Kalung ini milik siapa?
“Apa mungkin punya pelayan di sini?” Damar menatap lama kalung di tangannya. Bulan sabit dengan bintang kecil di tengahnya, membuat kalung tersebut tampak menawan. Aneh nya Damar merasa tak asing dengan rantai emas ini. “Apa pelayan Pak Arsen ada yang punya kalung ini?” tanya Damar ingin tahu. Ia menyerahkan kalung itu pada Arsen. “Saya juga tidak tau pasti, Pak.” Arsen tak langsung membenarkan tebakan Pak Damar. Takutnya bukan punya pelayan, bisa saja punya pelanggan sebelum mereka menempati ruangan VIP tersebut. “Biar nanti saya tanyakan dulu pada karyawan saya, Pak.” Damar menggeleng tak setuju. “Tidak tidak biar saya saja. Saya ingin tahu siapa pemilik kalung ini.” Damar memutuskan untuk ikut, ia ingin mencari tahu secara langsung siapa pemilik kalung bulan sabit ini. Arsen tak lagi membantah. Ia membiarkan rekan kerjanya itu untuk ikut saat mencari pemilik kalung tersebut. “Baiklah, Pak. Silakan menikmati hidangannya.” Arsen mempersilakan tamunya untuk menikmati hidangan. Di sudut ruangan khusus pelayan beristirahat. Genggaman ponsel di tangan Ayara melemah saat mendengar seseorang bicara di seberang sana. “I-Ibu tidak berbohong kan?” Ayara bertanya dengan suara bergetar. Ayara menggeleng tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Ibu, Bu Ningsih tidak bohong kan?” “Tidak, Nak. Kamu langsung pulang, Ibu bingung harus gimana? Badan El makin panas. Ibu gak mungkin pergi dan ninggalin anak-anak di panti.” Bu Ningsih membalas dengan nada yak kalah gusar. Ayara lagi-lagi dihantam oleh kabar buruk. Tidak cukup pernikahannya usai karena perempuan lain. Kini ia malah mendapat kabar jika anaknya sakit di panti. Sudah sangat lama anak itu tidak demam, tetapi sekali sakit sampai separah ini. “Aku pulang sekarang, Bu.” Ayara memutuskan untuk pulang. Biar pun ia sedang bekerja, baginya anak adalah segalanya. Ayara tidak bisa tenang saat anaknya sedang kesakitan di sana. Buru-buru Ayara mematikan ponsel dan mengambil tasnya. Ketika keluar dari ruangan, Ayara berpapasan dengan seorang laki-laki yang juga pelayan di sana. “Mbak, mau ke mana?” tanya laki-laki pada Ayara yang tampak khawatir. “Andi, tolong izinkan aku sama Pak Arsen, ya. Aku harus pulang, anakku sakit.” Ayara menitipkan izinnya untuk Arsen melalui Andi. “Aku pulang dulu, terima kasih!” Belum sempat Andi menjawab Ayara lebih dulu ngacir dari sana. Andi melihat kepergian Ayara dengan gelengan kepala. Bukan apa, Ayara terlalu berani pergi di saat jam kerja berlangsung. Padahal mereka-mereka yang lebih dulu bekerja, tidak berani untuk pergi sebelum jam kerja berakhir. “Sudahlah, mungkin Mbak Ayara memang lagi urgent banget,” gumam Andi mencoba memahami keadaan Ayara yang punya anak. Andi kembali melanjutkan langkahnya, ia berencana akan menyampaikan amanah Ayara ketika Arsen selesai dengan pertemuan bisnisnya. Jam makan siang telah usai. Beberapa pengunjung yang merupakan pekerja kantor mulai meninggalkan restoran. Tak begitu lama berselang, sebuah lift berhenti di lantai pertama. Di sana tampak Arsen yang keluar dari lift dengan ketiga rekannya yang lain. Arsen langsung menuntut jalan pada Damar menuju sebuah meja yang telah kosong. Kemudian Arsen memanggil salah satu pegawainya yang hendak lewat. “Panggilkan semua pelayan ke sini!” Arsen memerintahkan pelayan tersebut. Pelayan itu langsung mengangguk dan pergi memanggil rekannya sesuai permintaan atasannya. Tak butuh waktu lama semua pelayan The Star Eatery berkumpul di depan Arsen. Semua dari mereka bertanya-tanya ada apakah ini? Jarang-jarang sekali Arsen akan mengumpulkan pekerjanya, kecuali da hal yang benar-benar fatal terjadi, seperti pelayan atau karyawan lain yang berulah saat bekerja. “Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa saya kumpulkan kalian di sini.” Arsen membuka suara membuat mereka semakin deg-degan. “Tujuan saya mengumpulkan kalian karena saya dan rekan saya Pak Darma ingin tahu siapa pemilik kalung ini!” Arsen menaikkan kalung itu sebatas bahunya agar semua pelayan bisa melihat dengan jelas benda tersebut. Arsen dan Darma melihat pada semua karyawan. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengangkat tangannya atau pun sekadar mengakui kalung itu adalah miliknya. “Tidak ada yang punya?” Arsen kembali bertanya dengan suara tegas dan ekspresi dinginnya. Ia menelisik satu per satu pelayannya dari depan. “Tidak ada?” Sontak mereka menggeleng kecil. Sesekali mereka berbisik-bisik saling bertanya sesamanya. Namun, rundingan mereka seketika terdiam ketika Arsen kembali membuka suara. “Ayara ke mana? Kenapa tidak ada pelayan yang pakai hijab di sini? Ke mana dia?” Arsen menyadari ternyata satu-satunya karyawannya yang berhijab tidak ada di sana. Arsen kembali memeriksa, ternyata benar saja Ayara tidak ada di sana. “Ke mana dia?” Hening tidak ada jawaban. Andi yang disampaikan amanah oleh Ayara enggan untuk membuka suara. Laki-laki itu sudah lebih dulu takut dengan aura Arsen yang datar, apalagi ketika menayangkan keberadaan Ayara. “Siapa Ayara, Pak Arsen?” Pak Darma bertanya lantaran penasaran dengan orang yang Arsen maksud. “Dia pegawai baru di sini, Pak.” Arsen membalas sopan. Setelahnya dia kembali fokus pada pelayan yang lain. “Tidak ada yang tahu dia ke mana?” “Tida—” “Ada, Pak.” Andi menyela Mita yang hendak menjawab. Ia maju satu langkah sebelum menjawab atasannya. “Tadi Mbak Ayara minta saya untuk bilang izin kepada Bapak. Mbak Ayara tadi buru-buru pulang, katanya kalau nggak salah, anaknya lagi sakit.” Andi menjelaskan singkat kejadian tadi pada Arsen. Andi beringsut mundur ketika mendapati Arsen mengeraskan rahangnya. “Kalian boleh bubar! Ingat bekerjalah sesuai prosedur!” Kepergian pelayan, menyisakan Arsen dan Darma, serta dua laki-laki yang lain. Arsen ikut duduk di hadapan Darma. “Maaf, Pak Darma, sepertinya pelayan di sini bukan pemilik kalung ini.” Arsen mengembalikannya pada laki-laki tua itu. Darma mengangguk pelan dan mengambil kembali kalung bulan sabit itu. Darma menatap kalung itu dengan tatapan dalam. Tatapan yang tidak biasa, seperti ada sesuatu yang amat penting dari benda itu. “Di mana lagi harus kita cari pemiliknya?” Darma menatap Arsen. Arsen mengerutkan keningnya heran saat melihat ekspresi laki-laki tua itu yang berubah sendu. “Ada apa dengan kalung ini, Pak? Kenapa Bapak ingin mencari pemiliknya?” Darma berdiam sesaat, pikirannya berkelana ke beberapa tahun silam. Darma tersenyum tipis mengingat kenangan itu. Kemudian ia kembali menatap lama kalung bulan sabit. “Kalung ini … persis seperti milik istriku. Aku merindukannya, aku ingin mencari pemiliknya.” Arsen menukik alisnya heran. “Bukankah bisa saja kebetulan ada yang sama.” Darma menghela napasnya berat. “Karena kalung ini sama seperti warisan keluarga kami. Bisa saja itu cucuku.”“Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dok?” Ayara mengikuti langkah dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Aciel. “Cuma demam biasa aja kan, Dok?”Dokter tersebut menoleh pada Aciel yang terlelap di atas brankar. Kemudian perempuan berjas putih itu mengangguk pelan. “Iya, cuma demam biasa. Tapi, suhu tubuh Aciel sedikit lebih tinggi dari pada umumnya. Tapi tenang saja, tidak ada potensi untuk terkena step, kok.” Barulah Ayara bisa bernapas lega. Ayara mengusap kasar ujung matanya yang berair. Dalam hati berulang kali ia mengucapkan syukur, karena Tuhan kembali membantunya. Doanya terkabulkan, sehingga tidak ada hal yang serius pada putranya.“Terima kasih, Dokter.” Ayara menyalami tangan ibu dokter anak itu. “Iya, sama-sama. Lebih baiknya Nak Aciel dirawat barang sehari, supaya kondisinya cepat pulih.” Dokter menyarankan pada Ayara. Namun, saat melihat perubahan wajah Ayara membuat dokter itu bertanya heran. “Kenapa?”Ayara memutar ujung hijabnya. Bukannya ia tidak sayangkan
“Ayara?”Ayara lantas menoleh pada pintu yang dibuka oleh seseorang. Betapa terkejutnya perempuan itu saat melihat siapa gerangan yang baru datang. Ayara sontak bangun dari duduknya, lututnya seakan tak mampu menopang badannya ketika Arsen berjalan mendekati dirinya.Ayara memelintir ujung hijabnya. Ia mengerjakan mata berkali-kali. Jantungnya ikut berdebar kencang, akankah ketakutannya benar-benar terjadi? “Pak, Bapak benar mau pecat saya?” Ayara menatap Arsen penuh harap. Ayara menangkup tangannya di depan dada. “Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya dulu. Saya lagi butuh uang untuk obat anak saya,” lanjutnya lirih.Arsen menukik alisnya dalam. “Kamu bicara apa dari tadi?”Ayara sontak menaikkan tatapannya pada wajah datar di depannya. Kini malah Ayara yang mengernyit heran. “Maksud Bapak?”“Kamu berpikir terlalu kejauhan.” Arsen meletakkan sebuah kantong plastik di sisi ranjang yang ditempati Aciel. “Ini obat untuk anakmu.”Sebentar, Ayara masih mencerna apa yang terjadi. Tiba-tiba s
“Hah?” Ayara menatap cengo pada pria di depannya. Ayara lantas mengerutkan keningnya, secara tidak langsung menyatakan jika dirinya tak paham bagaimana maksud laki-laki tua ini. “Maaf, Pak. Sepertinya Anda salah orang.”Darma menatap dalam manik Ayara. Akan tetapi, perempuan itu langsung memutuskan kontak mata. “Maaf, Pak Arsen, sepertinya rekan Bapak salah menduga orang. Ini benar kalung saya, saya ambil kembali, ya.” Arsen mengangguk kecil. “Kalau begitu saya ke belakang dulu, Pak. Saya ingin bekerja penuh hari ini, untuk menggantikan pekerjaan kemarin.”Ayara menarik diri dari sana. Tak lupa perempuan berhijab pashmina biru itu berpamitan dengan Darma. Kepergian Ayara, membuat Darma menatap perempuan muda itu dari kejauhan. Mungkin yang dikatakan olehnya benar, jika dirinya salah menduga orang. Mungkin hanya kebetulan saja sama kalung warisan istrinya. Namun, ada satu hal yang bisa ia jadikan patokan lainnya, yaitu cucunya memliki sebuah tanda abu-abu di lengan kirinya.Yasudahlah
