“Ayara?”Ayara lantas menoleh pada pintu yang dibuka oleh seseorang. Betapa terkejutnya perempuan itu saat melihat siapa gerangan yang baru datang. Ayara sontak bangun dari duduknya, lututnya seakan tak mampu menopang badannya ketika Arsen berjalan mendekati dirinya.Ayara memelintir ujung hijabnya. Ia mengerjakan mata berkali-kali. Jantungnya ikut berdebar kencang, akankah ketakutannya benar-benar terjadi? “Pak, Bapak benar mau pecat saya?” Ayara menatap Arsen penuh harap. Ayara menangkup tangannya di depan dada. “Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya dulu. Saya lagi butuh uang untuk obat anak saya,” lanjutnya lirih.Arsen menukik alisnya dalam. “Kamu bicara apa dari tadi?”Ayara sontak menaikkan tatapannya pada wajah datar di depannya. Kini malah Ayara yang mengernyit heran. “Maksud Bapak?”“Kamu berpikir terlalu kejauhan.” Arsen meletakkan sebuah kantong plastik di sisi ranjang yang ditempati Aciel. “Ini obat untuk anakmu.”Sebentar, Ayara masih mencerna apa yang terjadi. Tiba-tiba s
“Hah?” Ayara menatap cengo pada pria di depannya. Ayara lantas mengerutkan keningnya, secara tidak langsung menyatakan jika dirinya tak paham bagaimana maksud laki-laki tua ini. “Maaf, Pak. Sepertinya Anda salah orang.”Darma menatap dalam manik Ayara. Akan tetapi, perempuan itu langsung memutuskan kontak mata. “Maaf, Pak Arsen, sepertinya rekan Bapak salah menduga orang. Ini benar kalung saya, saya ambil kembali, ya.” Arsen mengangguk kecil. “Kalau begitu saya ke belakang dulu, Pak. Saya ingin bekerja penuh hari ini, untuk menggantikan pekerjaan kemarin.”Ayara menarik diri dari sana. Tak lupa perempuan berhijab pashmina biru itu berpamitan dengan Darma. Kepergian Ayara, membuat Darma menatap perempuan muda itu dari kejauhan. Mungkin yang dikatakan olehnya benar, jika dirinya salah menduga orang. Mungkin hanya kebetulan saja sama kalung warisan istrinya. Namun, ada satu hal yang bisa ia jadikan patokan lainnya, yaitu cucunya memliki sebuah tanda abu-abu di lengan kirinya.Yasudahlah
“Sayang, nanti di sana jangan rewel-rewel ya. Bunda kan lagi kerja.” Ayara memberi perhatian pada anaknya.Kejadian kemarin yang sempat mengundang ketakutan Ayara. Alhasil, hari ini Ayara membawa Aciel ke tempat kerja. Tentu saja ini sudah atas perizinan dari Arsen selaku pemilik restoran. Ayara rasa dengan beginilah ia bisa selalu mengetahui kondisi anaknya. Bukannya tak percaya dengan bu Ningsih, hanya saja ia takut jika terjadi sesuatu nanti kepada Aciel, tetapi ia tidak mengetahui apa-apa.Sesampai di restoran, Ayara disambut hangat oleh rekan karyawan yang lain. Mereka menerima kehadiran Aciel yang begitu menggemaskan. Sebelum melakukan tugasnya, Ayara terlebih dahulu pergi ke area bermain anak yang tersedia di restoran tersebut. Di sana memang sudah ada yang jaga. Oleh karena itu, Ayara bisa tenang meninggalkan Aciel di sana.Pelanggan di jam sebelas siang belum terlalu ramai. Ayara masih bisa sedikit santai sambil sesekali memeriksa anaknya yang bermain. Namun, hampir dua jam b
