“Loh loh, mau datang ke mana ini?” Ayara seketika panik sendiri melihat pesan yang tertera di layar kunci ponselnya.Jemari Ayara gesit memasukkan kata sandi pada ponselnya, agar bisa membalas pesan tersebut. Namun, tidak sempat karena sebuah panggilan lebih dulu masuk dari Arsen.Ayara langsung menggeser panel hijau dan meletakkan ponsel di telinganya. Tak lama sebuah suara bariton menyapa.“Ayara!” “Pak Arsen.” Keduanya memanggil secara bersamaan. Keduanya sempat terdiam beberapa saat karena saling bertolak untuk memulai bicara.“Kamu duluan saja.” Arsen mempersilakan Ayara untuk berbicara terlebih dahulu.“Maksud Bapak datang ke mana, ya?” Ayara mengerutkan keningnya kebingungan, masih belum paham dengan isi pesan atasannya itu. Tadinya ia sempat berpikir jika itu adalah Janu. Namun, setelah memastikan nama kontak yang masuk, barulah Ayara bernapas lega karena yang baru saja mengirimkannya pesan adalah Arsen.“Saya datang menjemputmu, Ayara. Kamu sudah selesai kan?” Ayara mengan
Bab 26. “Maunya gitu, sih, Buk. Tapi tabungan aku belum cukup.” Janu menghela napas mengingat angka tabungan yang masih belum mencapai target. “Memangnya mau berapa?” Nirmala mendelik ke arah putranya. “Bukannya nikah di KUA aja. Biar uangnya bisa kita pake untuk sehari-hari,” tandas Nirmala lagi. Janu spontan memijit pelipisnya. Kepalanya dipenuhi oleh beberapa masalah. Belum selesai dengan masalah panggilan pengadilan, kini ibunya malah menyuruhnya menikah dengan Laras di KUA. “Gak bisalah, Buk,” sergah Janu pelan dan itu berhasil membuat Nirmala mengernyit heran. “Gak bisa gimana? Orang tinggal sewa baju kebaya, terus ke KUA, udah selesai,” seloroh Nirmala dengan geleng-geleng kepala melihat tanggapan anaknya. Janu menghela napas kasar, ibunya tak mengerti dengan situasi yang sedang dialaminya. Jani beranjak dari kursi hendak masuk kamar. Namun, Nirmala menyergahnya. “Hei, Janu! Jawab dulu Ibu tadi nanya. Kenapa gak bisa di KUA aja?” desak Nirmala geram melihat anaknya
“Jangan lari, hei!”Teriakan yang terdengar jelas tak membuat Ayara menolehkan kepalanya. Perempuan itu justru melajukan langkahnya mengarah ke sebuah halte bus yang ada di dekat sana. Namun, siapa sangka orang yang baru saja meneriaki dirinya justru kini berhasil menghalangi jalannya.“Pak Arsen?” Ayara menghela napas lega, tadinya ia kira penjahat atau orang iseng. Maka dari itu ia menghindar.“Iya, ini saya. Kenapa kamu lari?” Arsen keluar dari dalam mobil menghampiri Ayara yang masih mematung di tempatnya.“Bapak ngapain masih di sini? Bukannya Bapak udah pulang tadi?” Ayara tak lagi menjawab pertanyaan atasannya. Tadinya Ayara menyangka jika Arsen telah pulang. Pasalnya ia tidak lagi bertemu dengan pria ini di restoran. Namun, siapa sangka ternyata Arsen belum kembali pulang.“Saya belum pulang, buktinya saya di depan kamu sekara. Kan udah saya bilang tadi kalau udah selesai langsung ke mobil saya.” Arsen menatap lamat perempuan di depannya.Ayara menepuk jidatnya pelan, ia bena
