"Maaf, Bu. Tapi, uang yang Mas Janu kasih gak bakal cukup!” Ayara masih bersikeras untuk tidak memberikan uang kepada mertuanya.
Nirmala mendelik sinis, wanita itu langsung pergi dari hadapan Ayara dengan makian-makian tak jelas. Ayara sendiri tak terlalu ambil pusing, ia kembali membantu putranya meyelesaikan sarapan. Waktu berlanjut, hingga malam menyambut, Ayara sudah rapi dengan gamis instan terbaiknya. Mungkin Nirmala bertanya karena malam ini Ayara lebih tampil beda. Perempuan berhidung mancung itu telah berdandan cantik dengan harapan agar kembali mendapatkan perhatian dari sang suami. "Kamu dandan seperti itu ingin pergi ke mana? Ayara tersenyum tipis membalas ucapan sang mertua. Perempuan berhijab itu sedang menunggu kedatangan Janu, ia berencana makan malam bersama suami tercinta. “Ditanyain malah cengar-cengir. Dasar menantu aneh,” cibir Nirmala mendelik sinis. “Bukannya nemenin anak tidur, malah duduk gak jelas di sini!” lanjut Nirmala dengan sarkas. “El udah lelap, kok, Bu. Aku lagi nunggu Mas Janu pulang.” Ayara menjawab seadanya. Nirmala mengibaskan tangannya, seakan tak ingin mendengar apa pun yang keluar dari mulut menantunya. “Halah, alasan saja. Jangan coba-coba nyari perhatian anakku lagi. Paham!” Nirmala kesal dengan Ayara yang hendak menarik perhatian putranya. Ayara terlonjak mendengar penuturan sang mertua. Bagaimana caranya seorang istri tidak diperbolehkan mencari perhatian suami? Kemudian wanita itu pergi dari sana dengan menghentakkan kakinya. Ayara hanya menggelengkan kepala, setiap hari ada saja tingkah laku wanita tua itu. Tersisa Ayara seorang diri di tengah rumah yang sudah sunyi karena memang sudah memasuki waktu istirahat. Terdengar suara pintu yang terbuka, Ayara bergegas menyambut kepulangan suaminya. Senyum manis yang sedari terpatri di bibir, perlahan memudar setelah melihat pemandangan di depannya. "Mas, siapa wanita di sampingmu?" tanya Ayara memicingkan mata curiga. Dada Ayara kian bergemuruh ketika tangan kekar suaminya melesak pada pinggang wanita bergaun sepaha itu. Janu tersadar akan keberadaan Ayara, cepat-cepat pria itu melepaskan tangannya. “Dia teman kantorku. Dia ingin menginap di sini, karena besok kami harus cepat datang ke kantor,” sahut Janu tersenyum tipis ke arah perempuan itu. Ayara tersenyum tipis mencoba berpikir positif. Bayangkan saja suamimu pulang malam-malam dengan menggandeng seorang perempuan. Bukankah wajar kalau Ayara menaruh kecurigaan ketika suami membawa perempuan lain ke dalam istana mereka? “Janu, kamu baru pulang, Nak?” Tiba-tiba Nirmala datang nimbrung di tengah mereka. “Iya, Bu.” Janu menyalami ibunya, tetapi tidak melakukan hal yang sama pada Ayara. Mata Nirmala berpindah pada perempuan di samping Janu. Seketika binar terlihat di manik wanita berkepala lima itu. “Siapa ini, Janu? Cantik sekali dia, siapa namamu, Nak?” “Dia teman kantorku, Bu. Namanya Laras,” jawab Janu memperkenalkan perempuan bernama Laras dengan tersenyum lebar. Perempuan itu tersenyum, lalu menyodorkan tangannya ke depan Nirmala. “Halo, Bu. Aku Laras.” “Nama yang cantik, sama kayak orangnya.” Nirmala menatap Laras dengan tatapan kagum yang memuji. Ia mengerlingkan mata memperhatikan penampilan Laras dari ujung rambut hingga ujung kaki. ‘Sempurna, begini nih mantan yang aku pengen. Wangi, bajunya bermerek, cantik, yang paling penting … Laras ini pasti kaya.’ Nirmala membatin girang dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya. Ayara yang masih berdiri di sana hanya bisa menatap interaksi mereka yang seakan langsung akrab. Padahal ia hampir tiga tahun menjadi bagian keluarga ini, tetapi tidak sekali pun ia mendapatkan pujian dan sanjungan seperti itu dari mertuanya. “Heh, kamu! Ngapain masih di situ!” Ayara terlonjak ketika Nirmala berteriak padanya. “I-ya, Bu, kenapa?” Ayara gelagapan dan sekaligus malu diperlakukan seperti itu di depan teman suaminya. “Cepat sana beresin kamar tamu. Nak Laras mau nginap di sini!” Nirmala memerintah Ayara dengan ketus. Tanpa menunggu lama Ayara beranjak dari sana menuju kamar tamu. “Siapa perempuan itu?” tanya Laras remeh, sambil menatap punggung Ayara yang semakin menjauh. Pandangan Janu dan Nirmala beradu. Ketika Janu hendak menjawab, ternyata Nirmala-lah yang lebih dulu menyela. “Oh, dia bukan perempuan penting, kok, Nak,” kata Nirmala dengan sangat enteng. Wanita itu tidak memikirkan perasaan menantunya yang malah diakui sebagai pembantu. Ayara yang berdiri di balik tembok pembatas ruang tamu, seketika terduduk lemas, lututnya seakan tak bertulang. Pengakuan sang mertua benar-benar membuatnya sakit. ‘Tega banget Ibu,’ lirihnya dalam hati. ‘Mas Janu juga tak membelaku.’ Ketika derap langkah terdengar, buru-buru Ayara menghapus air matanya dan membenarkan letak kerudungnya, lalu menghampiri mereka yang sudah ke meja makan. Ayara hendak melayani suaminya, tetapi pergerakannya langsung terhenti saat Laras yang lebih dulu mengambilkan nasi untuk suaminya. Hatinya bergemuruh, matanya menatap tak suka ke arahnya. Lagi pula istri mana yang bisa bisa tenang ketika perempuan lain mencuri perhatian suaminya? Ayara rasa tidak ada, jika pun ada mungkin perempuan itu sudah sakit saraf! “Maaf, Mbak, biar saya aja. Saya lebih tau porsi makan suami saya.” Ayara menahan tangan Laras yang hendak mengambil nasi lagi. Ia sengaja mengeluarkan kalimat tersebut, agar perempuan itu tidak lagi mencari perhatian laki-laki beristri. “Suami?” Laras mengernyit heran, lalu menatap Janu yang duduk di sampingnya. “Mas, ini istri kamu?” tanyanya dengan raut tak percaya. Janu menatap tajam ke arah Ayara, seakan laki-laki itu kesal karena Ayara telah mengaku sebagai istrinya. Dengan ragu, Janu menoleh ke arah Laras dan mengangguk kecil. “Iya, ini istriku, Ras” balas Janu tak bersemangat. “Wajar aja, sih, Mbak, kalau Mas Janu malu ngakuin kamu sebagai istrinya. Liat aja nih penampilan kamu. Udah make gamis, pake kerudung lagi,” cibirnya tanpa segan. “Jangan asal bicara, ya, kamu!” Ayara menatap nyalang ke arah Laras. Ia tak membiarkan orang lain menghinanya. “Kenapa? Benar kan Mas yang aku bilang?” Laras bahkan meminta persetujuan dari Janu atas hinaannya terhadap sang istri. Ayara menggeleng pada suaminya. Ia yakin suaminya akan membela dirinya. Namun, Ayara hanya bisa menganga tak menyangka saat Janu mengangguk, seakan membenarkan penuturan sampah yang Laras tujukan padanya. “Mas, kamu—?” “Udahlah, Ayara, mending kamu ke kamar jagain anak sana!” Janu mengusir Ayara. Laki-laki itu sudah muak mendengar ocehan istrinya yang tak berujung. Respons Janu yang seperti itu, tentu saja mengundang senyum puas dari Laras dan Nirmala. Laras senang karena Janu yang jelas-jelas memihaknya, sedangkan Nirmala sendiri sangat bahagia akhirnya menantunya itu diacuhkan oleh putranya dan memilih membela Laras yang lebih berkelas dari Ayara. ‘Akhirnya … aku akan hidup kaya raya.’ Nirmala tersenyum puas dengan bayang-bayang hidup bergelimang harta. Nirmala melihat itu, tersenyum-senyum sendiri. Kedekatan anaknya dengan perempuan seperti Laras lah yang ia nantikan selama ini. Karena dengan mereka dekat lalu menikah, maka ia juga akan kecipratan hidup mewah dan megah. Laras merasa bangga hati. Tanpa canggung Laras mendekati wajah Janu. “Makasih, Sayang.”“Cepat cuci bajunya!”“Aku lagi gak enak badan, Bu. Kepala aku pusing terus dari semalam.” Ayara memegang kepalanya yang berdenyut. Perempuan dengan hijab abu-abu muda itu benar-benar sedang menahan sakit, tidak sedang berbohong. Terlihat jelas wajahnya yang sedikit pucat. Bayangkan saja, setiap hari ia tak henti melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Mungkin tubuhnya sekarang sudah di titik sangat kelelahan. Alhasil, ia butuh waktu rehat sejenak.“Halah, alasan saja kamu ini!” sentak Nirmala, “Kamu memang ditakdirkan untuk jadi babu. Udah sana gak usah banyak protes, cuci baju sama cuci piring, cepat!” Nirmala kembali berteriak.Teriakan tersebut sampai membuat El yang sedang bermain di depan televisi, langsung berjalan kecil mencari ibunya. Di balik tembok pembatas ruang makan, anak kecil itu melihat sendiri bagaimana ibunya diperlakukan oleh neneknya. El tidak bisa melarang, ia bicara saja belum terlalu lancar.“Besok aja, ya, Bu. Aku m
“Nikah?” Ayara masuk ke kamar dengan tatapan bingung. Ia tak sengaja mendengar ucapan akhir ibu mertuanya. “Nikahin siapa maksudnya, Bu?” Janu dan Nirmala saling beradu pandang. Keduanya bagaikan baru saja tertangkap basah karena melakukan kesalahan. Namun, sebisa mungkin Janu merilekskan raut wajahnya, agar Ayara tidak memasang kecurigaan padanya. Janu bangkit dari kasur, menghampiri Ayara yang mematung di ambang pintu. Ia merangkul perempuan berhijab itu, lalu dibawanya ke sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Melihat perlakuan lembut suaminya, yang hampir tak ia rasakan lagi, tentu saja membuat Ayara heran. Kenapa tiba-tiba berubah selembut ini? Ayara menoleh ke arah mertuanya juga, yang tidak membuka suara. Biasanya wanita berjambul tinggi itu akan selalu mencibir jika ada Ayara di depannya. Namun, sekarang tidak. “Ada apa, sih, Mas?” Ayara menggeleng kebingungan dengan situasi. Bukankah biasanya jika tiba-tiba berubah seperti ini, ada sesuatu yang diinginkan ‘kan? “Mas m
“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya. “Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya. Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah. Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?” Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya. Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk
“Sa-saya ma—” “Maaf, Pak Arsen. Tapi Mbak ini buat keributan di sini. Dia sibuk minta pekerjaan, padahal sudah saya jelaskan baik-baik kalau di sini tidak ada lowongan. Tapi, Mbak ini maksa saya terus.” Rentetan penjelasan diutarakan oleh pelayan itu. Ia tidak mau salah di mata bos-nya hanya karena Ayara. Pria yang dipanggil Arsen itu mengangguk paham atas penjelasannya. Lantas ia mengalihkan atensi pada sosok perempuan berkerudung coklat susu yang sedang menggendong seorang anak laki-laki. Arsen menatap datar Ayara yang diam tak berkutik begitu pelayan tersebut menyela ucapannya. “Benar begitu?” Ayara mengangguk semangat. Berharap pria di depannya akan memberinya pekerjaan. “Bisa saya bekerja di sini, Pak?” Arsen tidak habis pikir dengan perempuan berhijab itu. Datang malam-malam dengan menggendong anak. Pertanyaan dalam diri Arsen, apakah dia tega membawa seorang anak di malam hari? Seketika Arsen menggeleng kecil. “Sepertinya yang dikatakan pegawai saya sudah cukup jelas.” Ars