“Arghh … kepalaku.” Ayara memegang kepalanya. Ia menggeleng kepala mengusir rasa denyutan yang tiba-tiba menyerangnya ketika mendengar panggilan itu.“Kamu kenapa, Ayara?” Arsen mengernyit heran karena Ayara tiba-tiba mengeluh sakit. Ayara mendongak, lalu menggeleng pada Arsen yang menatapnya. “Tidak apa, Pak. Kalau begitu saya permisi masuk untuk kerja lagi, Pak.” Sebelum pergi Ayara sempat menatap atasannya dan dua pria yang pernah ia temui tempo hari. Tatapannya beradu dengan tatapan sayu pria tua itu. Namun, Ayara langsung memutuskan kontak mata.Arsen dan dua rekan kerjanya yang baru saja tiba itu, menatap kepergian Ayara. Arsen sendiri merasa sedikit lebih lega karena Janu sudah pergi. Ia sudah mengancam pria itu, jika sampai berani mengganggu Ayara lagi, maka akan dilaporkan polisi.“Laki-laki tadi siapanya pelayan itu, Pak Arsen?” Pak Darma beralih bertanya tentang sosok Janu.“Saya tidak tau pasti juga, Pak. Kelihatannya itu suaminya.” Arsen juga tak tahu banyak, karena Ayar
“Nak, tunggu dulu!”Tangan Ayara dengan cepat ditahan Darma ketika perempuan muda yang sedang menangis itu hendak melarikan diri. Darma kembali menarik perempuan yang disangka adalah cucunya dengan lembut. “Kamu jangan pergi dulu, dengar penjelasan Kakek dulu, ya.”Bulir bening yang mengalir Ayara seka dengan kasar. Kemudian tatapannya tertuju pada pria tua yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan kakek. Tentu saja Ayara merasa aneh, lebih tepatnya asing dengan sebutan itu. Karena sedari dulu ia hanya seorang diri, tanpa kerabat lagi.“Saya tau kamu pasti syok dengar kebenaran jika kamu masih punya keluarga. Yang pasti saya tidak berbohong jika saya adalah Kakek kamu.” Darma menjelaskan tanpa keraguan, dengan harapan Ayara mempercayainya. “Kamu adalah cucu perempuan satu-satunya yang saya punya. Tapi, saya kehilangan kamu saat kecelakaan masa itu.”Darma memutar memorinya pada tahun di mana Ayara kecil hilang. Ketika itu Darma ingat sekali di mana putranya sedang pulang dari perj
Bab 17.“Saya permisi.” Ayara buru-buru pergi dari hadapan Darma, bahkan tanpa menjawab pertanyaannya.Darma hendak mengejarnya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Darma kembali duduk di sana. Menurutnya, Ayara masih belum terbiasa dengan kehadirannya. Ia paham akan itu.Beberapa saat berlalu, Darma masih berada di sana. Matanya yang berkeriput terus menelusuri sekitar, mencari keberadaan Ayara. Namun, tidak ada tanda-tanda kedatangan perempuan berhijab itu.Darma beranjak dari sana tetapi ia dihadang oleh Arsen yang tiba-tiba muncul. “Mau ke mana, Pak Darma? Bapak sudah selesai makan siang?” Arsen melirik ke arah meja Darma yang masih terlihat kosong, tak tampak seperti baru selesai digunakan untuk makan.“Tidak, Pak Arsen. Sepertinya saya akan pulang saja.” Darma tersenyum tipis pada rekannya tersebut. “Baiklah, sampai bertemu di kesempatan lain. Nanti akan kita bahas lebih lanjut tentang kerja sama ini.”Arsen mengangguk kecil. Akan tetapi, ia merasa aneh dengan Darma yang tidak jadi
“Nggak ada, Ra.” Tatapan Bu Ningsih menjurus ke depan. Kilatan bayangan ketika masa itu terlintas di kepalanya. Bu Ningsih lalu menoleh pada Ayara. “Kenapa tiba-tiba sekali kamu nanyain tentang ini, Nak?”Tentu saja Bu Ningsih keheranan, karena selama ini Ayara tak pernah menyinggung tentang bagaimana bisa dia berada di panti asuhan ini.“Nggak, Bu. Mau tau aja.” Ayara terkekeh kecil setelahnya.Ningsih mengangguk paham, tetapi wanita paruh baya ini tak tahu apa yang sedang dihadapi Ayara. Tampak Ningsih menarik napasnya, sebelum melanjutkan ucapannya.“Dulu Ibu nemuin kamu di depan gerbang. Kamu sendirian di sana, nggak ada orang lain. Saat itu hujan, jadi Ibu gak lama-lama di depan gerbang. Jadi, Ibu langsung bawa kamu masuk ke rumah panti, biar kamu gak makin kedinginan.” Bu Ningsih menjelaskan bagaimana keadaan pada saat itu.Penjelasan Bu Ningsih diterima baik oleh Ayara. Di restoran tadi ia langsung pergi ketika Kakek Darma mengajaknya ikut pulang bersamanya. Saat itu Ayara mera
