Share

4. Pembicaraan Janu dan Ibu

“Cepat cuci bajunya!”

“Aku lagi gak enak badan, Bu. Kepala aku pusing terus dari semalam.” Ayara memegang kepalanya yang berdenyut.

Perempuan dengan hijab abu-abu muda itu benar-benar sedang menahan sakit, tidak sedang berbohong. Terlihat jelas wajahnya yang sedikit pucat. Bayangkan saja, setiap hari ia tak henti melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak seorang diri, tanpa bantuan orang lain.

Mungkin tubuhnya sekarang sudah di titik sangat kelelahan. Alhasil, ia butuh waktu rehat sejenak.

“Halah, alasan saja kamu ini!” sentak Nirmala, “Kamu memang ditakdirkan untuk jadi babu. Udah sana gak usah banyak protes, cuci baju sama cuci piring, cepat!” Nirmala kembali berteriak.

Teriakan tersebut sampai membuat El yang sedang bermain di depan televisi, langsung berjalan kecil mencari ibunya. Di balik tembok pembatas ruang makan, anak kecil itu melihat sendiri bagaimana ibunya diperlakukan oleh neneknya. El tidak bisa melarang, ia bicara saja belum terlalu lancar.

“Besok aja, ya, Bu. Aku masih pusing banget,” keluhnya dengan nada lemas. Ayara memutar otaknya untuk berpikir. “Kalau nggak, nanti aku minta Mas Janu beliin obat, biar nanti malam aku nyucinya, ya, Bu.”

“Nggak ada! Nyuci Sekarang atau kamu keluar dari rumahku hari ini?!” Nirmala memasang wajah bengisnya dengan ancaman mutlaknya.

Ayara tak bisa berkutik. Ia tertunduk, menahan nyeri di kepalanya. Tanpa menjawab apa pun lagi, Ayara melangkah pergi dari ruang tengah menuju kamar mandi.

Ayara tak tahu kapan badai ini akan berakhir. Bahkan, hanya untuk beristirahat sebentar saja ia tidak diberikan waktu oleh mertuanya. Belum lagi ia kena amuk oleh suaminya.

Nirmala melihat Ayara yang melangkah pergi, lantas tertawa kecil. Ia akan membuat menantunya itu tidak betah, lalu pergi dari rumah dan gaji anaknya bisa dinikmati seorang diri. Nirmala membalikkan badannya ingin pergi ke depan. Ia terlonjak ketika melihat makhluk setinggi lutut yang sudah ada di depannya dengan memegang sebuah kertas.

“Heh, kamu ini, El! Bikin nenek jantungan aja. Ngapain kamu berdiri di situ?” Nirmala mengusap dadanya, lantaran terkejut dengan keberadaan sang cucu.

“Nenek dahat!” El memelototi Nirmala. Anak itu langsung pergi begitu saja tanpa memperdulikan panggilan Nirmala.

“Dasar! Anak ibu sama aja! Heran aku, kenapa cucuku bisa gitu, padahal anakku baik dari kecil!” Nirmala menggelengkan kepala.

Nirmala selalu berasumsi jika cucunya baik, maka itu nurun dari putranya. Namun, seandainya El bertingkah seperti tadi, maka itu karena mengikuti sifat ibunya yang tak lain adalah Ayara. Ternyata hal seperti itu sering terjadi di kalangan mertua yang tak senang dengan menantunya.

“Awas aja, ya. Aku bakal laporin kamu ke Janu. Gak becus banget jadi bini!”

***

“Aduh, aku gak kuat lagi ni, kayaknya.” Ayara merintih kesakitan, dengan tangan bertumpu pada dinding menahan tubuhnya agar tidak ambruk.

Ayara meninggalkan sisa cucian di dekat mesin, lalu perempuan itu bergegas menuju kamar untuk menghubungi suaminya. Ia berencana meminta Janu untuk membawakan obat untuknya.

[Mas, kamu bisa pulang sebentar?]

Mas Janu

[Kenapa lagi, Ayara?]

[Kepala aku sakit, Mas beliin obat bentar, bisa?]

