“Nikah?” Ayara masuk ke kamar dengan tatapan bingung. Ia tak sengaja mendengar ucapan akhir ibu mertuanya. “Nikahin siapa maksudnya, Bu?”
Janu dan Nirmala saling beradu pandang. Keduanya bagaikan baru saja tertangkap basah karena melakukan kesalahan. Namun, sebisa mungkin Janu merilekskan raut wajahnya, agar Ayara tidak memasang kecurigaan padanya. Janu bangkit dari kasur, menghampiri Ayara yang mematung di ambang pintu. Ia merangkul perempuan berhijab itu, lalu dibawanya ke sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Melihat perlakuan lembut suaminya, yang hampir tak ia rasakan lagi, tentu saja membuat Ayara heran. Kenapa tiba-tiba berubah selembut ini? Ayara menoleh ke arah mertuanya juga, yang tidak membuka suara. Biasanya wanita berjambul tinggi itu akan selalu mencibir jika ada Ayara di depannya. Namun, sekarang tidak. “Ada apa, sih, Mas?” Ayara menggeleng kebingungan dengan situasi. Bukankah biasanya jika tiba-tiba berubah seperti ini, ada sesuatu yang diinginkan ‘kan? “Mas mau ….” Janu berdeham kecil, entah mengapa di saat seperti ini suaranya mendadak kaku. “Mas, mau minta restu kamu, Ayara.” Ayara mengerutkan keningnya dalam. “Restu?” beo Ayara semakin heran. “Restu buat apa, Mas?” Janu melirik ke arah ibu yang mengangguk pelan. Melihat dukungan dari Nirmala, membuat keberanian pria itu bertambah sedikit. “Mas mau izin untuk nikah lagi.” Ayara tersentak mendengar perkataan suaminya. Jantung seakan berhenti berdetak. Setelah sekian lama tak bersikap lembut, tetapi sekali lembut malah karena ingin meminta izin poligami. Ayara terus menyangkal apa yang didengarnya. “Mas, kamu lagi bercanda ‘kan?” Janu mengangguk mantap, jika yang dikatakannya barusan bukanlah candaan semata. Pria itu benar-benar ingin menikah lagi. Ayara sontak tertawa melihat respons suaminya. Percaya diri sekali pria ini mengatakan ingin menikah lagi. Padahal dengan satu istri saja masih kelimpungan, lantas bagaimana dengan dua orang istri? “Siapa perempuan itu, Mas?” Ayara menoleh kembali pada Janu. “Selama ini kamu selingkuh di belakang aku ‘kan? Jawab jujur, Mas!” “Dengarkan Mas dulu,” kata Janu berusaha menjelaskan pada Ayara. Sementara Ayara menolak mendengar omong kosong suaminya. Ia langsung teringat tak pada kejadian siang tadi. Di mana Janu dan Laras jalan berduaan. “Kamu mau nikah lagi dengan si Laras Laras itu, hah?!” “Iya, izinkan Mas, ya, Ay.” “Gak! Gila kamu Mas. Aku gak mau dimadu!” Ayara menolak tegas. Di sini ia sebagai seorang istri, jelas saja ia menolaknya. Lagi pula ia rasa tidak ada istri yang rela berbagi suami dengan perempuan lain. Teman kantor, alibi sampah. Bahkan, suaminya dengan tega membohonginya dengan mengatakan perempuan itu hanya sebatas teman kerja. Lihat sekarang, dengan beraninya Janu meminta izin menikahi kekasih gelapnya. Melihat penolakan Ayara, membuat Janu naik darah. Ia mencengkeram lengan Ayara agar istrinya itu menatapnya barang sejenak. “Kamu ini keras kepala banget, sih! Padahal tinggal iyain aja, susah banget!” Janu menyentak kasar tangan Ayara. “Kamu mikir dong, Mas. Satu istri aja kamu gak mampu nafkahi aku secara layak. Gimana kalau ada dua?” Ayara tiba-tiba menunjuk ke arah Nirmala. “Terus Ibu kamu mau kamu ke manain? Kamu mampu meratukan 3 wanita sekaligus, hah? Jawab!” “Terus mau kamu gimana!” Janu ikut tersulut emosi. Kini suasana dalam kamar semakin menegang ditambah suara tangis nyaring Ayara yang mengudara. Buru-buru ia menghapus