Bab 19.“Tidak bisa, Ayara.” Arsen mengulangi kalimatnya. Kali ini Ayara tidak meminta lagi. Nada suara atasannya tersebut sudah cukup menegaskan jika pria itu tidak memberikan alamat rekannya kepada pelayan sepertinya.“Tidak apa-apa dan maaf Pak karena sudah lancang. Terima kasih, Pak. Maaf sudah mengganggu waktunya.” Ayara berdiri dari kursi, berbalik berjalan menuju pintu.Ayara rasa cukup, lebih baik ia pergi dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu ia pulang untuk menemui putranya. Memang setelah ia mendapatkan pertolongan waktu itu saat Janu mau membawa El, Ayara tidak lagi membawa anaknya ke tempat kerja. Ia merasa anaknya aman karena ada perlindungan, meskipun itu sesaat.Akan tetapi, rasa dilindungi itu perlahan memudar karena pada dasarnya ia bukanlah siapa-siapa yang berhak menerima pertolongan apalagi perlindungan dari sang atasan.“Ayara, tunggu!”Ayara yang hendak masuk lift, langsung mengurungkan niatnya. Ia berbalik arah, ternyata Arsen yang baru saja keluar
Keesokan harinya matahari bersinar dengan terangnya. Suasana panas di luar sana sangat menggambarkan suasana hati seseorang yang sedang menahan murkanya.Saat ini Ayara baru saja kembali dari kantin dan hendak menuju ruangannya, tiba-tiba Laras muncul di depannya dengan wajah marah. Tanpa aba-aba, Laras menarik hijab Ayara dengan kasar, sampai-sampai wajah Ayara mendongak ke atas.Inilah perempuan yang dimaksud sedang sangat menyala, seperti matahari."Apa yang kamu mau lagi, hah?!" bentak Laras penuh kemarahan.Ayara tersentak, berusaha melepaskan cengkraman Laras. "Laras, lepaskan aku!"Namun, Laras semakin keras mencengkeramnya. "Kamu pikir setelah menjebloskan suami aku ke penjara, kamu bisa hidup tenang, hah!?"“La-ras, lepaskan dulu,” pinta Ayara semakin terbata karena sekarang perempuan itu mencekik lehernya.Bukannya melepaskan cekikan atau tarikan pada hijab Ayara, justru Laras semakin menggila sampai-sampai mengayunkan hijab di kepala Ayara yang masih di tangannya.“Suamiku
Malam itu, di bawah langit yang mulai gelap, Ayara duduk di sebuah meja dekat pojokan. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, sementara pikirannya dipenuhi oleh segala tanya ‘apa tujuan Arsen memintanya bertemu?’Memang seharian ini mereka belum ada ketemu, selain karena perkara menyiasati korupsi telah selesai, pria itu ada pertemuan dengan rekan bisnisnya yang lain. Lalu, tiba-tiba suara langkah kaki mendekat. Ayara mendongak untuk melihat pemilik sepatu hitam mengkilap tersebut. Ternyata Arsen yang berdiri di sana dengan senyum tipis di wajahnya.“Maaf membuatmu menunggu lama “ Arsen duduk di depan Ayara.“Nggak lama, kok. Aku baru juga sampe. Ohiya, kenapa Mas Arsen mau kita ketemu?”Arsen menghela napas panjang, perempuan ini sangat tidak sabaran. “Bagaimana kalau kita pesan dulu?”Ayara mengangguk setuju, kemudian keduanya memutuskan memesan makanan terlebih dahulu. Setelah pelayan pergi, tinggallah kedua kembali. Suasana canggung tiba-tiba mendominasi, bukankah akhir-akhir i