“Sayang, nanti di sana jangan rewel-rewel ya. Bunda kan lagi kerja.” Ayara memberi perhatian pada anaknya.Kejadian kemarin yang sempat mengundang ketakutan Ayara. Alhasil, hari ini Ayara membawa Aciel ke tempat kerja. Tentu saja ini sudah atas perizinan dari Arsen selaku pemilik restoran. Ayara rasa dengan beginilah ia bisa selalu mengetahui kondisi anaknya. Bukannya tak percaya dengan bu Ningsih, hanya saja ia takut jika terjadi sesuatu nanti kepada Aciel, tetapi ia tidak mengetahui apa-apa.Sesampai di restoran, Ayara disambut hangat oleh rekan karyawan yang lain. Mereka menerima kehadiran Aciel yang begitu menggemaskan. Sebelum melakukan tugasnya, Ayara terlebih dahulu pergi ke area bermain anak yang tersedia di restoran tersebut. Di sana memang sudah ada yang jaga. Oleh karena itu, Ayara bisa tenang meninggalkan Aciel di sana.Pelanggan di jam sebelas siang belum terlalu ramai. Ayara masih bisa sedikit santai sambil sesekali memeriksa anaknya yang bermain. Namun, hampir dua jam b
“Arghh … kepalaku.” Ayara memegang kepalanya. Ia menggeleng kepala mengusir rasa denyutan yang tiba-tiba menyerangnya ketika mendengar panggilan itu.“Kamu kenapa, Ayara?” Arsen mengernyit heran karena Ayara tiba-tiba mengeluh sakit. Ayara mendongak, lalu menggeleng pada Arsen yang menatapnya. “Tidak apa, Pak. Kalau begitu saya permisi masuk untuk kerja lagi, Pak.” Sebelum pergi Ayara sempat menatap atasannya dan dua pria yang pernah ia temui tempo hari. Tatapannya beradu dengan tatapan sayu pria tua itu. Namun, Ayara langsung memutuskan kontak mata.Arsen dan dua rekan kerjanya yang baru saja tiba itu, menatap kepergian Ayara. Arsen sendiri merasa sedikit lebih lega karena Janu sudah pergi. Ia sudah mengancam pria itu, jika sampai berani mengganggu Ayara lagi, maka akan dilaporkan polisi.“Laki-laki tadi siapanya pelayan itu, Pak Arsen?” Pak Darma beralih bertanya tentang sosok Janu.“Saya tidak tau pasti juga, Pak. Kelihatannya itu suaminya.” Arsen juga tak tahu banyak, karena Ayar
“Nak, tunggu dulu!”Tangan Ayara dengan cepat ditahan Darma ketika perempuan muda yang sedang menangis itu hendak melarikan diri. Darma kembali menarik perempuan yang disangka adalah cucunya dengan lembut. “Kamu jangan pergi dulu, dengar penjelasan Kakek dulu, ya.”Bulir bening yang mengalir Ayara seka dengan kasar. Kemudian tatapannya tertuju pada pria tua yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan kakek. Tentu saja Ayara merasa aneh, lebih tepatnya asing dengan sebutan itu. Karena sedari dulu ia hanya seorang diri, tanpa kerabat lagi.“Saya tau kamu pasti syok dengar kebenaran jika kamu masih punya keluarga. Yang pasti saya tidak berbohong jika saya adalah Kakek kamu.” Darma menjelaskan tanpa keraguan, dengan harapan Ayara mempercayainya. “Kamu adalah cucu perempuan satu-satunya yang saya punya. Tapi, saya kehilangan kamu saat kecelakaan masa itu.”Darma memutar memorinya pada tahun di mana Ayara kecil hilang. Ketika itu Darma ingat sekali di mana putranya sedang pulang dari perj
Bab 17.“Saya permisi.” Ayara buru-buru pergi dari hadapan Darma, bahkan tanpa menjawab pertanyaannya.Darma hendak mengejarnya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Darma kembali duduk di sana. Menurutnya, Ayara masih belum terbiasa dengan kehadirannya. Ia paham akan itu.Beberapa saat berlalu, Darma masih berada di sana. Matanya yang berkeriput terus menelusuri sekitar, mencari keberadaan Ayara. Namun, tidak ada tanda-tanda kedatangan perempuan berhijab itu.Darma beranjak dari sana tetapi ia dihadang oleh Arsen yang tiba-tiba muncul. “Mau ke mana, Pak Darma? Bapak sudah selesai makan siang?” Arsen melirik ke arah meja Darma yang masih terlihat kosong, tak tampak seperti baru selesai digunakan untuk makan.“Tidak, Pak Arsen. Sepertinya saya akan pulang saja.” Darma tersenyum tipis pada rekannya tersebut. “Baiklah, sampai bertemu di kesempatan lain. Nanti akan kita bahas lebih lanjut tentang kerja sama ini.”Arsen mengangguk kecil. Akan tetapi, ia merasa aneh dengan Darma yang tidak jadi