air matanya, ia tidak mau terlihat cengeng di depan mertuanya. “Aku tetap gak akan beri kamu izin poligami!” Ayara tetap pada pendiriannya. Tidak ada kata madu, jika pun memaksa biarkan dirinya yang mundur. Janu mengangguk mantap. “Harusnya kamu sadar, udah miskin, pengangguran, gak bisa urus diri dan nyenengin suami! Oke, kalau kamu masih keras kepala. Mulai malam ini aku talak kau Ayara Darmawangsa!” Bagaikan disambar petir di tengah malam. Dada Ayara seperti tercubit mendengar suara Janu yang begitu lantang mengucapkan kata talak atas dirinya. Hanya demi perempuan yang bernama Laras itu, suaminya rela melepaskan hubungan pernikahan yang sudah tiga tahun berjalan. “Mas, ka-kamu serius?” Ayara masih mencari kepastian. Janu hanya diam, itu artinya pria itu serius dengan ucapannya. “Pergi.” Melihat Ayara tanpa pergerakan, membuat Janu melangkah cepat menuju lemari. Janu memasukkan asal baju-baju perempuan itu ke dalam tas. Ayara ingin menahan, tetapi tubuhnya malah terhempas karenanya. “Mas, kamu ngapain? Cepat tarik ucapanmu!” Ayara berteriak frustrasi. Janu melangkah maju, membuat Ayara beringsut mundur. Pria itu melempar tas yang ada di tangannya pada Ayara. “Mulai malam ini pergi dari rumahku. Jangan pernah kembali, aku gak mau lagi punya istri keras kepala kayak kamu!” “Mas —” Ayara hendak menahan tangan Janu. Namun, langsung ditepis pria itu. “Pergi!” Janu mendorong Ayara sampai perempuan itu tersungkur di depan pintu. Tak lama kemudian, sebuah suara mengalihkan semua perhatian orang dewasa yang ada di kamar. Di sana terlihat Aciel datang dengan Lili. Anak laki-laki itu menatap bingung ke sekelilingnya. Pandangannya tertuju pada ibunya yang menangis di atas lantai. “Nda … Nda?” El menghampiri Ayara dan langsung memeluk leher bundanya. Mendapat pelukan kecil itu, membuat hati Ayara semakin sakit. Bagaimana dengan nasib anaknya nanti tanpa kehadiran seorang ayah. Ayara beralih menatap sang mertua. “Bu, bilang sama Mas Janu, kalau pilihan Mas Janu menceraikan aku, itu salah,” pinta Ayara penuh harap. Nirmala yang tadinya berdiri di dekat ranjang, melangkah kecil menghampiri Ayara. “Sudah benar, kok. Janu gak salah pilih keputusan. Janu memilih menceraikan istri gak berguna dan kucel kayak kamu. Sekarang anakku menemui calon istri yang jauh lebih cantik, bersih, wangi, yang paling penting kaya. Kamu lihat kemarin penampilannya jauh sekali dengan kamu yang kayak gembel!” cecar Nirmala tanpa memikirkan perasaan Ayara. Ayara menyeka kasar air matanya. Apa yang Nirmala katakan benar adanya. Perempuan itu perlahan bangun, dengan El di gendongannya. Tak lupa ia mengambil tasnya. Tampaknya sudah waktunya bagi Ayara angkat kaki. Terlalu banyak penghinaan yang ia terima. Namun, jika itu sebuah poligami sampai kapan pun ayaraitakbakan rela. Ayara bersiap melangkah pergi dari kamar, sontak senyum jahat terpatri di bibir Nirmala. Akhirnya, menantu tak berguna itu berhasil minggat dari rumahnya. Sementara Janu hanya menatap datar punggung Ayara. Ayara berbalik, ia menoleh pada Janu. “Aku gak menuntut harta apa pun, karena memang aku hanya seorang anak panti. Aku pamit, surat cerai akan segera aku urus. Terima kasih atas tiga tahunnya, Mas. Aku nggak akan akan pernah lupa dengan malam ini, ingat, Mas!” “Dasar perempuan tidak tahu diri, sudah bagus aku memperistrimu. Lihat saja, kamu pasti akan menjadi gembel karena memilih bercerai dibandingkan dimadu.” Ayara pergi tanpa menghiraukan umpatan Janu. 'Kita lihat aja siapa yang akan menjadi gembel, Mas! Aku akan bertahan untuk anakku!' batin Ayara“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya. “Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya. Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah. Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?” Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya. Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk
“Sa-saya ma—” “Maaf, Pak Arsen. Tapi Mbak ini buat keributan di sini. Dia sibuk minta pekerjaan, padahal sudah saya jelaskan baik-baik kalau di sini tidak ada lowongan. Tapi, Mbak ini maksa saya terus.” Rentetan penjelasan diutarakan oleh pelayan itu. Ia tidak mau salah di mata bos-nya hanya karena Ayara. Pria yang dipanggil Arsen itu mengangguk paham atas penjelasannya. Lantas ia mengalihkan atensi pada sosok perempuan berkerudung coklat susu yang sedang menggendong seorang anak laki-laki. Arsen menatap datar Ayara yang diam tak berkutik begitu pelayan tersebut menyela ucapannya. “Benar begitu?” Ayara mengangguk semangat. Berharap pria di depannya akan memberinya pekerjaan. “Bisa saya bekerja di sini, Pak?” Arsen tidak habis pikir dengan perempuan berhijab itu. Datang malam-malam dengan menggendong anak. Pertanyaan dalam diri Arsen, apakah dia tega membawa seorang anak di malam hari? Seketika Arsen menggeleng kecil. “Sepertinya yang dikatakan pegawai saya sudah cukup jelas.” Ars
“Mama kenapa pincang gini?” Pria itu mengulangi pertanyaannya, menghampiri Ratih yang dipegang oleh Ayara.‘Laki-laki itu?’ Ayara terkejut melihat pria itu di depannya dan memanggil Ratih dengan sebutan Mama. Itu artinya Bu Ratih dan dia adalah ibu dan anak.Ratih tersenyum tipis pada putranya. “Nggak papa, kok. Tadi Mama gak sengaja keserempet motor,” jelasnya seketika membuat sang putra membelakak. “Gak usah melotot gitu, Ar.” Ratih terkekeh kecil melihat wajah putranya yang mengkhawatirkannya.“Gak melotot gimana. Mama sakit begini aku gak boleh khawatir.” Arsen memeriksa kaki mamanya yang dibalut dengan kain berwarna coklat. “Sekarang kita ke rumah sakit.”“Gak usah, tadi Nak Ayara sudah bantu Mama.” Ratih menoleh pada Ayara yang berdiri sedikit menjauh dari sebelumnya. “Aya, sini, Nak. Kenapa di situ. Ibu mau kenalin kamu ke anak Ibu karena kamu sudah bantu Ibu.” Ratih memanggil Ayara.Ayara yang paham situasi, tadinya beringsut mundur saat pria bernama Arsen itu mengambil alih t
“Kamu diterima kerja di restoran.” Kalimat itulah yang terus terngiang di benak Ayara. Sungguh kejadian sederhana itu, benar-benar mendatangkan berkah dan keuntungan untuknya. Siapa sangka hanya karena membantu seorang wanita yang ternyata pemilik restoran. Sehingga sekarang Ayara bisa berkerja di sana. Itulah siklus kehidupan. Di saat ada hati yang tulus dalam membantu, maka Tuhan juga akan mempersiapkan bantuan dan hal indah lain untuknya. Maka dari itu, jangan sekali-kali lelah dalam berbuat baik dan tetap menolong sesama sesuai kemampuan kita. Pagi-pagi sekali Ayara sudah bangun dan mempersiapkan Aciel. Rutinitas ini sudah Ayara lakukan sejak satu minggu lalu, saat ia mulai bekerja di restoran Arsen. Usai dengan semua kesibukan pagi, barulah Ayara mempersiapkan dirinya. “Bunda berangkat kerja, ya, Sayang.” Ayara mencium pipi Aciel sebelum berangkat. “Jangan rewel, ya. Patuh sama nenek,” lanjutnya dan dibalas anggukan oleh anak itu. “Ote, Nda,” sahutnya sambil tertawa.
