Bab 19.“Tidak bisa, Ayara.” Arsen mengulangi kalimatnya. Kali ini Ayara tidak meminta lagi. Nada suara atasannya tersebut sudah cukup menegaskan jika pria itu tidak memberikan alamat rekannya kepada pelayan sepertinya.“Tidak apa-apa dan maaf Pak karena sudah lancang. Terima kasih, Pak. Maaf sudah mengganggu waktunya.” Ayara berdiri dari kursi, berbalik berjalan menuju pintu.Ayara rasa cukup, lebih baik ia pergi dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu ia pulang untuk menemui putranya. Memang setelah ia mendapatkan pertolongan waktu itu saat Janu mau membawa El, Ayara tidak lagi membawa anaknya ke tempat kerja. Ia merasa anaknya aman karena ada perlindungan, meskipun itu sesaat.Akan tetapi, rasa dilindungi itu perlahan memudar karena pada dasarnya ia bukanlah siapa-siapa yang berhak menerima pertolongan apalagi perlindungan dari sang atasan.“Ayara, tunggu!”Ayara yang hendak masuk lift, langsung mengurungkan niatnya. Ia berbalik arah, ternyata Arsen yang baru saja keluar
“Ayara!” Bu Ningsih berjalan terburu-buru menghampiri Ayara yang baru saja turun dari ojek.“Ada apa, Bu?” Ayara melihat Bu Ningsih menghampirinya dengan wajah yang sulit diartikan. ‘Apakah sesuatu telah terjadi pada putranya?’ Bukan apa, Ayara melihat Ningsih yang sekarang persis seperti saat Aciel jatuh sakit tempo hari. “Ada apa? Apa El sakit lagi, Bu?” Wanita paruh baya itu menggeleng cepat. Balasan itu membuat Ayara mengerut heran. “Terus kenapa, Bu?”“Ada kiriman sangat banyak,” jawab Ningsih, mampu membuat Ayara kembali kebingungan.Kiriman? Kiriman apa? Perasaannya ia tidak merasa memesan apa pun. Jelas saja, jangankan untuk memesan barang, ia bisa makan saja sudah lebih dari cukup. “Tapi, Buk, aku gak mesan apa-apa. Seharian aku di tempat kerja.” Ayara menjelaskan ketidaktahuannya. “Rika, mungkin dia yang mesan, Bu.” Bu Ningsih menggelengkan kepalanya, karena kiriman yang sedang mereka bicarakan tidak ada sangkut pautnya dengan Rika.Rika merupakan salah satu anak panti.
Bab 21.“Kamu benar gak masalah, Nak?” Ayara menggeleng kecil dengan ponsel yang masih bertengger di salah satu sisi telinganya. “Iya, Kakek, aku gakpapa.”Kini perempuan berhijab itu sedang berbicara dengan sang kakek melalui panggilan suara. Ayara sengaja berjalan sedikit jauh dari keramaian ruangan karyawan. Begitu pula dengan Darma yang juga mengasingkan diri ke sisi samping restoran untuk menanyakan keadaan cucunya yang baru saja dihina oleh laki-laki yang ternyata pegawainya.“Terus kamu mau biarkan laki-laki tidak tau diri itu menghina kamu selalu? Kakek gak rela cucu kecil Kakek dihina sama orang kayak dia.” Darma memijat kepalanya yang berdenyut. Ia masih tidak percaya jika laki-laki bermulut lemes itu adalah mantan suami cucunya.Ayara tersenyum mendengar pembelaan dari Darma. Setelah sekian lama hidup dalam bayang-bayang disalahkan. Namun, pada akhirnya ia bisa mendapatkan pembelaan dari seseorang. “Haruskah Kakek beri dia pembalasan karena sudah membuat hidup kamu mender
