"Maaf, Bu. Tapi, uang yang Mas Janu kasih gak bakal cukup!” Ayara masih bersikeras untuk tidak memberikan uang kepada mertuanya.
Nirmala mendelik sinis, wanita itu langsung pergi dari hadapan Ayara dengan makian-makian tak jelas. Ayara sendiri tak terlalu ambil pusing, ia kembali membantu putranya meyelesaikan sarapan. Waktu berlanjut, hingga malam menyambut, Ayara sudah rapi dengan gamis instan terbaiknya. Mungkin Nirmala bertanya karena malam ini Ayara lebih tampil beda. Perempuan berhidung mancung itu telah berdandan cantik dengan harapan agar kembali mendapatkan perhatian dari sang suami. "Kamu dandan seperti itu ingin pergi ke mana? Ayara tersenyum tipis membalas ucapan sang mertua. Perempuan berhijab itu sedang menunggu kedatangan Janu, ia berencana makan malam bersama suami tercinta. “Ditanyain malah cengar-cengir. Dasar menantu aneh,” cibir Nirmala mendelik sinis. “Bukannya nemenin anak tidur, malah duduk gak jelas di sini!” lanjut Nirmala dengan sarkas. “El udah lelap, kok, Bu. Aku lagi nunggu Mas Janu pulang.” Ayara menjawab seadanya. Nirmala mengibaskan tangannya, seakan tak ingin mendengar apa pun yang keluar dari mulut menantunya. “Halah, alasan saja. Jangan coba-coba nyari perhatian anakku lagi. Paham!” Nirmala kesal dengan Ayara yang hendak menarik perhatian putranya. Ayara terlonjak mendengar penuturan sang mertua. Bagaimana caranya seorang istri tidak diperbolehkan mencari perhatian suami? Kemudian wanita itu pergi dari sana dengan menghentakkan kakinya. Ayara hanya menggelengkan kepala, setiap hari ada saja tingkah laku wanita tua itu. Tersisa Ayara seorang diri di tengah rumah yang sudah sunyi karena memang sudah memasuki waktu istirahat. Terdengar suara pintu yang terbuka, Ayara bergegas menyambut kepulangan suaminya. Senyum manis yang sedari terpatri di bibir, perlahan memudar setelah melihat pemandangan di depannya. "Mas, siapa wanita di sampingmu?" tanya Ayara memicingkan mata curiga. Dada Ayara kian bergemuruh ketika tangan kekar suaminya melesak pada pinggang wanita bergaun sepaha itu. Janu tersadar akan keberadaan Ayara, cepat-cepat pria itu melepaskan tangannya. “Dia teman kantorku. Dia ingin menginap di sini, karena besok kami harus cepat datang ke kantor,” sahut Janu tersenyum tipis ke arah perempuan itu. Ayara tersenyum tipis mencoba berpikir positif. Bayangkan saja suamimu pulang malam-malam dengan menggandeng seorang perempuan. Bukankah wajar kalau Ayara menaruh kecurigaan ketika suami membawa perempuan lain ke dalam istana mereka? “Janu, kamu baru pulang, Nak?” Tiba-tiba Nirmala datang nimbrung di tengah mereka. “Iya, Bu.” Janu menyalami ibunya, tetapi tidak melakukan hal yang sama pada Ayara. Mata Nirmala berpindah pada perempuan di samping Janu. Seketika binar terlihat di manik wanita berkepala lima itu. “Siapa ini, Janu? Cantik sekali dia, siapa namamu, Nak?” “Dia teman kantorku, Bu. Namanya Laras,” jawab Janu memperkenalkan perempuan bernama Laras dengan tersenyum lebar. Perempuan itu tersenyum, lalu menyodorkan tangannya ke depan Nirmala. “Halo, Bu. Aku Laras.” “Nama yang cantik, sama kayak orangnya.” Nirmala menatap Laras dengan tatapan kagum yang memuji. Ia mengerlingkan mata memperhatikan penampilan Laras dari ujung rambut hingga ujung kaki. ‘Sempurna, begini nih mantan yang aku pengen. Wangi, bajunya bermerek, cantik, yang paling penting … Laras ini pasti kaya.’ Nirmala membatin girang dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya. Ayara yang masih berdiri di sana hanya bisa menatap interaksi mereka yang seakan langsung akrab. Padahal ia hampir tiga tahun menjadi bagian keluarga ini, tetapi tidak sekali pun ia mendapatkan pujian dan sanjungan seperti itu dari mertuanya. “Heh, kamu! Ngapain masih di situ!” Ayara terlonjak ketika Nirmala berteriak padanya. “I-ya, Bu, kenapa?” Ayara gelagapan dan sekaligus malu diperlakukan seperti itu di depan teman suaminya. “Cepat sana beresin kamar tamu. Nak Laras mau nginap di sini!” Nirmala memerintah Ayara dengan ketus. Tanpa menunggu lama Ayara beranjak dari sana menuju kamar tamu. “Siapa perempuan itu?” tanya Laras remeh, sambil menatap punggung Ayara yang semakin menjauh. Pandangan Janu dan Nirmala beradu. Ketika Janu hendak menjawab, ternyata Nirmala-lah yang lebih dulu menyela. “Oh, dia bukan perempuan penting, kok, Nak,” kata Nirmala dengan sangat enteng. Wanita itu tidak memikirkan perasaan menantunya yang malah diakui sebagai pembantu. Ayara yang berdiri di balik tembok pembatas ruang tamu, seketika terduduk lemas, lututnya seakan tak bertulang. Pengakuan sang mertua benar-benar membuatnya sakit. ‘Tega banget Ibu,’ lirihnya dalam hati. ‘Mas Janu juga tak membelaku.’ Ketika derap langkah terdengar, buru-buru Ayara menghapus air matanya dan membenarkan letak kerudungnya, lalu menghampiri mereka yang sudah ke meja makan. Ayara hendak melayani suaminya, tetapi pergerakannya langsung terhenti saat Laras yang lebih dulu mengambilkan nasi untuk suaminya. Hatinya bergemuruh, matanya menatap tak suka ke arahnya. Lagi pula istri mana yang bisa bisa tenang ketika perempuan lain mencuri perhatian suaminya? Ayara rasa tidak ada, jika pun ada mungkin perempuan itu sudah sakit saraf! “Maaf, Mbak, biar saya aja. Saya lebih tau porsi makan suami saya.” Ayara menahan tangan Laras yang hendak mengambil nasi lagi. Ia sengaja mengeluarkan kalimat tersebut, agar perempuan itu tidak lagi mencari perhatian laki-laki beristri. “Suami?” Laras mengernyit heran, lalu menatap Janu yang duduk di sampingnya. “Mas, ini istri kamu?” tanyanya dengan raut tak percaya. Janu menatap tajam ke arah Ayara, seakan laki-laki itu kesal karena Ayara telah mengaku sebagai istrinya. Dengan ragu, Janu menoleh ke arah Laras dan mengangguk kecil. “Iya, ini istriku, Ras” balas Janu tak bersemangat. “Wajar aja, sih, Mbak, kalau Mas Janu malu ngakuin kamu sebagai istrinya. Liat aja nih penampilan kamu. Udah make gamis, pake kerudung lagi,” cibirnya tanpa segan. “Jangan asal bicara, ya, kamu!” Ayara menatap nyalang ke arah Laras. Ia tak membiarkan orang lain menghinanya. “Kenapa? Benar kan Mas yang aku bilang?” Laras bahkan meminta persetujuan dari Janu atas hinaannya terhadap sang istri. Ayara menggeleng pada suaminya. Ia yakin suaminya akan membela dirinya. Namun, Ayara hanya bisa menganga