Kalung ini milik siapa? “Apa mungkin punya pelayan di sini?” Damar menatap lama kalung di tangannya. Bulan sabit dengan bintang kecil di tengahnya, membuat kalung tersebut tampak menawan. Aneh nya Damar merasa tak asing dengan rantai emas ini. “Apa pelayan Pak Arsen ada yang punya kalung ini?” tanya Damar ingin tahu. Ia menyerahkan kalung itu pada Arsen. “Saya juga tidak tau pasti, Pak.” Arsen tak langsung membenarkan tebakan Pak Damar. Takutnya bukan punya pelayan, bisa saja punya pelanggan sebelum mereka menempati ruangan VIP tersebut. “Biar nanti saya tanyakan dulu pada karyawan saya, Pak.” Damar menggeleng tak setuju. “Tidak tidak biar saya saja. Saya ingin tahu siapa pemilik kalung ini.” Damar memutuskan untuk ikut, ia ingin mencari tahu secara langsung siapa pemilik kalung bulan sabit ini. Arsen tak lagi membantah. Ia membiarkan rekan kerjanya itu untuk ikut saat mencari pemilik kalung tersebut. “Baiklah, Pak. Silakan menikmati hidangannya.” Arsen mempersilakan ta
“Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dok?” Ayara mengikuti langkah dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Aciel. “Cuma demam biasa aja kan, Dok?”Dokter tersebut menoleh pada Aciel yang terlelap di atas brankar. Kemudian perempuan berjas putih itu mengangguk pelan. “Iya, cuma demam biasa. Tapi, suhu tubuh Aciel sedikit lebih tinggi dari pada umumnya. Tapi tenang saja, tidak ada potensi untuk terkena step, kok.” Barulah Ayara bisa bernapas lega. Ayara mengusap kasar ujung matanya yang berair. Dalam hati berulang kali ia mengucapkan syukur, karena Tuhan kembali membantunya. Doanya terkabulkan, sehingga tidak ada hal yang serius pada putranya.“Terima kasih, Dokter.” Ayara menyalami tangan ibu dokter anak itu. “Iya, sama-sama. Lebih baiknya Nak Aciel dirawat barang sehari, supaya kondisinya cepat pulih.” Dokter menyarankan pada Ayara. Namun, saat melihat perubahan wajah Ayara membuat dokter itu bertanya heran. “Kenapa?”Ayara memutar ujung hijabnya. Bukannya ia tidak sayangkan
“Ayara?”Ayara lantas menoleh pada pintu yang dibuka oleh seseorang. Betapa terkejutnya perempuan itu saat melihat siapa gerangan yang baru datang. Ayara sontak bangun dari duduknya, lututnya seakan tak mampu menopang badannya ketika Arsen berjalan mendekati dirinya.Ayara memelintir ujung hijabnya. Ia mengerjakan mata berkali-kali. Jantungnya ikut berdebar kencang, akankah ketakutannya benar-benar terjadi? “Pak, Bapak benar mau pecat saya?” Ayara menatap Arsen penuh harap. Ayara menangkup tangannya di depan dada. “Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya dulu. Saya lagi butuh uang untuk obat anak saya,” lanjutnya lirih.Arsen menukik alisnya dalam. “Kamu bicara apa dari tadi?”Ayara sontak menaikkan tatapannya pada wajah datar di depannya. Kini malah Ayara yang mengernyit heran. “Maksud Bapak?”“Kamu berpikir terlalu kejauhan.” Arsen meletakkan sebuah kantong plastik di sisi ranjang yang ditempati Aciel. “Ini obat untuk anakmu.”Sebentar, Ayara masih mencerna apa yang terjadi. Tiba-tiba s
