Share

Bab 10. Milik Siapa?

Kalung ini milik siapa?

“Apa mungkin punya pelayan di sini?” Damar menatap lama kalung di tangannya.

Bulan sabit dengan bintang kecil di tengahnya, membuat kalung tersebut tampak menawan. Aneh nya Damar merasa tak asing dengan rantai emas ini.

“Apa pelayan Pak Arsen ada yang punya kalung ini?” tanya Damar ingin tahu. Ia menyerahkan kalung itu pada Arsen.

“Saya juga tidak tau pasti, Pak.” Arsen tak langsung membenarkan tebakan Pak Damar. Takutnya bukan punya pelayan, bisa saja punya pelanggan sebelum mereka menempati ruangan VIP tersebut.

“Biar nanti saya tanyakan dulu pada karyawan saya, Pak.”

Damar menggeleng tak setuju. “Tidak tidak biar saya saja. Saya ingin tahu siapa pemilik kalung ini.” Damar memutuskan untuk ikut, ia ingin mencari tahu secara langsung siapa pemilik kalung bulan sabit ini.

Arsen tak lagi membantah. Ia membiarkan rekan kerjanya itu untuk ikut saat mencari pemilik kalung tersebut. “Baiklah, Pak. Silakan menikmati hidangannya.” Arsen mempersilakan tamunya untuk menikmati hidangan.

Di sudut ruangan khusus pelayan beristirahat. Genggaman ponsel di tangan Ayara melemah saat mendengar seseorang bicara di seberang sana.

“I-Ibu tidak berbohong kan?” Ayara bertanya dengan suara bergetar. Ayara menggeleng tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Ibu, Bu Ningsih tidak bohong kan?”

“Tidak, Nak. Kamu langsung pulang, Ibu bingung harus gimana? Badan El makin panas. Ibu gak mungkin pergi dan ninggalin anak-anak di panti.” Bu Ningsih membalas dengan nada yak kalah gusar.

Ayara lagi-lagi dihantam oleh kabar buruk. Tidak cukup pernikahannya usai karena perempuan lain. Kini ia malah mendapat kabar jika anaknya sakit di panti. Sudah sangat lama anak itu tidak demam, tetapi sekali sakit sampai separah ini.

“Aku pulang sekarang, Bu.” Ayara memutuskan untuk pulang. Biar pun ia sedang bekerja, baginya anak adalah segalanya. Ayara tidak bisa tenang saat anaknya sedang kesakitan di sana.

Buru-buru Ayara mematikan ponsel dan mengambil tasnya. Ketika keluar dari ruangan, Ayara berpapasan dengan seorang laki-laki yang juga pelayan di sana.

“Mbak, mau ke mana?” tanya laki-laki pada Ayara yang tampak khawatir.

“Andi, tolong izinkan aku sama Pak Arsen, ya. Aku harus pulang, anakku sakit.” Ayara menitipkan izinnya untuk Arsen melalui Andi. “Aku pulang dulu, terima kasih!”

Belum sempat Andi menjawab Ayara lebih dulu ngacir dari sana. Andi melihat kepergian Ayara dengan gelengan kepala. Bukan apa, Ayara terlalu berani pergi di saat jam kerja berlangsung. Padahal mereka-mereka yang lebih dulu bekerja, tidak berani untuk pergi sebelum jam kerja berakhir.

“Sudahlah, mungkin Mbak Ayara memang lagi urgent banget,” gumam Andi mencoba memahami keadaan Ayara yang punya anak.

Andi kembali melanjutkan langkahnya, ia berencana akan menyampaikan amanah Ayara ketika Arsen selesai dengan pertemuan bisnisnya.

Jam makan siang telah usai. Beberapa pengunjung yang merupakan pekerja kantor mulai meninggalkan restoran. Tak begitu lama berselang, sebuah lift berhenti di lantai pertama. Di sana tampak Arsen yang keluar dari lift dengan ketiga rekannya yang lain.

Arsen langsung menuntut jalan pada Damar menuju sebuah meja yang telah kosong. Kemudian Arsen memanggil salah satu pegawainya yang hendak lewat.

“Panggilkan semua pelayan ke sini!” Arsen memerintahkan pelayan tersebut.