tak menyangka saat Janu mengangguk, seakan membenarkan penuturan sampah yang Laras tujukan padanya. “Mas, kamu—?” “Udahlah, Ayara, mending kamu ke kamar jagain anak sana!” Janu mengusir Ayara. Laki-laki itu sudah muak mendengar ocehan istrinya yang tak berujung. Respons Janu yang seperti itu, tentu saja mengundang senyum puas dari Laras dan Nirmala. Laras senang karena Janu yang jelas-jelas memihaknya, sedangkan Nirmala sendiri sangat bahagia akhirnya menantunya itu diacuhkan oleh putranya dan memilih membela Laras yang lebih berkelas dari Ayara. ‘Akhirnya … aku akan hidup kaya raya.’ Nirmala tersenyum puas dengan bayang-bayang hidup bergelimang harta. Nirmala melihat itu, tersenyum-senyum sendiri. Kedekatan anaknya dengan perempuan seperti Laras lah yang ia nantikan selama ini. Karena dengan mereka dekat lalu menikah, maka ia juga akan kecipratan hidup mewah dan megah. Laras merasa bangga hati. Tanpa canggung Laras mendekati wajah Janu. “Makasih, Sayang.”“Cepat cuci bajunya!”“Aku lagi gak enak badan, Bu. Kepala aku pusing terus dari semalam.” Ayara memegang kepalanya yang berdenyut. Perempuan dengan hijab abu-abu muda itu benar-benar sedang menahan sakit, tidak sedang berbohong. Terlihat jelas wajahnya yang sedikit pucat. Bayangkan saja, setiap hari ia tak henti melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Mungkin tubuhnya sekarang sudah di titik sangat kelelahan. Alhasil, ia butuh waktu rehat sejenak.“Halah, alasan saja kamu ini!” sentak Nirmala, “Kamu memang ditakdirkan untuk jadi babu. Udah sana gak usah banyak protes, cuci baju sama cuci piring, cepat!” Nirmala kembali berteriak.Teriakan tersebut sampai membuat El yang sedang bermain di depan televisi, langsung berjalan kecil mencari ibunya. Di balik tembok pembatas ruang makan, anak kecil itu melihat sendiri bagaimana ibunya diperlakukan oleh neneknya. El tidak bisa melarang, ia bicara saja belum terlalu lancar.“Besok aja, ya, Bu. Aku m
“Nikah?” Ayara masuk ke kamar dengan tatapan bingung. Ia tak sengaja mendengar ucapan akhir ibu mertuanya. “Nikahin siapa maksudnya, Bu?” Janu dan Nirmala saling beradu pandang. Keduanya bagaikan baru saja tertangkap basah karena melakukan kesalahan. Namun, sebisa mungkin Janu merilekskan raut wajahnya, agar Ayara tidak memasang kecurigaan padanya. Janu bangkit dari kasur, menghampiri Ayara yang mematung di ambang pintu. Ia merangkul perempuan berhijab itu, lalu dibawanya ke sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Melihat perlakuan lembut suaminya, yang hampir tak ia rasakan lagi, tentu saja membuat Ayara heran. Kenapa tiba-tiba berubah selembut ini? Ayara menoleh ke arah mertuanya juga, yang tidak membuka suara. Biasanya wanita berjambul tinggi itu akan selalu mencibir jika ada Ayara di depannya. Namun, sekarang tidak. “Ada apa, sih, Mas?” Ayara menggeleng kebingungan dengan situasi. Bukankah biasanya jika tiba-tiba berubah seperti ini, ada sesuatu yang diinginkan ‘kan? “Mas m
“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya. “Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya. Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah. Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?” Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya. Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk
“Sa-saya ma—” “Maaf, Pak Arsen. Tapi Mbak ini buat keributan di sini. Dia sibuk minta pekerjaan, padahal sudah saya jelaskan baik-baik kalau di sini tidak ada lowongan. Tapi, Mbak ini maksa saya terus.” Rentetan penjelasan diutarakan oleh pelayan itu. Ia tidak mau salah di mata bos-nya hanya karena Ayara. Pria yang dipanggil Arsen itu mengangguk paham atas penjelasannya. Lantas ia mengalihkan atensi pada sosok perempuan berkerudung coklat susu yang sedang menggendong seorang anak laki-laki. Arsen menatap datar Ayara yang diam tak berkutik begitu pelayan tersebut menyela ucapannya. “Benar begitu?” Ayara mengangguk semangat. Berharap pria di depannya akan memberinya pekerjaan. “Bisa saya bekerja di sini, Pak?” Arsen tidak habis pikir dengan perempuan berhijab itu. Datang malam-malam dengan menggendong anak. Pertanyaan dalam diri Arsen, apakah dia tega membawa seorang anak di malam hari? Seketika Arsen menggeleng kecil. “Sepertinya yang dikatakan pegawai saya sudah cukup jelas.” Ars
“Mama kenapa pincang gini?” Pria itu mengulangi pertanyaannya, menghampiri Ratih yang dipegang oleh Ayara.‘Laki-laki itu?’ Ayara terkejut melihat pria itu di depannya dan memanggil Ratih dengan sebutan Mama. Itu artinya Bu Ratih dan dia adalah ibu dan anak.Ratih tersenyum tipis pada putranya. “Nggak papa, kok. Tadi Mama gak sengaja keserempet motor,” jelasnya seketika membuat sang putra membelakak. “Gak usah melotot gitu, Ar.” Ratih terkekeh kecil melihat wajah putranya yang mengkhawatirkannya.“Gak melotot gimana. Mama sakit begini aku gak boleh khawatir.” Arsen memeriksa kaki mamanya yang dibalut dengan kain berwarna coklat. “Sekarang kita ke rumah sakit.”“Gak usah, tadi Nak Ayara sudah bantu Mama.” Ratih menoleh pada Ayara yang berdiri sedikit menjauh dari sebelumnya. “Aya, sini, Nak. Kenapa di situ. Ibu mau kenalin kamu ke anak Ibu karena kamu sudah bantu Ibu.” Ratih memanggil Ayara.Ayara yang paham situasi, tadinya beringsut mundur saat pria bernama Arsen itu mengambil alih t
“Kamu diterima kerja di restoran.” Kalimat itulah yang terus terngiang di benak Ayara. Sungguh kejadian sederhana itu, benar-benar mendatangkan berkah dan keuntungan untuknya. Siapa sangka hanya karena membantu seorang wanita yang ternyata pemilik restoran. Sehingga sekarang Ayara bisa berkerja di sana. Itulah siklus kehidupan. Di saat ada hati yang tulus dalam membantu, maka Tuhan juga akan mempersiapkan bantuan dan hal indah lain untuknya. Maka dari itu, jangan sekali-kali lelah dalam berbuat baik dan tetap menolong sesama sesuai kemampuan kita. Pagi-pagi sekali Ayara sudah bangun dan mempersiapkan Aciel. Rutinitas ini sudah Ayara lakukan sejak satu minggu lalu, saat ia mulai bekerja di restoran Arsen. Usai dengan semua kesibukan pagi, barulah Ayara mempersiapkan dirinya. “Bunda berangkat kerja, ya, Sayang.” Ayara mencium pipi Aciel sebelum berangkat. “Jangan rewel, ya. Patuh sama nenek,” lanjutnya dan dibalas anggukan oleh anak itu. “Ote, Nda,” sahutnya sambil tertawa.