“Hah?” Ayara menatap cengo pada pria di depannya. Ayara lantas mengerutkan keningnya, secara tidak langsung menyatakan jika dirinya tak paham bagaimana maksud laki-laki tua ini. “Maaf, Pak. Sepertinya Anda salah orang.”Darma menatap dalam manik Ayara. Akan tetapi, perempuan itu langsung memutuskan kontak mata. “Maaf, Pak Arsen, sepertinya rekan Bapak salah menduga orang. Ini benar kalung saya, saya ambil kembali, ya.” Arsen mengangguk kecil. “Kalau begitu saya ke belakang dulu, Pak. Saya ingin bekerja penuh hari ini, untuk menggantikan pekerjaan kemarin.”Ayara menarik diri dari sana. Tak lupa perempuan berhijab pashmina biru itu berpamitan dengan Darma. Kepergian Ayara, membuat Darma menatap perempuan muda itu dari kejauhan. Mungkin yang dikatakan olehnya benar, jika dirinya salah menduga orang. Mungkin hanya kebetulan saja sama kalung warisan istrinya. Namun, ada satu hal yang bisa ia jadikan patokan lainnya, yaitu cucunya memliki sebuah tanda abu-abu di lengan kirinya.Yasudahlah
Angin berembus lembut melewati jendela besar yang terbuka, membawa aroma hujan semalam yang masih tersisa di udara. Arsen duduk di sofa ruang tamu, menyesap kopi yang sudah mulai dingin. Di depannya, Ayara sibuk mengelus kepala El yang tertidur di pangkuannya.Hari itu, suasana di rumah terasa tenang. Selain karena berlibur dari kegiatan kantor, juga karena dapat bersantai dengan orang tersayang. Arsen sengaja datang ke rumah Ayara, karena mendapat kabar jika El terus rewel dari semalam. Padahal sekarang sudah jam sepuluh pagi, tetapi anak itu masih tertidur, mungkin karena suara geledek dan petir tadi malam membuat tidur El tak nyenyak seperti biasanya.“Apa kita bawa aja ke dokter, Ay?” Arsen menatap cemas El, bahkan kedatangannya hanya disambut dengan pelukan saja oleh anak itu, setelahnya El kembali tertidur.“Nggak usah, Mas. Ini dia cuma kurang tidur aja, palingan bentar lagi juga bangun.” Arsen tak lagi membalas, ia cukup menunggu dan menemani anak itu sampai bangun. Hari ini
Hari di mana Ayara mendatangi rumah Arsen untuk makan malam, itu menjadi hari terakhir keduanya berjumpa karena esok harinya Arsen langsung melakukan penerbangan.Sejak Arsen pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota, Ayara menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja, lalu mengurus El, dan menikmati waktu luangnya dengan menemani sang anak bermain.Namun, ada satu hal yang berbeda—keheningan yang muncul setiap kali ia menyadari bahwa tidak ada Arsen di sekitarnya. Mungkin itu terjadi karena Ayara terbiasa dengan adanya Arsen di sisinya.Satu minggu bukan waktu yang lama, tetapi cukup untuk membuatnya merasa ada yang kurang. Arsen juga tidak bosan-bosan menghubunginya, menanyakan kegiatannya, dan tentu saja, meminta foto—entah itu foto Ayara atau El."Ay, pap dong.""Mas lagi sibuk kerja di luar kota, bukannya fokus kerja malah minta pap terus." "Biar semangat kerja, dong. Sekali aja."Ayara hanya tertawa membaca pesan-pesan Arsen yang selalu mengganggunya di sela waktu kerja. Ka
Arsen duduk di dalam mobilnya, menatap lurus ke arah rumah besar yang berdiri megah di depannya. Jari-jarinya menggenggam kemudi erat, sementara dadanya terasa sesak oleh ketegangan yang semakin menumpuk. Kakek adalah sosok yang bijaksana, tetapi Arsen tahu bahwa pria tua itu juga tidak mudah memaafkan. Apalagi jika menyangkut Ayara—cucu kesayangannya. Arsen sadar bahwa kesalahannya bukan hanya melukai hati Ayara, tetapi juga mengecewakan orang yang telah mempercayainya.Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya, ada rasa takut yang menyelinap di dadanya. Bagaimana jika Kakek benar-benar marah? Bagaimana jika ia tidak bisa memperbaiki semuanya?Namun, di sisi lain, Arsen tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menghindar. Jika ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Ayara, maka ia harus bertanggung jawab."Aku harus menghadapinya," gumamnya pada diri sendiri.Dengan tekad yang sudah bulat, Arsen keluar dari mobil
