi malam membuat tidur El tak nyenyak seperti biasanya.“Apa kita bawa aja ke dokter, Ay?” Arsen menatap cemas El, bahkan kedatangannya hanya disambut dengan pelukan saja oleh anak itu, setelahnya El kembali tertidur.“Nggak usah, Mas. Ini dia cuma kurang tidur aja, palingan bentar lagi juga bangun.” Arsen tak lagi membalas, ia cukup menunggu dan menemani anak itu sampai bangun. Hari ini
Hari di mana Ayara mendatangi rumah Arsen untuk makan malam, itu menjadi hari terakhir keduanya berjumpa karena esok harinya Arsen langsung melakukan penerbangan.Sejak Arsen pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota, Ayara menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja, lalu mengurus El, dan menikmati waktu luangnya dengan menemani sang anak bermain.Namun, ada satu hal yang berbeda—keheningan yang muncul setiap kali ia menyadari bahwa tidak ada Arsen di sekitarnya. Mungkin itu terjadi karena Ayara terbiasa dengan adanya Arsen di sisinya.Satu minggu bukan waktu yang lama, tetapi cukup untuk membuatnya merasa ada yang kurang. Arsen juga tidak bosan-bosan menghubunginya, menanyakan kegiatannya, dan tentu saja, meminta foto—entah itu foto Ayara atau El."Ay, pap dong.""Mas lagi sibuk kerja di luar kota, bukannya fokus kerja malah minta pap terus." "Biar semangat kerja, dong. Sekali aja."Ayara hanya tertawa membaca pesan-pesan Arsen yang selalu mengganggunya di sela waktu kerja. Ka
Arsen duduk di dalam mobilnya, menatap lurus ke arah rumah besar yang berdiri megah di depannya. Jari-jarinya menggenggam kemudi erat, sementara dadanya terasa sesak oleh ketegangan yang semakin menumpuk. Kakek adalah sosok yang bijaksana, tetapi Arsen tahu bahwa pria tua itu juga tidak mudah memaafkan. Apalagi jika menyangkut Ayara—cucu kesayangannya. Arsen sadar bahwa kesalahannya bukan hanya melukai hati Ayara, tetapi juga mengecewakan orang yang telah mempercayainya.Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya, ada rasa takut yang menyelinap di dadanya. Bagaimana jika Kakek benar-benar marah? Bagaimana jika ia tidak bisa memperbaiki semuanya?Namun, di sisi lain, Arsen tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menghindar. Jika ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Ayara, maka ia harus bertanggung jawab."Aku harus menghadapinya," gumamnya pada diri sendiri.Dengan tekad yang sudah bulat, Arsen keluar dari mobil
Hari jampi petang dan Arsen baru saja pulang dari kantor dengan langkah lelah. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan tak menentu, dan pikirannya terus-menerus memikirkan Ayara.Bagaimana mungkin ia bisa melupakan perempuan itu dengan mudahnya. Ia benar-benar tulus dengan cintanya kepada Ayara. Namun, ini semua terjadi dengan sangat tiba-tiba.Saat ia tiba di rumah, ia tidak mendapati keberadaan ibunya, mungkin wanita itu di dapur pikirnya. Arsen melangkah masuk, berpapasan dengan Bagas yang datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tidak ada Aurel yang membuatkan. Lantas ke man perempuan itu?"Aurel ke mana?" tanya Arsen akhirnya, suaranya terdengar datar.Bagas menyeruput kopinya sebentar sebelum menjawab, "Lagi jumpa Ayara."Seketika, Arsen menegang. Alisnya berkerut dalam keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan."Apa?" Arsen menatap Bagas tak percaya. “Ngapain dia?”Bagaimana bisa? Aurel yang dengan terang-terangan menentang hubungannya dengan Ayara, yang bahkan menyebabkan per
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments