Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu.
Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku.Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita."Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersentak.Segera kumasukkan benda kecil di tangan ke dalam saku baju tidur, lalu keluar dari kamar mandi setelah menarik napas panjang."Ada apa, Bi?" tanyaku setelah membuka pintu."Sudah waktunya sarapan, Mbak. Mbak Manda juga harus minum obat." Bi Narti begitu perhatian."Makasih, Bi, tapi aku lagi gak pengen makan. Nanti agak siangan aja, aku ambil sendiri," tolakku.Asisten rumah tangga itu pun tidak memaksa dan berlalu ke arah dapur. Setelah perempuan paruh baya itu menghilang dari pandangan, aku bergegas menutup pintu kamar dan bersiap. Pagi ini, aku ingin pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran dan mencoba mencari solusi yang tepat. Aku juga harus memastikan apakah benar hasil dari alat yang kugunakan tadi.Meskipun Mas Arsya mengambil kunci motorku, masih ada satu kunci cadangan yang selalu tersimpan dalam lemari. Kugunakan kunci cadangan dan bergegas pergi setelah memastikan Mas Arsya pergi. Untung saja, jendela kamarku menghadap ke halaman depan rumah. Jadi, aku bisa mengintip."Mbak Manda mau ke mana?"Deg!Aku terhenyak. Bi Narti tiba-tiba muncul dari pintu yang menghubungkan dapur dengan garasi. Apa yang harus kukatakan? Kenapa pas sekali momennya?"Eh, itu, Bi. Aku mau ke minimarket, mau beli sesuatu," kataku sedikit gugup."Emang udah baikan, Mbak? Biar bibi saja yang belikan, Mbak Manda istirahat."Kuhela napas sejenak, lalu berkata, "Aku udah baikan, Bi. Nggak enak ngerepotin Bibi terus. Cuma ke depan kompleks ini. Nggak lama, kok. Bibi mau titip beli apa gitu?""Nggak, Mbak. Penting Mbak Manda cepet pulang aja. Bibi khawatir sama keadaan Mbak."Untungnya, Bi Narti percaya dan membiarkannku pergi. Aku melajukan motor matic merah ini perlahan menuju bidan yang agak jauh dari rumah untuk memastikan dulu apakah benar aku sedang hamil atau tidak. Kalau memang positif, anak inilah yang akan membuatku bertahan dan mempertahankan pernikahan dengan Mas Arsya.Sungguh nikmat Allah yang harus disyukuri. Layar USG menunjukkan ada yang mengisi rahimku. Janin itu terlihat cukup jelas meskipun masih sangat kecil. Mungkin ini jawaban dari setiap doaku untuk mencairkan hubungan dengan Mas Arsya yang mulai beku."Usianya sudah sembilan minggu," kata bidan perempuan itu, lalu menjelaslan lagi panjang lebar tentang apa saja yang harus kulakukan dan makanan apa saja yang hatus dikonsumsi.Sembilan minggu. Itu berarti, aku sudah hamil saat kecelakaan dengan Arumi saat itu. Sungguh keajaiban, janin yang baru sekitar dua minggu saat itu justru masih bertahan saat aku juga terluka.Setelah selesai, aku melanjutkan perjalanan menuju satu tempat yang begitu membuat rindu. Daycare yang dulu menjadi tempatku bekerja.Tiba di tempat bernuansa pink dan biru, aku disambut dengan begitu hangat. Semua teman-teman yang masih bekerja di daycare ini tidak melupakanku. Mereka bahkan mengizinkanku bermain dengan anak-anak yang dititipkan. Itu sangat membahagiakan karena sejak kepergian Arumi, aku begitu terpukul dan hampir kehilangan semangat hidup. Apalagi, dengan sikap Mas Arsya sekarang, sangat menyakitkan."Wah, pengasuh kesayangan bos datang!" seru Kaniya, salah satu karyawati daycare sekaligus temanku saat masih bekerja.Aku tersenyum lebar melihat kawan satu itu. Dia orang yang menjadi tempatku bertukar pikiran dan mengeluarkan uneg-uneg dulu. Pun, kami tinggal dalam satu kamar kos yang sama."Yang sabar, ya," ucapnya saat memelukku. Tangannya mengusap punggungku pelan.Aku langsung sesegukan karena perhatian Kaniya. Memang dia satu-satunya yang kuberitahu tentang kepergian Arumi. Bahkan, dia datang menjengukku di rumah sakit saat semua orang sibuk mengurus pemakaman anak sambungku itu."Sudah, jangan nangis. Dilihat banyak anak-anak itu," tegurnya pelan seraya melepas pelukan.Gegas kuhapus wajah yang basah dengan telapak tangan. Malu dilihat teman yang lain, juga anak-anak.Aku memuaskan diri bermain bersama anak-anak yang kebanyakan masih balita. Mereka sangat lucu dengan tingkah yang sangat menggemaskan. Ada satu anak laki-laki yang cukup menantang untuk ditaklukan. Kata Kaniya, usianya masih tiga tahun, tapi sering menjaili dan suka merebut mainan anak-anak lain."Namanya, Kelvin. Keponakannya bos," bisik Kaniya.Sebenarnya sedikit lucu saat aku tahu pemilik daycare ini adalah seorang laki-laki, tapi hal itu terjawab setelah Pak Adam menjelaskan. Daycare ini milik ibunya, sementara Pak Adam adalah bungsu dari dua bersaudara dan kakaknya pun laki-laki. Jadi, saat ibunya meninggal, dialah yang harus meneruskan usaha karena sang kakak memilih menjadi public figure."Kok, bisa begitu sikapnya? Masih kecil, loh, Ni." Aku geleng kepala melihat Kelvin yang begitu kasar.Kaniya hanya menggeleng sambil mengangkat bahu.Aku lantas duduk sendiri di bagian yang tidak dimainkan, lalu mengambil lego dan menyusun mainan kotak-kotak itu menjadi dua buah robot. Setelah jadi, aku memainkan dua robot lego itu dan berbicara seolah-olah menjadi mainan itu.Kelvin yang dari tadi sesekali kulirik, akhirnya mendekat. Dia duduk di depanku dan memperhatikan dengan saksama. "Tante, itu robot apa?" tanya bocah itu dengan suara khas anak-anak seusianya."Ini robot Kelvin dan robot Adam," kataku dengan senyum."Ih, kok, namanya kayak aku sama Om?" Kelvin menatapku lucu. Anak yang menggemaskan."Masa', sih? Padahal, kita belum kenalan, kan?" Aku pura-pura tidak tahu."Bener, Tante! Namaku Kelvin, terus Adam itu omnya aku," kata anak itu memperjelas."Kalau begitu, kita kenalan sekarang. Nama tante, Amanda. Panggil aja, Tante Manda." Kuulurkan tangan kanan, mengajak Kelvin bersalaman.Semua pengasuh di daycare ini terkejut karena aku bisa langsung akrab dengan Kelvin. Kaniya pun mengacungkan jempol saat aku melihatnya. Dia juga sedang mengasuh satu anak perempuan.***Setelah memastikan Kelvin tidur, aku pamit kepada Kaniya dan teman yang lain. Ini sudah pukul dua siang dan masih ada satu tempat lagi yang ingin kukunjungi. Namun, Kaniya menahan dan mengajakku untuk makan siang. Memang aku belum makan sejak pagi dan belum sempat meminum vitamin.Kusetujui ajakan Kaniya karena dia pun sedang istirahat. Kami menuju tempat makan di seberang daycare. Awalnya, Kaniya menolak karena tempat makan itu harga tiap menunya cukup mahal, tapi aku mengatakan jika akan mentraktirnya. Perempuan cantik berlesung pipit itu pun menurut.Kami pun mengobrol banyak sambil menunggu pesanan datang. Kaniya pintar sekali membuatku tertawa. Tingkahnya yang absurd, tapi apa adanya itu membuatku bersyukur bisa mengenalnya.Di tengah obrolan, pesanan kami pun datang dan saat itu, tanpa sengaja aku melihat Mas Arsya masuk ke tempat makan ini bersama Dokter Fahira. Entah kenapa, berbagai prasangka berjejalan di pikiran. Apakah Dokter Fahira akan mengatakan tebakannya