Mas Janu

[Kamu ini manja banget, sih? Sakit dikit aja ngeluh! Harusnya kamu itu jaga kesehatan! Jangan sakit, kalau gini aku juga yang repot!]

[Gak ada obat-obat! Aku sibuk di kantor, kerjaan banyak! Kamu mau aku dipecat? Mau makan apa kamu kalau aku gak ada gaji?]

Ayara membaca pesan yang dikirim suaminya dengan mata memanas. Ayara menyeka air matanya yang lolos ke permukaan. Jika bukan kepada suaminya. Lantas, ia harus ke mana lagi?

Ayara memeriksa sekitar rumah, ternyata mertuanya tidak ada di rumah dan adik iparnya sudah berangkat ke sekolah dari pagi tadi. Setelah ia pikir aman, Ayara melangkah keluar rumah dan ia tak lupa mengambil El untuk dititipkan ke tetangga. Ayara berencana pergi ke klinik untuk memeriksa kondisi tubuhnya dan juga ia ingin membeli obat-obatan.

Ayara pergi dengan ojek online pesanannya, setelah menitipkan El. Ia tidak sanggup berjalan karena jarak cukup jauh dari rumah. Setiba di klinik, Ayara langsung diperiksa oleh salah satu perawat, kemudian perempuan berhijab itu diberikan obat.

Saking tak sanggupnya menahan sakit dalam kepalanya, Ayara memberanikan diri meminta air pada perawat tersebut untuk ia meminum obatnya langsung. Dia tak akan sanggup pulang, bila tidak minum obat. Uang yang ia punya hanya tersisa sepuluh ribu dan tentu saja tidak akan cukup untuk ongkos ojek online.

Selesai dari klinik, Ayara melangkah kakinya menuju arah pulang. Namun, di pertengahan jalan, Ayara tampak memicingkan matanya untuk memastikan jika yang dilihatnya bukan salah orang.

“Itu Mas Janu?” Ayara bertanya-tanya saat melihat seorang pria yang persis suaminya yang baru saja membukakan pintu untuk seorang perempuan. Ternyata itu adalah wanita yang sama seperti yang dibawa oleh Janu ke rumah beberapa hari lalu.

Ayara menatap nanar suaminya yang merangkul mesra pinggang Laras dan keduanya masuk ke dalam restoran tersebut. “Tega kamu, Mas. Kamu bilang sibuk di kantor, tapi kamu malah ke restoran sama perempuan lain.”

***

“Janu,” panggil Nirmala menyelinap ke dalam kamar anaknya.

Pria itu yang baru saja selesai mematikan laptop, menghampiri sang ibu yang terlihat ingin membicarakan sesuatu yang penting.

“Kenapa Ibu ke sini? Ayara, kan, lagi masak di dapur.” Janu berpikir ibunya sedang mencari sang istri. Namun, ketika melihat gelengan kepala dari wanita itu, barulah Janu paham, jika ibunya memang sedang mencarinya. “Kenapa, Bu?” Tumben nyariin aku sore-sore? Biasanya nyariin aku malam pas minta uang,” celetuk Janu lagi.

“Kamu sama Nak Laras pacaran ‘kan?” Nirmala langsung menodongkan pertanyaan itu kepada putranya. “Udah, ngaku aja. Sama Ibu gak perlu kamu tutup-tutupi.”

Janu yang tadinya enggan menjawab, kini malah mengangguk mantap. Ia berpikir ibunya akan menceramahinya karena bermain belakang dari Ayara. Namun, siapa sangka ibunya malah mendukungnya.

“Ibu bangga sama kamu,” pujinya, “Selera kamu bagus, Nak. Lebih baik kamu deketin Laras aja, dia kelihatannya anak orang kaya. Jadi, ekonomi kita sedikit terbantu. Gak kayak istri panti kamu itu!” Nirmala mendelik sinis saat membahas Ayara.

“Ya, kan memang lagi dekat, Bu.” Janu membalas pelan.

“Bagus, kamu pepetin Laras, ya. Abaikan aja istri kamu itu. Dia bisanya nyusahin, pelit lagi,” cibir Nirmala tak cukup-cukup. “Kalau bisa, kamu nikahin aja Laras sekalian!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status