Di dalam kantor polisi yang penuh dengan ketegangan, Janu duduk di ruang pemeriksaan dengan wajah penuh putus asa dan kemarahan yang tertahan. Ayara, Arsen juga berada di sana dan tak lama kemudian Kakek tiba di sana. Mereka duduk di ruangan berbeda, menunggu hasil pemeriksaan Janu dengan ekspresi serius.Suara langkah kaki dengan suara yang nyaring menyita perhatian. Tidak lama kemudian, pintu ruang tunggu terbuka dengan kasar. Laras dan Nirmala masuk dengan wajah yang dipenuhi emosi. Nirmala, dengan sanggul yang tinggi di atas kepala serta gaun mahalnya yang tampak berantakan, langsung menghampiri Ayara dengan sorot mata penuh kebencian.“Semua ini gara-gara kamu!” suaranya meninggi, hampir berteriak. “Kamu pikir kamu siapa sampai berani menyeret Janu ke dalam masalah ini? Apa kamu nggak punya hati?”Ayara tetap duduk tegak, mencoba bersikap tenang meskipun hatinya bergetar hebat. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi tak menyangka Laras dan Nirmala akan seagresif ini.Laras, yang sejak
“Kenapa aku bisa ada di kamar?” Ayara bangkit dari tidurnya.Ia memandangi sekitarnya, ini benar-benar kamarnya. Pertanyaannya masih sama, kenapa bisa ia di sini? Bukannya tadi malam seingatnya ia ada di ruang meeting bersama Arsen, lalu ia tertidur di sofa, dan lalu …. Ia lupa apa yang terjadi setelahnya.“Nggak! Nggak mungkin kan?” Ayara menutup wajahnya dengan selimut di badan. Ayara buru-buru berlari dari ranjang menuju kamar mandi. Ritual paginya berlangsung lebih lama dari biasanya, karena semalam ia tidak mandi, maka pagi ini ia jamak saja.Begitu selesai, Ayara langsung turun ke bawah. Ia merindukan putra gemasnya. Bahkan karena masalah itu, ia melupakan putranya.“Sayang, maafkan Bunda ya. Maaf Bunda tadi malam tidak menemani El tidur.” Ayara menghampiri dan mencium seluruh wajah putra tampannya yang baru selesai sarapan.“No no cium, Bunda.” El menggeleng geli dengan tingkah ibunya. Ayara tertawa kecil melihat respon anaknya. Ayara mengambil tempat di samping El setelah me
Hari ini, sesuai dengan rencana yang telah disepakati, Ayara dan Arsen mulai bergerak. Mereka menyusun strategi untuk menelusuri setiap jejak transaksi mencurigakan dari pihak-pihak finance . Dari tumpukan laporan keuangan hingga komunikasi dengan pihak finance semuanya harus diperiksa dengan teliti. Namun, mereka dapat kabar jika bagian internal sudah ada tim yang dikerahkan sang pimpinan perusahaan.“Ada yang mencurigakan?” tanya Ayara pada salah satu tim.“Ada, salah satu karyawan divisi ini pernah melakukan transaksi pembayaran kepada salah satu vendor,” jelasnya dengan menunjukan layar kepada Ayara dan Arsen.Di sana mereka dapat melihat nomor khusus staff finance, serta nomor rekening tujuan. Yang menandakan bahwasanya benar salah satu dari divisi ini yang melancarkan aksi.“Baiklah, terima kasih banyak.” Ayara pergi dari sana, tak lupa ia meminta data tersebut untuk kelancaran proses selanjutnya. “Kita butuh bantuan it untuk melacak kontak pemilik rekening itu, Mas,” ujar Ayar
Pagi itu, kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Ayara yang baru beberapa menit lalu tiba dan duduk di mejanya, mendengar beberapa rekan berbicara dengan nada setengah berbisik. Desas-desus tentang masalah keuangan perusahaan menyebar cepat, menggerakkan setiap orang di sudut ruangan untuk membahas tentang ini.“Katanya ada selisih pengeluaran di laporan bulan lalu. Nggak main-main, jumlahnya sampai ratusan juta,” ucap salah seorang staf dengan wajah cemas.Ayara mengerutkan kening, mencoba fokus pada berkas di hadapannya. Tapi pembicaraan itu terus mengusik. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, bangkit, dan melangkah menuju ruangan tim finance.Di ruangan itu, beberapa orang terlihat sibuk, sebagian berkutat dengan tumpukan dokumen, sementara yang lain mengetik cepat di depan layar komputer. Situasi tampak tegang.“Pagi, Pak. Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Ayara, suaranya tegas namun tidak meninggikan nada.Kepala tim finance, Pak Wahyu, mendongak dari tumpukan kertas di depa