tentang keadaanku kepada Mas Arsya?Aku langsung berpindah tempat duduk di samping Kaniya yang membelakangi posisi dua orang itu sebelum mereka menyadari keberadaanku. Kaniya pun bingung dengan tingkahku, tapi alasan ingin bisa saling mencicip makanan membuat gadis itu percaya.Akan tetapi, satu kesialan justru datang kepadaku. Saat mencicipi makanan Kaniya, perutku seperti dientak sangat kuat. Tiba-tiba saja aku mual setelah satu potong daging kambing tertelan. Tangan kanan ini pun berusaha menahan mulut, sedangkan tangan kiri menekan perut."Kenapa, Nda?" tanya Kaniya panik."Toilet di mana, ya, Ni?" ucapku tertahan."Sebelah sana." Kaniya menunjuk ke belakangku. Itu artinya, aku harus melewati Mas Arsya untuk ke toilet.Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat. Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah. "Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur. "Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku. "Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut. "Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu
Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya. Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar. "Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Siap, Om!" seru Kelvin semangat. Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem. Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mo
Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har
Aku rasanya kembali hidup setelah mendengar cerita Mas Arsya tadi siang. Namun, beberapa hal masih membuatku ragu untuk percaya sepenuhnya. Dia masih belum menceritakan tentang isi pesan Whatsapp dengan Jihan yang begitu mesra. Apa iya pesan seperti itu hanya untuk mengecoh Dokter Fahira? Aneh, bukan? Jika ditilik, mana mungkin orang lain yang jarang bertemu akan mengecek pesan Whatsapp pribadi. Bahkan, aku saja jarang membuka ponselnya. Namun, aku tidak mau banyak bertanya karena pastinya jawabannya akan membela diri. Dengan hubungan yang cukup membaik ini, akan kugunakan untuk mencari tahu sendiri. Aku sekarang sendirian di apartemen yang tidak terlalu besar. Jika aku perkirakan, mungkin luasnya hanya sekitar enam kali enam meter persegi. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Bukan masalah besar kecilnya tempat ini, hanya saja, aku merasa seperti tahanan. Entah kenapa, dia juga tidak mengizinkanku kembali ke rumah saja. Satu
"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku saat mobil memasuki areal bandara. "Katamu mau pulang? Aku akan antar kamu pulang." Mas Arsya tersenyum seraya tangannya mengusap pelan puncak kepalaku. Aku pun diam, mencoba mencerna sendiri arti kata pulang bagi Mas Arsya. Dia menggandeng tanganku menuju bagian dalam bandara. Jemari tangan kanannya menyatu dengan jemari tangan kiriku. Entah kenapa, rasanya seperti ada sengatan yang membuat tubuhku lebih rileks.Mas Arsya membeli dua tiket ke Jogja. Sekarang, aku baru tahu jika Mas Arsya ingin membawaku pulang ke tempat kelahiranku. Apa dia ingin mengembalikanku kepada Ayah dan Ibu? Pantas saja saat aku ingin makan mi ayam, dia tidak terlalu peduli. Pun saat aku bilang tidak jadi menginginkan makanan itu, dia tidak mempermasalahkan. Rupanya, Mas Arsya sedang mengejar penerbangan terakhir ke Jogja, pukul setengah sembilan malam. "Ayo, kita ke ruang tunggu," ajaknya sambil meraih tangan kiriku. Aku bergeming, menatapnya penuh tanya. Namun, laki-lak
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S