“Pak Arsen?”Baik Mita maupun Ayara seketika terpaku ketika melihat sosok Arsen yang kini berdiri tak jauh dari posisi keduanya. Sebisa mungkin Mita menahan degupan jantungnya, berharap agar pria itu tidak mendengar apa yang ia katakan tadi. Namun, tampaknya kesialan memang sedang mendekati Mita, karena pria itu kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama kepadanya.“Apa yang kamu katakan barusan!” Suara Arsen begitu mengintimidasi.Mita sebagai lawan bicara bahkan tak mempunyai nyali untuk menatap pria itu. Ia terus menunduk menatap lantai yang perlahan mengering dari bekasan pel.Tak kunjung mendapat balasan, Arsen beralih pada Ayara. Ia bisa melihat jika sekarang Ayara yang menggenggam tangannya sedikit bergetar. “Apa yang Mita katakan padamu, Ayara?” tanya Arsen pada perempuan berhijab itu. Lagi-lagi Arsen tak mendapat jawaban dari kedua pegawainya. Sebenarnya ia mendengar dengan jelas apa yang keluar dari mulut Mita tadi, hanya saja ia ingin mendengar kembali secara langsung d
Ayara menatap pintu besar di hadapannya. Kepalanya sedikit berdenyut tatakala kilasan masa lalu kembali menghampiri. Hal itu membuat Aciel—sang putra—yang berada dalam gendongan sontak mengusap pipi ibunya.“Nda, kenapa?” Ayara menggeleng sembari tersenyum tipis. “Nggak papa, Sayang. Sekarang kita masuk, ya?”Suasana sore itu begitu tenang, hanya deru angin yang menggoyangkan pepohonan di halaman. Seorang pria yang merupakan orang kepercayaan sang kakek, membuka pintu utama mempersilakan satu-satunya pewaris keluarga Darmawangsa untuk masuk.“Silakan masuk, Nona. Mari ikuti saya,” ucapnya, membawa jalan menuju kakek Darma.“Terima kasih.”Ayara mengikuti setiap langkah pria itu sampai mereka berhenti di ruang keluarga. Di sana Ayara bisa melihat sang kakek sedang duduk dengan tenang. Bahkan kehadiran Ayara tidak disadarinya.“Kakek.” Panggilan Ayara berhasil membuat pria tua itu menatap ke arahnya. Senyumnya menyambut, meskipun gurat khawatir terlihat di wajahnya. "Kamu akhirnya dat
Lampu-lampu kota bersinar lembut, menyelimuti malam yang dingin. Janu dan ibunya berjalan keluar dari restoran mewah dengan senyum puas di wajah mereka. Laras, calon istri Janu, mengikuti di belakang, mengenakan gaun mahal yang mempertegas status sosialnya. Baru saja mereka melangkah ke parkiran, ibu Janu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah tegang saat matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. “Itu Ayara, kan?” ucapnya tajam, menunjuk ke arah seorang wanita muda yang baru keluar dari minimarket, membawa kantong plastik berisi barang belanjaannya. Janu dan Laras menoleh ke arah yang ditunjuk. Ayara, mantan istri Janu, berdiri di bawah lampu jalan, terlihat sederhana dengan setelan hijabnya. Ia baru saja selesai membeli pampers ukuran kecil dan selembar roti untuk makan malamnya. Pandangan matanya bertemu dengan mata Janu dan ibunya. Ayara menghela napas berat, menyadari bahwa takdir mempertemukan mereka di saat yang paling tak diinginkan. “Kenapa harus sekara
Angin malam menyapu lembut wajah Ayara. Perempuan itu bukannya ikut tidur saat menidurkan Aciel, malah ia melipir di jendela dengan pandangan lurus ke depan.Helaan napas entah sudah berapa kali perempuan itu ulangi, kepalanya terlampau berisik. Bahkan untuk tidur saja ia tidak bisa. Terlebih lagi jawaban Arsen sore tadi masih terekam jelas di pikirannya.“Tidak, saya tidak izinkan!” Arsen menolak permintaan Ayara, tanpa mau mendengar alasan lebih perempuan itu.“Tapi, Pak … saya harus pergi, Pak,” lanjutnya lagi dengan lirih, berharap laki-laki didepannya percaya.“Sekali saya bilang tidak, ya tidak Ayara. Kerja kamu bagus, saya tidak mau kehilangan kamu!” Kembali pada posisi Ayara sekarang, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya, sontak ia menoleh ternyata Bu Ningsih di sana.“Loh, Ibu belum tidur?” Ayara mengusap tangan Bu Ningsih yang masih ada di pundaknya.“Harusnya Ibu yang tanya, kenapa belum tidur? Seharian capek kerja kan? Istirahat, Nak,” tutur Bu Ningsih lembut.Ayar