Hari jampi petang dan Arsen baru saja pulang dari kantor dengan langkah lelah. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan tak menentu, dan pikirannya terus-menerus memikirkan Ayara.Bagaimana mungkin ia bisa melupakan perempuan itu dengan mudahnya. Ia benar-benar tulus dengan cintanya kepada Ayara. Namun, ini semua terjadi dengan sangat tiba-tiba.Saat ia tiba di rumah, ia tidak mendapati keberadaan ibunya, mungkin wanita itu di dapur pikirnya. Arsen melangkah masuk, berpapasan dengan Bagas yang datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tidak ada Aurel yang membuatkan. Lantas ke man perempuan itu?"Aurel ke mana?" tanya Arsen akhirnya, suaranya terdengar datar.Bagas menyeruput kopinya sebentar sebelum menjawab, "Lagi jumpa Ayara."Seketika, Arsen menegang. Alisnya berkerut dalam keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan."Apa?" Arsen menatap Bagas tak percaya. “Ngapain dia?”Bagaimana bisa? Aurel yang dengan terang-terangan menentang hubungannya dengan Ayara, yang bahkan menyebabkan per
“Siapa yang datang?”Ayara tersentak pelan ketika suara kakek menembus telinganya. Ia menoleh sedikit, tanpa memindahkan badannya dari sela pintu.Kakek berhenti di belakang pintu yang sengaja dibuka sedikit. Pria tua itu memutuskan menyusul Ayara karena perempuan muda itu tak kunjung kembali. Hening sejenak mengisi suasana, Kakek tergerak menarik pintu besar itu. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita yang tidaklah asing baginya, selain dia salah satu karyawan di kantor, juga perempuan itu adalah orang yang pernah mencelakai Ayara.“Ada keperluan apa kamu datang ke sini?” Kakek membuat Laras tak berani menengadah tatapannya.Ayara mengusap lengan atas kakeknya, seolah mengatakan biar dirinya saja yang bicara dengan Laras. “Kakek tunggu di dalam aja, aku bicaranya gak lama, kok,” pinta Ayara dengan suara pelan. Kakek menyetujui, lalu pergi.Kalau ni atensi Ayara kembali pada Laras seorang. Tadi ia baru bertanya dengan siapa perempuan itu kemari, tiba-tiba kakek menyusul.Awalnya Ay
“Kenapa teleponnya terputus ya?” Arsen mengotak-atik layar ponsel. Ia memilih memasukkan benda pipih itu ke dalam saku jas. “Siapa yang datang?”Suasana di sekitar Arsen berubah drastis begitu ia menerima telepon dari mamanya. Ada desahan ringan yang keluar dari mulutnya, matanya yang tadinya fokus pada pekerjaan di mejanya kini terlihat gelisah.Ia segera merapikan barang-barangnya, laptop dimatikan, dokumen-dokumen disusun rapi, dan jaketnya diambil dari gantungan. Langkahnya cepat, hampir terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendesak atau penting (?) di rumah. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit tegang, alisnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat. Pikirannya melayang, bertanya-tanya siapa yang menunggunya di rumah. Mungkinkah Ayara? Akankah Ayara berubah pikiran dan kembali padanya?Sesampainya di rumah, Arsen membuka pintu dengan hati berdebar. Matanya langsung mencari sosok yang ia harapkan. Namun, yang ia temukan justru membuatnya terkejut. Bukan Ayara, melai