Arsen memarkir mobil di dekat pintu masuk taman. Begitu mesin dimatikan, Ayara melirik ke kursi belakang, memastikan Aciel masih nyaman di car seat-nya. Anak kecil itu tampak menggerakkan kaki kecilnya, tak sabar ingin segera turun."Udah gak sabar banget ya?" tanya Ayara sambil tersenyum lembut."Iya, Bunda!" jawab Aciel dengan semangat. Ia mengulurkan tangannya, meminta digendong.Ayara membuka pintu belakang dan mencoba mengangkat Aciel. Tapi anaknya yang makin berat membuatnya sedikit kesusahan. Ia melirik ke arah Arsen yang sudah berdiri di sisi lain mobil. "Pak Arsen," panggilnya. “Boleh minta tolong gendong El keluar?”Arsen mengintip ke dalam mobil, di mana El sedang tersenyum lebar sambil membuka tangannya agar segera dibawa keluar.Arsen tidak ada alasan untuk menolak permintaan Ayara. Dengan mudahnya laki-laki itu mengangkat tubuh gembul El dari mobil.Setelah semuanya turun, ketiganya mulai melangkah menuju jalan lintasan taman. Sepanjang jalan El tersenyum lebar, anak it
Sejak Ayara bergabung di perusahaan, berbagai rumor mulai beredar. Awalnya, hanya bisik-bisik kecil di sudut ruangan, tetapi lama-kelamaan gosip itu membesar seperti bola salju yang menggelinding. Bagaimana tidak, sosok Ayara hanya karyawan baru yang sering terlihat di berbagai pertemuan penting, menjadi topik utama di kalangan karyawan. Terlebih lagi mereka sering melihat Ayara keluar dari mobil yang sama dengan pemimpin perusahaan gunakan.“Kenapa ya, si Ayara selalu ikut kalau ada pertemuan besar? Padahal, dia kan masih baru di sini,” bisik salah seorang staf di pantry.“Aku juga liat si Ayara keluar dari mobil yang sama dengan Pak Abraham,” celetuk satu perempuan lagi yang sedang mengaduk kopinya.Suasana di pantry kantor bising dengan berbagai bisikan kaum hawa. Beberapa laki-laki yang ada di sana hanya ikut mendengarkan berita yang mereka bawa. “Apa mungkin dia jadi … sugar baby-nya Pak Abraham?” Seorang perempuan berbadan ramping ikut nimbrung dengan suara sengaja dipelankan.
Hujan deras mengguyur kota, membasahi trotoar dan mengaburkan pandangan. Ayara masuk ke restoran dengan langkah terburu-buru. Ia menepis tetesan hujan yang masih menempel di hijabnya. Suasana tidak begitu ramai, ia lanjut memindai ruangan mencari sosok Janu dan Laras. Sebuah notifikasi di ponselnya menarik perhatian. Ayara segera memeriksa pesan itu. Ternyata dari Janu. Pesannya singkat, memberitahu bahwa ia dan Laras sedang di toilet. Ayara hanya mengangguk kecil, tidak terlalu mempermasalahkan. Ia memilih mencari meja kosong dan duduk. Namun, hampir setengah jam berlalu. Minuman yang ia pesan sudah hampir habis, tapi Janu dan Laras belum juga kembali. Ayara mulai merasa ada yang aneh. Ia mengetik pesan untuk Janu, tetapi tidak ada balasan. Bahkan, nomor Janu kini tidak aktif. Ayara mencoba menelepon Laras, tetapi panggilannya langsung diputus. Ia menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kesal. "Apa mereka sedang mengerjaiku?" batinnya. Di tengah lelah yang melanda