Bab 22.“Iya, Pak.” Ayara menatap Arsen lalu mengangguk. Memang saat ini dirinya sudah bukan istri orang. Namun, ia belum resmi di mata negara. Oleh karena itu, Ayara ingin menerangkan statusnya.“Kapan kamu ke pengadilannya?” Bukannya menjawab pertanyaan permintaan izin Ayara, pria itu malah balik bertanya.“Mungkin besok, Pak. Itu pun kalau Bapak izinkan libur.” Ayara pasrah, tetapi tetap saja ia sangat ingin untuk ke sana.Arsen tampak menghela napasnya panjang. Sebelum menjawab, pria itu menatap Ayara lama. “Saya bantu.”“Hah? Gimana, Pak?” Ayara tak mengerti dengan jawaban pria di depannya.“Saya bantu kamu untuk cerai dengan suami kamu itu.”*Sesuai dengan rencana kemarin, Ayara bisa libur kerja karena hendak ke pengadilan. Seperti ucapan Arsen terakhir kali jika pria itu akan ikut serta dan ingin membantu Ayara.Setelah melihat beberapa kali kejadian yang melibatkan Ayara dan Janu—mantan suaminya— membuat Arsen prihatin dengan Ayara yang tidak bisa berbuat lebih. Alhasil, sel
Bab 23. “Terima kasih, Pak sudah nganterin saya pulang.” Ayara melepaskan sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya. “Makasih banyak, Pak, ya. Bikin Bapak kerepotan.”“Iya, Ayara. Ini udah ke berapa kalinya kamu bilang terima kasih.” Arsen menggeleng pelan. Pasalnya sedari tadi Ayara terus mengucapkan terima kasih padanya. Padahal kan dirinya sendiri yang ingin membantu, itu artinya Arsen tidak keberatan.Ayara tertawa kecil, ia pun bingung harus mengucapkan apa lagi selain dua kata itu. Ayara dibuat semakin tak enak karena pria itu juga yang membayar makan siang. Tadi sebelum pulang, Arsen dan Ayara memang sempat singgah makan siang karena jam sudah menunjuk pukul dua siang.“Kalau begitu, saya masuk dulu ya, Pak.” Arsen mengangguk kecil. “Besok saya masuk kerja, kok, Pak.”Arsen kembali mengangguk. “Baiklah, tetap ke resto kalau tidak ada jadwal panggilan dari pengadilan.”Ayara mengangguk patuh. Pria itu memang sudah mengizinkan Ayara untuk libur. Hanya saja Ayara harus tetap pergi
Bab 24. Janu tidak hadir lagi.“Ayara, kamu mau pergi lagi?”“Eh, Pak Arsen.” Ayara mendongak, ia mendapati atasanya yang tampak baru saja tiba. Bisa Ayara lihat pria itu semakin mendekatinya. “Saya izin, ya, Pak. Kalau cepat selesai, saya balik kerja lagi nanti,” lanjut Ayara.“Tidak perlu, kamu bisa langsung pulang saja.” Janu melarang perempuan bermata coklat itu untuk kembali bekerja.“Makasih banyak, Pak.” Ayara bersyukur atasannya ini semakin mudah memberinya kesempatan izin. Bukan apa, hanya saja Arsen terlihat lebih berbeda dari awal ia bekerja.“Bagaimana hari ini? Kamu akan sendiri lagi?” Arsen menghampiri Ayara yang sedang berdiri di depan restoran. “Iya, Pak, saya sendirian lagi kayaknya.” Ayara mengalungkan tangannya pada tas selempang yang dibawanya.“Memangnya suami kamu itu tidak ada niatan cerai secara resmi?” tanya Arsen penasaran.Ayara menggeleng kecil. Ia tak tahu bagaimana jalan pikir mantan suaminya itu. Janu telah menalaknya. Akan tetapi, pria itu tidak mau me
“Loh loh, mau datang ke mana ini?” Ayara seketika panik sendiri melihat pesan yang tertera di layar kunci ponselnya.Jemari Ayara gesit memasukkan kata sandi pada ponselnya, agar bisa membalas pesan tersebut. Namun, tidak sempat karena sebuah panggilan lebih dulu masuk dari Arsen.Ayara langsung menggeser panel hijau dan meletakkan ponsel di telinganya. Tak lama sebuah suara bariton menyapa.“Ayara!” “Pak Arsen.” Keduanya memanggil secara bersamaan. Keduanya sempat terdiam beberapa saat karena saling bertolak untuk memulai bicara.“Kamu duluan saja.” Arsen mempersilakan Ayara untuk berbicara terlebih dahulu.“Maksud Bapak datang ke mana, ya?” Ayara mengerutkan keningnya kebingungan, masih belum paham dengan isi pesan atasannya itu. Tadinya ia sempat berpikir jika itu adalah Janu. Namun, setelah memastikan nama kontak yang masuk, barulah Ayara bernapas lega karena yang baru saja mengirimkannya pesan adalah Arsen.“Saya datang menjemputmu, Ayara. Kamu sudah selesai kan?” Ayara mengan