Kalung ini milik siapa? “Apa mungkin punya pelayan di sini?” Damar menatap lama kalung di tangannya. Bulan sabit dengan bintang kecil di tengahnya, membuat kalung tersebut tampak menawan. Aneh nya Damar merasa tak asing dengan rantai emas ini. “Apa pelayan Pak Arsen ada yang punya kalung ini?” tanya Damar ingin tahu. Ia menyerahkan kalung itu pada Arsen. “Saya juga tidak tau pasti, Pak.” Arsen tak langsung membenarkan tebakan Pak Damar. Takutnya bukan punya pelayan, bisa saja punya pelanggan sebelum mereka menempati ruangan VIP tersebut. “Biar nanti saya tanyakan dulu pada karyawan saya, Pak.” Damar menggeleng tak setuju. “Tidak tidak biar saya saja. Saya ingin tahu siapa pemilik kalung ini.” Damar memutuskan untuk ikut, ia ingin mencari tahu secara langsung siapa pemilik kalung bulan sabit ini. Arsen tak lagi membantah. Ia membiarkan rekan kerjanya itu untuk ikut saat mencari pemilik kalung tersebut. “Baiklah, Pak. Silakan menikmati hidangannya.” Arsen mempersilakan ta
“Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dok?” Ayara mengikuti langkah dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Aciel. “Cuma demam biasa aja kan, Dok?”Dokter tersebut menoleh pada Aciel yang terlelap di atas brankar. Kemudian perempuan berjas putih itu mengangguk pelan. “Iya, cuma demam biasa. Tapi, suhu tubuh Aciel sedikit lebih tinggi dari pada umumnya. Tapi tenang saja, tidak ada potensi untuk terkena step, kok.” Barulah Ayara bisa bernapas lega. Ayara mengusap kasar ujung matanya yang berair. Dalam hati berulang kali ia mengucapkan syukur, karena Tuhan kembali membantunya. Doanya terkabulkan, sehingga tidak ada hal yang serius pada putranya.“Terima kasih, Dokter.” Ayara menyalami tangan ibu dokter anak itu. “Iya, sama-sama. Lebih baiknya Nak Aciel dirawat barang sehari, supaya kondisinya cepat pulih.” Dokter menyarankan pada Ayara. Namun, saat melihat perubahan wajah Ayara membuat dokter itu bertanya heran. “Kenapa?”Ayara memutar ujung hijabnya. Bukannya ia tidak sayangkan
Hari di mana Ayara mendatangi rumah Arsen untuk makan malam, itu menjadi hari terakhir keduanya berjumpa karena esok harinya Arsen langsung melakukan penerbangan.Sejak Arsen pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota, Ayara menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja, lalu mengurus El, dan menikmati waktu luangnya dengan menemani sang anak bermain.Namun, ada satu hal yang berbeda—keheningan yang muncul setiap kali ia menyadari bahwa tidak ada Arsen di sekitarnya. Mungkin itu terjadi karena Ayara terbiasa dengan adanya Arsen di sisinya.Satu minggu bukan waktu yang lama, tetapi cukup untuk membuatnya merasa ada yang kurang. Arsen juga tidak bosan-bosan menghubunginya, menanyakan kegiatannya, dan tentu saja, meminta foto—entah itu foto Ayara atau El."Ay, pap dong.""Mas lagi sibuk kerja di luar kota, bukannya fokus kerja malah minta pap terus." "Biar semangat kerja, dong. Sekali aja."Ayara hanya tertawa membaca pesan-pesan Arsen yang selalu mengganggunya di sela waktu kerja. Ka
Arsen duduk di dalam mobilnya, menatap lurus ke arah rumah besar yang berdiri megah di depannya. Jari-jarinya menggenggam kemudi erat, sementara dadanya terasa sesak oleh ketegangan yang semakin menumpuk. Kakek adalah sosok yang bijaksana, tetapi Arsen tahu bahwa pria tua itu juga tidak mudah memaafkan. Apalagi jika menyangkut Ayara—cucu kesayangannya. Arsen sadar bahwa kesalahannya bukan hanya melukai hati Ayara, tetapi juga mengecewakan orang yang telah mempercayainya.Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya, ada rasa takut yang menyelinap di dadanya. Bagaimana jika Kakek benar-benar marah? Bagaimana jika ia tidak bisa memperbaiki semuanya?Namun, di sisi lain, Arsen tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menghindar. Jika ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Ayara, maka ia harus bertanggung jawab."Aku harus menghadapinya," gumamnya pada diri sendiri.Dengan tekad yang sudah bulat, Arsen keluar dari mobil