“Nggak ada, Ra.” Tatapan Bu Ningsih menjurus ke depan. Kilatan bayangan ketika masa itu terlintas di kepalanya. Bu Ningsih lalu menoleh pada Ayara. “Kenapa tiba-tiba sekali kamu nanyain tentang ini, Nak?”Tentu saja Bu Ningsih keheranan, karena selama ini Ayara tak pernah menyinggung tentang bagaimana bisa dia berada di panti asuhan ini.“Nggak, Bu. Mau tau aja.” Ayara terkekeh kecil setelahnya.Ningsih mengangguk paham, tetapi wanita paruh baya ini tak tahu apa yang sedang dihadapi Ayara. Tampak Ningsih menarik napasnya, sebelum melanjutkan ucapannya.“Dulu Ibu nemuin kamu di depan gerbang. Kamu sendirian di sana, nggak ada orang lain. Saat itu hujan, jadi Ibu gak lama-lama di depan gerbang. Jadi, Ibu langsung bawa kamu masuk ke rumah panti, biar kamu gak makin kedinginan.” Bu Ningsih menjelaskan bagaimana keadaan pada saat itu.Penjelasan Bu Ningsih diterima baik oleh Ayara. Di restoran tadi ia langsung pergi ketika Kakek Darma mengajaknya ikut pulang bersamanya. Saat itu Ayara mera
Bab 26. “Maunya gitu, sih, Buk. Tapi tabungan aku belum cukup.” Janu menghela napas mengingat angka tabungan yang masih belum mencapai target. “Memangnya mau berapa?” Nirmala mendelik ke arah putranya. “Bukannya nikah di KUA aja. Biar uangnya bisa kita pake untuk sehari-hari,” tandas Nirmala lagi. Janu spontan memijit pelipisnya. Kepalanya dipenuhi oleh beberapa masalah. Belum selesai dengan masalah panggilan pengadilan, kini ibunya malah menyuruhnya menikah dengan Laras di KUA. “Gak bisalah, Buk,” sergah Janu pelan dan itu berhasil membuat Nirmala mengernyit heran. “Gak bisa gimana? Orang tinggal sewa baju kebaya, terus ke KUA, udah selesai,” seloroh Nirmala dengan geleng-geleng kepala melihat tanggapan anaknya. Janu menghela napas kasar, ibunya tak mengerti dengan situasi yang sedang dialaminya. Jani beranjak dari kursi hendak masuk kamar. Namun, Nirmala menyergahnya. “Hei, Janu! Jawab dulu Ibu tadi nanya. Kenapa gak bisa di KUA aja?” desak Nirmala geram melihat anaknya
“Loh loh, mau datang ke mana ini?” Ayara seketika panik sendiri melihat pesan yang tertera di layar kunci ponselnya.Jemari Ayara gesit memasukkan kata sandi pada ponselnya, agar bisa membalas pesan tersebut. Namun, tidak sempat karena sebuah panggilan lebih dulu masuk dari Arsen.Ayara langsung menggeser panel hijau dan meletakkan ponsel di telinganya. Tak lama sebuah suara bariton menyapa.“Ayara!” “Pak Arsen.” Keduanya memanggil secara bersamaan. Keduanya sempat terdiam beberapa saat karena saling bertolak untuk memulai bicara.“Kamu duluan saja.” Arsen mempersilakan Ayara untuk berbicara terlebih dahulu.“Maksud Bapak datang ke mana, ya?” Ayara mengerutkan keningnya kebingungan, masih belum paham dengan isi pesan atasannya itu. Tadinya ia sempat berpikir jika itu adalah Janu. Namun, setelah memastikan nama kontak yang masuk, barulah Ayara bernapas lega karena yang baru saja mengirimkannya pesan adalah Arsen.“Saya datang menjemputmu, Ayara. Kamu sudah selesai kan?” Ayara mengan