Bab 26. “Maunya gitu, sih, Buk. Tapi tabungan aku belum cukup.” Janu menghela napas mengingat angka tabungan yang masih belum mencapai target. “Memangnya mau berapa?” Nirmala mendelik ke arah putranya. “Bukannya nikah di KUA aja. Biar uangnya bisa kita pake untuk sehari-hari,” tandas Nirmala lagi. Janu spontan memijit pelipisnya. Kepalanya dipenuhi oleh beberapa masalah. Belum selesai dengan masalah panggilan pengadilan, kini ibunya malah menyuruhnya menikah dengan Laras di KUA. “Gak bisalah, Buk,” sergah Janu pelan dan itu berhasil membuat Nirmala mengernyit heran. “Gak bisa gimana? Orang tinggal sewa baju kebaya, terus ke KUA, udah selesai,” seloroh Nirmala dengan geleng-geleng kepala melihat tanggapan anaknya. Janu menghela napas kasar, ibunya tak mengerti dengan situasi yang sedang dialaminya. Jani beranjak dari kursi hendak masuk kamar. Namun, Nirmala menyergahnya. “Hei, Janu! Jawab dulu Ibu tadi nanya. Kenapa gak bisa di KUA aja?” desak Nirmala geram melihat anaknya
Keesokan harinya matahari bersinar dengan terangnya. Suasana panas di luar sana sangat menggambarkan suasana hati seseorang yang sedang menahan murkanya.Saat ini Ayara baru saja kembali dari kantin dan hendak menuju ruangannya, tiba-tiba Laras muncul di depannya dengan wajah marah. Tanpa aba-aba, Laras menarik hijab Ayara dengan kasar, sampai-sampai wajah Ayara mendongak ke atas.Inilah perempuan yang dimaksud sedang sangat menyala, seperti matahari."Apa yang kamu mau lagi, hah?!" bentak Laras penuh kemarahan.Ayara tersentak, berusaha melepaskan cengkraman Laras. "Laras, lepaskan aku!"Namun, Laras semakin keras mencengkeramnya. "Kamu pikir setelah menjebloskan suami aku ke penjara, kamu bisa hidup tenang, hah!?"“La-ras, lepaskan dulu,” pinta Ayara semakin terbata karena sekarang perempuan itu mencekik lehernya.Bukannya melepaskan cekikan atau tarikan pada hijab Ayara, justru Laras semakin menggila sampai-sampai mengayunkan hijab di kepala Ayara yang masih di tangannya.“Suamiku
Malam itu, di bawah langit yang mulai gelap, Ayara duduk di sebuah meja dekat pojokan. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, sementara pikirannya dipenuhi oleh segala tanya ‘apa tujuan Arsen memintanya bertemu?’Memang seharian ini mereka belum ada ketemu, selain karena perkara menyiasati korupsi telah selesai, pria itu ada pertemuan dengan rekan bisnisnya yang lain. Lalu, tiba-tiba suara langkah kaki mendekat. Ayara mendongak untuk melihat pemilik sepatu hitam mengkilap tersebut. Ternyata Arsen yang berdiri di sana dengan senyum tipis di wajahnya.“Maaf membuatmu menunggu lama “ Arsen duduk di depan Ayara.“Nggak lama, kok. Aku baru juga sampe. Ohiya, kenapa Mas Arsen mau kita ketemu?”Arsen menghela napas panjang, perempuan ini sangat tidak sabaran. “Bagaimana kalau kita pesan dulu?”Ayara mengangguk setuju, kemudian keduanya memutuskan memesan makanan terlebih dahulu. Setelah pelayan pergi, tinggallah kedua kembali. Suasana canggung tiba-tiba mendominasi, bukankah akhir-akhir i