“Mama kenapa pincang gini?” Pria itu mengulangi pertanyaannya, menghampiri Ratih yang dipegang oleh Ayara.‘Laki-laki itu?’ Ayara terkejut melihat pria itu di depannya dan memanggil Ratih dengan sebutan Mama. Itu artinya Bu Ratih dan dia adalah ibu dan anak.Ratih tersenyum tipis pada putranya. “Nggak papa, kok. Tadi Mama gak sengaja keserempet motor,” jelasnya seketika membuat sang putra membelakak. “Gak usah melotot gitu, Ar.” Ratih terkekeh kecil melihat wajah putranya yang mengkhawatirkannya.“Gak melotot gimana. Mama sakit begini aku gak boleh khawatir.” Arsen memeriksa kaki mamanya yang dibalut dengan kain berwarna coklat. “Sekarang kita ke rumah sakit.”“Gak usah, tadi Nak Ayara sudah bantu Mama.” Ratih menoleh pada Ayara yang berdiri sedikit menjauh dari sebelumnya. “Aya, sini, Nak. Kenapa di situ. Ibu mau kenalin kamu ke anak Ibu karena kamu sudah bantu Ibu.” Ratih memanggil Ayara.Ayara yang paham situasi, tadinya beringsut mundur saat pria bernama Arsen itu mengambil alih t
“Kamu diterima kerja di restoran.” Kalimat itulah yang terus terngiang di benak Ayara. Sungguh kejadian sederhana itu, benar-benar mendatangkan berkah dan keuntungan untuknya. Siapa sangka hanya karena membantu seorang wanita yang ternyata pemilik restoran. Sehingga sekarang Ayara bisa berkerja di sana. Itulah siklus kehidupan. Di saat ada hati yang tulus dalam membantu, maka Tuhan juga akan mempersiapkan bantuan dan hal indah lain untuknya. Maka dari itu, jangan sekali-kali lelah dalam berbuat baik dan tetap menolong sesama sesuai kemampuan kita. Pagi-pagi sekali Ayara sudah bangun dan mempersiapkan Aciel. Rutinitas ini sudah Ayara lakukan sejak satu minggu lalu, saat ia mulai bekerja di restoran Arsen. Usai dengan semua kesibukan pagi, barulah Ayara mempersiapkan dirinya. “Bunda berangkat kerja, ya, Sayang.” Ayara mencium pipi Aciel sebelum berangkat. “Jangan rewel, ya. Patuh sama nenek,” lanjutnya dan dibalas anggukan oleh anak itu. “Ote, Nda,” sahutnya sambil tertawa.
Kalung ini milik siapa? “Apa mungkin punya pelayan di sini?” Damar menatap lama kalung di tangannya. Bulan sabit dengan bintang kecil di tengahnya, membuat kalung tersebut tampak menawan. Aneh nya Damar merasa tak asing dengan rantai emas ini. “Apa pelayan Pak Arsen ada yang punya kalung ini?” tanya Damar ingin tahu. Ia menyerahkan kalung itu pada Arsen. “Saya juga tidak tau pasti, Pak.” Arsen tak langsung membenarkan tebakan Pak Damar. Takutnya bukan punya pelayan, bisa saja punya pelanggan sebelum mereka menempati ruangan VIP tersebut. “Biar nanti saya tanyakan dulu pada karyawan saya, Pak.” Damar menggeleng tak setuju. “Tidak tidak biar saya saja. Saya ingin tahu siapa pemilik kalung ini.” Damar memutuskan untuk ikut, ia ingin mencari tahu secara langsung siapa pemilik kalung bulan sabit ini. Arsen tak lagi membantah. Ia membiarkan rekan kerjanya itu untuk ikut saat mencari pemilik kalung tersebut. “Baiklah, Pak. Silakan menikmati hidangannya.” Arsen mempersilakan ta
“Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dok?” Ayara mengikuti langkah dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Aciel. “Cuma demam biasa aja kan, Dok?”Dokter tersebut menoleh pada Aciel yang terlelap di atas brankar. Kemudian perempuan berjas putih itu mengangguk pelan. “Iya, cuma demam biasa. Tapi, suhu tubuh Aciel sedikit lebih tinggi dari pada umumnya. Tapi tenang saja, tidak ada potensi untuk terkena step, kok.” Barulah Ayara bisa bernapas lega. Ayara mengusap kasar ujung matanya yang berair. Dalam hati berulang kali ia mengucapkan syukur, karena Tuhan kembali membantunya. Doanya terkabulkan, sehingga tidak ada hal yang serius pada putranya.“Terima kasih, Dokter.” Ayara menyalami tangan ibu dokter anak itu. “Iya, sama-sama. Lebih baiknya Nak Aciel dirawat barang sehari, supaya kondisinya cepat pulih.” Dokter menyarankan pada Ayara. Namun, saat melihat perubahan wajah Ayara membuat dokter itu bertanya heran. “Kenapa?”Ayara memutar ujung hijabnya. Bukannya ia tidak sayangkan
Bab 26. “Maunya gitu, sih, Buk. Tapi tabungan aku belum cukup.” Janu menghela napas mengingat angka tabungan yang masih belum mencapai target. “Memangnya mau berapa?” Nirmala mendelik ke arah putranya. “Bukannya nikah di KUA aja. Biar uangnya bisa kita pake untuk sehari-hari,” tandas Nirmala lagi. Janu spontan memijit pelipisnya. Kepalanya dipenuhi oleh beberapa masalah. Belum selesai dengan masalah panggilan pengadilan, kini ibunya malah menyuruhnya menikah dengan Laras di KUA. “Gak bisalah, Buk,” sergah Janu pelan dan itu berhasil membuat Nirmala mengernyit heran. “Gak bisa gimana? Orang tinggal sewa baju kebaya, terus ke KUA, udah selesai,” seloroh Nirmala dengan geleng-geleng kepala melihat tanggapan anaknya. Janu menghela napas kasar, ibunya tak mengerti dengan situasi yang sedang dialaminya. Jani beranjak dari kursi hendak masuk kamar. Namun, Nirmala menyergahnya. “Hei, Janu! Jawab dulu Ibu tadi nanya. Kenapa gak bisa di KUA aja?” desak Nirmala geram melihat anaknya
“Loh loh, mau datang ke mana ini?” Ayara seketika panik sendiri melihat pesan yang tertera di layar kunci ponselnya.Jemari Ayara gesit memasukkan kata sandi pada ponselnya, agar bisa membalas pesan tersebut. Namun, tidak sempat karena sebuah panggilan lebih dulu masuk dari Arsen.Ayara langsung menggeser panel hijau dan meletakkan ponsel di telinganya. Tak lama sebuah suara bariton menyapa.“Ayara!” “Pak Arsen.” Keduanya memanggil secara bersamaan. Keduanya sempat terdiam beberapa saat karena saling bertolak untuk memulai bicara.“Kamu duluan saja.” Arsen mempersilakan Ayara untuk berbicara terlebih dahulu.“Maksud Bapak datang ke mana, ya?” Ayara mengerutkan keningnya kebingungan, masih belum paham dengan isi pesan atasannya itu. Tadinya ia sempat berpikir jika itu adalah Janu. Namun, setelah memastikan nama kontak yang masuk, barulah Ayara bernapas lega karena yang baru saja mengirimkannya pesan adalah Arsen.“Saya datang menjemputmu, Ayara. Kamu sudah selesai kan?” Ayara mengan