“Hei ngapain kamu di sini?” Seseorang datang dengan pertanyaan yang terdengar menjengkelkan. Ayara yang hendak berbelok, tidak jadi karena lebih dulu dihadang oleh perempuan yang hampir menjadi madunya. Siapa lagi kalau bukan Laras.“Ohh … sekarang udah naik pangkat ya? Eh, naik apa turun ya? Soalnya kerja di perusahaan besar tapi jadi petugas dapur?” Janu ikut nimbrung ucapan Laras sebelumnya.Ayara memutar bola matanya malas. “Bisa minggir? Saya buru-buru mau buat teh,” ucapnya dengan tenang.Mendengar itu sontak tawa remeh sekaligus tatapan menghina Janu tertuang pada Ayara. “Belagu banget jadi manusia. Harusnya kamu tuh hormat sama kami. Pangkat kami lebih tinggi di sini, kamu paham?”Laras mengangguk menyetujui ucapan Janu. “Yang Mas Janu bilang betul, harus hormat dong, petugas dapur doang belagu!” cerca Laras dilanjut dengan kekehannya.Ayara menghembuskan napasnya perlahan, ketika ia akan membalas ucapan sepasang pasangan tersebut tak sengaja maniknya menangkap sosok Kakek Da
Angin berembus lembut melewati jendela besar yang terbuka, membawa aroma hujan semalam yang masih tersisa di udara. Arsen duduk di sofa ruang tamu, menyesap kopi yang sudah mulai dingin. Di depannya, Ayara sibuk mengelus kepala El yang tertidur di pangkuannya.Hari itu, suasana di rumah terasa tenang. Selain karena berlibur dari kegiatan kantor, juga karena dapat bersantai dengan orang tersayang. Arsen sengaja datang ke rumah Ayara, karena mendapat kabar jika El terus rewel dari semalam. Padahal sekarang sudah jam sepuluh pagi, tetapi anak itu masih tertidur, mungkin karena suara geledek dan petir tadi malam membuat tidur El tak nyenyak seperti biasanya.“Apa kita bawa aja ke dokter, Ay?” Arsen menatap cemas El, bahkan kedatangannya hanya disambut dengan pelukan saja oleh anak itu, setelahnya El kembali tertidur.“Nggak usah, Mas. Ini dia cuma kurang tidur aja, palingan bentar lagi juga bangun.” Arsen tak lagi membalas, ia cukup menunggu dan menemani anak itu sampai bangun. Hari ini
Hari di mana Ayara mendatangi rumah Arsen untuk makan malam, itu menjadi hari terakhir keduanya berjumpa karena esok harinya Arsen langsung melakukan penerbangan.Sejak Arsen pergi untuk urusan pekerjaan ke luar kota, Ayara menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bekerja, lalu mengurus El, dan menikmati waktu luangnya dengan menemani sang anak bermain.Namun, ada satu hal yang berbeda—keheningan yang muncul setiap kali ia menyadari bahwa tidak ada Arsen di sekitarnya. Mungkin itu terjadi karena Ayara terbiasa dengan adanya Arsen di sisinya.Satu minggu bukan waktu yang lama, tetapi cukup untuk membuatnya merasa ada yang kurang. Arsen juga tidak bosan-bosan menghubunginya, menanyakan kegiatannya, dan tentu saja, meminta foto—entah itu foto Ayara atau El."Ay, pap dong.""Mas lagi sibuk kerja di luar kota, bukannya fokus kerja malah minta pap terus." "Biar semangat kerja, dong. Sekali aja."Ayara hanya tertawa membaca pesan-pesan Arsen yang selalu mengganggunya di sela waktu kerja. Ka