Di dalam kantor polisi yang penuh dengan ketegangan, Janu duduk di ruang pemeriksaan dengan wajah penuh putus asa dan kemarahan yang tertahan. Ayara, Arsen juga berada di sana dan tak lama kemudian Kakek tiba di sana. Mereka duduk di ruangan berbeda, menunggu hasil pemeriksaan Janu dengan ekspresi serius.Suara langkah kaki dengan suara yang nyaring menyita perhatian. Tidak lama kemudian, pintu ruang tunggu terbuka dengan kasar. Laras dan Nirmala masuk dengan wajah yang dipenuhi emosi. Nirmala, dengan sanggul yang tinggi di atas kepala serta gaun mahalnya yang tampak berantakan, langsung menghampiri Ayara dengan sorot mata penuh kebencian.“Semua ini gara-gara kamu!” suaranya meninggi, hampir berteriak. “Kamu pikir kamu siapa sampai berani menyeret Janu ke dalam masalah ini? Apa kamu nggak punya hati?”Ayara tetap duduk tegak, mencoba bersikap tenang meskipun hatinya bergetar hebat. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi tak menyangka Laras dan Nirmala akan seagresif ini.Laras, yang sejak
“Kenapa aku bisa ada di kamar?” Ayara bangkit dari tidurnya.Ia memandangi sekitarnya, ini benar-benar kamarnya. Pertanyaannya masih sama, kenapa bisa ia di sini? Bukannya tadi malam seingatnya ia ada di ruang meeting bersama Arsen, lalu ia tertidur di sofa, dan lalu …. Ia lupa apa yang terjadi setelahnya.“Nggak! Nggak mungkin kan?” Ayara menutup wajahnya dengan selimut di badan. Ayara buru-buru berlari dari ranjang menuju kamar mandi. Ritual paginya berlangsung lebih lama dari biasanya, karena semalam ia tidak mandi, maka pagi ini ia jamak saja.Begitu selesai, Ayara langsung turun ke bawah. Ia merindukan putra gemasnya. Bahkan karena masalah itu, ia melupakan putranya.“Sayang, maafkan Bunda ya. Maaf Bunda tadi malam tidak menemani El tidur.” Ayara menghampiri dan mencium seluruh wajah putra tampannya yang baru selesai sarapan.“No no cium, Bunda.” El menggeleng geli dengan tingkah ibunya. Ayara tertawa kecil melihat respon anaknya. Ayara mengambil tempat di samping El setelah me
Hari ini, sesuai dengan rencana yang telah disepakati, Ayara dan Arsen mulai bergerak. Mereka menyusun strategi untuk menelusuri setiap jejak transaksi mencurigakan dari pihak-pihak finance . Dari tumpukan laporan keuangan hingga komunikasi dengan pihak finance semuanya harus diperiksa dengan teliti. Namun, mereka dapat kabar jika bagian internal sudah ada tim yang dikerahkan sang pimpinan perusahaan.“Ada yang mencurigakan?” tanya Ayara pada salah satu tim.“Ada, salah satu karyawan divisi ini pernah melakukan transaksi pembayaran kepada salah satu vendor,” jelasnya dengan menunjukan layar kepada Ayara dan Arsen.Di sana mereka dapat melihat nomor khusus staff finance, serta nomor rekening tujuan. Yang menandakan bahwasanya benar salah satu dari divisi ini yang melancarkan aksi.“Baiklah, terima kasih banyak.” Ayara pergi dari sana, tak lupa ia meminta data tersebut untuk kelancaran proses selanjutnya. “Kita butuh bantuan it untuk melacak kontak pemilik rekening itu, Mas,” ujar Ayar
Pagi itu, kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Ayara yang baru beberapa menit lalu tiba dan duduk di mejanya, mendengar beberapa rekan berbicara dengan nada setengah berbisik. Desas-desus tentang masalah keuangan perusahaan menyebar cepat, menggerakkan setiap orang di sudut ruangan untuk membahas tentang ini.“Katanya ada selisih pengeluaran di laporan bulan lalu. Nggak main-main, jumlahnya sampai ratusan juta,” ucap salah seorang staf dengan wajah cemas.Ayara mengerutkan kening, mencoba fokus pada berkas di hadapannya. Tapi pembicaraan itu terus mengusik. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, bangkit, dan melangkah menuju ruangan tim finance.Di ruangan itu, beberapa orang terlihat sibuk, sebagian berkutat dengan tumpukan dokumen, sementara yang lain mengetik cepat di depan layar komputer. Situasi tampak tegang.“Pagi, Pak. Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Ayara, suaranya tegas namun tidak meninggikan nada.Kepala tim finance, Pak Wahyu, mendongak dari tumpukan kertas di depa