Bab 24. Janu tidak hadir lagi.“Ayara, kamu mau pergi lagi?”“Eh, Pak Arsen.” Ayara mendongak, ia mendapati atasanya yang tampak baru saja tiba. Bisa Ayara lihat pria itu semakin mendekatinya. “Saya izin, ya, Pak. Kalau cepat selesai, saya balik kerja lagi nanti,” lanjut Ayara.“Tidak perlu, kamu bisa langsung pulang saja.” Janu melarang perempuan bermata coklat itu untuk kembali bekerja.“Makasih banyak, Pak.” Ayara bersyukur atasannya ini semakin mudah memberinya kesempatan izin. Bukan apa, hanya saja Arsen terlihat lebih berbeda dari awal ia bekerja.“Bagaimana hari ini? Kamu akan sendiri lagi?” Arsen menghampiri Ayara yang sedang berdiri di depan restoran. “Iya, Pak, saya sendirian lagi kayaknya.” Ayara mengalungkan tangannya pada tas selempang yang dibawanya.“Memangnya suami kamu itu tidak ada niatan cerai secara resmi?” tanya Arsen penasaran.Ayara menggeleng kecil. Ia tak tahu bagaimana jalan pikir mantan suaminya itu. Janu telah menalaknya. Akan tetapi, pria itu tidak mau me
Bab 23. “Terima kasih, Pak sudah nganterin saya pulang.” Ayara melepaskan sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya. “Makasih banyak, Pak, ya. Bikin Bapak kerepotan.”“Iya, Ayara. Ini udah ke berapa kalinya kamu bilang terima kasih.” Arsen menggeleng pelan. Pasalnya sedari tadi Ayara terus mengucapkan terima kasih padanya. Padahal kan dirinya sendiri yang ingin membantu, itu artinya Arsen tidak keberatan.Ayara tertawa kecil, ia pun bingung harus mengucapkan apa lagi selain dua kata itu. Ayara dibuat semakin tak enak karena pria itu juga yang membayar makan siang. Tadi sebelum pulang, Arsen dan Ayara memang sempat singgah makan siang karena jam sudah menunjuk pukul dua siang.“Kalau begitu, saya masuk dulu ya, Pak.” Arsen mengangguk kecil. “Besok saya masuk kerja, kok, Pak.”Arsen kembali mengangguk. “Baiklah, tetap ke resto kalau tidak ada jadwal panggilan dari pengadilan.”Ayara mengangguk patuh. Pria itu memang sudah mengizinkan Ayara untuk libur. Hanya saja Ayara harus tetap pergi
Bab 22.“Iya, Pak.” Ayara menatap Arsen lalu mengangguk. Memang saat ini dirinya sudah bukan istri orang. Namun, ia belum resmi di mata negara. Oleh karena itu, Ayara ingin menerangkan statusnya.“Kapan kamu ke pengadilannya?” Bukannya menjawab pertanyaan permintaan izin Ayara, pria itu malah balik bertanya.“Mungkin besok, Pak. Itu pun kalau Bapak izinkan libur.” Ayara pasrah, tetapi tetap saja ia sangat ingin untuk ke sana.Arsen tampak menghela napasnya panjang. Sebelum menjawab, pria itu menatap Ayara lama. “Saya bantu.”“Hah? Gimana, Pak?” Ayara tak mengerti dengan jawaban pria di depannya.“Saya bantu kamu untuk cerai dengan suami kamu itu.”*Sesuai dengan rencana kemarin, Ayara bisa libur kerja karena hendak ke pengadilan. Seperti ucapan Arsen terakhir kali jika pria itu akan ikut serta dan ingin membantu Ayara.Setelah melihat beberapa kali kejadian yang melibatkan Ayara dan Janu—mantan suaminya— membuat Arsen prihatin dengan Ayara yang tidak bisa berbuat lebih. Alhasil, sel
Bab 21.“Kamu benar gak masalah, Nak?” Ayara menggeleng kecil dengan ponsel yang masih bertengger di salah satu sisi telinganya. “Iya, Kakek, aku gakpapa.”Kini perempuan berhijab itu sedang berbicara dengan sang kakek melalui panggilan suara. Ayara sengaja berjalan sedikit jauh dari keramaian ruangan karyawan. Begitu pula dengan Darma yang juga mengasingkan diri ke sisi samping restoran untuk menanyakan keadaan cucunya yang baru saja dihina oleh laki-laki yang ternyata pegawainya.“Terus kamu mau biarkan laki-laki tidak tau diri itu menghina kamu selalu? Kakek gak rela cucu kecil Kakek dihina sama orang kayak dia.” Darma memijat kepalanya yang berdenyut. Ia masih tidak percaya jika laki-laki bermulut lemes itu adalah mantan suami cucunya.Ayara tersenyum mendengar pembelaan dari Darma. Setelah sekian lama hidup dalam bayang-bayang disalahkan. Namun, pada akhirnya ia bisa mendapatkan pembelaan dari seseorang. “Haruskah Kakek beri dia pembalasan karena sudah membuat hidup kamu mender