Bab 24. Janu tidak hadir lagi.“Ayara, kamu mau pergi lagi?”“Eh, Pak Arsen.” Ayara mendongak, ia mendapati atasanya yang tampak baru saja tiba. Bisa Ayara lihat pria itu semakin mendekatinya. “Saya izin, ya, Pak. Kalau cepat selesai, saya balik kerja lagi nanti,” lanjut Ayara.“Tidak perlu, kamu bisa langsung pulang saja.” Janu melarang perempuan bermata coklat itu untuk kembali bekerja.“Makasih banyak, Pak.” Ayara bersyukur atasannya ini semakin mudah memberinya kesempatan izin. Bukan apa, hanya saja Arsen terlihat lebih berbeda dari awal ia bekerja.“Bagaimana hari ini? Kamu akan sendiri lagi?” Arsen menghampiri Ayara yang sedang berdiri di depan restoran. “Iya, Pak, saya sendirian lagi kayaknya.” Ayara mengalungkan tangannya pada tas selempang yang dibawanya.“Memangnya suami kamu itu tidak ada niatan cerai secara resmi?” tanya Arsen penasaran.Ayara menggeleng kecil. Ia tak tahu bagaimana jalan pikir mantan suaminya itu. Janu telah menalaknya. Akan tetapi, pria itu tidak mau me
Bab 23. “Terima kasih, Pak sudah nganterin saya pulang.” Ayara melepaskan sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya. “Makasih banyak, Pak, ya. Bikin Bapak kerepotan.”“Iya, Ayara. Ini udah ke berapa kalinya kamu bilang terima kasih.” Arsen menggeleng pelan. Pasalnya sedari tadi Ayara terus mengucapkan terima kasih padanya. Padahal kan dirinya sendiri yang ingin membantu, itu artinya Arsen tidak keberatan.Ayara tertawa kecil, ia pun bingung harus mengucapkan apa lagi selain dua kata itu. Ayara dibuat semakin tak enak karena pria itu juga yang membayar makan siang. Tadi sebelum pulang, Arsen dan Ayara memang sempat singgah makan siang karena jam sudah menunjuk pukul dua siang.“Kalau begitu, saya masuk dulu ya, Pak.” Arsen mengangguk kecil. “Besok saya masuk kerja, kok, Pak.”Arsen kembali mengangguk. “Baiklah, tetap ke resto kalau tidak ada jadwal panggilan dari pengadilan.”Ayara mengangguk patuh. Pria itu memang sudah mengizinkan Ayara untuk libur. Hanya saja Ayara harus tetap pergi
Bab 22.“Iya, Pak.” Ayara menatap Arsen lalu mengangguk. Memang saat ini dirinya sudah bukan istri orang. Namun, ia belum resmi di mata negara. Oleh karena itu, Ayara ingin menerangkan statusnya.“Kapan kamu ke pengadilannya?” Bukannya menjawab pertanyaan permintaan izin Ayara, pria itu malah balik bertanya.“Mungkin besok, Pak. Itu pun kalau Bapak izinkan libur.” Ayara pasrah, tetapi tetap saja ia sangat ingin untuk ke sana.Arsen tampak menghela napasnya panjang. Sebelum menjawab, pria itu menatap Ayara lama. “Saya bantu.”“Hah? Gimana, Pak?” Ayara tak mengerti dengan jawaban pria di depannya.“Saya bantu kamu untuk cerai dengan suami kamu itu.”*Sesuai dengan rencana kemarin, Ayara bisa libur kerja karena hendak ke pengadilan. Seperti ucapan Arsen terakhir kali jika pria itu akan ikut serta dan ingin membantu Ayara.Setelah melihat beberapa kali kejadian yang melibatkan Ayara dan Janu—mantan suaminya— membuat Arsen prihatin dengan Ayara yang tidak bisa berbuat lebih. Alhasil, sel
Bab 21.“Kamu benar gak masalah, Nak?” Ayara menggeleng kecil dengan ponsel yang masih bertengger di salah satu sisi telinganya. “Iya, Kakek, aku gakpapa.”Kini perempuan berhijab itu sedang berbicara dengan sang kakek melalui panggilan suara. Ayara sengaja berjalan sedikit jauh dari keramaian ruangan karyawan. Begitu pula dengan Darma yang juga mengasingkan diri ke sisi samping restoran untuk menanyakan keadaan cucunya yang baru saja dihina oleh laki-laki yang ternyata pegawainya.“Terus kamu mau biarkan laki-laki tidak tau diri itu menghina kamu selalu? Kakek gak rela cucu kecil Kakek dihina sama orang kayak dia.” Darma memijat kepalanya yang berdenyut. Ia masih tidak percaya jika laki-laki bermulut lemes itu adalah mantan suami cucunya.Ayara tersenyum mendengar pembelaan dari Darma. Setelah sekian lama hidup dalam bayang-bayang disalahkan. Namun, pada akhirnya ia bisa mendapatkan pembelaan dari seseorang. “Haruskah Kakek beri dia pembalasan karena sudah membuat hidup kamu mender