Arsen memarkir mobil di dekat pintu masuk taman. Begitu mesin dimatikan, Ayara melirik ke kursi belakang, memastikan Aciel masih nyaman di car seat-nya. Anak kecil itu tampak menggerakkan kaki kecilnya, tak sabar ingin segera turun."Udah gak sabar banget ya?" tanya Ayara sambil tersenyum lembut."Iya, Bunda!" jawab Aciel dengan semangat. Ia mengulurkan tangannya, meminta digendong.Ayara membuka pintu belakang dan mencoba mengangkat Aciel. Tapi anaknya yang makin berat membuatnya sedikit kesusahan. Ia melirik ke arah Arsen yang sudah berdiri di sisi lain mobil. "Pak Arsen," panggilnya. “Boleh minta tolong gendong El keluar?”Arsen mengintip ke dalam mobil, di mana El sedang tersenyum lebar sambil membuka tangannya agar segera dibawa keluar.Arsen tidak ada alasan untuk menolak permintaan Ayara. Dengan mudahnya laki-laki itu mengangkat tubuh gembul El dari mobil.Setelah semuanya turun, ketiganya mulai melangkah menuju jalan lintasan taman. Sepanjang jalan El tersenyum lebar, anak it
Sejak Ayara bergabung di perusahaan, berbagai rumor mulai beredar. Awalnya, hanya bisik-bisik kecil di sudut ruangan, tetapi lama-kelamaan gosip itu membesar seperti bola salju yang menggelinding. Bagaimana tidak, sosok Ayara hanya karyawan baru yang sering terlihat di berbagai pertemuan penting, menjadi topik utama di kalangan karyawan. Terlebih lagi mereka sering melihat Ayara keluar dari mobil yang sama dengan pemimpin perusahaan gunakan.“Kenapa ya, si Ayara selalu ikut kalau ada pertemuan besar? Padahal, dia kan masih baru di sini,” bisik salah seorang staf di pantry.“Aku juga liat si Ayara keluar dari mobil yang sama dengan Pak Abraham,” celetuk satu perempuan lagi yang sedang mengaduk kopinya.Suasana di pantry kantor bising dengan berbagai bisikan kaum hawa. Beberapa laki-laki yang ada di sana hanya ikut mendengarkan berita yang mereka bawa. “Apa mungkin dia jadi … sugar baby-nya Pak Abraham?” Seorang perempuan berbadan ramping ikut nimbrung dengan suara sengaja dipelankan.
Hujan deras mengguyur kota, membasahi trotoar dan mengaburkan pandangan. Ayara masuk ke restoran dengan langkah terburu-buru. Ia menepis tetesan hujan yang masih menempel di hijabnya. Suasana tidak begitu ramai, ia lanjut memindai ruangan mencari sosok Janu dan Laras. Sebuah notifikasi di ponselnya menarik perhatian. Ayara segera memeriksa pesan itu. Ternyata dari Janu. Pesannya singkat, memberitahu bahwa ia dan Laras sedang di toilet. Ayara hanya mengangguk kecil, tidak terlalu mempermasalahkan. Ia memilih mencari meja kosong dan duduk. Namun, hampir setengah jam berlalu. Minuman yang ia pesan sudah hampir habis, tapi Janu dan Laras belum juga kembali. Ayara mulai merasa ada yang aneh. Ia mengetik pesan untuk Janu, tetapi tidak ada balasan. Bahkan, nomor Janu kini tidak aktif. Ayara mencoba menelepon Laras, tetapi panggilannya langsung diputus. Ia menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kesal. "Apa mereka sedang mengerjaiku?" batinnya. Di tengah lelah yang melanda