Hari jampi petang dan Arsen baru saja pulang dari kantor dengan langkah lelah. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan tak menentu, dan pikirannya terus-menerus memikirkan Ayara.Bagaimana mungkin ia bisa melupakan perempuan itu dengan mudahnya. Ia benar-benar tulus dengan cintanya kepada Ayara. Namun, ini semua terjadi dengan sangat tiba-tiba.Saat ia tiba di rumah, ia tidak mendapati keberadaan ibunya, mungkin wanita itu di dapur pikirnya. Arsen melangkah masuk, berpapasan dengan Bagas yang datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tidak ada Aurel yang membuatkan. Lantas ke man perempuan itu?"Aurel ke mana?" tanya Arsen akhirnya, suaranya terdengar datar.Bagas menyeruput kopinya sebentar sebelum menjawab, "Lagi jumpa Ayara."Seketika, Arsen menegang. Alisnya berkerut dalam keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan."Apa?" Arsen menatap Bagas tak percaya. “Ngapain dia?”Bagaimana bisa? Aurel yang dengan terang-terangan menentang hubungannya dengan Ayara, yang bahkan menyebabkan per
“Siapa yang datang?”Ayara tersentak pelan ketika suara kakek menembus telinganya. Ia menoleh sedikit, tanpa memindahkan badannya dari sela pintu.Kakek berhenti di belakang pintu yang sengaja dibuka sedikit. Pria tua itu memutuskan menyusul Ayara karena perempuan muda itu tak kunjung kembali. Hening sejenak mengisi suasana, Kakek tergerak menarik pintu besar itu. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita yang tidaklah asing baginya, selain dia salah satu karyawan di kantor, juga perempuan itu adalah orang yang pernah mencelakai Ayara.“Ada keperluan apa kamu datang ke sini?” Kakek membuat Laras tak berani menengadah tatapannya.Ayara mengusap lengan atas kakeknya, seolah mengatakan biar dirinya saja yang bicara dengan Laras. “Kakek tunggu di dalam aja, aku bicaranya gak lama, kok,” pinta Ayara dengan suara pelan. Kakek menyetujui, lalu pergi.Kalau ni atensi Ayara kembali pada Laras seorang. Tadi ia baru bertanya dengan siapa perempuan itu kemari, tiba-tiba kakek menyusul.Awalnya Ay
“Kenapa teleponnya terputus ya?” Arsen mengotak-atik layar ponsel. Ia memilih memasukkan benda pipih itu ke dalam saku jas. “Siapa yang datang?”Suasana di sekitar Arsen berubah drastis begitu ia menerima telepon dari mamanya. Ada desahan ringan yang keluar dari mulutnya, matanya yang tadinya fokus pada pekerjaan di mejanya kini terlihat gelisah.Ia segera merapikan barang-barangnya, laptop dimatikan, dokumen-dokumen disusun rapi, dan jaketnya diambil dari gantungan. Langkahnya cepat, hampir terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendesak atau penting (?) di rumah. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit tegang, alisnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat. Pikirannya melayang, bertanya-tanya siapa yang menunggunya di rumah. Mungkinkah Ayara? Akankah Ayara berubah pikiran dan kembali padanya?Sesampainya di rumah, Arsen membuka pintu dengan hati berdebar. Matanya langsung mencari sosok yang ia harapkan. Namun, yang ia temukan justru membuatnya terkejut. Bukan Ayara, melai