Arsen duduk di dalam mobilnya, menatap lurus ke arah rumah besar yang berdiri megah di depannya. Jari-jarinya menggenggam kemudi erat, sementara dadanya terasa sesak oleh ketegangan yang semakin menumpuk. Kakek adalah sosok yang bijaksana, tetapi Arsen tahu bahwa pria tua itu juga tidak mudah memaafkan. Apalagi jika menyangkut Ayara—cucu kesayangannya. Arsen sadar bahwa kesalahannya bukan hanya melukai hati Ayara, tetapi juga mengecewakan orang yang telah mempercayainya.Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sejujurnya, ada rasa takut yang menyelinap di dadanya. Bagaimana jika Kakek benar-benar marah? Bagaimana jika ia tidak bisa memperbaiki semuanya?Namun, di sisi lain, Arsen tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menghindar. Jika ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Ayara, maka ia harus bertanggung jawab."Aku harus menghadapinya," gumamnya pada diri sendiri.Dengan tekad yang sudah bulat, Arsen keluar dari mobil
Hari jampi petang dan Arsen baru saja pulang dari kantor dengan langkah lelah. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan tak menentu, dan pikirannya terus-menerus memikirkan Ayara.Bagaimana mungkin ia bisa melupakan perempuan itu dengan mudahnya. Ia benar-benar tulus dengan cintanya kepada Ayara. Namun, ini semua terjadi dengan sangat tiba-tiba.Saat ia tiba di rumah, ia tidak mendapati keberadaan ibunya, mungkin wanita itu di dapur pikirnya. Arsen melangkah masuk, berpapasan dengan Bagas yang datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tidak ada Aurel yang membuatkan. Lantas ke man perempuan itu?"Aurel ke mana?" tanya Arsen akhirnya, suaranya terdengar datar.Bagas menyeruput kopinya sebentar sebelum menjawab, "Lagi jumpa Ayara."Seketika, Arsen menegang. Alisnya berkerut dalam keterkejutan yang tak bisa ia sembunyikan."Apa?" Arsen menatap Bagas tak percaya. “Ngapain dia?”Bagaimana bisa? Aurel yang dengan terang-terangan menentang hubungannya dengan Ayara, yang bahkan menyebabkan per
“Siapa yang datang?”Ayara tersentak pelan ketika suara kakek menembus telinganya. Ia menoleh sedikit, tanpa memindahkan badannya dari sela pintu.Kakek berhenti di belakang pintu yang sengaja dibuka sedikit. Pria tua itu memutuskan menyusul Ayara karena perempuan muda itu tak kunjung kembali. Hening sejenak mengisi suasana, Kakek tergerak menarik pintu besar itu. Di ambang pintu, berdiri seorang wanita yang tidaklah asing baginya, selain dia salah satu karyawan di kantor, juga perempuan itu adalah orang yang pernah mencelakai Ayara.“Ada keperluan apa kamu datang ke sini?” Kakek membuat Laras tak berani menengadah tatapannya.Ayara mengusap lengan atas kakeknya, seolah mengatakan biar dirinya saja yang bicara dengan Laras. “Kakek tunggu di dalam aja, aku bicaranya gak lama, kok,” pinta Ayara dengan suara pelan. Kakek menyetujui, lalu pergi.Kalau ni atensi Ayara kembali pada Laras seorang. Tadi ia baru bertanya dengan siapa perempuan itu kemari, tiba-tiba kakek menyusul.Awalnya Ay
“Kenapa teleponnya terputus ya?” Arsen mengotak-atik layar ponsel. Ia memilih memasukkan benda pipih itu ke dalam saku jas. “Siapa yang datang?”Suasana di sekitar Arsen berubah drastis begitu ia menerima telepon dari mamanya. Ada desahan ringan yang keluar dari mulutnya, matanya yang tadinya fokus pada pekerjaan di mejanya kini terlihat gelisah.Ia segera merapikan barang-barangnya, laptop dimatikan, dokumen-dokumen disusun rapi, dan jaketnya diambil dari gantungan. Langkahnya cepat, hampir terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendesak atau penting (?) di rumah. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit tegang, alisnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat. Pikirannya melayang, bertanya-tanya siapa yang menunggunya di rumah. Mungkinkah Ayara? Akankah Ayara berubah pikiran dan kembali padanya?Sesampainya di rumah, Arsen membuka pintu dengan hati berdebar. Matanya langsung mencari sosok yang ia harapkan. Namun, yang ia temukan justru membuatnya terkejut. Bukan Ayara, melai