Pelayan itu langsung mengangguk dan pergi memanggil rekannya sesuai permintaan atasannya.

Tak butuh waktu lama semua pelayan The Star Eatery berkumpul di depan Arsen. Semua dari mereka bertanya-tanya ada apakah ini? Jarang-jarang sekali Arsen akan mengumpulkan pekerjanya, kecuali da hal yang benar-benar fatal terjadi, seperti pelayan atau karyawan lain yang berulah saat bekerja.

“Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa saya kumpulkan kalian di sini.” Arsen membuka suara membuat mereka semakin deg-degan. “Tujuan saya mengumpulkan kalian karena saya dan rekan saya Pak Darma ingin tahu siapa pemilik kalung ini!” Arsen menaikkan kalung itu sebatas bahunya agar semua pelayan bisa melihat dengan jelas benda tersebut.

Arsen dan Darma melihat pada semua karyawan. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengangkat tangannya atau pun sekadar mengakui kalung itu adalah miliknya.

“Tidak ada yang punya?” Arsen kembali bertanya dengan suara tegas dan ekspresi dinginnya. Ia menelisik satu per satu pelayannya dari depan. “Tidak ada?”

Sontak mereka menggeleng kecil. Sesekali mereka berbisik-bisik saling bertanya sesamanya. Namun, rundingan mereka seketika terdiam ketika Arsen kembali membuka suara.

“Ayara ke mana? Kenapa tidak ada pelayan yang pakai hijab di sini? Ke mana dia?” Arsen menyadari ternyata satu-satunya karyawannya yang berhijab tidak ada di sana. Arsen kembali memeriksa, ternyata benar saja Ayara tidak ada di sana. “Ke mana dia?”

Hening tidak ada jawaban. Andi yang disampaikan amanah oleh Ayara enggan untuk membuka suara. Laki-laki itu sudah lebih dulu takut dengan aura Arsen yang datar, apalagi ketika menayangkan keberadaan Ayara.

“Siapa Ayara, Pak Arsen?” Pak Darma bertanya lantaran penasaran dengan orang yang Arsen maksud.

“Dia pegawai baru di sini, Pak.” Arsen membalas sopan. Setelahnya dia kembali fokus pada pelayan yang lain. “Tidak ada yang tahu dia ke mana?”

“Tida—”

“Ada, Pak.” Andi menyela Mita yang hendak menjawab. Ia maju satu langkah sebelum menjawab atasannya. “Tadi Mbak Ayara minta saya untuk bilang izin kepada Bapak. Mbak Ayara tadi buru-buru pulang, katanya kalau nggak salah, anaknya lagi sakit.” Andi menjelaskan singkat kejadian tadi pada Arsen.

Andi beringsut mundur ketika mendapati Arsen mengeraskan rahangnya. “Kalian boleh bubar! Ingat bekerjalah sesuai prosedur!”

Kepergian pelayan, menyisakan Arsen dan Darma, serta dua laki-laki yang lain. Arsen ikut duduk di hadapan Darma. “Maaf, Pak Darma, sepertinya pelayan di sini bukan pemilik kalung ini.” Arsen mengembalikannya pada laki-laki tua itu.

Darma mengangguk pelan dan mengambil kembali kalung bulan sabit itu. Darma menatap kalung itu dengan tatapan dalam. Tatapan yang tidak biasa, seperti ada sesuatu yang amat penting dari benda itu.

“Di mana lagi harus kita cari pemiliknya?” Darma menatap Arsen.

Arsen mengerutkan keningnya heran saat melihat ekspresi laki-laki tua itu yang berubah sendu. “Ada apa dengan kalung ini, Pak? Kenapa Bapak ingin mencari pemiliknya?”

Darma berdiam sesaat, pikirannya berkelana ke beberapa tahun silam. Darma tersenyum tipis mengingat kenangan itu. Kemudian ia kembali menatap lama kalung bulan sabit.

“Kalung ini … persis seperti milik istriku. Aku merindukannya, aku ingin mencari pemiliknya.”

Arsen menukik alisnya heran. “Bukankah bisa saja kebetulan ada yang sama.”

Darma menghela napasnya berat. “Karena kalung ini sama seperti warisan keluarga kami. Bisa saja itu cucuku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status