“Laras, kamu di dalam?” Panggilan Nirmala tak kunjung mendapat jawaban. Perempuan paruh baya itu kembali memanggil sang menantu. “Laras, kalau dipanggil itu ya disahut, dong. Jangan diam aja!”Nirmala mengetuk pintu kamar putranya dengan kesal. Pasalnya ini bukan kali pertama ia memanggil menantunya itu, hampir tiga kali bolak-balik, padahal ia sedang masak di dapur.“Bikin repot aja. Sebenarnya kalau bukan Janu yang minta untuk ngurusin, males banget.” Nirmala mengomel sendiri karena Janu memintanya agar memperhatikan istrinya itu. “Heh, punya mantu gak berguna sedikit pun!”Suara Nirmala yang cukup keras jelas saja terdengar oleh seseorang di dalam kamar. Memang Laras ada di kamar, tetapi perempuan itu memilih untuk tidak merespon ibu mertuanya. Lagi pula ia jenuh harus selalu mendengar repetan Nirmala.“Laras, keluar kamu bantu cuci piring!” Lagi-lagi Nirmala berteriak dengan pintu diketuk kasar. Kali ini ia memilih cara lain agar menantunya keluar.Dengan berat Laras menyibakkan s
“Kamu nggak berhak bicara seperti itu.”Arsen yang melihat Ayara pergi dengan wajah terluka hanya bisa menatap kesal pada kakak sepupunya. Namun, perempuan itu hanya mendengus. “Aku hanya berpikir realistis, Arsen. Dia itu tidak pantas.”Arsen tak lagi mendengar ucapan Aurel, ia berlari keluar rumah untuk menghampiri Ayara, tetapi taksi yang membawa Ayara sudah melaju pergi. Ia berdiri di tepi jalan dengan napas terengah-engah, matanya menatap kosong ke arah taksi yang perlahan menghilang dari pandangan. Ia mengepalkan tangan, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri.Dengan langkah berat, ia kembali masuk ke dalam rumah. Aurel masih duduk di ruang keluarga dengan ekspresi tak berdosa, seolah tak menyadari betapa dalam luka yang baru saja ia sebabkan."Aurel," panggil Arsen dengan nada dingin. "Kamu keterlaluan."Aurel mendongak, tampak tidak terpengaruh. “Aku hanya berkata jujur, Arsen. Lagian kenapa harus janda, sih?.”Arsen menatapnya tajam. “Harusnya kamu ta
Kabar pertunangan mereka tersebar dengan mudah dan cepat. Sejak itulah kehidupan Ayara di kantor semakin berbeda. Yang awalnya mereka tahu Ayara adalah calon penerus perusahaan, kini ditambah lagi jika sosok perempuan itu adalah tunangan dari Arsen.Semua karyawan pasti tahu siapa Arsen, sosok bijaksana dan penuh kharisma meskipun di usianya yang masih tergolong muda. Bayangkan saja, perempuan mana yang tidak menginginkan sosok Arsen. Namun, satu-satunya perempuan yang beruntung itu adalah Ayara.Bisik-bisik kecil terdengar di lorong-lorong kantor setiap kali ia lewat, tetapi Ayara hanya tersenyum dan mencoba bersikap biasa saja. Tujuan Ayara kini adalah pantry, ia ingin mengembalikan gelas yang ia gunakan. “Selamat ya, Bu Ayara,” ujar salah satu rekan kerja di ruang pantry. “Nggak nyangka ternyata selama ini calon bos kita ada di sekitar kita.”Ayara terkekeh pelan, “Aku masih tetap Ayara yang dulu, kok. Nggak ada yang berubah.”“Selamat juga ya, Bu Ayara atas pertunangannya,” lanju
“Mas, kamu yakin dengan keputusan ini?” Ayara menatap Arsen dengan keraguan. Bukannya apa, ia takut jika pria ini akan menyesali keputusannya itu suatu saat nanti. “Ay, jangan dibahas lagi, ya. Kan, Mas sendiri yang mau ngelamar kamu, berarti Mas sudah siap dengan segala pertimbangan dan resiko apapun kedepannya.” Jawaban Arsen sedikit membuat Ayara lega. “Sekarang Mas tanya sama kamu, kamu sendiri bagaimana?” “Em … a-aku sebenarnya…” “Sebenarnya apa, Ay?” tanya Arsen tak sabaran. “Kamu mau nolak, ya?” Seketika Ayara menggeleng cepat. “Aku mau. Sebenarnya aku sudah jatuh cinta sama kamu, Mas.” Wajah Ayara tertunduk, tak sanggup dengan pengakuan cintanya. Sementara Arsen masih mengerjap matanya, mencoba mencerna ucapan Ayara. “Ini benar, kan, Ay? Mas gak lagi mimpi kan?” Ayara tertawa kecil melihat tingkah pria di sampingnya. Kini keduanya masih di dalam mobil, tidak berniat turun karena Arsen masih sibuk tersenyum lebar dan mengucap syukur karena penantian panjang dan cintanya t