“Ayara!” Bu Ningsih berjalan terburu-buru menghampiri Ayara yang baru saja turun dari ojek.“Ada apa, Bu?” Ayara melihat Bu Ningsih menghampirinya dengan wajah yang sulit diartikan. ‘Apakah sesuatu telah terjadi pada putranya?’ Bukan apa, Ayara melihat Ningsih yang sekarang persis seperti saat Aciel jatuh sakit tempo hari. “Ada apa? Apa El sakit lagi, Bu?” Wanita paruh baya itu menggeleng cepat. Balasan itu membuat Ayara mengerut heran. “Terus kenapa, Bu?”“Ada kiriman sangat banyak,” jawab Ningsih, mampu membuat Ayara kembali kebingungan.Kiriman? Kiriman apa? Perasaannya ia tidak merasa memesan apa pun. Jelas saja, jangankan untuk memesan barang, ia bisa makan saja sudah lebih dari cukup. “Tapi, Buk, aku gak mesan apa-apa. Seharian aku di tempat kerja.” Ayara menjelaskan ketidaktahuannya. “Rika, mungkin dia yang mesan, Bu.” Bu Ningsih menggelengkan kepalanya, karena kiriman yang sedang mereka bicarakan tidak ada sangkut pautnya dengan Rika.Rika merupakan salah satu anak panti.
Bab 19.“Tidak bisa, Ayara.” Arsen mengulangi kalimatnya. Kali ini Ayara tidak meminta lagi. Nada suara atasannya tersebut sudah cukup menegaskan jika pria itu tidak memberikan alamat rekannya kepada pelayan sepertinya.“Tidak apa-apa dan maaf Pak karena sudah lancang. Terima kasih, Pak. Maaf sudah mengganggu waktunya.” Ayara berdiri dari kursi, berbalik berjalan menuju pintu.Ayara rasa cukup, lebih baik ia pergi dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu ia pulang untuk menemui putranya. Memang setelah ia mendapatkan pertolongan waktu itu saat Janu mau membawa El, Ayara tidak lagi membawa anaknya ke tempat kerja. Ia merasa anaknya aman karena ada perlindungan, meskipun itu sesaat.Akan tetapi, rasa dilindungi itu perlahan memudar karena pada dasarnya ia bukanlah siapa-siapa yang berhak menerima pertolongan apalagi perlindungan dari sang atasan.“Ayara, tunggu!”Ayara yang hendak masuk lift, langsung mengurungkan niatnya. Ia berbalik arah, ternyata Arsen yang baru saja keluar
“Nggak ada, Ra.” Tatapan Bu Ningsih menjurus ke depan. Kilatan bayangan ketika masa itu terlintas di kepalanya. Bu Ningsih lalu menoleh pada Ayara. “Kenapa tiba-tiba sekali kamu nanyain tentang ini, Nak?”Tentu saja Bu Ningsih keheranan, karena selama ini Ayara tak pernah menyinggung tentang bagaimana bisa dia berada di panti asuhan ini.“Nggak, Bu. Mau tau aja.” Ayara terkekeh kecil setelahnya.Ningsih mengangguk paham, tetapi wanita paruh baya ini tak tahu apa yang sedang dihadapi Ayara. Tampak Ningsih menarik napasnya, sebelum melanjutkan ucapannya.“Dulu Ibu nemuin kamu di depan gerbang. Kamu sendirian di sana, nggak ada orang lain. Saat itu hujan, jadi Ibu gak lama-lama di depan gerbang. Jadi, Ibu langsung bawa kamu masuk ke rumah panti, biar kamu gak makin kedinginan.” Bu Ningsih menjelaskan bagaimana keadaan pada saat itu.Penjelasan Bu Ningsih diterima baik oleh Ayara. Di restoran tadi ia langsung pergi ketika Kakek Darma mengajaknya ikut pulang bersamanya. Saat itu Ayara mera