“Laras, kamu di dalam?” Panggilan Nirmala tak kunjung mendapat jawaban. Perempuan paruh baya itu kembali memanggil sang menantu. “Laras, kalau dipanggil itu ya disahut, dong. Jangan diam aja!”Nirmala mengetuk pintu kamar putranya dengan kesal. Pasalnya ini bukan kali pertama ia memanggil menantunya itu, hampir tiga kali bolak-balik, padahal ia sedang masak di dapur.“Bikin repot aja. Sebenarnya kalau bukan Janu yang minta untuk ngurusin, males banget.” Nirmala mengomel sendiri karena Janu memintanya agar memperhatikan istrinya itu. “Heh, punya mantu gak berguna sedikit pun!”Suara Nirmala yang cukup keras jelas saja terdengar oleh seseorang di dalam kamar. Memang Laras ada di kamar, tetapi perempuan itu memilih untuk tidak merespon ibu mertuanya. Lagi pula ia jenuh harus selalu mendengar repetan Nirmala.“Laras, keluar kamu bantu cuci piring!” Lagi-lagi Nirmala berteriak dengan pintu diketuk kasar. Kali ini ia memilih cara lain agar menantunya keluar.Dengan berat Laras menyibakkan s
“Kamu nggak berhak bicara seperti itu.”Arsen yang melihat Ayara pergi dengan wajah terluka hanya bisa menatap kesal pada kakak sepupunya. Namun, perempuan itu hanya mendengus. “Aku hanya berpikir realistis, Arsen. Dia itu tidak pantas.”Arsen tak lagi mendengar ucapan Aurel, ia berlari keluar rumah untuk menghampiri Ayara, tetapi taksi yang membawa Ayara sudah melaju pergi. Ia berdiri di tepi jalan dengan napas terengah-engah, matanya menatap kosong ke arah taksi yang perlahan menghilang dari pandangan. Ia mengepalkan tangan, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri.Dengan langkah berat, ia kembali masuk ke dalam rumah. Aurel masih duduk di ruang keluarga dengan ekspresi tak berdosa, seolah tak menyadari betapa dalam luka yang baru saja ia sebabkan."Aurel," panggil Arsen dengan nada dingin. "Kamu keterlaluan."Aurel mendongak, tampak tidak terpengaruh. “Aku hanya berkata jujur, Arsen. Lagian kenapa harus janda, sih?.”Arsen menatapnya tajam. “Harusnya kamu ta
Kabar pertunangan mereka tersebar dengan mudah dan cepat. Sejak itulah kehidupan Ayara di kantor semakin berbeda. Yang awalnya mereka tahu Ayara adalah calon penerus perusahaan, kini ditambah lagi jika sosok perempuan itu adalah tunangan dari Arsen.Semua karyawan pasti tahu siapa Arsen, sosok bijaksana dan penuh kharisma meskipun di usianya yang masih tergolong muda. Bayangkan saja, perempuan mana yang tidak menginginkan sosok Arsen. Namun, satu-satunya perempuan yang beruntung itu adalah Ayara.Bisik-bisik kecil terdengar di lorong-lorong kantor setiap kali ia lewat, tetapi Ayara hanya tersenyum dan mencoba bersikap biasa saja. Tujuan Ayara kini adalah pantry, ia ingin mengembalikan gelas yang ia gunakan. “Selamat ya, Bu Ayara,” ujar salah satu rekan kerja di ruang pantry. “Nggak nyangka ternyata selama ini calon bos kita ada di sekitar kita.”Ayara terkekeh pelan, “Aku masih tetap Ayara yang dulu, kok. Nggak ada yang berubah.”“Selamat juga ya, Bu Ayara atas pertunangannya,” lanju