DINGINNYA SUAMIKU

DINGINNYA SUAMIKU

last updateLast Updated : 2022-12-03
By:  Okta Novita  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
8.3
3 ratings. 3 reviews
122Chapters
36.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Synopsis

Humoris

Blurb "Siapa yang mengizinkanmu kemari?! Kamu sudah membunuh anakku dan kamu masih beraninya kemari! Pergi! Jangan pernah memperlihatkan wajahmu lagi di depan makam Arumi!" Mas Arsya memekik dengan mata berkilat amarah. Arsya Narendra, suamiku, dia sangat membenciku karena telah membuat anaknya meninggal. Sebagai istri keduanya, aku teledor menjaga Arumi, anak sambungku yang masih berusia tiga tahun sehingga terjadilah kecelakaan. Sejak saat itu, suamiku berubah dingin. Bahkan, dia merencanakan pernikahan dengan adik dari istri pertamanya hanya untuk membuatku hancur. Di saat aku ingin menyerah dan pergi, satu alasan membuatku dilema. Aku dinyatakan tengah mengandung dan itu lebih menyakitkan lagi. Apakah aku harus bertahan? Ataukah aku harus pergi bersama anak dalam kandungan ini tanpa sepengetahuan Mas Arsya?

View More

Latest chapter

Free Preview

Kebenciannya

Kupandangi wajah tampan yang sudah lelap dalam tidurnya. Rasa damai memenuhi hati ini hanya saat mata Arsya Narendra—suamiku—sedang memejam. Dia terlihat seperti malaikat yang sudah menggenapi hidupku yang sempat hampa. Lelaki berhidung bangir dengan kulit sawo matang itu telah menghalalkanku di depan Ayah tepat tiga bulan yang lalu. Rasanya masih belum percaya jika hubungan kami yang begitu mesra berubah sedingin bongkahan es.“Kamu ngapain di sini?” Aku terperanjat. Mas Arsya tiba-tiba membuka mata, padahal baru sekitar setengah jam dia tertidur. Gegas kubawa tubuh ini turun dari tempat tidur tanpa menjawab pertanyaannya. Aku diam, menunduk dalam posisi berdiri di samping tempat tidur. Tubuh ini gemetar dengan ujung jari saling meremas.“Kamarmu di sebelah! Lupa?” tukasnya sedikit membentak.“Ma–maaf, Mas. Ta–tadi ada tikus masuk kamarnya Mas Arsya,” jawabku gugup.Mas Arsya menggeleng kasar, lalu menoleh ke arah pintu saat a

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Indah Hayati
lanjut lagi thor makin seru ini
2022-08-07 18:49:31
0
user avatar
Amal Alfiah
sukaaaaaa bngttt
2022-06-12 08:47:20
0
user avatar
Rara Yovaniena
masih mengantung blm tau arah ceritanya kesana
2023-07-12 23:25:28
0
122 Chapters

Kebenciannya

Kupandangi wajah tampan yang sudah lelap dalam tidurnya. Rasa damai memenuhi hati ini hanya saat mata Arsya Narendra—suamiku—sedang memejam. Dia terlihat seperti malaikat yang sudah menggenapi hidupku yang sempat hampa. Lelaki berhidung bangir dengan kulit sawo matang itu telah menghalalkanku di depan Ayah tepat tiga bulan yang lalu. Rasanya masih belum percaya jika hubungan kami yang begitu mesra berubah sedingin bongkahan es.“Kamu ngapain di sini?” Aku terperanjat. Mas Arsya tiba-tiba membuka mata, padahal baru sekitar setengah jam dia tertidur. Gegas kubawa tubuh ini turun dari tempat tidur tanpa menjawab pertanyaannya. Aku diam, menunduk dalam posisi berdiri di samping tempat tidur. Tubuh ini gemetar dengan ujung jari saling meremas.“Kamarmu di sebelah! Lupa?” tukasnya sedikit membentak.“Ma–maaf, Mas. Ta–tadi ada tikus masuk kamarnya Mas Arsya,” jawabku gugup.Mas Arsya menggeleng kasar, lalu menoleh ke arah pintu saat a
Read more

Haruskah Bertahan?

"Jangan pernah berpikir untuk pergi atau selamanya tidak ada maaf dan ridaku untukmu."Ucapan Mas Arsya membuat mata yang memejam ini langsung terbuka. Dia sudah ada di ambang pintu kamarku. Dia menghadap ke luar sehingga terlihat punggung yang sangat kurindukan itu. Kepala ini pun mendongak, memuaskan diri untuk menikmati pemandangan yang sangat jarang bisa kutemui. Dia suamiku, tapi seperti orang asing. Setelah beberapa saat dia mematung, langkahnya berderap menjauh. Pintu kamar yang masih terbuka itu membuatku ingin sekali menyusul Mas Arsya dan memeluknya. Namun, hal itu tidaklah mungkin bisa terlaksana. Tadi, aku sempat berpikir jika Mas Arsya akan memberikan tamp*ran atau mungkin pukulan. Namun, prasangka itu tidaklah benar. Aku melihat tangan kanannya membawa kunci motorku yang tadinya menggantung di dinding, tepat di belakangku. Ya, aku mengenali gantungan kuncinya karena motor itu satu-satunya harta milik sendiri yang kubeli sebelum me
Read more

Bersandiwara

Aku pergi ke klinik terdekat diantar Bi Narti. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kami harus menggunakan taksi untuk ke sana karena kondisiku yang masih lemas. Kuminta perempuan itu menunggu di luar sementara dokter memeriksa. Sesuai prediksi, asam lambungku naik dibarengi dengan anemia yang keduanya memang sering berkencan dengan tubuh ini jika terlalu lelah atau stres. "Kamu ada masalah apa, Nda?" tanya Dokter Fahira. Dia tetangga dekat rumah, sekaligus temanku satu-satunya setelah menikah dengan Mas Arsya. Memang baru sekitar empat bulan kami saling mengenal, tapi kami sering berbincang saat aku mengajak jalan-jalan Arumi di sekitar kompleks setiap sore sambil menunggu Mas Arsya pulang. Meskipun tidak setiap hari, tapi itu membuat kami dekat. "Nggak ada, Ra. Aku—""Kalau nggak ada apa-apa, cek sekarang. Aku juga mau lihat hasilnya," desak dokter berjilbab putih itu. "Nanti aku cek di rumah saja. Kasihan Bi Narti nungguin. Berikan re
Read more

Harus Disembunyikan

Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu. Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku. Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita. "Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersenta
Read more

Lawan Sepadan

Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat. Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah. "Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur. "Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku. "Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut. "Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu
Read more

Apa Dia Cemburu?

Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya. Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar. "Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Siap, Om!" seru Kelvin semangat. Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem. Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mo
Read more

Terbongkar Sudah

Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
Read more

Adam dan Jihan

"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Read more

Pergi

Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
Read more

Jebakan

"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har
Read more
DMCA.com Protection Status