“Ayara!” Bu Ningsih berjalan terburu-buru menghampiri Ayara yang baru saja turun dari ojek.“Ada apa, Bu?” Ayara melihat Bu Ningsih menghampirinya dengan wajah yang sulit diartikan. ‘Apakah sesuatu telah terjadi pada putranya?’ Bukan apa, Ayara melihat Ningsih yang sekarang persis seperti saat Aciel jatuh sakit tempo hari. “Ada apa? Apa El sakit lagi, Bu?” Wanita paruh baya itu menggeleng cepat. Balasan itu membuat Ayara mengerut heran. “Terus kenapa, Bu?”“Ada kiriman sangat banyak,” jawab Ningsih, mampu membuat Ayara kembali kebingungan.Kiriman? Kiriman apa? Perasaannya ia tidak merasa memesan apa pun. Jelas saja, jangankan untuk memesan barang, ia bisa makan saja sudah lebih dari cukup. “Tapi, Buk, aku gak mesan apa-apa. Seharian aku di tempat kerja.” Ayara menjelaskan ketidaktahuannya. “Rika, mungkin dia yang mesan, Bu.” Bu Ningsih menggelengkan kepalanya, karena kiriman yang sedang mereka bicarakan tidak ada sangkut pautnya dengan Rika.Rika merupakan salah satu anak panti.
Bab 19.“Tidak bisa, Ayara.” Arsen mengulangi kalimatnya. Kali ini Ayara tidak meminta lagi. Nada suara atasannya tersebut sudah cukup menegaskan jika pria itu tidak memberikan alamat rekannya kepada pelayan sepertinya.“Tidak apa-apa dan maaf Pak karena sudah lancang. Terima kasih, Pak. Maaf sudah mengganggu waktunya.” Ayara berdiri dari kursi, berbalik berjalan menuju pintu.Ayara rasa cukup, lebih baik ia pergi dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Lalu ia pulang untuk menemui putranya. Memang setelah ia mendapatkan pertolongan waktu itu saat Janu mau membawa El, Ayara tidak lagi membawa anaknya ke tempat kerja. Ia merasa anaknya aman karena ada perlindungan, meskipun itu sesaat.Akan tetapi, rasa dilindungi itu perlahan memudar karena pada dasarnya ia bukanlah siapa-siapa yang berhak menerima pertolongan apalagi perlindungan dari sang atasan.“Ayara, tunggu!”Ayara yang hendak masuk lift, langsung mengurungkan niatnya. Ia berbalik arah, ternyata Arsen yang baru saja keluar
“Nggak ada, Ra.” Tatapan Bu Ningsih menjurus ke depan. Kilatan bayangan ketika masa itu terlintas di kepalanya. Bu Ningsih lalu menoleh pada Ayara. “Kenapa tiba-tiba sekali kamu nanyain tentang ini, Nak?”Tentu saja Bu Ningsih keheranan, karena selama ini Ayara tak pernah menyinggung tentang bagaimana bisa dia berada di panti asuhan ini.“Nggak, Bu. Mau tau aja.” Ayara terkekeh kecil setelahnya.Ningsih mengangguk paham, tetapi wanita paruh baya ini tak tahu apa yang sedang dihadapi Ayara. Tampak Ningsih menarik napasnya, sebelum melanjutkan ucapannya.“Dulu Ibu nemuin kamu di depan gerbang. Kamu sendirian di sana, nggak ada orang lain. Saat itu hujan, jadi Ibu gak lama-lama di depan gerbang. Jadi, Ibu langsung bawa kamu masuk ke rumah panti, biar kamu gak makin kedinginan.” Bu Ningsih menjelaskan bagaimana keadaan pada saat itu.Penjelasan Bu Ningsih diterima baik oleh Ayara. Di restoran tadi ia langsung pergi ketika Kakek Darma mengajaknya ikut pulang bersamanya. Saat itu Ayara mera