“Laras, kamu di dalam?” Panggilan Nirmala tak kunjung mendapat jawaban. Perempuan paruh baya itu kembali memanggil sang menantu. “Laras, kalau dipanggil itu ya disahut, dong. Jangan diam aja!”Nirmala mengetuk pintu kamar putranya dengan kesal. Pasalnya ini bukan kali pertama ia memanggil menantunya itu, hampir tiga kali bolak-balik, padahal ia sedang masak di dapur.“Bikin repot aja. Sebenarnya kalau bukan Janu yang minta untuk ngurusin, males banget.” Nirmala mengomel sendiri karena Janu memintanya agar memperhatikan istrinya itu. “Heh, punya mantu gak berguna sedikit pun!”Suara Nirmala yang cukup keras jelas saja terdengar oleh seseorang di dalam kamar. Memang Laras ada di kamar, tetapi perempuan itu memilih untuk tidak merespon ibu mertuanya. Lagi pula ia jenuh harus selalu mendengar repetan Nirmala.“Laras, keluar kamu bantu cuci piring!” Lagi-lagi Nirmala berteriak dengan pintu diketuk kasar. Kali ini ia memilih cara lain agar menantunya keluar.Dengan berat Laras menyibakkan s
“Kamu nggak berhak bicara seperti itu.”Arsen yang melihat Ayara pergi dengan wajah terluka hanya bisa menatap kesal pada kakak sepupunya. Namun, perempuan itu hanya mendengus. “Aku hanya berpikir realistis, Arsen. Dia itu tidak pantas.”Arsen tak lagi mendengar ucapan Aurel, ia berlari keluar rumah untuk menghampiri Ayara, tetapi taksi yang membawa Ayara sudah melaju pergi. Ia berdiri di tepi jalan dengan napas terengah-engah, matanya menatap kosong ke arah taksi yang perlahan menghilang dari pandangan. Ia mengepalkan tangan, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri.Dengan langkah berat, ia kembali masuk ke dalam rumah. Aurel masih duduk di ruang keluarga dengan ekspresi tak berdosa, seolah tak menyadari betapa dalam luka yang baru saja ia sebabkan."Aurel," panggil Arsen dengan nada dingin. "Kamu keterlaluan."Aurel mendongak, tampak tidak terpengaruh. “Aku hanya berkata jujur, Arsen. Lagian kenapa harus janda, sih?.”Arsen menatapnya tajam. “Harusnya kamu ta
Kabar pertunangan mereka tersebar dengan mudah dan cepat. Sejak itulah kehidupan Ayara di kantor semakin berbeda. Yang awalnya mereka tahu Ayara adalah calon penerus perusahaan, kini ditambah lagi jika sosok perempuan itu adalah tunangan dari Arsen.Semua karyawan pasti tahu siapa Arsen, sosok bijaksana dan penuh kharisma meskipun di usianya yang masih tergolong muda. Bayangkan saja, perempuan mana yang tidak menginginkan sosok Arsen. Namun, satu-satunya perempuan yang beruntung itu adalah Ayara.Bisik-bisik kecil terdengar di lorong-lorong kantor setiap kali ia lewat, tetapi Ayara hanya tersenyum dan mencoba bersikap biasa saja. Tujuan Ayara kini adalah pantry, ia ingin mengembalikan gelas yang ia gunakan. “Selamat ya, Bu Ayara,” ujar salah satu rekan kerja di ruang pantry. “Nggak nyangka ternyata selama ini calon bos kita ada di sekitar kita.”Ayara terkekeh pelan, “Aku masih tetap Ayara yang dulu, kok. Nggak ada yang berubah.”“Selamat juga ya, Bu Ayara atas pertunangannya,” lanju